Categories
Uncategorized

Musisi Aceh Kehilangan Kreativitas dan Penganut Plagiarisme

Musisi Aceh Kehilangan Kreativitas dan Penganut Plagiarisme – Bagaimana
sebuah lagu diracik sehingga memiliki nada yang begitu enak didengar? Jangan lupa
proses menemukan nada-nada yang seusai not tersebut tidak mudah. Ide saja tidak
cukup apabila belum paham bagaimana petikan gitar dengan irama yang matang.

Ilustrasi.

Bisa
memetik gitar saja belum dianggap profesional dalam bermusik apabila nada-nada
lagu populer saja yang dimainkan. Seorang yang mengaku musisi semestinya harus
lebih bisa dari itu. Petikan nada yang berasal dari imajinasi bukan dengan
menjiplak karya orang lain kemudian ditambahkan voice saja.

Kata
kreatif tidak hanya melekat pada mereka yang pandai merancang bangunan atau
mereka yang bersungguh-sungguh menekuni pekerjaan.

Kreatif dalam bermusik
dimulai dengan menemukan nada-nada yang tepat sebelum dirangkai dalam bentuk
lagu utuh. Butuh proses panjang untuk memastikan nada-nada tersebut diterima
oleh pendengar.

Akhir-akhir
ini, masyarakat Aceh disuguhi oleh lagu-lagu maupun drama seri yang dikatakan
mempunyai nilai kedaerahan. Namun sesungguhnya, lagu-lagu tersebut merupakan remake
dari lagu-lagu luar – kebanyakan dari lagu-lagu India.

Proses remake ini
tentu “tanpa” izin dari musisi India yang bersusah payah menciptakan nada. Hak cipta
untuk lagu yang diremake ini masih berada di tangan musisi India maupun
rumah produksi film yang lagunya dijadikan soundtrack.


Ngomongin hak
cipta, perilaku musisi Aceh tentu saja salah. Kesalahannya remake yang
dilakukan bukan untuk “main-main” melainkan untuk mendapatkan keuntungan. Hasil
rekaman kemudian dijual, disebarkan melalui media sosial seperti Youtube dan
bahkan para musisi ini mengadakan konser di berbagai daerah Aceh.

Sebuah
ragu tersirat karena untuk membeli hak cipta dari musisi asli bukanlah harga
murah. Belum lagi apabila lagu-lagu yang diremake merupakan lagu populer
dari soundtrack film box office.

Harga yang mesti ditebus oleh
musisi Aceh untuk membeli hak cipta tentu tidak bermain di angka puluhan juta
saja karena ranah Bollywood tetap saja dipandang industri berskala internasional
– lintas negara.

Apakah
lagu yang diremake oleh musisi Aceh satu dua lagu saja? Sebagian besar
lagu Aceh yang saya dengar – kecuali beberapa musisi – adalah hasil plagiat!
Sadarkah
musisi Aceh bahwa mereka belum kreatif? Memang, hidup enak, dikenal dan
dipuja-puji oleh masyarakat merupakan sebuah hal yang wajar. Namun lepas dari
itu semua, ada hak orang yang diambil dari sebuah kesuksesan.

Bagaimana dengan
penulis asli yang tidak tidur demi sebuah lirik? Bagaimana dengan petikan gitar
musisi yang tak sekali jadi untuk menghadirkan musik asyik? Bagaimana dengan penyanyi
asli yang bersusah payah merekam suara mereka sehingga dinikmati banyak orang?

Menulis
sebuah lirik itu gampang karena soal cinta-cintaan semua pasti bisa! Percaya
atau tidak percaya cobalah lihat buku-buku catatan pelajaran anak-anak sekolahan
(SMP atau SMA). Coret-coretan mereka adalah imajinasi sebuah lirik lagu yang
tak mungkin terpublikasikan.

Sedangkan nada-nada untuk memperindah lirik
tersebut? Inilah yang lebih rumit dari yang dibayangkan. Butuh keahlian dan filling
kuat sehingga nada yang tercipta enak didengar.

Aransemen yang bagus tidak
lahir dari sekali duduk saja. Aransemen yang indah adalah kolaborasi banyak
alat musik sehingga ketukan nadanya pas.

Dan,
kita cuma memasukkan voice saja? Ini mah sama dengan karoke keras-keras
sampai di dengar semua tetangga. Bedanya, karoke ini menghasilkan uang dan
dikenal banyak orang.
Sebenarnya,
plagiatisme adalah isu lama. Tak cuma di musik saja. Di dunia kepenulisan bahkan
lebih parah. Seseorang yang suka plagiat atau menjiplak karya orang lain tentu
tidak berpikir jernih untuk kreatif.

Bahkan, bisa dikatakan tidak kreatif,
belum sampai ke arah sana. Kreatifitas apa yang dijual oleh mereka yang
menjiplak karya orang lain? Artinya bahan baku telah disediakan oleh penulis
asli sedangkan penjiplak hanya menyantap saja sambil terbahak-bahak.

Aturan
main dalam hal hak cipta tidak main-main. Jika ketahuan menjiplak karya orang
lain dan dituntut maka kurungan 5 tahun bahkan lebih bisa saja berlaku.

Belum lagi
uang miliyaran rupiah yang harus ditebus karena telah mengambil “otak” orang
lain demi kesenangan hidup kita saja. Ini adalah aturan main dalam hukum
negara.

Bagaimana dengan hukum kreatifitas yang telah saya sebutkan di awal?

Demam
kehilangan kreativitas dan penganut plagiatisme dalam darah musisi Aceh telah
mengakar. Musisi Aceh terkesan sangat manja dan mudah saja membajak karya orang
lain selama nggak ketahuan.

Sesuatu yang tidak ketahuan memang nikmat namun
jangan pernah lupa bahwa gunung es bisa meledak dalam sekejap mata. Masyarakat
Aceh memang tidak mencemooh walaupun mengetahui lagu-lagu tersebut hasil
plagiat.

Sebelum terlambat, musisi muda Aceh tak ada salahnya berbenah dan
mulai kreatif melahirkan karya. Jangan pernah lupa era kejayaan Sabirin Lamno, Firsa
Agam maupun Rafly yang sukses dengan aliran musik masing-masing!

Categories
Uncategorized

Berlibur di Makassar Sambil Belajar Sejarah, Berkunjunglah Ke 5 Tempat Ini

Ada banyak bangunan bersejarah di Makassar yang masih bisa disaksikan kemegahannya. Bangunan-bangunan ini merupakan saksi sejarah yang bercerita tanpa kata. Sudah selayaknya, para generasi muda kini mempelajari sejarah dari peninggalan masa lalu tersebut. Salah satu caranya adalah dengan mengunjungi berbagai destinasi sejarah di Makassar.
Wisata di Makassar – tripterus.com

Nah, bagi Anda yang tertarik untuk menjelajahi kekayaan sejarah kota Makassar dan sekitarnya, berikut 5 destinasi menarik yang perlu Anda kunjungi. 

Museum Kota Makassar
Berada di pusat kota Makassar, tepatnya di Jl. Balaikota No. 11, Museum Kota Makassar sangat mudah dijangkau. Bangunan ini merupakan peninggalan dari masa lampau dan telah berdiri sejak 1916. Di sini, Anda bisa menyaksikan kemegahan arsitektur Eropa yang menarik dan tak ada duanya. 
Di dalam museum, Anda bisa melihat berbagai koleksi sejarah, seperti lukisan-lukisan klasik, berbagai peninggalan arkeologi, dan foto-foto dokumentasi. Museum dibuka pada 08.00 WIT hingga 15.30 WIT setiap hari. Jadi, pastikan Anda datang pada jam-jam tersebut, ya. 
Benteng Fort Rotterdam
Benteng Fort Rotterdam merupakan salah satu landmark yang sangat terkenal di Makassar. Benteng ini dahulu dikenal dengan nama Benteng Jumpandang. Meskipun dibangun pada 1545, Benteng Fort Rotterdam masih berdiri dengan megah hingga saat ini. Di kawasan ini, terdapat 16 gedung yang bisa dikunjungi. Dua di antaranya kini telah berubah menjadi Museum Sejarah La Galigo. 
Pada zaman dahulu, Benteng Fort Rotterdam digunakan sebagai tempat pertahanan pasukan Gowa-Tallo. Setelah dikuasai oleh pasukan Belanda, benteng ini kembali dibangun dan diubah namanya. Dari udara, Benteng Fort Rotterdam terlihat seperti seekor penyu. 

Monumen Mandala 
Anda bisa mengunjungi Monumen Mandala untuk melihat kembali sejarah pembebasan Irian Barat. Monumen setinggi 75 meter ini terletak tidak jauh dari Lapangan Karebosi. Ada banyak diorama dan relief terkait pembebasan Irian Barat di dalam bangunan berlantai dua ini. 
Jika dilihat dari luar, Monumen Mandala tampak seperti segitiga sama sisi. Ini merupakan simbol Trikora atau Tiga Komando Rakyat. Terletak di pusat kota, menjangkau Monumen Mandala tidak terlalu sulit. Dengan menyempatkan waktu sejenak untuk berkunjung ke tempat ini, Anda dapat mengenang kembali perjuangan para pahlawan. 
Benteng Somba Opu 
Selain Benteng Fort Rotterdam, ada pula Benteng Somba Opu yang dahulu merupakan benteng paling kuat dan luas di Kerajaan Gowa-Tallo. Konon, para penjajah sangat sulit menembus benteng yang terletak di Kecamatan Tamalate ini. Selain berfungsi menjadi benteng, tempat ini juga merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Gowa. 
Dari pusat kota, Anda harus berkendara sejauh 10 km untuk mencapai Benteng Somba Opu. Tidak terlalu jauh, bukan? Berkunjung ke Benteng Somba Opu juga akan membuat Anda mengenal dan memahami perjuangan para pendahulu di zaman lampau. 
Museum La Galigo 
Museum ini terletak di kawasan Benteng Fort Rotterdam. Untuk memudahkan Anda, carilah gedung No. 2 dan gedung No. 10 di area benteng. Museum La Galigo merupakan salah satu museum bersejarah yang didirikan pada 1970 silam. Di dalam museum La Galigo, ada banyak koleksi sejarah berupa peralatan tradisional yang biasa digunakan Sulawesi Selatan. 
Selain 5 objek wisata tersebut, masih ada banyak destinasi sejarah lain di Makassar yang bisa Anda kunjungi. Supaya perjalanan Anda lebih lancar dan mudah, carilah hotel murah di Makassar melalui aplikasi Airy. Aplikasi ini bisa didapatkan secara gratis di Play Store maupun App Store. 
Airy Rooms

Keunggulan hotel Airy Rooms adalah adanya jaminan 7 kenyamanan dari fasilitas yang tersedia, seperti AC, TV, shower air hangat, perlengkapan mandi gratis. Anda juga bisa mendapatkan air minum gratis, WiFi gratis, serta tempat tidur yang bersih. Cukup menyenangkan, bukan? Nah, ditunggu kedatangannya di Makassar ya.

