Categories
Uncategorized

Seribu Saja Tak Cukup untuk Ibunda

Mungkin,
ini hanya sebuah kisah galau untuk kamu yang belum mendengar curahan hatiku.
Teramat panjang debat dalam batin sehingga aku benar-benar menorehkan kenangan
dalam sebuah tulisan ini. Ada perasaan malu dalam diri sendiri begitu sebuah
rahasia terbongkar di dunia maya, walaupun di kehidupan nyata, di dunia dekatku
bernapas, kisah ini telah menjadi abadi.

Aku
kuliah seperti orang lain, setidaknya dapat menaikkan derajat hidupku walaupun
sekarang belum bisa kumaknai derajat yang mana bisa terangkat.
“Ekonomi
makin susah, harga karet turun terus, harga sirih tak pernah naik…,” Ibu
memberi sinyal bahwa aku kemungkinan tak bisa menerima uang bulanan lagi.

Ibu segala rupa yang ada, kebahagiaanku
bermuara dari tatapan mata Ibu. Mata itu selalu berbicara walaupun ucapan tak
keluar dari bibirnya. Ibu meminta dengan caranya dan aku memberikan dengan
caraku yang terkadang belum masuk ke dalam ketegori memuaskan batinnya.

Perkuliahan
yang biasa dan penuh semangat di awal 2004 namun hambar begitu tsunami tiba dan
sebetulnya setengah kacau pada titik akhir 2009. Waktu yang teramat panjang
untukku memenuhi kewajiban tersebut. Saat teman satu bangku kuliah yang
tergolong mahasiswa IPK biasa mendapatkan jadwal sidang, aku tersibuk dengan
kegiatan penyuluhan kesehatan ke sekolah-sekolah. Saat teman dekatku merayakan
hari yudisium, aku masih berkutat di lembaga bimbingan belajar mengajarkan
komputer dasar. Saat teman-teman satu persatu memakai toga, aku masih
terkantuk-kantuk siaran radio hingga dini hari.
Aku
sudah terbiasa dengan ritme itu. Lari ke LSM di pagi hari, balik ke kampus
untuk masuk kuliah tambahan atau perbaiki nilai semester yang lalu, kemudian ngos-ngosan
ke lembaga bimbingan belajar di sore hari dan pontang-panting ke radio sampai
malam. Sejauh mataku menerawang waktu itu, orang tua sama sekali tidak lagi
mengirimkan uang saku bahkan SPP dan untuk sewa kamar tahunan.
“Biarkan
saja adik kuliah di Banda,” ujarku dengan mantap. Tiga pekerjaan sampingan itu
sudah lebih dari cukup untuk ukuran ekonomi mahasiswa tingkat akhir.
Dan,
apa yang kamu pikirkan itu dimulai dari sini. Aku mahasiswa hampir abadi karena
kejar setoran. Jadwal mengajar komputer bertambah. Jadwal siaran pun demikian. Skripsi
tersentuh sesekali dan hampir usang di bawah kasur. Aku tidak lagi memikirkan
bagaimana SPP dan uang sewa kamar untuk diri sendiri. Aku tidak lagi
bersenang-senang dengan perut sendiri begitu menerima gaji. Ada orang lain yang
telah menjadi tanggung jawabku di saat yang sebenarnya belum tepat di mana orang
tua masih memiliki wewenang menyekolahkan anak-anak mereka.
Aku
menjalani kehidupan yang rumit begitu adanya. SPP untuk diri terpenuhi dan
untuk adik juga demikian. Uang sewa kamar tahunan kadang tersendat di bagianku,
tidak di jatah adik di kosan perempuan yang memiliki ibu kos lebih cerewet. Di
hari-hari tak henti, makan nasi dengan lauk benar seadanya.
Kemudian,
aku ditendang dari kampus dengan tahun yang menyedihkan. Orang tua tentu sangat
senang karena aku telah selesai dan mungkin akan mendapatkan pekerjaan. Namun
seiring waktu, tes masuk pegawai negeri sipil pun tak kunjung kugenggam. Lamar
di pekerjaan lain selalu ditolak. Orang tua meminta aku pulang kampung dan
melepas tiga pekerjaan yang dianggap tidak memberikan masa depan cerah. Aku
takut kualat dan menuruti perintah Ibu. Sedangkan biaya kehidupan adik semakin
meningkat karena pengaruh ekonomi yang belum memihak kepada masyarakat kelas
bawah. Mau tidak mau aku harus bekerja apa saja. Tiap bulan aku harus mengirim
sedikitnya Rp.600.000 untuk adik. Kalkulasi dari apa yang pernah kurasa di
Banda waktu itu, sehari Rp.20.000 untuk semua kebutuhan. Cukup tidak cukup.
Aku
mulai menulis banyak hal. Aktif di blog. Dan tentu ngajar di sekolah sebagai
guru honorer yang dibayar tak berapa. Aku bersyukur pada satu titik, dari
menulis aku mendapatkan banyak kesibukan, rejeki dan jalan-jalan gratis
setidaknya ke dua kota, Lombok dan Jakarta. Semakin aku rajin menulis, uang
makan, uang sewa kamar dan SPP adik selalu terpenuhi tiap tanggal yang
ditentukan. Begitu uang dipindahbukukan oleh bank secara otomatis melalui mesin
ATM, aku masih bisa mencukupi pulsa internet, bensin, makan mi ayam sesekali, ngopi
hampir tiap hari di warung kopi dengan internet gratis dan tentu saja beli
sabun mandi atau deodoran dan minyak wangi.
“Ini
untuk Ibu simpan,” sesekali aku juga memberikan tip untuk Ibu. Tak seberapa
tetapi sangat berarti untuk Ibu.
Uang
memang segalanya. Simpanan yang kuberikan kepada Ibu lebih banyak digunakan
untuk beli kado ke pesta, beli gula atau sabun cuci. Memang tidak rutin aku
memberikan kepada Ibu karena pemasukan sebagai freelance tidak pasti. Namun
apabila Ibu meminta Rp.5000 atau Rp.10.000 di hari-hari tak tentu, tetap saja
aku memberikannya walaupun di dompet cuma tinggal selembar itu saja.

Ada uang, ada kasih sayang. Di mana-mana, kamu
akan menerima anggapan demikian. Setingkat kamu mau ke kamar mandi terminal bus
saja, setidaknya Rp.1000 atau Rp.2000 wajib kamu titipkan ke penjaga di sana. Bagaimana
dengan kondisi perut kamu yang keroncongan? Kebutuhan ongkos kendaraan? Pulsa
handphone, paling tidak untuk mengabarkan kerabat terdekat terjadi sesuatu. Belum
lagi untuk beli beras, beli lauk, beli gula, garam, cabai, kopi…

Perjalananku
sudahkah berakhir? Satu batu tersandung, satu lagi belum tersentuh. Adik
bungsu, si laki-laki yang suka nonton bola, masuk kuliah tahun ini. Rasanya,
aku tidak tahu kapan berhenti untuk dapat berenkarnasi. Seperti yang telah
kukasih tahu, kehidupan ini belum memihak kepada mereka di pinggir kali. Biaya perkuliahan
di tahun ini, tak lagi sama dengan tahun-tahun lalu. Biaya makan naik karena semua
bahan baku tak berhenti melaju ke tingkat menyedihkan bagi masyarakat menengah.
Biaya sewa kamar akhirnya ikut-ikutan kena getah. Adik yang tidak menerima
beasiswa masuk terpaksa dilempar ke golongan orang “kaya” dengan biaya masuk
mahal. Mahal dalam definisiku memang berbeda denganmu. Namun angka Rp.2.000.000
persemester begitu mahal untukku yang belum tentu menerima masukan sebesar itu,
tidak termasuk uang makan harian dan sewa kamar tahunan.
Aku
memutar otak, seperti roda, seperti jam tak berhenti berdetak. Kondisi ekonomi
keluarga semakin tidak baik. Apa-apa mahal. Aku berlari lebih kencang, seperti
kuda kencana, mengais segalanya agar terpenuhi apa yang diminta adik bungsu. Aku
lupa pada kondisi diri sendiri, cuma ingat harus mengirimkan uang begitu pesan
singkat dari adik masuk ke ponsel.
Pahlawan
bagiku berperang di masa sulit. Aku masih berperang. Entah kapan akan merdeka. Pada
17 Agustus tahun ini tentu tidak mungkin. Tahun depan, tahun depannya lagi, tiga
tahun kemudian, entahlah
Apakah
kamu menganggapku sebagai pahlawan keluarga kami? Bagaimana definisi pahlawan
keluarga bagimu?
Categories
Uncategorized

Pilih Mana, Gergaji Jigsaw atau Gergaji Circular?

