Sepeda
dikayuh. Hati berlari. Gemuruh di dada tak pernah lekang menjadi semangat agar
hidup lebih berbunga. Demikian adanya, terus menjadi ketakutan akan masa depan.
Orang menyebut, masa depan, masa depan, masa depan, namun apakah itu? Bukankah hari
ini dilalui saja lalu besok juga demikian? Masa depan mana lagi yang mesti
dimesrakan menjadi guyonan senja hari?
Tatkala teriakan
di sudut kelas ‘membentak’ seseorang di depan kelas, semua terabaikan begitu
saja. Tatkala suara nyaring di luar perkarangan sekolah menyebut hukum berkeluyuran
dalam teori, maka seseorang yang masih berdiri di depan kelas sama sekali
bungkam akan banyak hal. Jangan lupa, kami tak pernah menyebut kepada kamu si anak ini bodoh, kami juga tidak
pernah dengan suara lantang berujar kepadamu tak ada buku ajar di sekolah kami yang reot. Kamu hanya bersenyawa
dengan rentetan klakson kendaraan di kota besar, berputar tiap hari ke
sekolah-sekolah mewah dengan imajinasi embun pagi. Lalu mengambil kesimpulan bahwa
pendidikan Indonesia itu harus begini
begitu, harus ini itu, tapi tak peduli di sisi kami masih ada yang belum paham
betul membedakan A dengan a.
Kami – juga
– menjadi tempat pembuangan ‘sampah’ kekesalan dari ratusan siswa tiap tahun. Status
yang disandang adalah honorer yang bahkan enggan saya sebutkan sebagai mereka
yang ikhlas bekerja. Suara itu dengan mudah menyebut, “Kamu tidak berkualitas!”
dalam bahasa sindiran yang halus, tak peduli berapa energi yang telah
dihabiskan untuk anak negeri, tak soal mengenai letih mencatat buku catatan
harian guru, mana urusan kami dibantai kata-kata kasar anak-anak zaman now yang lebih percaya orang luar
daripada guru di depannya.
Saya tak
ingin melabuhkan kesal. Namun, saya ingin mencoba memberikan sedikit gambaran,
tentang kami, tentang kita, tentang mereka yang diabaikan oleh sebuah kata yang
saya kutip di bawah ini. Entah bernyawa, entah benar adanya, entah hanya
manipulasi siang terik, entah juga iming-iming ‘kampanye’ soal kehidupan masa
depan.
Asman
Abnur, Bapak Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang
terhormat, yang dipuja, yang disanjungi, telah berujar seperti ini lebih
kurangnya, “Tidak ada lagi pengangkatan
langsung honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tenaga honorer harus ikut
tes seleksi CPNS sesuai dengan amanat Undang-undang. Yang jelas ada penerimaan
CPNS tahun ini dan semua harus melalui tes. Hasil seleksi semua diumumkan
secara transparan dan tidak ada lagi sistem titipan pejabat dan lainnya. Jadi,
kalau ada pegawai yang sudah bekerja lima tahun, dua tahun atau tiga tahun,
silakan ikut tes jika ingin jadi PNS!” (makassar.tribunnews.com,
05/05/2018).
Kamu jangan
bersedih, mungkin kamu memang layak menjadi petani dengan cangkul memotong
pematang sawah habis subuh. Kamu tak usah menangis, mungkin memang kita adalah
golongan ‘tidak berkualitas’ yang tidak layak mendapatkan keistimewaan. Saya tahu,
kita tahu, sama-sama meratapi nasib yang enggan saya sebut sebagai peruntungan.
Tinta yang sebentar lagi menorehkan angka-angka untuk kenaikan kelas, seolah
telah lenyap menjadi merah semua saking semraut dan pilu lara hatimu.
Memang demikian
kehidupan. Meski kamu berteriak sekuat tenaga dan meratapi puluhan tahun
sebagai guru honorer, tetaplah kamu adalah sosok
tanpa tanda jasa meskipun telah kamu ubah generasi menjadi pejabat negara
sekalipun. Tak ada soal untuk diberi jawaban karena kamu layak mendapat hukuman
atas pilihan demikian. Kamu tak layak
diangkat jadi PNS, maka jangan bermimpi untuk membela ‘otak kosong’ yang
telah kamu curahkan tiap hari di depan generasi terbaik. Tak ada manfaat
ucapanmu karena ‘otak dongkol’ itu tidak layak mengajarkan mereka yang kelak
menjadi pemimpinmu.