Categories
Uncategorized

Cara Mudah Cek Harga Tiket IIMS 2018

Pagelaran pameran mobil di Indonesia memang cukup beragam sekali dan selalu meningkatkan minat kita. Maka dari itu harga tiket IIMS 2018 sendiri di prediksi akan kembali mendapatkan kenaikan. Salah satu alasannya adalah karena tingginya minat masyarakat Indonesia untuk mendapatkan tiket ini dan juga untuk bisa menyaksikan beragam mobil ternama yang ada di Indonesia saat ini. Tentu saja pameran ini bukan merupakan pameran yang sering dilaksanakan sehingga harganya sendiri memang cukup mahal. 
Jika Anda akan mendatangi pameran ini juga sudah bisa melihat harga tiketnya melalui situs belanja online. Sudah ada banyak yang menawarkan tiket dengan harga terbaik khusus untuk Anda pelanggan setia mereka. Berikut ini adalah cara cek harganya antara lain: 
  1. Situs penjualan tiket resmi, saat ini di Indonesia memang penjualan tiket secara online sedang mengalami peningkatan dan banyak sekali pihak yang memanfaatkan hal ini. Tentu saja sejumlah situs ini akan memberitahu apa saja tiket pertunjukan yang sedang ramai dicari dan akan dibeli orang. Jika menggunakan situs ini maka Anda bisa menemukan dan bahkan membeli tiket ini. 
  2. Website resmi, ini juga menjadi salah satu pilihan untuk Anda yang ingin melihat harga dari penjualan tiket ini. Penyelenggara IIMS sendiri pastinya sudah menampilkan harga terbaik untuk Anda yang akan membeli tiket ini. 
  3. Aplikasi, ini juga menjadi salah satu cara terbaru yang bisa Anda manfaatkan untuk mengetahui harga tiket terbaru dan bahkan Anda juga bisa memanfaatkannya untuk membeli tiket yang Anda inginkan. 
Ketika dahulu membeli tiket pertunjukan cukup sulit dan akan memerlukan waktu panjang untuk mengantri maka kini kita akan lebih dipermudah. Tentu saja kemudahan ini sering kali memberikan ekstra kemudahan lain seperti harga yang lebih murah. Jadi untuk Anda yang akan membeli tiket ini maka tidak akan ada salahnya untuk membeli tiket secara online yang pastinya akan lebih cepat. 
Untuk yang berencana datang ke pameran IIMS maka harga tiket IIMS 2018 ini diprediksi mengalami kenaikan lagi karena tingginya minat pengunjung. Selain itu juga terdengar kabar bahwa tahun ini sudah ditambahkan kategori baru untuk penjualan tiket ini yaitu kategori VIP. Tentu saja jika Anda membeli tiket VIP ini akan semakin banyak benefit yang di dapatkan dan akan membuat Anda juga akan jadi lebih nyaman pada saat melihat pameran ini. Acara ini juga pastinya akan dilakukan di hall besar yang ada di Jakarta. 
Jika Anda berminat untuk datang ke acara ini dan menyaksikan beragam mobil ternama di Indonesia yang baru muncul maka Anda bisa mencari tiketnya di situs belanja online. Maka dari itu jangan sampai ragu dalam membeli tiket ini karena pastinya harganya akan sangat sesuai dengan kebutuhan Anda. Kebanyakan orang memang akan membeli tiket online karena penukaran juga semakin mudah saat ini. 
Untuk acara IIMS sendiri saat ini Anda bisa menyaksikan beragam hiburan menarik juga dengan hanya membayar 50 ribu saja. Harga tiket IIMS 2018 ini memang mengalami kenaikan 10 ribu dari harga tahun 2017. Namun harga ini juga nampaknya tidak akan melunturkan semangat pecinta otomotif untuk datang ke acara tahunan yang keren ini. Jadi Anda bisa melihat banyak sekali mobil ternama yang dipajang langsung di pameran ternama ini.
Categories
Uncategorized

Jakarta Suatu Ketika dalam Kemewahan dan Imajinasi Pinggir Kali

Ibu Kota itu gemerlap. Ibu Kota bernama Jakarta itu penuh bintang; di langit lalu masuk ke atmosfer Bumi dengan tarikan gaya gravitasi tiada ampun. Bintang di Jakarta begitu indah bagaimana pun definisi untuk menjabarkannya. Tiada yang peduli bintang itu jatuh ke pinggir kali, tiada pula yang akan mengiba pada waktu agar dapat memeluk bintang. Karena semua itu, berjalan dengan cepat, dalam sekejap, dalam periode yang mengibas kelambanan dalam meraih mimpi-mimpi.
Kupikir, dulu sekali, Jakarta itu
kayak di televisi. Manis dalam
kemasan. Licin bermarmer. Harum bagai kasturi. Kupikir sekali lagi, Jakarta itu
tak ada susahnya sama sekali. Persepsi yang membawa pikiran itu adalah
orang-orang ‘hebat’ tinggal di Jakarta. Maupun, orang-orang ingin menjadi hebat
akan ‘hijrah’ ke Jakarta. Ibu Kota
adalah segala rupa. Beragam keinginan. Jutaan godaan. Manis sekali diteguk;
berulangkali akan ingin mencicipinya. Busuk sekali dicium; mau tidak mau akan
dibuang meski pembelaan telah dilakukan.
Mungkin, orang telah bosan
membicarakan Jakarta. Semraut yang nyata. Gemerlap yang memengkakkan telinga. Rupa
penuh penipuan dan persaingan. Dan waktu pun seolah tidak mau bersahabat dengan
baik pada ‘kita’ yang mudah terlena. Tetapi, aku mungkin terlalu ‘manja’
melukiskan Jakarta – karena – berkali-kali disebabkan ragaku yang jauh
dengannya; bisa juga karena aku seekor
gagak kampung yang melihat mewahnya kehidupan di sana sebagai mutiara terpendam
.
Magrib saja, Jakarta itu cantik
sekali dalam pandanganku. Matahari yang menukik entah di sisi mana, memencarkan
siluet ke gedung-gedung yang telah menyalakan lampu – atau memang lampunya
tidak pernah padam sama sekali. Percumbuan sinar matahari dengan cahaya lampu
memadukan irama yang kuat sekali dalam mendeskripsikan akhir hari itu. Jika panas
sinar matahari perlahan-lahan memudar, mana gurauan cahaya lampu adalah
keindahan yang setimpal dengan keinginan dan keinginan serta hawa nafsu yang
semestinya dielokkan saat malam tiba.
Jembatan di Neo Soho, misalnya, adalah
favoritku tiap singgah di Jakarta Central Park, Jakarta Barat. Tidak hari terik
maupun malam menggoda, jembatan ini menjadi ‘destinasi’ yang wajib bagi siapa
saja yang ingin berfoto. View Central
Park yang indah terburai begitu saja dari atas jembatan ini. Waktu yang paling
dinanti adalah senja hari, seolah harumnya jembatan tidak putus. Banyak sekali
orang-orang lewat, berhenti sejenak, mengambil foto sebelum berlalu. Demikian seterusnya
sampai aku juga melakukan hal yang sama, terlebih karena sesekali aku ke sini.
Jembatan di Neo Soho, Jakarta Central Park, Jakarta Barat
Berbeda dengan siang, di senja
hari suasananya begitu romantis. Lampu berwarna kuning telah menyala di tiap
tiang penyangga yang juga dicat dengan warna yang sama. Tiang yang melengkung
di sisi kanan – jika dari Hotel Pullman – memiliki atap dengan langit-langit
berwarna putih. Sisi kiri dibiarkan terbuka dengan lampu memancarkan cahaya
dengan konteks yang sulit dilupakan begitu saja. Hampir di tiap tiang penyangga
melengkung itu, berdiri  mereka dengan
penuh gaya dan senyum silih-berganti. Di sisi lain, datang pemuda berseragam
khas yang menjajakan ‘sesuatu’ dalam kertas. Mereka hanya akan ‘ramai’ di atas
jembatan yang tak kalah ramai itu kala senja saja.
Foto ‘wajib’ di jembatan Neo Soho, Jakarta Central Park
Malam yang menjemput mimpi begitu cepat, memancarkan cahaya lampu di mana-mana. Dari lantai 9, menghadap langsung ke jembatan yang sorenya ku injaki, tak kalah indahnya. Warna kekuningan terlihat sepanjang jembatan yang menjadi primadona. Lampu kendaraan yang masuk ke area Central Park atau melewatinya untuk ke tujuan lain, terlihat padat sekali. Seolah tak pernah berhenti, denyut nadi ini begitu menggoda siapa saja.
Kupikir – lagi – Jakarta di malam
hari adalah aroma yang sangat diidamkan oleh banyak orang. Begitu banyak godaan
yang datang. Begitu banyak pula ‘uang’ yang dihabiskan hanya untuk seteguk air mineral di kafe-kafe
ternama. Namun, begitulah aroma yang melekat, begitulah gaya hidup yang
selayaknya dirayakan, begitulah kebutuhan yang harus diselaraskan; meskipun
tidak semua ‘pemilik’ hati Jakarta itu mampu menyeimbangkannya.