Dalam pemotongan kayu, ada dua jenis gergaji yang digunakan yaitu gergaji jigsaw dan gergaji circular. Jika Anda berniat membelinya di toko jual gergaji, pemilik toko pasti akan menjelaskan bagaimana cara kerja kedua alat tersebut. Dilihat dari prinsip kerja, keduanya tentu berbeda. Jika mata gergaji jigsaw bergerak naik turun saat memotong, gergaji circular memakai mata berbentuk piringan yang berputar.
Manakah yang terbaik, gergaji jigsaw atau circular? Yang terbaik tentu saja yang paling pas dengan kebutuhan Anda. Untuk itu, Anda perlu mengenali kelebihan dan kekurangannya, seperti ulasan berikut ini.
Mesin Gergaji Jigsaw
Kelebihannya, antara lain :
1. Bergerak ke kiri dan kanan, zig zag dan melingkar.
2. Daya listrik yang digunakan lebih kecil daripada gergaji circular.
3. Tak hanya bisa untuk memotong kayu, gergaji jigsaw juga bisa digunakan untuk memotong pipa pvc, besi, akrilik dan lainnya, namun tergantung dari mata pisau yang digunakan.
4. Beratnya lebih ringan daripada gergaji circular.
Kekurangannya, antara lain :
1. Jika digunakan untuk memotong lurus dan cukup panjang serta berulang-ulang akan membutuhkan waktu lebih lama daripada gergaji circular.
2. Mata pisau juga mudah patah sehingga Anda harus sering mengganti atau membelinya di tempat jual gergaji.
Mesin Gergaji Circular
Kelebihannya, antara lain :
1. Lebih nyaman dipakai untuk pemotongan dengan cara lurus dan panjang.
2. Penggantian mata pisau juga relatif lebih lama dibanding gergaji jigsaw.
Kekurangannya, antara lain :
1. Tidak bisa bergerak ke kiri dan kanan, zig zag atau melingkar.
2. Daya listrik lebih besar dari gergaji jigsaw.
3. Selain untuk kayu, gergaji circular hanya dapat digunakan memotong material berbahan aluminium dengan mata pisau yang sesuai.
4. Lebih berat daripada gergaji jigsaw.
5. Nah, setelah mengetahui kelebihan dan kekurangannya, Anda sendiri yang bisa memutuskan, mesin gergaji mana yang sesuai untuk proses usaha Anda. Pilih mesin gergaji jigsaw di tempat jual gergaji jika tujuan Anda hanya untuk hobi.
Semoga ulasan ini bermanfaat untuk Anda yang bingung memilih, manakah yang lebih baik, gergaji jigsaw atau gergaji circular.
Categories
Uncategorized

Mandiri Mana Antar Anak Sekolah atau Berangkat Sendiri?

Mandiri Mana Antar Anak Sekolah atau Berangkat Sendiri
Antar anak ke sekolah – kpud-pamekasankab.go.id

Gerakan
Antar Anak ke Sekolah yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Anies Baswedan sejatinya “hanya” program mulus sang menteri dalam rangka
meninabobokan anak-anak usia sekolah. Surat Edaran nomor 4 tahun 2016
menerangkan bahwa orang tua wajib mengantar anak pada hari pertama sekolah.

“Hari pertama sekolah juga menjadi kesempatan
mendorong interaksi antara orang tua dengan guru di sekolah untuk menjalin
komitmen bersama dalam mengawal pendidikan anak selama setahun ke depan. Kampanye
ini juga bertujuan meningkatkan kepedulian dan keterlibatan publik dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah.” – Anies Baswedan dikutip di laman
detik.com –   

Anak-anak
usia sekolah saat ini sedang berada di awan manja tingkat tinggi. Semua diperhatikan
dan benar-benar mulus dalam berjalan selama pendidikan tersebut berada di ranah
sekolah negeri. Biaya pendidikan yang gratis, perlengkapan sekolah yang lengkap
dan guru-guru yang profesional membuat anak-anak di sekolah negeri mendapatkan tempat
khusus. Belum lagi jika berbicara tentang hukuman berat untuk guru apabila
menyentuh siswa dalam bentuk fisik.
Sebenarnya,
gerakan mengantar anak ke sekolah telah terjadi sejak waktu yang lama. Saya ingat
hari pertama sekolah di antar oleh Ibu untuk mendaftar semua kebutuhan tingkat
dasar. Memasuki tingkat menengah pertama dan menengah atas, saya malah
mendaftar sendiri mulai dari pendaftaran, ikut tes, sampai sekolah di hari
pertama. Kemudian berlanjut ke universitas yang semua dilakukan sendiri-sendiri
dan bersama teman-teman. Ke mana-mana harus dilakukan dengan mandiri tanpa
dibantu oleh orang tua. Lari ke sana-kemari untuk menyerap informasi akurat
saya lakukan bersama.
Sifat
manja yang telah berlaku di dunia pendidikan membuat anak-anak harus disuapi
dari lahir sampai mati. Sekarang wajar melihat anak-anak sampai di daftar masuk
perguruan tinggi didampingi orang tua. Wajar juga melihat anak-anak menangis
meraung-raung karena nggak lulus Kedokteran Universitas Indonesia. Jarang kita
lihat anak-anak ngambek karena nggak lulus di Teknik Sipil Universitas Gajah
Mada.
Saya
dan teman-teman waktu itu, nggak lulus di Universitas Syiah Kuala saja biasa
saja. Karena tidak lulus itu pula kami mencari perguruan tinggi lain yang lebih
rendah grade dan mudah untuk lulus. Anak-anak sekarang sangat mudah
terpangku kepada orang tua karena semua di antar dan disuapi. Jika jalur
reguler tidak masuk mudah saja mereka membayar biaya masuk ratusan juta untuk
dapat kuliah di kedokteran.
Kembali
ke poin penting judul artikel ini. Mana yang lebih mandiri antar anak ke
sekolah atau berangkat sendiri? Keduanya punya keunggulan dan kekurangan masing-masing.
Antar Anak ke Sekolah
Anak
di antar ke sekolah memiliki nilai tambah karena orang tua dapat mengontrol
langsung. Anak-anak yang masih belum berani akan memiliki rasa percaya diri
lebih besar karena orang tua masih menemani. Anak-anak yang belum terbiasa
dengan suasana sekolah dan belajar di sekolah akan mendapatkan tempat khusus
karena masih dalam jangkauan orang tua.
Banyak
hal yang anak-anak pelajari selama orang tua mengantar mereka. Anak-anak yang
belum terbiasa dengan isi ransel bisa mendapatkan perhatian khusus untuk ini. Anak-anak
yang masih takut berinteraksi dengan teman-teman dan guru baru tidak langsung
menangis dan ingin pulang karena orang tua masih berada di sekolah.
Antar
anak ke sekolah di satu sisi memang menimbulkan keakraban antara anak,
temannya, guru dan orang tua. Namun anak antar ke sekolah pada tingkat dasar
masih bisa diterima dengan baik karena anak-anak memang membutuhkan pendamping.
Antar anak ke sekolah pada tingkat menengah pertama dan atas justru menjadi sebuah
bumerang bagi anak-anak. Tidak semua anak nyaman di antar orang tua. Tidak
semua anak mau di antar orang tua. Karena anak-anak pada masa ini telah
terbiasa dengan kalimat mandiri.
“Aku
bisa sendiri!”
“Aku
mau mengerjakan sendiri!”
Orang
tua yang ingin anak-anaknya berada di garis terbaik adakala harus menerima dan melihat
dari berbagai sisi. Kacamata yang dibutuhkan bahwa anak-anak ingin dilepas dan
mandiri dengan hal ini. Orang tua yang tidak bisa mengontrol, anak kemudian
jadi manja, semua perkataan guru dimasukkan ke hati, sifat sensitif merajalela
sampai pada akhirnya sedikit saja guru menegur anak yang demikian akan melapor.
Padahal, dari 24 sampai 30 siswa dalam kelasnya hanya dia seorang yang
lapor-melapor ke orang tua sedangkan sisa yang lain malah nggak peduli dan lupa
tentang teguran guru.
Laporan
anak ke orang tua memang perkara kecil. Namun jangan salah, tiap hari anak
melapor jika dibuat laporan akan menumpuk. Orang tua yang terbawa arus akan
mengikuti setiap laporan anak dan di mata anak semua guru tidak pernah benar. Padahal
di dalam kelas bukan hanya dia seorang namun masih ada 23 atau 29 anak lain
yang belum tentu penuh laporan.
Antar
anak ke sekolah bagi saya pribadi lebih banyak efek manja daripada menumbuhkan
kemandirian.
Anak Berangkat Sendiri
Anak-anak
bebas melakukan apa saja. Kontrol orang tua penting namun tidak selalu
menyalahkan. Orang tua benar namun tidak selalu tidak membenarkan pergaulan
anak-anak mereka. Anak nggak boleh ini dan nggak boleh itu membuat sesuatu yang
lama terpendam akan meledak. Lama-kelamaan anak akan memberontak dan menerima
stimulus dari golongan lain yang belum tentu baik untuk mereka.
Anak
yang di antar tiap hari ke sekolah berbeda dengan anak yang selalu berangkat
sendiri. Anak yang di antar ke sekolah cenderung lemah dalam melakukan banyak
hal walaupun berprestasi dalam pelajaran. Anak yang demikian nggak boleh ini
dan nggak boleh itu. Dalam pikirannya telah terpola bahwa orang tua tidak
membenarkan apa yang seharusnya dikerjakan pada masa-masa sekolah. Dia nggak
boleh jajan sembarangan takut sakit, padahal anak-anak yang loncat sana-sini nggak
pernah sakit walaupun jajan di pinggir jalan. Dia nggak boleh main voli nanti
berkeringat, anak-anak yang main voli tidak semuanya bau keringat.
Anak
yang berangkat sendiri ke sekolah justru lebih mandiri melakukan banyak hal. Karena
apa? Anak-anak ini tidak menunggu. Anak-anak ini tidak terbiasa menunggu yang
belum pasti, tidak bergantung kepada orang lain. Hal-hal kecil sudah dilakukan
oleh dirinya sendiri maka akan mudah pula baginya untuk melakukan hal-hal
besar. Anak-anak yang terbiasa mandiri kemudian tidak menyusahkan orang lain
apabila terjadi sesuatu. Anak-anak yang begini tidak mudah merengek cuma karena
pensil hilang di dalam tas.
Sifat
mandiri seorang anak sangat ditentukan sejak usia sekolah. Jika semua dibatasi
maka akan menjadi kebiasaan sampai akhir. Nggak boleh ini dan nggak boleh itu
akan dipikirkannya sampai tak batas waktu. Jika demikian terus terjadi, urusan
pakaian dalam saja tak bisa ia cuci sendiri.
Sekarang,
tinggal kita memilih antar anak ke sekolah atau berangkat sendiri. Mana yang
lebih mandiri itulah yang terbaik sebagai pilihan. 
Categories
Uncategorized