Usia yang
telah terbuang. Saya tahu, kamu meratapinya. Sebut orang lain kala itu, sebelum diangkat jadi PNS angkat cangkul
saja di sawah kampungmu yang indah. Tetapi, saat honorer ‘wajib’ tes meski kamu
telah sangat lelah tak terbatas, angan-angan menjelang magrib telah berlalu
bersama cakrawala senja. Kamu tidaklah bermakna!
Dan saya,
tak mau membuang kesal, tak bisa pula bersedih karena puluhan bahkan ratusan
anak-anak di sekolah kami yang rindang, menatap dengan wajah penuh harap, soal
nilai, soal raport, juga soal kelulusan ujian akhir. Saya begitu enggan menulis
tentang ini, tetapi saya ingin, saya mau memberitahu, bahwa saya ada di sini
meskipun dianggap ‘tidak berkualitas’ sama sekali olehnya dengan suara indah itu.
Sekadar
melepas lelah saja, awal 2018 yang terburu, dihimpit oleh aturan-aturan baru tetapi
sekolah wajib menjalankannya. Saya adalah honorer, yang tidak bermanfaat
menurutmu juga, duduk di dalam kantor
dengan meja berserak buku-buku, tetapi tak lebih lima menit, saya akan berpindah
ke sisi lain, menjawab tanya, mengajar ketidaktahuan dari sesama guru PNS yang
hebat soal ketidakmampuan mereka dalam mengetik atau sekadar membuka laptop
baru yang mahal.
Jelang siang
yang sangat terik, permintaan itu datang “Pak mau pilih operator atau teknisi?”
saya ragu menjawab, “Apa tidak orang lain saja, Pak? Saya tidak mampu untuk
itu,” tidak ada sanggahan, tidak ada pula kedipan mata, tangannya mengolom
teknisi. “Bapak cocok jadi teknisi saja, kan, lebih paham komputer, operator
kita minta bantu operator sekolah saja,”
Saya gagap.
Ini bukan permintaan, ini adalah keharusan. “Tidak ada orang lain di sini –
yang mampu!” demikian ucap kata itu terakhir sebelum berlalu, kembali ke
kantornya, disebut nama teknisi dan operator Ujian Nasional Berbasis Kompoter
(UNBK) akan segera dikirim ke dinas terkait.
Saya pikir,
pekerjaan itu sehari dua hari saja. Tak apa, meskipun nanti kamu juga masih
menyebut, tidak berkompeten, saya
melakukan untuk membantu, mereka yang sendu di sudut kelas, mereka yang hanya
bergantung kepada saya yang selama ini menina-bobokan angan dan cita mereka
dengan teori komputer di dalam kelas.
Seiring waktu,
di sinilah saya, berlari ke dalam kelas mengajar pelajaran komputer dan masuk
ke ruang laboratorium untuk persiapan UNBK. Simulasi pertama adalah detak
jantung yang berlari tak tentu arah. Saya, operator, seorang wakil kepala dan pihak
yang menanamkan aplikasi UNBK berleha-leha di dalam laboratorium. Pemasangan
LAN selesai, jaringan internet telah diminta lebih kencang kepada pihak
terkait, sisanya adalah saya dibantu operator untuk mengecek laptop anak-anak –
dipinjam oleh sekolah – layak atau tidak untuk ikut bertempur dengan server yang galau kadangkala.
Waktu yang
diburu untuk ‘pemaksaan’ simulasi, mungkin tak terkejar dalam memasang aplikasi
UNBK. Catatan dari teknisi yang kami undang itu, saya harus menghapus
setidaknya antivirus agar tidak memblokir aplikasi ujian, menonaktifkan update windows, mengetes aplikasi
berjalan dengan baik atau tidak, dan juga mengganti browser Crome ke versi terbaru yang mendukung aplikasi. Keringat mengucur
dengan indahnya hampir senja itu, setidaknya saya – kami – harus melakukan hal
yang sama untuk 35 laptop.