Malam di Jakarta Central Park dari Pullman Hotel
Gedung-gedung tertinggi dengan
cita rasa kemewahan tiada henti, mungkin akan menjadi idaman mereka yang ada di
pinggir kali. Tidak hanya keberuntungan dalam ketampanan untuk sekadar duduk
manis saja di meja dengan sapu tangan dan alas piring tersusun rapi. Dentingan sendok
garpu dengan piring tidak selamanya dapat dinikmati oleh ‘pencinta’ Jakarta yang
mungkin di fajar sampai senja hanya melihat boat
yang kebetulan lewat di pinggir kali.
Kursi kayu dengan warna buram
namun kokoh untuk diduduki dengan busa lembut. Belum lagi jika duduk di sofa
yang berwarna kecokelatan, akan terasa lebih nyaman sekali. Pemandangan ini,
hanya sebagian kecil dari ruangan hotel berbintang. Namun, sekali pandang saja,
aroma kemewahan begitu kentara sekali.
Kemewahan di ruang makan Pullman Hotel
Di pinggir kali, jauh dari
bangunan yang dingin dan memiliki pengharum, jemuran bergantungan di sisi depan
maupun belakang bangunan kumuh yang tidak beraturan. Baru saja keluar dari
ruangan gemerlap lampu, seakan silau di luar yang panas terik itu benar-benar
tidak seimbang. Dan sekali lagi, ini Jakarta yang seirama dengan mau
kamu, mau dia, mau siapa saja. Bagaimana mau kamu, begitulah keadaannya. Di pinggir
kali yang berbau lumut, dengan sampah berserak di mana-mana, dengan suara suing
dari boat yang lewat, maupun dengan
debu beterbangan bebas, di situlah kehidupan Ibu Kota sebenarnya.
Meski kusebut mereka mungkin ‘merana’
namun padat penduduk dengan kesibukan masing-masing seolah tak mau ambil pusing
dengan indahnya Jakarta. Indah Jakarta di sisi berbeda,  belum tentu indah di definisi mereka yang
entah kusebut siapa namanya. Musik konser boleh berdenyut sampai ke nadi dari
gedung bertingkat di depan mereka. Peragaan busana boleh saja melintas dengan
mudah di atas catwalk tak jauh dari
tempat mereka tinggal. Selebritas boleh melintas di depan mereka dengan kaca
mobil tertutup rapat. Tetapi, mereka telah seirama dan senyawa dengan kehidupan
yang demikian adanya.
Pemandangan pinggir kali Jakarta
Imajinasi pinggir kali, seperti
imajinasiku kepada bintang jatuh yang memudar sinarnya sembari terus mengerucut
ekornya. Di sudut hati kecil mereka di pinggir kali, tentu membekas
keinginan-keinginan untuk sekali bahkan lebih melintasi jembatan di Neo Soho
lalu masuk mal meskipun tidak membeli apapun. Barangkali, anak-anak mereka
telah cukup sering memotret diri di sudut Central Park yang mewah dengan sebuah
Ferrari terparkir indah. Mungkin juga, meskipun rumah di pinggir kali mereka
adalah sosialita yang paham betul di mal mana tempat paling asyik untuk
bercengkrama.
Sebuah Ferrari parkir di Jakarta Central Park
Semua bisa jadi mungkin. Semua bisa
jadi tidak mungkin. Karena ini Jakarta, diajarkan begitu saja keinginan demi
keinginan walaupun tidak mampu lagi menopang gaya hidup. Jakarta suatu ketika,
selalu begitu saja; elegan, mewah,
melankolis, tak tidur, penuh hawa nafsu, orang kaya yang bebas melakukan
apapun, orang miskin yang menonton penuh harap!
Jakarta suatu ketika, dalam
kubangan kali, mau tidak mau harus melebur jika ingin sukses atau digusur
waktu. Jakarta suatu ketika, penuh godaan, penuh kreativitas yang melebur dalam
waktu. Siap untuk itu, maka tak ada kata pergi meninggalkan Jakarta. Ragu-ragu
untuk itu, biar sepertiku saja yang menjadi tamu sesaat dan menikmati aromanya
yang kentara!
Categories
Uncategorized

Negeri Patung dengan Pancuran Dupa Itu Bernama Bali

Dia telanjang. Oh, tidak, mungkin, dia hanya telanjang dada saja; yang menampakkan lekuk tubuh kokoh membelah awan bergumpal pada hari terik sekali itu. Nusa Dua, Bali, pada sepenggalah janji matahari, mengintip dari balik jeruji, ternama daun kelapa yang meliuk-liuk dihempas angin. Desiran melodi membawa keringat lebih deras, menyusuri jalan setapak Nusa Dua yang benar-benar segar di pagi hari.
Tahukah engkau? Bahwa ini, sedang tidak dalam Hari Raya Nyepi,
waktu akhir tahun 2016, aku singgah di sana. Kenangan setahun lalu, tetapi
begitulah pancaran menyalak dari mata sendu, merayu dari teduhnya sapaan dan
berhati-hati dalam balik menyapa suara lembut bagai persolen. Begitulah Bali,
terkisah dengan sempurna dalam mahakarya siapa saja; audio maupun visual. Jenaka
muncul dari Elizabeth Gilbert dalam Eat,
Pray, Love
yang diperankan dengan apik oleh artis kenamaan, Julia Roberts. Mungkin
juga ilustrasi romantis lain dari Dee Lestari dalam mengemas Kugi di novel Perahu Kertas.
Kusebut sekali waktu itu, “Bali
itu negerinya bule, di mana-mana bule, bule lagi, bule lagi!” sekali pandang engkau akan mendapati tatapan
kegantengan bule; di bibir pantai, di jalanan, di dalam hotel, di trotoar,
bahkan di minimarket saat ku mampir untuk membeli permen, ada bule bertransaksi
dalam diam sebelum, “Thank you!” terucap dari mulutnya lalu berlalu.
Nikmatnya memandang mata biru
bule-bule itu, segera beralih ke kekaguman lain. Meski kusebut ini ‘tak begitu’
penting namun sisi inilah yang mengantarkan kedahsyatan maupun keelokan Bali. Mungkin, bule tak perlu dicari dan bisa
dihampiri tanpa sengaja. Namun‘dia’
yang kokoh, seksi, dan diam dalam segala rupa sulit sekali didapati, kecuali
jika engkau menghampirinya.
Pugaran tangan seniman Bali ini
tidak sombong, ia hanya tangkas dan menjurus pandangan pada satu sisi saja. Misal,
engkau singgah di Hotel
Courtyard by Marriot Nusa Dua
, seorang ‘ibu’ duduk memangku
bakul yang mungkin isinya hanya ‘tanah’ dengan senyum tulus, dengan alis
terangkat, busana khas wanita Bali, yang seolah-olah ia sedang menunggu
seseorang, pulang ke rumah dari tempat yang jauh. Rambutnya disisir rapi ke
belakang yang mungkin terdapat sanggul sedikit, jika ku lihat lebih jeli waktu
itu. Kaki tak beralas menginjak batu yang usang oleh waktu. Jari-jemarinya
terlihat keriput dengan kuku-kuku yang tidak digambarkan kelihatan seperti
keinginanku dalam ilusi tak pasti.
Rumput liar di sekelilingnya
bahkan hampir sepinggul. Rupanya, ibu ini tidak sendirian, tak jauh mata
memandang di halaman hotel dengan corak Bali dalam ademnya ini, terdapat
ibu-ibu lain yang juga memiliki bakul. Seragam ‘putih’ mereka tak pernah
tergores oleh debu bahkan basah oleh hujan lebat, dan embun pun tak bisa
menyulapnya menjadi dingin. Mereka ada yang mengangkat bakul, memangku,
meletakkannya di kepala, dalam ikhlas yang tak jelas untuk apa.
Padahal, ku ingin bertanya pada
seniman yang memahat mereka, tetapi entah mungkin waktu tidak mengizinkan atau
memang aku hanya dipersilakan untuk melihat saat melintas berkali-kali di depan
ibu-ibu ini. Mereka tentu tidak tersenyum kepadaku. Juga tidak kepada orang
lain. Mereka hanya menggambar senyum untuk mereka sendiri dalam tubuh tak
bernyawa!
Seorang ‘ibu’ yang memangku bakul.
Burung hantu menyalak dalam mata
kecokelatan, bulat tak berkedip dengan moncong penuh keangkuhan. Ia berdiri di
atas batang pohon mati yang telah ditebang ‘pemilik’nya suatu waktu lalu. Bulu-bulunya
membungkus tubuh yang gemuk dengan kuku-kuku panjang tak pernah dipotong. Aku berpikir,
berapa lama seniman itu mengukir sisik-sisik di seluruh tubuh burung hantu ini.
Mungkin dua hari, seminggu, dua bulan, mungkin hampir setahun bahkan lebih.
Aku menikmati tatapan matanya;
meski takut seolah ia telah hidup, menjelma menjadi burung hantu yang ribut
di tengah malam. Jalan beraspal yang telah kering, daun-daun luruh di rumput
yang masih berembun, anak kelapa sawit yang baru menuju usia remaja, akan
menemani tiap waktu burung hantu itu.
Burung hantu di siang hari dengan tatapan galak.
Burung hantu itu menjadi bias
dari sebuah gunungan yang terbuat dari batu, mengalir air yang dipancarkan dari
air mancur buatan. Di kaki gunungan itu, dalam angkuh, dalam keseksian yang
nyata, dalam mata menjerit penuh amarah atau ketakutan, lentikan jari seolah
mengeluarkan sakti mandraguna untuk mengusir kekuatan jahat di lingkarannya. Aku
lupa dengan pasti berapa ‘nyawa’ yang terekam dalam bahtera seniman itu. Tiga wujud
yang kutatap dalam lensa kamera, mampu mendeskripsikan keperihan dan kemarahan
dalam balutan kain yang menjuntai ke bawah, mungkin juga terkelupas dari tubuh
mereka.
Tak terkira, bagaimana seniman
entah bernama apa itu melukis ‘dara’ melalui imajinasinya. Di bawah biru langit
memuncaki siang, bahtera punggawa wanita itu tak bisa menepi ke manapun. Mereka
kokoh, mereka bertahan, mereka melawan, dalam arti sebenarnya mereka adalah
abadi dari apa yang tidak kuketahui yang seharusnya kuintip sejarahnya di dekat
itu. Mungkin jika papan nama menjelaskan segala pandangan.
Di malam nanti, keelokan tubuh
mereka dipantulkan melalui cahaya lampu yang terpasang di kaki bahtera. Sayangnya,
aku tidak sempat melewati mereka di malam hari karena mengejar bayangan di
tempat berbeda.
Bahtera ‘putri’ yang seksi dengan kengerian dalam jiwanya.
Di tengah kota yang tidak hiruk
pikuk itu, berdiri dengan kokoh seorang gagah berani. Ia memakai mahkota yang
menandakan dirinya bersenyawa dengan atribut kekuasaan. Tangan kanannya meremas
bola api yang akan dihunuskan kepada mata naga yang memerah. Tangan kirinya mencekik
leher naga yang juga bermahkota. Matanya mengisyaratkan amarah sampai ke
ubun-ubun. Dadanya mengeras dengan puting susu yang mungkin menjadi kehitaman. Otot-otot
pahanya terlihat jelas, menahan ekor naga yang lebih kuat dari dirinya.
Cerita yang terpukau dari seniman
itu kuresapi dengan baik. Tokoh sejarah Bali yang pinggul kerasnya dililit naga
raksasa, di atas ‘lautan’ masa itu. Pahatan sempurna akan sosok ini cukup
menjelaskan makna yang tersembunyi. Mudah pula menikmati karena jalanan Nusa
Dua memang ‘seakan-akan’ diperuntukkan kepada pejalan kaki saja. Sisik naga
yang terpahat jelas serupa dengan kain kotak-kotak yang mengikat bagian intim
penakluk naga itu. Entah di bagian mana celah itu ada untuk mencacatkan pahatan
seniman yang memahatnya.
‘Sang Raja’ dan seekor naga yang memperebutkan mahkota.
Negeri ini adalah negeri patung. Negeri patung ini bernama Bali. Tiap langkah yang engkau luruskan, patung-patung itu menyapa dengan segenap keelokan
di dalam dirinya. Tidak senja. Tidak pula fajar. Engkau dengan mudah menatap matanya, selurus tubuh gagahnya, seisi
seksi di dalam dirinya. Di mana-mana, dengan keunikan tersendiri, dengan
penghambaan yang absurd maupun untuk mengenang sesuatu, asal-muasal yang pernah
meletus di suatu masa.
Itulah Bali. Kusebut juga, negeri
seniman yang tak pernah henti. Dua karya yang kusentuh di awal; Eat, Pray, Love
maupun Perahu Kertas, keduanya berbicara soal seniman di Bali, pahatan patung
maupun bau ‘dupa’ yang menyengat indera penciuman. Jika patung mudah engkau lihat, maka ‘dupa’ lebih mudah
lagi dalam menciumnya.
Halaman yang dihiasi oleh ‘ibu-ibu’ dengan bakul miliknya.
Di tiap persinggahan; di teras
rumah, di depan bangunan, adalah patung dengan pahatan penuh makna yang di
dalamnya keluar asap ‘doa’ yang mungkin akan memakmurkan pemiliknya. Suatu saat
engkau ke sana, ceritakan kepadaku,
patung mana yang membuat terkesima atau bahkan terkejut karena rupanya!
Categories
Uncategorized