Cerita Sinyak dan Seorang Nenek

cerpen anak
Anak Perempuan Sedih -1freewallpapers.com
Cerpen Anak – Namaku Sinyak. Usiaku 14 tahun. Aku sekolah di salah satu sekolah menengah pertama di Banda Aceh. Aku tinggal bersama Nenek. Katanya, beliau adalah nenekku. Tapi kata tetangga, beliau bukan nenekku. Orang-orang bilang, beliau memungutku di antara lumpur pada hari terjadi gempa dan tsunami di Aceh. Hari itu, 26 Desember 2004. Sepuluh tahun sudah musibah besar itu terjadi. Sepuluh tahun pula aku kehilangan kedua orang tua.
Kami hidup berdua saja. Aku dan nenekku. Rumah kami memiliki dua kamar. Satu ruang tamu berukuran dua kali kamar tidur. Dapur dengan ukuran setengah kamar tidur. Sumur dan kamar mandi berada di luar rumah. 
Nenek bilang, rumah kami adalah rumah bantuan. Tepatnya rumah bantuan untuk korban gempa dan tsunami. Aku tidak tahu siapa yang memberikannya. Nenek juga tidak menjelaskan padaku. 
Aku menghabiskan waktu bersama Nenek di rumah saja. Nenek membeli ikan-ikan kecil pada nelayan yang pulang melaut lalu dijadikan ikan asin. Tiap pagi, sehabis subuh, Nenek bergegas ke laut dengan jarak lebih kurangsatu kilometer. Nenek jalan kaki ke sana dan pulang dengan memikul seember ikan. Di hari Minggu, aku menemani Nenek melakukan pekerjaannya. Aku membantu menjemur ikan setelah diberi garam secukupnya. Aku duduk di teras rumah menjaga supaya tidak ada anjing yang mendekati ikan yang sedang kami asinkan. Biasanya aku membaca buku pelajaran sambil mendengarkan radio. Nenek tidak sanggup membeli televisi dan aku tidak meminta untuk membelinya. 
Nenek sangat sayang padaku. Pulang sekolah aku selalu mendapati meja makan dengan makanan enak. Kadang-kadang, dengan raut wajah sedih Nenek menggoreng ikan asin untuk makan malam kami. Bagiku tidak apa-apa, asalkan Nenek tetap tersenyum, tanpa lauk pun nasi terasa lezat. 
Aku sering bertanya-tanya, tiap hari Nenek selalu memberikan uang jajan padaku. Nenek tidak pernah sekali pun mengatakan dari mana uang tersebut. Beasiswa yatim piatu yang kudapat tersimpan di Bank dan akan kami ambil untuk keperluan sekolah saja. 
Sering kali aku merindukan kedua orang tua. Waktu tsunami usiaku masih empat tahun. Aku tidak ingat wajah kedua orang tuaku. Kata Nenek, kedua orang tuaku sangat baik. Nenek tidak pernah mengatakan bagaimana rupa kedua orang tuaku. Karena hal ini pula, aku jadi percaya Nenek bukanlah nenekku sebenarnya. Jika Nenek adalah nenekku, orang tua dari Ayah atau Ibu, Nenek pasti akan berlinang airmata mengingat wajah anaknya. 
Nenek tidak menceritakan wajah Ayah dan Ibu berbentuk tirus atau bulat. Ayah dan Ibu gemuk atau kurus. Rumah kami dulu besar atau kecil. Di mana alamat rumah orang tuaku juga dirahasiakan Nenek, atau memang tidak diketahuinya. Pekerjaan orang tuaku juga tidak diberitahu oleh Nenek kepadaku. Bahkan, nama Ayah dan Ibu sulit sekali Nenek ucapkan di hadapanku. Nenek mencari-cari nama yang sesuai untuk kedua orang tuaku. Mana mungkin Nenek lupa tentang anaknya sendiri? 
Kuambil kesimpulan, Nenek bukanlah nenekku. Aku sudah melupakan hal itu. Kasih sayang Nenek kepadaku lebih dari cukup. Nenek mencintaiku bagai cucunya sendiri. 
Nenek sudah sangat tua. Aku tidak tahu persis berapa usianya. Nenek juga tidak ingat berapa usianya sendiri. Walaupun sudah sangat tua, Nenek masih sanggup menemaniku mengerjakan tugas sekolah sampai larut malam. Sejak sekolah dasar Nenek membantu tugas-tugas sekolahku. Biar Nenek tidak mengetahui jawabannya, beliau cukup mengelus kepalaku dengan tatapan penuh semangat. 
Seperti malam ini, Nenek kembali menemaniku. 
“Nek, tadi siang ada orang yang membuntutiku!” ujarku setengah memekik. 
“Ah, mana mungkin?”
“Iya. Aku yakin sekali orang itu mencuri-curi pandang ke arahku. Dia berdiri di depan sekolah, matanya menatapku lama sekali…,” 
“Seperti apa orang itu?” tanya Nenek penasaran. 
“Orang itu laki-laki. Tinggi, gemuk, kulitnya lebih hitam dariku,” 
“Kamu yakin dia mengikutimu?”
“Yakin!” 
“Sebaiknya kamu berbaik sangka pada lingkungan sekitar, belum tentu ada orang lain yang mau melukaimu tanpa sebab.” 
Lalu, kami kembali pada aktivitas masing-masing. Nenek berbaring di atas tikar dan aku melanjutkan tugas sekolah yang belum selesai. 
***
Hari ini, aku kembali diikuti oleh orang yang tidak kukenali. Aku berlari. Orang itu pun mempercepat langkahnya. 
Aku bergegas mencapai rumah dan mencari Nenek. 
“Nek, orang itu masih mengikutiku!” 
Nenek yang sedang menggoreng ikan asin mematikan kompor. Dengan tergopoh Nenek berlari ke jendela depan dan melihat pergerakan orang di jalanan. 
“Tidak ada siapa-siapa,” ujar Nenek lebih tenang. 
“Bagaimana mungkin, dia mengikutiku sejak dari sekolah,”
“Mungkin perasaanmu saja,” 
Mungkin juga. Selama ini aku begitu kacau. Jujur saja, aku sangat cemburu pada teman-temanku. Mereka diantar dan dijemput ayah atau ibu mereka. Mereka juga mendapatkan uang jajan yang cukup untuk membeli makanan enak selama di sekolah. Mereka dengan mudah membeli buku pelajaran maupun buku novel. 
Dari dulu, Nenek tidak pernah mengantarku ke sekolah. Kecuali pada suatu hari, yaitu hari pertama masuk sekolah dasar. Setelah itu aku selalu sendiri. Ke mana-mana sendiri! 
Mana mungkin aku tidak merindukan kedua orang tua? Dalam mimpi saja aku selalu merasakan kehadiran mereka. Aku memang tidak mengenal Ayah dan Ibu, mereka pasti akan mengenali anaknya. Hari-hari yang kulalui terasa sangat hampa walaupun kehadiran Nenek sangat menghiburku. 
Aku merasa berbeda di antara teman-teman yang lain. Teman-temanku mengenal kedua orang tua mereka semenjak bayi. Mereka bisa bercerita pada kedua orang tua tentang sekolah maupun meminta dibelikan baju baru. Aku sering berbagi cerita pada Nenek, tapi Nenek sering kali tidak mengerti apa yang kuucapkan. Aku sama sekali tidak berani meminta Nenek membelikan baju baru untukku. 
Aku kesepian tanpa kehadiran Ayah dan Ibu. Aku juga takut sekali karena tidak ada yang melindungi dari orang-orang jahat di sekelilingku. Orang yang membuntutiku pasti akan datang lagi besok. Nenek yang sudah tua tidak akan mungkin bisa melawan orang itu. Jika orang itu berniat jahat, maka aku sudah diculik dan dijual. Banyak sekali anak-anak dijual sekarang ini. Aku mendengar dari berita di radio. Kemungkinan terburuk bisa saja terjadi padaku, karena aku seorang anak perempuan. 
***
Benar saja. Orang itu masih membuntutiku. Aku sudah tidak menghitung hari ke berapa orang itu menungguku di depan pagar sekolah. Saat teman-temanku satu persatu dijemput orang tua mereka, aku berlari ke lain arah jalan setapak menuju rumahku. 
“Nek, orang itu masih mengikutiku!” aku berteriak di depan pintu masuk rumah kami. Nenek keluar rumah dengan napas tersengat-sengat. Nenek menarik lenganku ke dalam rumah lalu mengunci pintu rapat-rapat. 
“Apa kamu tidak salah lihat?” 
“Aku tidak bohong! Dia sudah sering mengikutiku, hari ini sudah sampai di depan rumah kita. Apa jangan-jangan dia akan menculik anak kecil?” 
Nenek sering menceritakan orang-orang dewasa yang menculik anak-anak. Sejak aku balita, Nenek sudah mendongengkan sebuah kisah penculikan padaku. Saat aku susah tidur, Nenek akan mengatakan ada orang yang akan mencari-cari anak kecil lalu dibawa pergi. Nenek tidak menjelaskan ke mana orang itu membawa pergi anak kecil yang sudah diculik. 