Saya juga berganti
posisi dari satu laptop yang sedang dipasang aplikasi ujian dengan komputer server. Di mana proses sinkroninasi –
tata cara dan sejenisnya – tengah dijalankan. Kepala saya kedut-kedutan lima
menit sebelum azan magrib. Proses sinkronisasi setidaknya membutuhkan waktu
hampir 15 menit, saat itu saya juga harus mengecek ke-35 laptop telah terpasang
aplikasi ujian dan telah bisa dibuka dengan lancar.
Malam telah
menyerbu kelelahan di pundak saya saat semua laptop telah siap tempur dan
sinkronisasi data ujian dari panitia pusat telah selesai. Jelang azan isya,
barulah kami lebih santai meskipun hati tak bisa ditipu, lebih khawatir soal
besok, tentang ujian yang sebenarnya pada pengalaman pertama. Saya memburu tahu
dari teknisi yang kami undang dan juga buku bantuan. CTRL+C+B telah saya hapal
untuk keluar dari aplikasi ujian di laptop anak-anak. Refresh siswa yang bermasalah login
telah saya pahami, password exam browser di komputer server masih lupa-lupa saya ingat.
Sejujurnya,
saya tidak bisa tidur. Saya mencoba untuk berdamai dengan hati, bahwa besok
adalah simulasi tetapi lagi-lagi saya khawatir. Satu persatu wajah anak-anak
mengarah kepada saya. Seolah benar, tidak ada bantuan yang bisa mereka harapkan
selain saya saat ujian nanti. Mungkin saja, mereka lebih khawatir saya tidak di
dalam laboratorium dibandingkan tidak bisa menjawab soal satupun.
Simulasi dimulai
esoknya. Jam 6 adalah permulaan waktu yang diburu oleh keringat dan ‘mengesali’
sistem yang error. Saya tahu
keindahan itu adalah milik teknologi dan saya bersabar untuk itu. Saat operator
saya bimbang, saya mendiamkan bahwa bukan kita yang salah tetapi perangkat
ujian belum online dari pusat.
Kepala saya
rasanya mendidih. Seakan-akan saya mengingat, kamu tidak berkualitas,
tetapi saya harus tabah, saya harus tersenyum, jika tidak semua siswa-siswi
yang mengantri di depan laboratorium akan menangis tidak bisa ujian. Saat sistem
telah aktif, jantung saya tak lagi dagdigdug
tetapi lebih dari itu. Saat anak-anak mulai login,
sebenarnya saya menyembunyikan bibir pucat karena khawatir sistem error. Saat sebagian besar bisa login, saya lega mereka bisa memasukkan
Token mulai ujian. Saat salah satu laptop error,
harap anak yang bersangkutan dan mata teman-temannya yang lain adalah kepada
saya yang berdiri lelah di belakang mereka. Begitu laptop kembali bisa
digunakan, mereka bernapas lega, tetapi saya belum.
Sesi pagi
sempurna. Dua sesi lagi adalah bagian dari kelelahan lainnya. Simulasi pertama
sedikit membuka pengetahuan saya. Saya sudah bisa meraba, saya paham di mana
letak kesalahan dan apa solusi untuk menjawabnya. Kamu tidak bermanfaat
seperti anggapan orang-orang ‘itu’ tak teringat saat babak pertama dan kedua –
simulasi kedua – usai kami lakukan.
“Kita akan UAMBK!”
begitu ujar kepala sekolah saya, penuh harap dan juga penuh kekhawatiran kepada
saya dan operator sekolah yang sama-sama masih honorer. Mungkin saja Beliau
bisa mendapatkan orang lain yang lebih berkompeten dan berkualitas, tetapi
entah kenapa kepada pundak kami sebagai honorer yang tak akan diangkat jadi PNS
ini semua bermuara.
Kebetulan,
saya honorer di sekolah agama maka dikenal dengan Ujian Akhir Madrasah Berbasis
Komputer (UAMBK). Artinya lagi, saya dan operator tambah pekerjaan, mulai dari instal
aplikasi ujian yang berbeda, sinkronisasi data dari pusat, simulasi dan juga
ujian di hari yang telah ditentukan.