Bangkok Sky Train dalam Tingkah Polah Kegantengan Pria Gajah Putih

DNA menghentakkan telinga, dibalut dengan nada-nada menggebu oleh Bangtan Sonyeondan, atau mungkin lebih dikenal dengan BTS. Lagu-lagu mereka saya akui memang tidak masuk ke dalam list putar, entah kenapa lagu dengan banyak bagian rap dan musik yang memengkakkan telinga kurang peka didengar. Beda selera mungkin, di mana saya lebih menyukai EXO atau Wanna One yang memiliki main vocalist dengan suara merdu. Chen dengan suara lengking, D.O Kyung-soo dengan suara berat, Jaehwan dengan cita rasa musik tinggi atau Minhyun dengan suara lembut dan menggoda.
Mungkin, mereka mendengar salah satu dari musik itu. Mungkin juga, mereka tidak melakukannya
sama sekali. Saya ‘hanya’ tahu mereka
dengan mesranya bercumbu dengan earphone
dalam dinginnya BTS. Oh, ini bukan
grupband Korea Selatan yang diawal saya sebut, ini adalah aroma menggelora dan
penuh sentuhan tak sengaja dalam Bangkok Sky Train atau sering disebut BTS. Kereta
api cepat di tengah kota Bangkok ini tergolong idaman banyak orang, berjejer
mereka mengantri di pintu masuk pada jam-jam sibuk, terlebih sore sepulang
kerja dan sekolah.
Berbaur dengan mereka yang beda
suku dan juga bahasa, membuat saya seolah berpikir bahwa hari itu berlaju
dengan kencang seperti lajunya BTS. Tak ada kata ‘sebentar’ atau ‘tunggu dulu’
di depan gerbang yang telah menanti mesin penggesek kartu masuk ke BTS. Gerbong
kereta api cepat itu berdecit dengan merdu, berdiri di depan orang-orang yang
menunggu, membuka pintu secara otomatis, di sisi kanan penumpang turun dan di
sisi kiri calon penumpang naik dengan tergesa-gesa; berharap dapat kursi.
Stasiun BTS yang sepi, menunggu penumpang dan kereta datang.
Tak ayal, saya yang mengekor pada
guide dengan langkah cepatnya, tidak
bisa bernapas lega karena kursi BTS telah diisi oleh mereka yang elok fisiknya.
Namun, di antara saya, dengan santainya mereka yang lain, tampan rupawan, seksi
menggoda, memegang pegangan di atas kepala, kembali larut dalam lagu-lagu entah
apa bunyinya dari earphone di
telingannya. Sama dengan kami, saat guide
kami menyebut tempat tujuan, mungkin mereka juga telah hapal betul berapa lama
waktu akan sampai ke ‘rumah’ dengan selamat dalam lelah seharian.
Di stasiun tertentu, entah apa
namanya, sama dalam bahasa Thailand dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris
sepatah-patah, pintu BTS dibuka dengan cepat penumpang keluar dan diganti lagi
dengan penumpang lain. Begitu seterusnya di stasiun-stasiun lain. Pemandangan tetap
sama, mereka yang masuk terburu, mereka yang keluar juga dalam keadaan terburu,
memasang earphone di telinganya. Mereka
abai sekeliling. Mereka tidak berkutik dari layar smartphone di genggaman tangannya, meskipun pada menit-menit
berlalu rem BTS berderit kuat sekali.
Sebelum naik BTS, calon penumpang harus memiliki kartu ini dulu yang dapat ditebus di stasiun.
BTS itu tak pernah sepi dari
waktu ke waktu. Mungkin sore, adalah puncak kepadatan itu terjadi. Kereta api
cepat itu melaju kencang, musik yang terdengar dari penumpang di samping saya
juga kencang sekali. Saya malah mengira, penumpang itu telah kebal dengan suara
melengking sampai keluar earphone.
Dan, seolah tidak ada yang
berwajah biasa-biasa saja dalam BTS ini. Silih-berganti penumpang yang datang
adalah mereka yang terpoles dalam kegantengan dan kecantikan ‘gajah putih’
serupa dengan yel-yel negara mereka. Lihatlah bagaimana pemuda tampan ini abai
terhadap penumpang lain, ia memutar musik, menikmati perjalanan sambil berdiri
namun tidak tahu ‘saya’ beserta orang lain mengarahkan kamera smartphone ke dirinya.
Memotret yang tampan di dalam BTS, ‘dia’ juga ketahuan melakukannya.
Penantian yang panjang tetapi
terasa melesat cepat sekali. BTS itu menurunkan saya bersama yang lain di
stasiun dekat pusat perbelanjaan termewah, Siam Paragon. Dan lagi-lagi, di
jalan setapak, langkah kaki cepat, earphone
terpasang dengan kuatnya di telinga mereka. Saya tidak tahu irama apa yang
didengar. Entah pula apa yang mereka lihat dari layar smartphone, mungkin juga menengok jual beli online yang menarik
minat. Mungkin juga, mereka hanya memutar-balikkan layar dalam jenuh perjalanan.
Tak mungkin pula mereka mencari promo tiket lebaran,
kecuali saya yang melakukannya. Cepatnya waktu, naik-turunnya penumpang dari
BTS, gerak langkah yang tak terbendung, adalah irama yang lebi menarik dan
tidak boleh saya lewati. Kesibukan masing-masing dalam BTS yang mungkin dari earphone juga keluar musiknya BTS,
menjadi nikmat yang kemudian saya syukuri. Bahwa, di negara itu tak ada kata untuk melambankan langkah, tak ada waktu
untuk ngobrol panjang bersama teman, tak ada pula waktu untuk menikmati alam
yang gaduh dengan kendaraan!
Wajah lelah seharian mengitari Bangkok.
Semua berirama. Semua menarik
mata saya. Dan semua membuat saya ingin kembali, mungkin nanti, mungkin kapan-kapan lagi!