“Kamu jangan takut,” ujar Nenek menenangkanku. 
“Apa orang itu adalah orang yang sering Nenek ceritakan?” 
Nenek tampak bingung menjawabnya. 
“Seandainya Ayah ada di antara kita, beliau pasti akan mengusir orang jahat itu!” aku takut sekali mengeluarkan suara. 
Pintu diketuk dua kali. Aku memeluk Nenek erat-erat. Nenek menarik napas dalam-dalam. Mungkin, ini adalah hari terakhir aku bersama Nenek seperti dalam dongeng. Kami mendengar pintu diketuk lagi. Nenek belum beranjak membuka pintu. Aku pun masih enggan melepas pelukan Nenek. 
Pintu kembali diketuk. Orang itu tidak sabar. Dari jendela dapat kulihat wajahnya mengintip. 
“Kamu tenang ya, Nenek akan hadapi orang itu!” kata Nenek dengan suara lantang. 
“Jangan, Nek!” 
Nenek memberikan isyarat kepadaku untuk diam. Aku takut sekali. Apalagi saat Nenek membuka pintu, wajah orang yang membuntutiku tersenyum puas. Aku berlari ke dalam kamar. Mengunci pintu kamar dari dalam. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi pada Nenek. Orang itu pasti menginginkanku bukan Nenek. Seandainya aku punya ilmu sihir, aku pasti akan menghadapi orang itu. Ternyata, dongeng-dongeng yang diucapkan Nenek sebelum aku tertidur tidak bisa membantu. Contohnya, aku tidak dapat mengeluarkan kekuatan apapun untuk membantu Nenek melawan orang yang tak dikenal itu. 
Aku menguping di dekat pintu. Suara orang itu terdengar jelas sekali. 
“Namanya Sinyak, Nek?” 
“Iya, dia cucu Nenek,” 
“Sinyak mirip sekali dengan putri kami. Saya tidak tahu di mana letak kemiripan itu. Saat melihat Sinyak, saya merasa sangat dekat dengannya,”
“Apa yang terjadi dengan putri bapak?”
“Putri kami hanyut dibawa tsunami,”
Tsunami lagi. Apakah dia ayahku? Kali ini aku sedikit percaya dongeng. Dongeng selalu berakhir bahagia. Kehidupan di dunia nyata juga akan berakhir bahagia. Selama ini, Nenek tidak pernah mengajakku ke kuburan Ayah dan Ibu. 
“Sudah 14 tahun ya?” 
“Iya. Saya sudah pasrah, Nek. Saya tidak mencari-cari lagi putri kami. Suatu hari saya melihat Sinyak, saya merasa dialah putri kami. Saya tidak tahu, mungkin inilah perasaan orang tua terhadap anaknya. Memang susah menemukan seorang anak 4 tahun setelah 10 tahun berlalu,” 
“Saya paham, tapi Sinyak benar cucu saya…,”
“Sinyak bukan cucu Nenek!” teriakku lantang setelah membuka pintu. Entah dari mana datangnya keberanianku. Aku sangat menyesal setelah mengeluarkan kalimat tersebut. Raut wajah Nenek berubah memerah. Matanya sendu dan berair. 
“Sinyak…,” panggil Nenek lembut. 
“Tetangga bilang, Sinyak bukan cucu Nenek!” aku masih bersikukuh dengan pendirianku. 
“Mereka bisa saja salah, Nenek adalah nenekmu…,” 
“Mereka benar. Mereka bilang Nenek mengambilku di jalanan pada hari tsunami!”
Kami semua saling pandang. Orang itu juga menatapku lekat-lekat. Kulihat Nenek menyeka airmatanya. Selama ini aku tidak pernah berani membantah perkataan Nenek. Tapi mendengar pengakuan orang yang mengikutiku, aku jadi punya keberanian. Seakan-akan aku sudah mendapatkan pembela jika berbuat salah. 
“Mungkin dia Ayahku!” tunjukku. Nenek terperangah. Orang itu terpana tak percaya. Aku terkejut dengan ucapanku sendiri. Sungguh tega aku menyakiti hati Nenek yang sudah membesarkanku seorang diri.
Barangkali, karena didasari keinginanku untuk memiliki seorang Ayah sehingga aku berbuat demikian pada Nenek. Aku pun merasa sebuah kekuatan datang setelah mendengar pengakuan orang yang mengikutiku itu. Kecurigaanku sudah sirna begitu melihat ketenangan orang itu. Orang itu bukan orang jahat. Orang itu sedang mencari putrinya. Dan aku sedang mencari Ayahku, juga Ibuku. 
Waktu sudah sore. Nenek dan orang itu sudah membuat sebuah janji. Orang itu akan datang lagi besok dengan membawa anggota keluarga yang lain. Setelah itu, kami akan mencari kemiripan antara aku dengan putri orang itu. 
***
Aku menunggu dengan hati gembira. Tak kuhiraukan Nenek yang duduk termenung. Aku bahagia sekali. Sebentar lagi aku akan memiliki kembali Ayah dan Ibu. 
Kami menunggu sampai sore. Orang itu belum lagi muncul di depan rumah kami. Malam pun tiba. Orang itu juga tak terlihat datang sesuai janjinya. 
“Mungkin, dia memang bukan Ayahmu, Sinyak,” kata Nenek dalam suara parau. 
“Berani sekali Nenek bicara itu, sudah lama sekali aku merindukan Ayah. Nenek tidak tahu betapa sedihnya hatiku tidak memiliki Ayah dan Ibu. Tidak ada tempat untuk mengadu. Tidak ada tempat meminta pertolongan. Tidak ada orang yang mengajakku jalan-jalan. Tidak ada orang yang membeliku makanan enak. Tidak ada orang yang membeliku baju baru. Tidak ada orang yang mengantarku ke sekolah…,”
Kutinggalkan Nenek di ruang tamu sendirian. Aku sedih sekali. 
Keesokan harinya, pelajaran yang kuterima di sekolah terasa hambar. Aku menunggu jam pulang. Siapa tahu orang yang mengaku Ayahku sudah berdiri di depan pagar sekolah. 
Bel berbunyi tiga kali. Teman-temanku berhamburan menjumpai orang tua mereka. Aku pun berdiri di depan pagar. Menanti orang yang mengaku Ayahku. Aku menunggu lebih lama, tiga puluh menit. 
Aku pulang dengan langkah lunglai. Sesampai di rumah, Nenek memintaku segera makan siang. Namun aku sedang tidak berselera sama sekali. Tak lama Nenek memberikan selembar kertas kepadaku. Kuperhatikan lekat-lekat sebelum kubaca perlahan-lahan. 
Sinyak yang baik…
Maafkan saya telah menganggu kamu. Saya mengaku khilaf. Selama ini saya selalu dibayang-bayang sosok putri kami yang telah lama meninggal. Saya belum bisa menerima kepergian putri kami. Tapi sebenarnya, putri kami telah tiada. Sesampai di rumah hari itu, istri saya menjelaskan sendiri bahwa putri kami meninggal di dalam pangkuan saya. Saya tidak percaya, tapi istri saya menyakinkan sekali lagi sehingga saya benar-benar bisa menerima kebenaran pahit tersebut. 
Melalui surat ini, saya memohon pada Sinyak untuk menjaga Nenek dengan baik. Nenek tetap nenek Sinyak. Jangan lukai hati beliau. Saya percaya, suatu saat nanti Sinyak pasti akan bertemu dengan Ayah dan Ibu. 
Salam, 
Amri. 
Luluh sudah harapanku. Hati yang sudah sangat gembira berubah kembali menjadi duka. Pantas saja orang itu tidak menjumpaiku di sekolah. Ternyata dia menemui Nenek dan menyampaikan kebenaran. Sungguh pahit kuterima ini. 
“Sinyak, makanlah, sudah hampir sore,” kata Nenek sambil mengelus rambutku. Airmata tak kuasa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku sudah menjadi anak durhaka telah menyakiti hati Nenek. 
“Maafkan Sinyak, Nek…,” 
“Sudah dari dulu Nenek maafkan.” 
Lalu kami saling berpelukan. 
***
Cerita Anak Tsunami Aceh
Categories
Uncategorized

Cinta Sepotong Hati Wanita

Cinta Sepotong Hati Wanita – Sebuah pesan masuk. Bunyi bip yang sama sekali tidak ingin kudengar. Aku sedang berada di atas angan tingkat tinggi. Tak ada yang bisa menarikan lagu dalam diriku untuk melabuhkan pada sebuah unggapan. Aku terjebak!
kisah cinta wanita tak sempurna
Kisah Cinta Wanita – vemale.com

Pada pusara yang enggan kusebut di mana letaknya. Di tengah padang pasir dengan sejuta pesona menyilaukan. Di sana pula, aku berdiri dalam khayalan tingkat tinggi. 