Kembali seperti
UNBK, bahkan lebih rumit, saya harus menginstal aplikasi UAMBK ke dalam 35
laptop. Saya pastikan semua bisa membuka aplikasi yang lebih berat ini dan
siswa bisa ikut ujian dengan lancar. Dan tentu saja sinkronisasi data server sebelum pelaksanaan simulasi
maupun ujian.
Saya membuat
perkiraan, hampir sebulan setengah untuk simulasi sampai ujian UAMBK dan UNBK,
saya berkutat dengan laptop, mengembalikan kepada siswa, meminta bawa kembali begitu
mau ujian sampai di babak akhir adalah menghapus aplikasi kedua ujian, memasang
kembali antivirus, mengaktifkan kembali windows
update, dan pengaturan lain seperti sediakala. Saya lelah, pasti. Saya menemukan
kebahagiaan, mungkin saja meskipun sebut suara di atas tadi, saya dan mungkin
rekan-rekan honorer lain yang bekerja siang malam untuk UNBK dan UAMBK, tidak
layak untuk diangkat jadi PNS.
Apakah ‘secuil’
pekerjaan saya ini dianggap tidak memiliki kompetensi? Apakah dianggap tidak
melakukan apa-apa untuk negeri? Biarlah demikian. Saya cukup senang ketika
anak-anak usai ujian, saya telah membuka jalan mereka lebih bebas, lebih
bahagia meraih cita-cita.
Lelah saya tentu
belum usai, Kurikulum 2013 yang telah diaplikasi di sekolah kami menjadi
catatan merah bagi sebagian besar guru-guru PNS yang hebat. Saya tentu tidak
meminta, saya sadar diri, saya tahu tidak memiliki apa-apa untuk dibanggakan. Tetapi,
mereka datang, mencari secercah harapan dalam ketidaktahuan, meminta saya untuk
kembali berkutat dengan raport K13 yang ribet, rumit dan sering error jika salah pengerjaan.
Maka, di
sinilah kembali saya ‘membantu’ anak-anak yang berharap raport mereka cepat
usai. Meski sebenarnya aplikasi raport ini mudah tetapi tidak untuk rekan-rekan
saya di sekolah yang belum paham teknologi. Saya datang sebagai penggembira,
tidak tidur malam untuk mengejar target pengisian raport, memutar otak untuk
mencari tahu kesalahan yang tiba-tiba datang, dan harus sempurna raport yang dicetak
beberapa lembar nanti itu.
Saya
mungkin tidak ada harapan untuk menjadi PNS, kamu juga demikian. Kita harus
ikut seleksi, jika lulus. Jika harus ikut aturan, jika masih bisa tanpa kendala
usia. Jika tidak, maka kita adalah bagian dari honorer tidak berkualitas yang
tidak layak diangkat jadi PNS. Meskipun, kamu melakukan pekerjaan lebih besar
daripada saya lakukan, meskipun kita menutupi kekurangan jam di sekolah yang
tidak bisa ditutupi oleh pegawai pemerintah, meskipun kamu telah mengantarkan generasi
muda berkualitas duduk di bangku kuliah elit, kuliah gratis dengan beasiswa
penuh, kamu tetaplah tidak layak!
Saya ingin
menutupi ini dengan sesuatu, tetapi saya tidak tahu harus merangkai ‘sesuatu’
itu dengan apa baiknya. Namun, satu hal yang pasti, saya hanya membagi segelintir
kisah pilu dari guru honorer yang telah “meluangkan” waktu lebih banyak demi
kebaikan sekolah, keuletan bangsa dan senyum siswa-siswi. Jika memang masih
diabaikan, maka abaikan saja, kuraslah energi kami sampai jenuh dan jangan
anggap apa-apa yang telah kami curahkan untuk negeri.
Mungkin
kamu anggap ini keluhan, mungkin juga kembali sebagai curahan hati orang tidak
berkompetensi, tetapi jangan lupa bahwa di sana, sekolah-sekolah itu dihidupkan
oleh guru-guru honorer. Ikhlas tak berperi, tak meminta pindah segitu setahun
diangkat PNS. Warna ini adalah warna kami. Jika memang dilupakan, jangan
salahkan anak negeri karena di sini adalah kami yang tidak berkualitas mengajar
anak negeri!