Categories
Uncategorized

Kuil Erawan; Aroma Kemenyan dan Sujud Doa di Tengah Kemewahan Bangkok

Seperempat waktu, mungkin kurang lagi dari itu, pernah saya lewatkan di tengah gemerlap, Bangkok, Thailand. Saya pikir, awal yang manis di pembukaan tahun 2017 setelah pertengahan 2014, passport tersimpan dengan ‘merana’ di dalam lemari pakaian. Usai galau yang panjang, kekhawatiran yang merebak, saya tiba di Bangkok dengan tarikan napas berat. Negeri Gajah Putih yang khas, kental dengan aroma ‘kemenyan’ dan ‘gajah’ di mana-mana. Lihat itu, saya seolah terdampar ke bawah langit Bali, yang seolah mendung tetapi terik mendidih isi kepala.
Dua aroma yang sama; kekhusyukan dalam ‘beribadah’ sesuai
kepercayaan yang dianut. Jika Bali bersahaja dengan Brahmana. Maka, Bangkok
adalah miliknya Siddhartha Gautama dengan patungnya hampir di tiap sudut kota. Hindu
dan Buddha. Dua keyakinan yang berbeda dengan saya. Dua pengetahuan yang saya ‘hampa’
di dalamnya. Di mana, di dua tempat ini saya hanya melihat, meresapi, merasakan
khidmatnya umat beribadah sesuai ajaran masing-masing.
Bali dengan candi-candi
peninggalan Hindu yang kuno dan eksotik. Bangkok dengan gagah dalam
patung-patung Buddha yang kokoh mencakar langit, bahkan berbaring dengan
melankolis. Namun keduanya memiliki kesamaan yang kentara. Keduanya memiliki perbedaan
yang serupa. Bali dalam adat dan budaya yang ‘tertinggal’ sedangkan Bangkok
dikemas dengan sangat modern.
Saya menelusuri sudut kota
Bangkok, di antara klakson kendaran yang padat di banyak ruas jalan. Gedung pencakar
langit sama miripnya dengan gedung di kota besar lain yang pernah saya
kunjungi, hanya saja arsitekturnya yang berbeda dan mencerminkan gaya ‘busana’
Bangkok yang pucat dalam kebisuan dan keheningan. Di selokan pinggir jalan,
sulit sekali menemui sampah apalagi di tengah jalan setapak – trotoar. Kota ini
bersih, sebut saya dalam hati. Kota ini berpacu dalam waktu, ujar sisi hati
saya yang lain. Dan kota ini fashionable,
kagum saya tak terkira.
Di perempat jalan, di sisi
manapun hampir terlihat butik-butik dengan aneka pakaian ‘mahal’ dan pusat
perbelanjaan seperti Siam Paragon, adalah konteks kemewahan yang tiada terkira.
Saya memang tidak begitu baik dalam mengingat tiap kenangan maupun tempat yang
pernah disinggahi. Hanya aroma yang menyengat tak bisa dilupakan begitu saja. Ini
lantas menjadi alasan saya mengaitkan Bangkok dengan Bali, dalam suatu waktu
tidak penting jika ingin menganalisisnya. Tetapi, jika kamu singgah ke negara
tetangga ini, akan dengan mudah mendapati patung Buddha bahkan tempat
peribadatan di tengah kota, di tempat terbuka, di bawah Bangkok Sky Train (BTS)
yang melaju di jalurnya, di tengah sempitnya jalanan dan di semraut sopir taksi
memarkirkan kendaraan mereka, saat menaikkan atau menurunkan penumpang.
Duduk dengan mata terpejam,
menghayati alam dalam ketidakinginannya, patung Buddha itu dipayungi ‘emas’
berkilau; ramai dalam bau kemenyan dan
berdesak mereka yang membakar dupa
. Saya berdiri di dekat itu, lalu
mendekat, melihat sejenak keriuhan, desak-desakan dengan mereka dari berbagai
negara, dideru BTS dan cicitan rel kereta kota cepat itu. Di sini, Kuil Erawan
berdiri dengan penuh pesona!
Kuil Erawan di tengah Kota Bangkok, Thailand.
Kuil Erawan di tengah kota
Bangkok, dipugar di tengah-tengah jalan raya. Mudah saja turis singgah karena
dekat dengan jalan setapak, tempat perhentian taksi, dan juga Amarin Plaza
serta Hotel Grand Hyatt Erawan Bangkok. Seperti saya, tak sengaja dibawa oleh guide kami melintasi jalanan ini, saat
sebenarnya kami ingin mencari taksi kembali ke hotel hari itu. Tak mau
melewatkan pemandangan eksotik, saya mampir memotret dan mencari tahu tentang
Kuil Erawan.
Unik di tengah kota mungkin
menjadi nilai jual tersendiri dari Kuil Erawan. Patung Phra Phrom adalah
representasi Thailand terhadap Dewa Pencipta, Brahma, dalam agama Hindu. Dibangun
pada tahun 1956, Kuil Erawan dipercaya untuk mengusir kemalangan. Meskipun kuil
ini milik umat Hindu, banyak sekali umat Buddha yang bersembahyang di kuil
penuh kilau warna emas itu. Saya juga melihat, mereka yang bukan berwajah
pribumi, bule-bule tampan dan cantik juga membakar dupa, lalu sujud dalam doa
entah berdasarkan ajaran apa.
Orang-orang sembahyang tiada
batasan di Kuil Erawan ini. Mungkin juga mereka ingin mengenang korban ledakan
parah di 2015. Mungkin juga, mereka ingin meminta sesuatu dalam kekuatan Hindu
agar pulang dengan penuh keberkatan ke negara masing-masing. Mungkin juga
mereka ingin ditabahkan agar tidak tergoda dengan produk-produk bermerek di
pusat perbelanjaan mewah dan mahal, di persimpangan Ratchprasong. Semua mungkin
didoakan.
Siapa saja berdoa di Kuil Erawan.
Barangkali, doa pemberkatan
menjadi hal menarik di Kuil Erawan. Irama yang didendangkan oleh pemukul
gendang, dilenggokkan oleh beberapa orang penari dengan pakaian adat Thailand. Di
depan penari, dua orang – bisa lebih atau kurang – duduk dengan kedua tangan
dikatup, diletakkan di dada. Mata terpejam dan menunduk, seolah memohon agar
semua keinginan segera dikabulkan. Mereka terus membungkuk sampai suara musik
berhenti.
Lagu berhenti, mereka yang
mencari pemberkatan lain bergantian bersimbah di tempat serupa. Irama diperdengarkan,
rutinitas pemberkatan kembali digelar. Begitu seterusnya sampai usai semua ‘pendaftar’
yang telah mengantri panjang. Dalam aroma kemenyan dalam dupa yang terus
dibakar, barangkali upacara pemberkatan itu telah membawa senyum kepada mereka
yang melakukannya.
Upacara pemberkatan di Kuil Erawan.
Saya sempat mabuk dengan aroma
kemenyan. Namun dupa yang dijual di dekat itu tidak bisa dihentikan begitu
saja. Turis yang datang silih-berganti, terus membakar dupa di depan Patung Phra
Phrom yang sebelah kakinya diturunkan dan sebelah lagi disilang. Gedung dengan
papan iklan menarik pemandangan seketika. Jalur BTS di ruas kiri dan kanan juga
demikian. Sedikit dalam cemas, saya seolah membayangkan BTS itu terjun bebas
karena rem lepas seperti film-film laga. Rel BTS yang usang, mungkin karena
terkena hujan dan debu; serta iklan-iklan berjalan di dinding-dinding BTS yang
lewat.
Namun, tampaknya orang lain tidak
begitu memedulikan BTS-BTS yang lewat di atas kepala kami. Di antara turis ada
yang konsentrasi membakar dupa, bergantian dengan yang lain menempatkannya di
sisi yang telah disediakan, dan juga ada yang masih mengantri untuk melalui
prosesi pemberkatan. Entah doa apa yang terucap. Entah harapan apa yang keluar
dari bahasa yang sama sekali tidak saya pahami. Mereka yang singgah dengan tatapan
penuh harap, suatu kali pasti mendambakan harapan-harapan; seperti dapat jodoh sepulang dari Bangkok, bisa saja itu terjadi
sama halnya seperti filosofi berdoa saat bintang jatuh.
Kuil Erawan yang berada di bawah rel BTS.
Lepas dari Kuil Erawan adalah kota
Bangkok yang kemelut kemewahan namun dipadu dengan ringkihan mereka di kaki
lima. Di dalam gedung bertingkat, boleh saja cemilan mahal dijual, atau pakaian
gemerlap dipamerkan oleh model-model kelas atas. Namun di pintu masuk otomatis
itu, pedagang kaki lima, mereka yang bersandal, tak bisa dilupakan begitu saja.
Fashion yang kuat sangat berbeda
dengan mereka yang hanya mengenakan celana sebatas lutut usang. Tas bermerek,
sangat timpang dengan kantung plastik yang ditenteng oleh mereka yang lain. Promosi
diskon besar-besaran di baliho besar, sangat berbanding terbalik dengan penjaja
kaki lima dengan harga lebih murah namun belum laku dalam jumlah banyak.
Ketimpangan di kota Bangkok, Thailand.
Begitulah Bangkok. Mistis di
tengah kota. Tidak seimbang pula di sisi lainya. Saya hanya melintas sebentar
saja. Di jalanan padat, ke Kuil Erawan yang penuh dupa maupun ke Siam Paragon
yang penuh kemewahan.
Rel BTS di tengah kota Bangkok.
Saat pulang di malam hari, aroma
kemenyan dari dupa Kuil Erawan seolah banyak mengekor. Malam yang padat di
Bangkok, jajanan yang dijual di mana-mana, membuat hidung ‘kelaparan’ tetapi
kami harus tahan. Kami harus bertahan untuk tidak tergoda; karena sudah pasti
sebagian besar makanan itu tidak termasuk ke dalam makanan halal. Waktu meninggalkan
Kuil Erawan dalam malam pekat. Mungkin masih ada yang berdoa di sana. Mungkin juga
tidak. Entah, jika saya kembali ke sini suatu saat nanti dan menengoknya di
malam hari!
Malam di kota Bangkok, Thailand.
Categories
Uncategorized

Dua Turis, Dua Kebodohan dalam Bahasa ‘China’ yang Tidak Dimengerti

Saat itu, menerima e-mail dengan titah ‘undangan’ traveling menjadi idaman, berbunga meski
hanya membaca subjek surat elektronik itu saja. Semula, saya memang tidak
berharap banyak – bahwa – dengan menulis dapat menelusuri senja di langit
negeri mereka yang jauhnya tak bisa
saya jabarkan. Hanya waktu yang terus, menggebu, membingkai kenangan, dalam
kubangan keelokan hari, meski panas atau gerimis menerpa sayap pesawat terbang
yang saya tumpangi.