Apa alasan aku hidup?
Untuk bermanja pada seseorang yang telah mengabaikan hadirku. Atau untuk membahagiakan orang lain. Mungkin saja. Apalagi pesan yang baru saja kuterima tidak menggenakkan batinku mengutarakan padamu, yang semestinya menghargaiku sebagai pria sejata. 
Oh, ayolah. Bicara pria sejati itu – harusnya – telah menikah dan berbahagia di usia tiga puluh tahun. Aku belum menemukan makna itu. Aku belum menyemai suka pada sebentuk hati yang lain. Mungkin saja hatiku telah beku, namun perkara wanita sungguh tidak bisa ditebak. Terlebih, saat wanita itu mengumbar senyum lebih nyata di depanku.

Sebuah tanya. Mungkin saja aku tak perlu menjawabnya. Tanya itu lumrah ditanyakan. Tanya itu mungkin bisa kuabaikan saja. Tapi dia butuh kepastian tentang jawaban. Tentang pernyataan. Tentang ungkapan perasaan. 

Benar. Ini hanyalah sebuah keingintahuan seorang wanita pada pria lajang di umur segini. Mungkin rasa penasaran membuahkan tanya terus-menerus. Atau aku terlalu banyak mungkin ­sehingga tidak ada gambaran nyata mengenai apapun yang berkaitan dengan fakta. Hidup in harus realistis dan logis. Mungkin sepanjang hidup bermakna pesimis atau malah mengkambinghitamkan masalah yang belum tentu kutemui setelah menyelesaikannya. 
Masalah? 
Kurasa ini bukan masalah. Hanya perbedaan sikap. Tapi perbedaan yang tidak mudah kujabarkan. 
“Bang, boleh tanya tidak, tipe wanita yang abang suka seperti apa ya?” 
Begitu. 
Aku tidak bisa menutup buku. Catatan itu tetap ada di dalam buku yang enggan kutulis dalam bentuk sebenarnya. Di mata dia yang bertanya, wajar saja karena mungkin dia ingin tahu, mungkin karena ada orang lain yang ingin mengetahuinya. Barangkali karena dia benar-benar ingin mengetahuinya. Apakah karena rasa suka? 
Sejauh itukah aku bertanya pada diri sendiri? Mana mungkin aku bertanya pada si pemberi pertanyaan. Hubungan kami hanya sebatas teman saja. Aku sangat jarang berbicara dengannya. Aku tidak tahu memulai percakapan apa dengannya.

Berbeda saat aku bersama teman-teman wanita yang lain, bersamanya aku tidak merasakan tali persahabatan yang berarti. Sikap itu pun mendadak berubah setelah kuterima pesan darinya. Bukan cuma sekali, sedikitnya tiga kali dia bertanya dan meminta jawaban.

Jika tidak kujawab, dia akan mengirim pesan beruntun, seolah-olah di antara kami telah terjadi sesuatu yang sangat menarik. 

Menarikkah itu?
Aku tidak mengatakan dia sebagai wanita murahan. Setidaknya dia tahu bersikap saja. Mengirimiku pesan selang waktu lima menit seperti dia sedang menyelesaikan masalah dengan pasangannya. Aku bukanlah pasangannya. 
Ayolah. Aku dengan dia tidak ada kaitan apa-apa. Hanya teman sekantor. 
Aku tidak mengajakkan makan malam bersama teman-teman lain karena dia sering beralasan. Terkadang, di awal bulan aku membuat pertemuan khusus dengan teman-teman lain, sekadar membicarakan keluhan maupun keinginan lain selama kami menjadi karyawan. Dia hanya mendengus dan enggan menerima ajakanku. 
Tiba di tempat berbeda – aku di rumah dan dia entah di langit mana – pesan itu mendadak membuyarkan lamunanku tentang masa depan. Masa yang belum bisa kusentuh untuk benar-benar bahagia atau malah kosong-melompong seperti saat ini. 
Ketika sebuah pertanyaan wajar itu muncul, aku berpikir bahwa benar pertanyaannya. Bahwa aku patut membubuhkan tanda bold pada catatan penting mengenai kriteria wanita yang kusukai. Dengan itu, aku bisa memilah wanita mana yang bisa kuajak kencan. 
Begitulah istilah masa kini. Kencan yang entah seperti apa itu. Bagi pria yang cukup berumur – anggap saja demikian – kencan itu ibarat buah simalakama. Serba salah saja karena aku tak pernah berinteraksi dengan wanita sebelum ini. Maksudnya, sebagai pasangan yang romantis. 
Aku lebih banyak duduk di kantor atau kumpul bersama teman-teman sampai larut. 
Karena aku tak ingin wanita? 
Bukan itu jawabannya. Karena aku belum menemukan wanita yang tepat. Tidak mudah menemukan wanita yang bisa membuat hatiku luluh. Wanita seperti dia seperti sebuah masalah yang musti kuselesaikan sebelum hubungan jadi serius. Sebagai dua manusia yang hubungannya jarak saja dia berani posesif kepadaku, entah bagaimana jika dia – entahlah. 
Antena di kepalaku terlampau tinggi mencapai angkasa. 
Kupikir, dia bertanya karena dia ingin tahu. 
Kuingin mencurahkan isi hati ini kepada teman lain, takutnya mereka menertawakanku. 
Bisa jadi, mereka akan memberi jawaban.
“Jangan-jangan sudah ada gebetan ya, bang?”
Atau,
“Itu tandanya dia suka sama abang!” 
Rumit sekali masalah ini. Siapa yang bisa kukutuk untuk ini. Umur yang semakin menua. Waktu yang belum mengizinkanku mencintai. Keinginan yang belum membuka mata hati untuk melabuhkan hati kepada wanita lain selain wanita yang telah meninggalkanku. 
Itu hanya penyebab. 
Lima tahun cukuplah aku bersabar. Wanita yang sempat kucinta meninggal karena sakit. Jodoh kami tidak dipertemukan. 
Aku menunggu diakah?
Entahlah. Apa yang kutunggu pun aku tidak bisa menjabarkannya. Dia yang telah pergi pun entah benar menungguku di hari akhir. Teori tentang ini belum kuketahui benar adanya. 
Hanya aku, membandingkan saja. 
Dia yang telah meninggal dengan dia yang datang tiba-tiba. Dia yang telah tiada tampil adanya. Perhatian yang kuberi diterimanya dengan sabar. Aku tidak membalas pesan, tak pernah sekalipun dikirimnya pesan lain. Aku lupa menjemput di malam minggu, hanya sebuah pesan masuk yang memintaku istirahat saja. 
Pantaskah aku membanding? 
Waktu mengulurkan sayapnya begitu lama sekali. Bagiku hidup ini jadi terasa hambar karena kegalauan yang menghantui setiap sisi tubuhku. Aku ingin berlabuh ke wanita lain. Tapi aku membanding dengan yang telah pergi. Kesempuraan dia yang telah tiada masih tertutup dari yang masih tersisa di dunia ini. 
Orang berbeda. Aku tahu. 
Rasa nyaman itu kubutuhkan karena aku manusia. Lemah sekali rasanya saat sendiri begini. Aku tidak perkasa saat bersama teman-temanku. Setiap rahasia kusimpan sendiri dan enggan kubagi kepada orang lain karena kutahu setiap orang punya masalah tersendiri. 
Dia yang mengirimi ku pesan singkat itu. 
Tidakkah berpikir aku memiliki masalah? 
Lebih tepatnya sebuah kehilangan. Terlalu berlebihan memang. Tapi aku berhak memilih. Baik menurutnya belum tentu baik menurutku. Dia bahagia, aku belum tentu. 
Saat wanita bertanya tentang kriteria itu, aku sudah menggariskan sebuah kesimpulan. 
Bahwa, dia punya rasa!
***
Kisah Cinta Wanita Sedih Banget
Categories
Uncategorized