Begitu rasa menggiba pada kasih
sayang di ruang tunggu, terminal keberangkatan, di bandar udara, tiap itu saya
berharap bahwa waktu segera berlalu. Saya sering termangu, menatap mereka yang
lebih dulu mengejar pintu pesawat yang nyaris ditutup pramugari cantik, dalam
bingkai senyuman semanis permen yang mereka sodorkan – kadang ada kadang tiada.
Earphone yang terpasang di dua
telinga sekonyong-konyong telah habis memutar semua lagu yang tersimpan dalam
memori smartphone. Padahal, jelas
sekali itu hanya ilusi yang membunuh suntuk seketika tak mau pergi.
Pengalaman transit pesawat terbang.
Lain ruang tunggu yang disemuti
oleh kebosanan, lain pula saat transit, dalam tergopoh-gopoh menuju gate yang telah tercoret di boarding pass. Bandara yang luas,
berkelok dengan tangga seolah tak henti, mungkin akan tersesat bila saya lupa
bahkan mungkin tidak mengerti arah panah di atas kepala kami. Klaim bagasi. Transit. Toilet. Semua
memiliki panah. Semua diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris.
Perjalanan jam 06.00, pagi
menggelora dalam dingin, selalu membutuhkan energi lebih untuk mengejar
penerbangan pertama dari Banda Aceh ke Jakarta. Pesawat terbang ‘Singa’ itu
bisa saya sebut, selalu tepat waktu jika penerbangan pagi buta, lain halnya
dengan penerbangan pada jam-jam sibuk lain. Dari tanah rencong ke Ibu Kota dengan maskapai ini membutuhkan waktu lebih
kurang 5 jam dari waktu normal 2 jam 50 menit atau 3 jam perjalanan nonstop.
Pulang pergi, adalah hal yang
wajar singgah di Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara. Kira-kira 40
menit berjalan untuk mengganti penumpang yang turun di Medan dan berangkat ke Jakarta.
Kejenuhan terjadi tak bisa dialamatkan kepada siapa bila pengumuman menjerumus
kami untuk tetap di dalam pesawat terbang, dengan tanpa hiburan apapun. Kegundahan
dalam waktu menerpa hati saat pramugari mengumumkan untuk turun ke terminal
kedatangan, melapor kembali ke petugas darat untuk melanjutkan dengan pesawat
berbeda atau dengan nomor penerbangan yang sama.
‘Lorong-lorong’ di bandara yang selalu panjang.
Di Mei 2017, hampir separuh waktu
berlalu, saya pulang dengan segenap harapan dan melupakan kenangan di Ibu Kota.
Pesawat kami terbang tinggi di langit Jawa, lalu berjajar dengan awan di atas
Sumatera, pukul 11.50, sepenggalah. Dua jam lagi, pesawat itu akan merapat ke ‘dermaga’
di Deli Serdang. Di pengumuman keberangkatan, suara indah itu telah menyebut
bahwa penerbangan ini transit di Medan lalu ‘berlabuh’ kembali ke Banda Aceh.
Suing mendera, pesawat dengan
logo orange di ekor dan sayapnya itu
direm atas landasan pacu. Tergopoh penumpang asal Medan turun ke ‘rumah’ mereka
dengan selamat, atau penumpang yang ‘singgah’ ke Medan memburu waktu agar acara
tak terlewatkan dalam semenit. Kami menunggu pengumuman, masa yang tak lama,
ujar pramugari itu, lebih kurang begini, “Kepada
penumpang transit agar dapat turun dari pesawat udara dan melapor kepada
petugas darat,”
Mau tidak mau, bagasi kabin harus
dikeluarkan. Ikut antrian di lorong kabin yang sesak. Lalu, bergegas menuju
petugas transit yang entah di mana. Lurus. Belok kanan atau kiri. Naik turun
tangga. Saya merasa kasihan – terkadang – kepada mereka yang menarik koper ke
atas kabin. Saat ganti pesawat begini, lelah dalam keringat di siang terik tak
bisa dijabarkan kembali. Nahasnya, jika pesawat yang diganti adalah pesawat
yang sama, akan duduk di kursi yang sama, kesal
itu tak tahu mesti diteriakkan kepada siapa.
Di sini, bermula dua kebodohan,
dari dua turis yang mengangga menatap papan pengumuman di atas kepala kami. Semula
saya tidak mengubris, saya pikir, turis China itu tahu ke mana tujuan dan apa
yang mesti dilakukan. Meskipun, saya kasihan mereka tidak tahu suara-suara
bising berujar apa di lingkaran kami.
Saya menaiki tangga, berjalan di
atas kapet yang serasa seperti karpet merah ajang penghargaan film dunia. Dua China
dengan mata sipit – semua orang juga tahu mereka dari negeri Tirai Bambu –
menguatkan diri dalam bahasa Mandarin. Saya tak paham. Tentu, karena saya lebih
suka drama Korea Selatan sehingga tahu bentuk bahasa Negeri Ginseng
dibandingkan bahasa Jackie Chan. Dua turis China itu terus bercakap-cakap,
menunjuk penumpang yang turun tangga atau penumpang lain yang berjalan lurus.
Saya beberapa langkah di belakang
dua turis China yang gamang dan terhenti langkahnya di sisi tangga, atau lanjut
mengikuti penumpang lain yang rata-rata berjilbab – perempuannya. Dalam hati,
saya didesak untuk menegur. Di sisi lain, saya malah kelu mengingat bahasa
Inggris yang benar-benar bagai kambing jantan naik tangga. Namun pias di wajah
keduanya membuat saya iba. Saya tegur. Terbata dalam bahasa Inggris yang saya
sendiri malu menulis bentuk percakapannya di sini.
Saya pikir saya adalah ‘turis’
yang tidak beruntung. Saya cukup mampu mengerti tiap kata yang tertulis dalam
bahasa Inggris di papan pengumuman terminal kedatangan ini. Namun keberuntungan
sepertinya lebih tidak memihak kepada dua turis China ini. Saya menyapa dalam
bahasa Inggris ‘standar’, keduanya melongo dan mengerutkan kening.
Kebingungan saya melanda. Saya sepertinya
salah alamat, menyapa kedua turis China ini. Mungkin, mereka pikir, saya entah
siapa dan mengapa menyapa mereka yang tak perlu bantuan sama sekali. Lantas,
saya membungkukkan badan ala orang Korea Selatan, dan mengangkat kaki mengejar
ketertinggalan penumpang lain yang telah menyentuh pintu masuk ke ruang ganti
pesawat.
Saya tidak mau di pengeras suara
itu nanti, keluar nama saya sebagai ‘panggilan terakhir’ yang masuk ke dalam
penumpang yang kemungkinan ditinggal terbang. Langkah yang belum tersentuh ke
karpet bukan warna merah itu seolah ditarik kembali ke belakang. Bapak China
itu menepuk pundak saya, ia menyodorkan boarding
pass
dan menunjuk tujuan perjalanan mereka.
Ruang tunggu yang tidak pernah sepi.
Oh, ini bukan alamat palsu. Saya
tidak salah menegur dalam bahasa yang terbatas, di mana juga turis China itu
sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Ada keceriaan dalam wajah saya yang
memitam karena lelah. Saya terbata kembali dalam bahasa Inggris, dengan isyarat
tangan ke ‘gerbang’ yang menutup otomatis itu dan mengisyaratkan juga untuk
mengikuti saya.
Dua turis China, entah siapa dan
apa namanya, tujuan mereka adalah ke Banda Aceh. Bicara andai kata, bila saya
tidak berani menegur mereka yang terlena di depan tangga yang turun ke bawah
itu, bisa saja mereka telah tertinggal di Kualanamu. Saya juga tidak sempat
membaca nama Bapak China itu di boarding
pass
yang disodorkannya. Saya hanya mendahulukan mereka melapor ke petugas
darat, yang mencoret gate dan nomor
penerbangan, menggantikan dengan yang baru.
Dua turis China itu, dalam diam
mereka menanti saya yang baru saja menyerahkan boarding pass kepada petugas dengan seragam putih di balik meja. Saya
berbalik, dua turis China itu melempar senyum dan saya menunjuk gate mana yang harus kami tuju, yang
sebenarnya mereka pasti paham karena itu berkenaan dengan angka. Entah kenapa
mereka menunggu. Entah kenapa pula saya cemas terhadap mereka berdua.
Ruang tunggu yang sesak membuat
kami berdiri. Saya sibuk memainkan smartphone
dan kedua turis China itu mengamati sekeliling. Mereka tak bercakap. Saya pun
demikian. Saya mau mengeluarkan jurus ‘pamungkas’ dalam bahasa Inggris yang
terbatas, lebih khawatir lagi mereka tidak paham sama sekali. Saya mau berujar
sedikit kata dalam bahasa Mandarin, yang terlintas di pikiran saya adalah annyeonghaseyo.
Banda Aceh. Banda Aceh. Disebut
oleh petugas yang berdiri di pintu menuju pesawat udara yang membawa saya pulang,
saat itu pula saya melihat ke kedua turis China itu. Bahasa kami adalah isyarat
yang seolah-olah telah menjabarkan segala hal. Saya menyerahkan boarding pass kepada petugas itu,
demikian pula dengan dua turis China. Saya menyelusuri lorong dalam hening, dua
turis China itu juga tidak bercakap-cakap.
Saya masuk terlebih dahulu ke
dalam pesawat, mencari seat di ‘ekor’
yang jauh. Dua turis China itu telah lenyap di antara seat-seat bagian badan pesawat yang kami tumpangi. Demikian pula,
saat kami mendarat dengan selamat di Bandara Sultan Iskandar Muda, menuju senja
itu, saya tidak lagi mendapati dua turis China dengan wajah pias mereka. Mungkin,
mereka telah bahagia bertemu saudara China-nya, yang paham penggalan demi
penggalan kata dalam lelah seharian.
Dua turis, dua kebodohan, dalam
bahasa yang sulit dimengerti. Itu adalah saya dan dua turis China itu. Mereka dengan
bahasa sendiri, saya juga demikian. Di akhir ini, saya selalu galau tentang
bahasa yang sulit dimengerti. Namun keajaiban selalu datang untuk orang-orang baik. Entah, jika saya
berada di posisi dua turis China itu di negeri terasing!

Categories
Uncategorized

ASUS ROG GL503VS Scar dengan Layar Bening Responsif untuk Gamer Sejati

Dunia gaming saat ini begitu mengelora. Tak hanya game yang semarak dihadirkan oleh pengembang tetapi juga lahirnya gamer terbaik dengan segala kondisi yang memungkinkan mereka, agar selalu berinteraksi dalam dunia ini. Tak tanggung-tanggung memang, sejak gaming populer, maka sebagian dari gamer merasakan manfaat yang luar biasa dari profesi ini. Misalnya, menjadikan game sebagai pekerjaan yang menjanjikan. ASUS sendiri sebagai ‘pelopor’ laptop gaming tidak pernah jemu dalam menjamu pasar game dunia, termasuk pasar Indonesia. ASUS memiliki keluarga Republic of Gamers yang benar-benar andal dan dapat diunggulkan oleh banyak gamer.
Kini, ASUS kembali mengenalkan salah satu keluarga terbaru dari ROG yaitu ASUS ROG GL503. Laptop ini memiliki teknologi yang canggih untuk urusan layar agar lebih bening, cerah dan responsif terhadap kinerja. Layar yang bening memang sangat dibutuhkan oleh gamer dalam rangka memainkan peran mereka. Peningkatan pada layar dilakukan dengan memiliki refresh rate sampai 144Hz. Rate ini pertama kali dibenamkan untuk keluarga ROG yang dipercaya mampu menghadirkan gambar yang visual terbaik di kelasnya. 
ASUS ROG GL503VS Scar dengan desain menarik.

Galip Fu, Country Marketing Manager, ASUS Indonesia, dalam siaran tertulis menyebut “Layar 144 Hz memberikan pergerakan (pada game) yang lebih smooth dibanding layar dengan layar 120Hz atau di bawahnya. Selain itu, layar tersebut juga mampu mereduksi efek tearing dan shuttering yang membuat permainan menjadi kurang menyenangkan serta memberikan respons input yang lebih akurat,” 
Dukungan layar yang baik ini akan menjadi pertimbangan bagi gamer yang membutuhkan gambar terbaik pula. Di banyak sisi, gamer akan sering berinteraksi dengan layar selain performa kinerja utama seperti prosesor, RAM maupun grafis. Layar yang baik mampu menghadirkan grafis terbaik pula di mana gamer tidak akan tertipu dengan musuh di sudut tertentu. 
Logo ROG berwarna putih yang elegan.

ASUS membenamkan grafis Nvidia GTX1070 di mana memiliki 1920 core yang disebut dengan CUDA core. Besarnya core ini akan berpengaruh kepada grafis agar lebih akurat dan tajam. Grafis ini akan menghadirkan pengalaman yang lebih menarik dan mengagumkan di kelasnya. Selain itu, desain yang mewah dan berkelas premium menghadirkan kepuasan tersendiri bagi pengguna dalam menunjang aktivitas mereka sebagai gamer. Desain dan grafis yang saling bekerja sama ini akan membuat pengguna nyaman selama menggunakan keluarga terbaru ROG ini. 
Performa yang baik didukung oleh dapur picu Intel Core i7-7700HQ berkecepatan 2,8GHz yang bisa dimaksimalkan hingga 3,8GHz. Desain ini dibalut dalam ketebalan 2,3 cm dan berat 2,3 kg. Memiliki angka yang sama membuat ROG ini terkesan memiliki apa yang dibutuhkan selama ini oleh seorang gamer. Logo ROG yang menguatkan posisinya terletak di bagian tengah dengan kesan yang maskulin dan elegan. Meskipun kesannya gagah sekali namun laptop ini tidak hanya diperuntukkan kepada pria saja. 
Tetap hadir dalam bingkai gagah ala ROG

Kinerja yang lebih baik tentu tidak seimbang jika belum didukung oleh penyimpanan dan RAM. ASUS memberikan solusi terbaik dengan kapasitas ruang sebesar 32GB bertipe DDR4. Dukungan ini akan memuluskan kinerja sistem untuk mengolah performa komputasi dengan lancar, terutama dalam aspek multitasking. Nvidia GTX 1070 menyimpan video memori alias VRAM 8GB GDDR5, memungkinkan notebook untuk mengolah grafis lebih mulus, tajam, dan memanjakan mata sebab telah dilengkapi dengan teknologi panel layar 50 persen lebih baik dari kompetitor. Harddisk berkapasitas 1TB dan SSD yang berkapasitas 256GB akan memberikan performa lebih saat loading sistem operasi, ataupun sedang bermain game. 
Hal menarik lain adalah layout keyboard untuk ROG GL503 menggunakan full-size chicklet keyboard yang dilengkapi dengan backlight dan jarak tekan sebesar 0.25 milimeter yang memastikan kenyamanan pengguna dalam bermain. ASUS menambahkan tanda khusus di tombol WASD untuk memudahkan pengguna saat bermain dalam suasana ruangan yang redup. Dukungan RGB dengan empat warna, merah, kuning, hijau dan ungu memberikan kesan mendalam bagi pengguna dalam bermain. 
Bukan laptop gaming jika belum menyebut pendingin. Maka, ASUS menanamkan teknologi Hyper Cool duo-copper thermal solution yang diletakkan pada CPU dan GPU notebook ASUS ROG GL503. Tentu, ini sangat berguna bagi gamer yang bekerja lama dan membutuhkan laptop selalu dalam keadaan stabil. ASUS tak lupa dengan fitur IceCool Technology yang menjaga bagian notebook yang tersentuh telapak tangan tetap dingin. Menarik sekali untuk hal ini dalam sebuah laptop gaming. 
Layar terbaik untuk para gamer!

Kualitas yang baik tentu saja didukung oleh harga yang menggiurkan pula. ASUS memberikan nilai tinggi terhadap laptop ini. ASUS ROG GL503 dijual dengan harga Rp 38.299.000 di Indonesia. Apakah tertarik untuk meminangnya?

Main Spec. ROG GL503VS
OS Microsoft Windows 10 Home
CPU i7-7700HQ 2.8 GHz (6M Cache, up to 3.8 GHz)
Memory 32GB DDR4 RAM
Storage 1TB SSHD+ 256GB PCIe 3×4 SSD
Display 15,6” Non-glare IPS Full HD (1920 x 1080) 144Hz IPS level panel
Graphics NVidia GeForce GTX1070 8G DDR5
Input/Output 3x USB 3.0, 1x USB 3.1 Type-C, 1x HDMI port,
1x Mini port, 3-in-1 cardreader (SD/SDXC)
Camera Built-in HD Camera and array mic
Connectivity 802.11AC+BT
Audio Dual Array Microphone
Bang & Olufsen ICEpower with SonicMaster
Weight 2.3Kg
Dimension 39.0(W) x 26.6(D) x 3.01(H) cm
Keyboard Illuminated chiclet keyboard, 1,6mm of key travel distance,
specially designed WASD cursor keys
Dukungan Service Indonesia Ya
Special Design Alumunium alloy body, Elegant and modern lines,
New ROG Strix design
Battery 4 cells, 4.120mAh
MSRP Rp 38.299.000
Warranty 2 years full global warranty
Categories
Uncategorized

ZenFone Max Plus M1 Pesona Baterai ‘PowerBank’ dalam Layar Lebar

Pertama menggunakan ZenFone Max adalah generasi ketiga yaitu ZenFone 3 Max. Saya akui bahwa keluarga Max ini memang sangat unggul dalam penggunaan baterai. Lepas dari itu, ZenFone 4 Max Pro juga saya pegang dan nikmati keindahan yang ditawarkan di dalamnya. Layar besar 5,5 inci membuat saya nyaman dalam multimedia dengan baterai tahan lama. Semula, saya pikir ASUS hanya membenamkan baterai besar saja dengan keunggulan lain bisa menjadi powerbank. Tetapi, ASUS juga membenamkan kamera terbaik di kelasnya dan juga dapur picu terbaik.
ASUS ZenFone Max telah melekat sebagai sebuah smartphone dengan kekuatan baterai yang tiada tanding. Saya terkagum karena wajar dengan spesifikasi yang tinggi, ZenFone Max yang telah saya pakai cukup membuat nyaman dalam beraktivitas. Dan kini, ASUS dengan bangga kembali mengenalkan keluarga terbaru yaitu ZenFone Max Plus M1. Baterai tahan lama dibalut dalam bodi sebesar 5,7 inci namun terkesan imut, elegan dan mewah dengan full-view display. Semestinya, saya bergegas mencuri kesempatan agar memiliki ZenFone Max Plus M1 agar menunjang gaya hidup sebagai blogger, guru dan pekerja sosial. 
Saat di lapangan, saat mengajar, saya membutuhkan smartphone dengan layar besar dan tahan lama. Aktivitas seharian antara sekolah dengan lingkungan masyarakat membuat saya tidak boleh jauh dari smartphone. Hal yang paling penting adalah untuk mengabadikan tiap momentum agar menjadi kenangan manis dan dibagikan ke pembaca blog agar mereka tahu apa yang saya rasa, saya lihat, dan saya dalami dengan baik. 
Benjamin Yeh, Regional Director ASUS South East Asia, dalam siaran tertulis menyebut bahwa, “ZenFone Max Plus M1 kami hadirkan di Indonesia, sekaligus dimulainya era perangkat komunikasi mobile generasi terbaru ASUS. Zenfone Max terbaru ini punya fitur yang kami sebut sebagai Max Display, Max Photos, Max Stamina dan Max Convenience,
Layar Lebar yang Terlihat ‘Kecil’ 

ASUS ZenFone Max Plus M1 dengan layar rasio 18:9

ASUS menyebut ZenFone Max Plus M1 dengan ‘Max Display’ di mana ukuran layar besar namun begitu ‘kecil’ terlihat. Smartphone ini hadir dengan layar 5,7 inci HD+ dan dibalut dengan aspect ratio ultra wide 18:9 dan bezel yang sangat tipis, sehingga layarnya terlihat seperti smartphone 5,2 inci. Kesan ‘imut’ ini membuat keluarga terbaru Max tersebut memiliki cita rasa tersendiri. Di satu sisi, mudah menikmati multimedia dan di sisi lain juga mudah memainkan sebuah permainan. 