Murid Berprestasi Tidak Dicubit Guru

Murid Berprestasi Tidak Dicubit Guru
Murid Jenius disayang guru 
“Ibu
ini begini,”

“Bapak
itu begitu,”
Murid
berhak memberikan titel tambahan kepada guru. Murid berprestasi
sekalipun akan menaruh titel tersebut ke pundak guru mereka. Murid yang
bandel
akan melekatkan titel lebih panjang daripada murid yang biasa-biasa
saja. Murid yang masuk ke dalam golongan ini karena di mata mereka guru
adalah tukang cubit, tukang pukul, tukang gunduli rambut
dan sebagainya. Murid
yang masuk ke dalam golongan ini terus-menerus mencari kejelekan guru untuk
dipamerkan ke orang-orang bahwa, “Tak ada guru yang baik di sekolahnya!”
Siapa
pula yang baik?
Mengapa
pula sikapnya tak berubah setelah bersekolah?
Padahal,
murid yang berprestasi di sekolah jauh lebih banyak dibandingkan murid bandel. Murid
yang menang olimpiade sains, murid yang menang lomba pidato, lomba yang menang
cerdas cermat, murid yang menang bola kaki, murid yang menang main voli, murid
yang menang berbagai lomba lainnya, berbeda-beda bukan cuma murid-murid itu
saja. Bahkan, murid yang berkelakuan nyinyir seringkali tak dipakai dalam ajang
bergengsi, termasuk olahraga sepak bola yang identik dengan murid-murid
laki-laki macho, bahkan pertandingan antarkelas setelah ujian semester
usai. Murid yang demikian terus mencari kambing hitam bahwa guru tak memihak
kepadanya, guru tak mau melirik dirinya, guru mengabaikan adanya, guru tak
memilih mereka!
Bagaimana
harus memilih?
Jika
saat tes kemampuan, murid bandel ini berdalih sakit pinggang, sakit gigi, sakit
lengan dan alasan-alasan lain sehingga tak bisa ikut tes. Murid-murid yang
baik-baik, murid yang penurut, tes olimpiade ia ikut, tes sepakbola ia ikut, akhirnya
terpilih keduanya, urusan menang nggak itu tak jadi soal asalkan mewakili
sekolah dan disayangi guru. Guru
tidak serta merta mengotori tangannya dengan bertindak gegabah. Murid dengan
prestasi yang membanggakan tentu mendapat tempat yang lebih tinggi daripada
murid yang suka nyelutuk dari bangku belakang. Murid berprestasi cukup banyak
di sekolah dibandingkan murid yang
ngeyel begitu guru menyuruh menyapu kelas
padahal jatah piketnya pada hari itu. Rata-rata kelas saat ini diisi oleh 24
sampai 30 murid. Kelompok demi kelompok terbangun. Kelompok garda depan adalah
mereka yang jenius – dalam artian juara kelas dan sering ikut lomba kelas berat
seperti olimpiade maupun cerdas cermat sains. Kelompok kedua mereka yang
kemampuan berbicara lebih baik yang sering ikut lomba debat maupun pidato. Kelompok
ketiga mereka yang suka seni dan terlibat dalam rebana maupun tari. Kelompok keempat
mereka yang berbadan tegap namun nggak banyak bicara dan biasanya ikut pramuka
dan paskibraka. Kelompok kelima mereka yang suka olahraga. Kelompok keenam mereka
yang sering tidur di kelas, yang suka nyelutuk tak berbentuk, yang disuruh ini
itu tak pernah mau, mereka yang tukang protes, yang salahin guru dari A sampai
Z, yang menjarah jatah teman untuk mengenyangkan perut mereka dan mereka yang
rawan kena pukulan, kena cubit dan gunduli rambut. Giliran dicubit, nangis. Giliran
digunduli rambut, protes. Giliran dipukul, lapor orang tua.
Prestasinya
apa?
Murid-murid
berprestari terus membanggakan guru mereka dan tak pernah pula
menjelek-jelekkan gurunya. Murid berprestasi dekat dengan guru karena ribuan
pertanyaan. Guru yang di sisi murid bandel tak bermanfaat, justru begitu dipuja
oleh murid berprestasi karena banyak hal. Guru yang dibenci oleh murid yang
telah dicubit, akan dibela mati-matian oleh murid berprestasi karena murid
bandel itu memang layak dicubit.
Murid
berprestasi biasanya adalah tukang lapor, objek kejahilan murid bandel yang
berambut gondrong. Murid bandel mengejar-ngejar perempuan untuk dipeluk di
dalam kelas, murid berprestasi langsung berlarian ke kantor guru untuk melapor.
Murid bandel tak pernah menyelesaikan tugas, buku-buku murid berprestasi
direbutnya lalu dipamerkan ke depan guru.
Guru
tetaplah punya indera ketujuh untuk menerawang. Murid bandel yang protes karena
telah mengerjakan tugas dengan baik, menyimpan jutaan alasan saat guru
memintanya menyelesaikan tugas tersebut di depan kelas. Guru mengganti tugas
dengan yang lain, murid bandel tiduran di bangku belakang dengan kaki di atas
meja bagai sedang menikmati angin sepoi-sepoi bibir pantai.
Murid berprestasi tak pernah dicubit guru. Murid berprestasi tidak pernah dipukul.
Murid berprestasi tak pernah digunduli
. Karena mereka patuh. Mereka ingin
menjadi orang-orang baik di masa mendatang. Mereka belajar dengan tekun bukan
bermain-main dengan hukum dan hak asasi manusia sehingga guru layak lapor dan
dipenjara. Murid berprestasi menghargai guru lebih besar dari dirinya sendiri. Murid
berprestasi akan menangis saat guru tak masuk kelas.
Murid
bandel apa kabar? 
Categories
Uncategorized

Bagaimana Jika Kami Berhenti Jadi Guru?

murid berprestasi
Murid berprestasi – merdeka.com
Guru Cubit Murid. Guru dipidanakan. Guru diadili. Guru disidang. Guru dipukul. Guru
diancam
. Guru diapa-apakan. Baru sekarang. Cetakan sejarah baru. Prostitusi
generasi yang berlebihan dalam menilai makna pendidikan pada kodrat yang sebenarnya.
Generasi yang teramat manja hanya bermain-main atas nama pendidikan yang kelak
akan membesarkan namanya. Mau jadi apa, mau jadi siapa, pendidikan yang layak
sejak dini adalah bekal untuk menjadi penyemarak pendidikan di masa depan
maupun penghancur pendidikan itu sendiri.

Bagaimana
jika kami berhenti jadi guru? Pernahkah pertanyaan ini terpikir dari benak
anak-anak yang dicubit? Anak-anak yang terlalu manja. Anak-anak yang merengek
minta diajarkan matematika. Anak-anak yang menangis lantaran belum bisa membaca
dengan benar. Anak-anak yang dilarang main bola di luar jam pelajaran olahraga.
Anak-anak yang keras kepala memanjangkan rambut sampai bahu – anak-anak
laki-laki – karena meniru aktor idola yang sering balap sepeda motor di
televisi. Anak-anak yang lupa ada guru menanti di sudut ruangan setelah jam
pulang karena takut orang tua belum datang menjemput. Anak-anak yang…
Bagaimana
jika kami berhenti mengajar? Pernahkan hal ini terlintas di benak orang tua
yang buta mata hati dalam menilai segala rupa. Orang tua yang memanjakan
anak-anak mereka dengan tayangan televisi. Orang tua yang selalu membenarkan
setiap perkataan anak. Orang tua yang selalu membela anak-anak mereka walaupun
tersalah. Orang tua yang selalu memberikan semua permintaan anak. Orang tua
yang menilai anaknya diam di rumah padahal keluyuran di jalan raya dengan
balap-balapan sepeda atau sepeda motor. Orang tua yang pura-pura tak tahu anak
merokok padahal baunya masih membekas dari napas dan pakaian. Orang tua yang
bahkan tak pernah mengajar sama sekali di rumah hanya menyerahkan hak didik
kepada guru di sekolah.
Nama
besar guru telah ternodai begitu petasan hukum meledak. Atas nama Hak Asasi
Manusia guru diadili di meja hijau. Guru yang biasanya berteriak-teriak di
depan kelas dengan isi 30 murid  harus
duduk manis menerima putusan. Suara guru diabaikan karena telah mencubit, telah
mengunduli, telah memukul murid  yang
katanya anak baik-baik.
Tidaklah
demikian, kawan. Guru membayangi sebuah tamparan karena ada sebab dan kepada
siapa layak dilayangkan. Anak dicubit karena apa? Anak digunduli karena apa? Anak
dipukul karena apa? Sekali saja? Berkali-kali anak membuat tingkah?
Cubitan
guru sampai membekas karena anak main pesawat terbang kertas saat jam
pelajaran. Rambut gondrong digunduli karena kedisplinan, kerapian, bukan untuk
menjadi preman di usia anak-anak. Tangan dipukul karena setiap guru menyuruh
menghapal perkalian matematika, kelipatan paling mudah, perkalian angka 5 saja
tak pernah dihapal dengan baik. Guru menghukum berdiri di depan kelas karena
disuruh hapal rukun iman, rukun Islam, nabi dan rasul 25, dihapal dalam kondisi
terbalik-balik bahkan tak hapal sama sekali.
Di
antara 30, paling banyak 5 orang saja yang benar-benar pembangkang. Selebihnya adalah
pengikut sejati. Bos besar akan mendikte semua anak buah. Bos besar menjarah
jajan anak buah bahkan seisi kelas. Bos besar dengan mudah mencuri hasil kerja
juara kelas untuk dikumpul atas nama dirinya. Setelah bos besar, ada wakil, ada
sekretaris, ada bendahara, ada anggota-anggota, semuanya turut ke tabiat bos
besar. Ibarat ular berbisa, sekali disentil maka ia akan mematuk. Anggota kelompok
ini tak bisa disentuh. Walaupun seisi kelas meraung-raung karena uang jajan
lenyap dari dalam tas. Pensil hilang atau patah. Buku tulis sobek. Tugas belajar
hilang. Anak-anak yang telah berlaku demikian tetap akan menjawab, “Bukan saya,
Pak!” walaupun kemudian di dalam tasnya ditemukan pensil, rautan, penghapus,
bahkan buku tugas si juara kelas.
Orang
tua tahu hal ini? Guru memberitahu hal jelek demikian? Ini adalah rahasia guru
dan murid , kawan. Guru akan memberikan pemahaman kepada orang tua secara
abstrak, tak menjelaskan bahwa anak mereka bertabiat demikian selama di
sekolah. Guru akan meminta orang tua memperhatikan kembali anak-anak sepulang
dari sekolah. Bergaul dengan siapa. Apa yang dilakukan. Sudahkah menyelesaikan
tugas sekolah.
Hanya
mereka dengan tabiat demikian yang dipatuk oleh tangan guru. Kapan? Setelah menerima
teguran. Setelah ditegur berulangkali. Setelah dikirim surat kepada orang tua. Setelah
orang tua datang ke sekolah. Namun, anak yang sok kuasa demikian bahkan merobek
surat dari sekolah sehingga orang tua tidak tahu tabiatnya. Tiba pada saat guru
memukul karena si anak cekikikan tak hapal lagu Indonesia Raya, anak
berang dan lapor ke orang tua. Orang tua gegabah dan penuh amarah datang ke
sekolah. Membawa parang, menghardik guru karena salah mendidik. Memborgol guru
di depan anak-anak. Menyeret guru ke pengadilan. Anak-anak bersorak. Guru tegas
itu telah dibungkam oleh orang tua perkasa.
Bagaimana
dengan anaknya yang tak hapal lagu kebangsaan? Padahal tiap Senin adalah
upacara bendera. Bagaimana dengan anaknya yang membaca masih seperti kambing
naik tangga? Bagaimana dengan anaknya yang berhitung lupa angka tujuh? Bagaimana
dengan anaknya yang tak pernah buat tugas?
Murid
 ini diadili juga?
Ada
sebab, ada akibat, kawan. Kamu tanya berapa banyak anak dengan prestasi dihukum
guru? Adakah anak bisa menghapal perkalian kena cubit? Adakah anak bisa
menyelesaikan soal di urutan pertama kena hukum? Adakah anak dengan rambut
klimis digunduli?
Hanya
mereka yang mencuri, mereka yang memukul kawannya, mereka yang mengganggu anak
perempuan, mereka yang keluar masuk kelas saat guru mengajar, mereka yang
sembunyi saat pelajaran hapalan, mereka yang datang terlambat ke sekolah, mereka
yang merokok di belakang sekolah, mereka yang begitulah adanya di lapangan. Kembali
lagi kepada rahasia guru dan murid . Si A ketahuan merokok, tak akan sampai
berita ini kepada orang tuanya. Si B dihukum berdiri menghadap bendera karena
terlambat 30 menit datang ke sekolah, hanya bangunan sekolah yang menjadi saksi
bisu.
Anak dicubit. Anak digundulin.
Anak dipukul. Murid  dicubit.
Murid  digunduli. Murid  dipukul. Karena bermula dari wataknya
bermain atas nama bos. Semua karena sifat temperamentalnya yang hampir mendarah
daging. Guru menyuruh meninggalkan yang salah, orang tua membenarkan. Guru memarahi,
orang tua membela. Guru meminta, “Kamu potong rambut ya, Nak!” besoknya makin
panjang. “Kamu potong kuku ya, Nak!” besoknya ditambahkan cat. “Kamu masukkan
baju ke dalam ya, Nak!” semenit kemudian lepas lagi. “Kamu kerjakan tugas ya,
Nak!” tak lama telah siap padahal ia tak pernah hapal rumus matematika.
Bagaimana jika kami berhenti jadi guru? Kamu siap mengajar sendiri? Jangan lupa,
kawan. Sekolah itu mengajarkan tiga hal, kognitif, psikomotor dan afektif. Sinkronkan
ketiganya agar mendapatkan adonan yang manis, enak dinilai dan bercita rasa tinggi.
Bumbuhi juga dengan ilmu sosial yang tak akan pernah kamu dapatkan jika anak
belajar seorang diri di rumah!
Categories
Uncategorized

Jeritan Rakyat Kecil Menikmati Kenaikan Harga Gula Pasir Jelang Idul Fitri

harga gula pasir naik jelang idul fitri
Harga gula pasir naik jelang Idul Fitri – konfrontasi.com 
Siapa yang berada di
jajaran garis terdepan rakyat kecil

di negeri ini?

Gula Pasir Naik – Mereka yang mengemis
di pinggir jalan. Mereka yang mengais rejeki dari tumpukan sampah. Mereka yang
pantas menerima santunan. Mereka yang layak diberikan jaminan kesehatan gratis.
Mereka yang mendapatkan uang saku dari pemerintah melalui
program BSM atau KIP. Mereka
yang tidur di kolong jembatan. Mereka yang mencangkul sawah tak pernah lelah. Mereka
yang menjerit saat semua barang yang mesti dibeli naik tiba-tiba bagai tensi
darah sehingga menyebabkan strok, penyakit kronis lain, sampai akhirnya
terkapar di rumah sakit.
Beginilah nasib. Saat
Pegawai Negeri Sipil goyang-goyang kaki menerima bonus tahunan berupa gaji
ketiga belas dan Tunjangan Hari Raya (THR) atau gaji keempat belas, rakyat
kecil yang lupa didefinisikan dengan benar, bahkan tak tertera di dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, tercekat dan dipaku dengan palu sampai napas enggan
keluar. Suasana tercekik menghantam seluruh tubuh karena anggota keluarga butuh
banyak aroma, makanan enak untuk berbuka dan sahur maupun pakaian baru untuk
lebaran.
Satu jenis sembako
mendadak naik membuat rakyat kecil tanpa gaji bulanan dan tunjangan apapun,
melompat ke tangga paling tinggi sebelum jatuh sampai patah di kaki dan
lengan. Sorotan gula naik oleh
media massa cetak, elektronik maupun online menjadi satu-satunya
kecemasan. Di beberapa daerah gula dijual pada kisaran Rp.17,000 dan bahkan di
Aceh sampai naik menjadi Rp.20,000.
Gula memang sangat
manis, kawan. Makanan dan minuman yang dicampur gula terasa sangat nikmat
sampai ke ubun-ubun. Gula itu adalah candu yang tidak pernah dibuang sampai
akhir hayat. Satu sen saja gula naik maka semua akan keteteran. Pedagang kue
yang menjual jajanan berbuka mau tidak mau harus menaikkan harga satu potong
kue mereka. Es cendol yang dijual pinggir jalan terlihat lesu saat ngabuburit
karena satu bungkus telah naik harga maupun dikurangi volumenya.
Menaikkan harga
sembako sepertinya juga sebuah candu. Pemerintah terlalu santai dalam
menindaklanjuti proses demi proses yang dilalui rakyat kecil. Pemerintah berdalih
bahwa uang santunan yang tercantum di dalam BSM atau KIP, uang fakir miskin, bahkan
dana sosial dari Kementerian Sosial, lebih dari cukup untuk membuat rakyat
kecil hidup sejahtera. Data-data yang ada itu terkadang hanya baku di satu
tempat tetapi tumpul di tempat lain. Coba lihat di sekeliling, berapa banyak
rakyat kecil yang tinggal di rumah kumuh, makan nasi secuil namun tidak
memegang kartu BSM atau KIP, tidak terdata sebagai penerima bantuan sosial dari
program Keluarga Harapan.
Uang jaminan hidup
dari pemerintah pun jika ada yang menerima bukan diberikan bulanan namun
caturwulan bahkan semesteran. Berapa besarnya? Rp.300,000? Rp.600,000? Sampaikah
ke tarif Upah Minimun Provinsi? Dengan uang segitu “banyaknya” apa yang didapat
oleh rakyat kecil apabila cahaya lilin tiba-tiba menyala di sebuah ruangan. Seluruh
ruangan itu akan terang, terimbas, terinfeksi virus cahaya, perlahan-lahan
menggegoti tubuh sampai benar-benar padam dalam waktu lama.
Sembako yang naik –
saat ini gula – akan bertahan lama setidaknya baru turun setelah Idul Fitri 1
Syawal 1437 H. Jika benar-benar turun. Jika tidak rakyat kecil tak tahu ke mana
akan menjerit. Rakyat kecil kembali ikut arus mengikuti pergulatan oleh
pemerintah dengan iming-iming akan ada dana bahagia dari berbagai simpanan kas
negara.
Gula naik memang
perkara kecil, kawan. Tetapi tahukah bahwa kopi itu terasa sangat nikmat saat
sahur? Aroma kopi saja sudah membuat tidak mengantuk bagaimana setelah meneguk
secangkir lalu mulai beraktivitas di pagi buta. Rakyat kecil yang ke sawah, ke
ladang, ke laut, ke hutan, tak luput dari sejumput gula untuk mengaduk kopi
agar kafein itu menambah tenaga mereka.
Rakyat kecil akhirnya
benar-benar menikmati permainan ini seperti yang sudah-sudah. Saat semua harga
sembako naik, semua kebutuhan lain ikut-ikutan gelombang tersebut. Jeritan
mereka tertahan. Hanya nikmat yang tertekan saat mulut-mulut besar berkhotbah
bahwa hidup ini akan sejahtera di bawah pemerintahan nyata. Dari tahun ke
tahun, berlalu begitu saja. Pernahkah sekali harga sembako turun ke titik
terendah
setelah naik mendadak?
Nyawa rakyat kecil itu
ada pada sembako, kawan. Dapur mengebul tiap hari walaupun cuma menanak air
untuk membuat kopi. Rakyat kecil bahkan cukup meneguk satu kali tegukan kopi
untuk menarik pukat, untuk menarik cangkul, untuk menanam sayur-mayur yang
kemudian di jual dengan harga murah, bahkan tak cukup untuk membeli satu
kilogram gula, atau mungkin hanya cukup untuk membeli satu kilogram gula tetapi
tanpa dipenuhi oleh pernak-pernik lain di dalam kantong plastik itu.
Pada siapa kemudian
mereka mengadu? Hanya wartawan yang datang silih berganti meliput berita. Berita
tayang di mana-mana. Rakyat kecil menonton dirinya sendiri dengan bangga telah
masuk televisi. Tetapi di sudut hati yang lain, rakyat kecil mengeluh, suaranya
hanya untuk sebuah tayangan, untuk kebutuhan siar, untuk dipertontonkan tetapi
bukan untuk mengambil kesimpulan.
Berapa banyak tayangan
dan berapa orang narasumber yang telah bersuara. Di Sumatera, di Jawa, di
Kalimantan, di mana-mana. Beda suara tetapi satu tujuan, keluhan saja, sambil
tertawa tertahan, mendesah penuh harap, merayu dalam iba, lepas dari tayangan begitu
itu nama mereka diabadikan sebagai orang yang pernah masuk televisi oleh
orang-orang sekampung.
Adakah petisi saat
gula naik? Berapa yang akan tanda tangan petisi tentang sembako naik? Apakah
akan ada orang baik hati untuk menggalang dana dalam rangka mensejahterakan rakyat
kecil yang berjumlah jutaan di negeri ini?
Akankah terkumpul dana sampai ratusan juta? Apakah mengorbankan satu orang lebih baik dari
orang banyak?
Harga gula naik
seminggu lalu. Harga sembako lain bahka
n telah naik di awal Ramadhan. Tak ada petisi. Tak
ada aksi galang dana. Tak ada isu bahwa ini bencana nasional. Tak ada aksi
tanggap darurat. Tak ada penyelesaian karena ini bukan bencana alam yang
menimbulkan kelaparan, walaupun di dapur rakyat kecil hanya ada bongkahan
lantai dari tanah tak bisa dijadikan makanan halal. Cuma tersisa soalan harga
sapi yang menanjak menyengsarakan rakyat di kelas mereka yang sanggup beli
daging saja, itu yang
kemudian dicari solusi terbaik dan sebaik-baiknya. Hanya ada kisah anak pejabat ke luar negeri
dengan fasilitas negara dan memamerkan keangkuhan yang ada di dalam diri
mereka.
Bagaimana dengan
kami rakyat kecil ini?
” 

Baca Juga Gara-gara Kafe Jamban Saya Tidak Makan

Categories
Uncategorized

Tidur sebagai Obat Nyeri dari Masalah Baca di SehatQ.com

tidur melepas masalah
Tidur bisa melepas masalah – kompas.com
Masalah. Masalah. Masalah. Ribuan kali ditulis tak akan ada penyelesaian apabila palu tidak diketuk oleh “hakim” kehidupan. Nyeri yang diakibatkan oleh suatu masalah bertalu-talu sampai benar-benar tak layak hidup. Baca informasi lengkap di SehatQ.com

Masalah yang keburu menumpuk lantas menjadi gunung, persegi panjang, piramida, tinggi menjulang, sampai akhirnya meledak pada saat larva itu penuh.
“Cukup ke psikiater kok untuk menyelesaikan masalah kamu!” 
Nggak ada yang salah. Kamu mau ke psikiater, mencurahkan segenap isi hati, tersedu-sedu sampai benar-benar lelah, pulang dari rumah “bersalin” psikiater tersebut pikiran akan kembali semraut. 
Masalah yang dikira akan selesai malah bertumpuk begitu menghadap ke depan, menerawang lebih lanjut, berpikir tak lagi jernih bahkan sampai depresi. 
Pulang dari psikiater yang dibangga-banggakan kemudian membawa setumpuk obat antinyeri, lama-kelamaan kamu malah menjadi pengonsumsi obat-obatan melebihi orang sakau karena narkoba. 
Memang, nggak ada orang ingin terbelenggu dalam masalah. Ada masalah, ingin segera selesai detik itu juga. Waktu tak selamanya memihak kepada kita sehingga masalah itu berkembang, dibuka lebih lebar, meletus di tengah jalan sampai kepala rasanya mau pecah. 
Siapapun itu, tak ada yang mau terlarut dalam masalah. Cerita-cerita ke psikiater, ke teman, ke orang yang terpercaya belum tentu berefek kepada masalah yang dihadapi. 
Pola menyelesaikan masalah setiap orang akan berbeda. Obat yang diterima oleh otak dalam mensinkronkan akar permasalahan juga tak sama. 
Semakin dipikir, masalah itu semakin membeku. Jalan menuju ke puncak kebahagiaan akhirnya terbelenggu karena setiap terbangun dari tidur, masalah itu lagi yang dipikirkan. 
Kita ingin lupa dari masalah. Caranya bukan saja dengan minum obat penghilang depresi, curahan hati ke mana-mana. Satu kali psikiater mungkin santai saja. dua kali teman itu menerima keluhan. 
Berulangkali, mereka akan bosan karena masing-masing orang juga mempunyai masalah tersendiri. Hanya saja, letak enjoy itu berbeda-beda. Kembali ke diri kita yang ke mana-mana membawa masalah, tiap ketemu orang adalah masalah yang diceritakan, uang konsultasi ke psikiater sebenarnya bisa beli susu sehat, dan rasa malu itu telah lenyap. 
Kita mengungkapkan semua masalah ke psikiater sempai tidak ada pembatas antara rahasia dengan bukan. Dari itu pula, kesan lemah terhadap diri kita terbentuk dengan sendirinya. 
Masalah itu perlu dilupa apabila benar, sangat yakin, sukar untuk diselesaikan. Masalah yang tak akan ada penyelesaian sebaiknya dibawa tidur saja. 
Tidur membawa perubahan kepada tubuh. Tidur adalah setengah mati. Kamu tak perlu cemas masalah akan terburai begitu mata terlelap dan mimpi-mimpi membayang. Tidur sebagian besar telah menghipnotis masalah agar tak muncul seketika. 
Selama kamu tertidur, gigitan nyamuk pun tak terasa. Tidur adalah obat yang diberikan oleh Tuhan untuk memecahkan masalah, setidaknya melupakan masalah yang rumit. 
Tubuh yang lelah karena aktivitas seharian akan mudah tertidur dan masalah yang bertumpuk akan terlupa perlahan-lahan. Kamu bekerja dari pagi sampai sore, bahkan malam. 
Pekerjaan yang terjadwal, masalah yang tiba-tiba datang, lalu tidur setelah itu, maka lama-kelamaan masalah tersebut akan kabur dengan sendirinya.
Kamu sedang dilema berkepanjangan, masalah itu muncul terlalu larut, tidur saja jika demikian. Tidur tidak akan berefek samping terhadap kesehatan secara definisi ilmiah.  
Nyeri dari masalah itu semakin dibawa ke tidur, sesering mungkin, seiring waktu, akan memudar dan terganti dengan masalah yang lain. Jika telah sampai ke masalah lain, maka lakukan lagi hal serupa. Booking Dokter Dalam dengan mudah.