Aspek rasio nyaris tanpa bezel menjadi pertimbangan tersendiri, selain mengikuti tren juga mengikuti keinginan pengguna yang lebih menyukai layar besar. Rata-rata pengguna smartphone membutuhkan layar luas untuk menikmati sebuah tontonan dan bermain game. Dengan layar luas, bateri tahan lama, ZenFone Max Plus M1 adalah pilihan terbaik untuk multimedia dan gaming!

Foto ‘Natural’ dan Alami 

ZenFone Max Plus M1 dengan hasil foto terbaik di kelasnya.

Saya sempat menyebut bahwa kamera ZenFone Max tidak mengecewakan. Wajar jika ZenFone Max Plus M1 menjadi lokomotor Max Photo karena hasilnya seimbang dengan harga jual. Kamera depan mendukung LED flash yang membuat pengguna bisa menikmati foto dalam minim cahaya. Kamera belakang adalah dual camera yang canggih di kelasnya. Resolusi 16 MP dan bukaan kamera f/2.0 akan menghadirkan foto terbaik berkat dukungan fitur dari PDAF di mana foto akan lebih jernih, tajam, dan juga mudah memotret gambar bergerak.

Sudut pandang kamera 120 derajat akan membuat banyak objek masuk ke dalam foto. Hal ini tentu saja sangat menarik mengingat tidak banyak kamera smartphone menempatkan hal serupa. Meskipun dual camera, fitur ini sangat dibutuhkan untuk menangkap objek yang selama ini terhalang oleh lensa kamera. Maka, saat memotret, tidak perlu lagi untuk geser lebih rapat karena hasilnya akan menampakkan lebih luas pemandangan yang dipotret. 

Kekuatan Dahsyat yang Tak Boleh Diragukan 

ZenFone Max Plus M1 dengan baterai tahan lama dan bisa jadi powerbank.

Bukan rahasia lagi jika keluarga Max adalah pemilik baterai tahan lama. Kapasitas baterai yang kuat melebelinya sebagai Max Stamina. ZenFone Max Plus M1 memiliki baterai sebesar 4.130 mAh yang dapat menyimpan daya lebih besar dan dalam dimensi yang ringkas sehingga tidak mudah habis. Estimasi yang diberikan setelah proses pengujian adalah 26 hari dalam kondisi standby di jaringan 4G, berbicara hingga 26 jam non stop di jaringan 3G, memutar video selama 13 jam, atau menjelajah web selama 21 jam. Selain itu, sama seperti pendahulu, kapasitas baterai yang baik ini dapat dijadikan powerbank untuk mengisi daya smartphone lain jika baterainya di atas 30%. 

Bagi saya sebagai pekerja di luar ruangan, dari satu kelas ke kelas lain, dari satu lokasi ke lokasi lain, ZenFone Max Plus M1 menjadi pilihan untuk mendapatkan perfoma tahan lama. ASUS PowerMaster akan menjamin optimasi baterai lebih baik dan masa aktif baterai sehingga saya tidak perlu khawatir sebentar-sebentar harus menyambungkan ke arus listrik. Kemampuan ini yang sangat dibutuhkan agar pekerjaan terlunasi dan gaya hidup terpenuhi. 

Cepat dan Tangkas dalam Unlock Screen 

ZenFone Max Plus M1 dengan sensor wajah yang cepat dan akurat.

Terkadang, kita kesal karena tidak mudah untuk membuka kunci layar dalam kondisi tangan basah atau berdebu. ZenFone Max Plus M1 memberikan alternatif bagi pengguna dengan menggunakan fitur face unlock. Meskipun dalam kondisi tangan basah atau dalam keadaan tidak stabil lainnya, smartphone ini dapat dibuka dengan sensor wajah. Sebenarnya, fitur ini ada di smartphone kelas atas namun ASUS membenamkan di smartphone terjangkau untuk memberikan pengalaman terbaik kepada pengguna. 

Sensor wajah ke depannya akan menjadi tren dan ZenFone Max Plus M1 telah memulai pada generasi terbaru pada harga terjangkau. Saat-saat tidak terduga memang seringkali terjadi, maka wajar jika pengguna mengaktifkan sensor wajar ini. Smartphone dengan desain tipis dan premium metallic finish ini memang sangat menarik untuk dipinang. ASUS mulai memasarkan produk ini di pasar Indonesia dengan harga Rp 2,7 jutaan. 
Penawaran Terbaik dari ASUS
ASUS memberikan penawaran terbaik bagi calon pengguna ZenFone Max Plus M1. Penawaran tersebut adalah dengan berlangganan kartu Indosat Ooredoo. Deal yang telah disepakati antara ASUS dengan Indosat Ooredoo ini terbilang menarik dan murah. Andri Pranata, Acting Chief Sales and Distribution Officer Indosat Ooredoo, dalam siaran tertulis menyebut bahwa, “Indosat Ooredoo berkerja sama secara ekslusif dengan ASUS untuk memberikan kemudahan para pelanggan mendapatkan smartphone impian mereka. Melalui program bundling ZenFone Max Plus M1, pelanggan dapat membawa pulang smartphone terbaru ini secara gratis hanya dengan berlangganan paket pascabayar IM3 Ooredoo mulai dari Rp189.000 per bulan selama 24 bulan di Gerai Indosat Ooredoo, atau Erafone Store di seluruh Indonesia,
Paket yang ditawarkan memang menarik namun bisa tergolong murah jika kita mau mengalkulasikannya. Di mana masa ‘pembelian’ ini adalah 2 tahun dengan keuntungan sistem ‘kredit’ secara tidak nyata. Pengguna dapat menikmati layanan terbaik dan fitur-fitur terbaik dari ASUS. Indosat Ooredoo menawarkan dua paket untuk program ini. Pertama paket internet freedom postpaid di mana akan mendapatkan kuota data sebesar 13 GB per bulan. Paket kedua adalah paket pulsa sebesar Rp 200 ribu per bulan selama 24 bulan. Paket pulsa ini bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti membeli paket data internet, menelepon maupun mengirim pesan singkat. Jadi, kemudahan bisa dipilih oleh tiap calon pembeli sebelum meminang ASUS ZenFone Max Plus M1 dengan harga terjangkau ini!

ZenFone Max Plus M1 hadir dengan bodi tipis dan elegan.

Main Spec. ZenFone Max Plus M1 (ZB570TL)
Display, Resolution 5,7” HD+ 1440x720p, IPS with 2.5D Glass
CPU 64-bit octa-core processor 1,5GHz
GPU ARM Mali-T860 MP2 520MHz
RAM / Storage LPDDR3 4GB / eMCP 64GB
Supports up to 256GB MicroSD, 100GB Google Drive (free 1 year)
Rear Camera 1 (main) 16MP, f/2.0 aperture,
35mm equivalent focal length in 35mm film camera,
0.03 seconds phase detection auto-focus, LED flash,
instant cameras switching
Rear Camera 2 (wide-angle) 8MP, 120° wide-angle camera 200% wider view,
16.7mm equivalent focal length in 35mm film camera
Front camera 16MP f/2.0 aperture, 35mm focal length
Camera feature PixelMaster 4.0 camera mode:
Beauty, Auto (with HDR features), Selfie Panorama, GIF Animation
Wireless WLAN 802.11 b/g/n, Bluetooth 4.0, Wi-Fi direct
Sensor Rear fingerprint sensor (0.3 seconds unlock, supports 5 fingerprints),
Accelerator, E-Compass, Proximity sensor,
Ambient light sensor, Gyroscope
SIM card and SD slot Triple Slots: dual SIM, one MicroSD card
Slot 1: 2G/3G/4G Nano SIM Card
Slot 2: 2G/3G/4G Nano SIM Card
Slot 3: Supports up to 256GB MicroSD card
Both SIM card slots support 3G WCDMA / 4G LTE network band.
But only one SIM card can connect to 4G LTE service at a time.

Network FDD-LTE, TD-LTE, WCDMA, GSM
Data rate:
LTE Cat4: UL 50 / DL 150 Mbps
DC-HSPA+: UL 5.76 / DL 42 Mbps
GPS GPS, AGPS, GLONASS
Dukungan Service Indonesia Ya
OS Android N and ASUS ZenUI 4.0 with new features
Battery 4.130mAh capacity with fast charging, ASUS PowerMaster technology,
2x longer battery lifespan, up to 26 days 4G standby,
up to 26 hours 3G talk time, up to 13 hours video playback,
up to 21 hours Wi-Fi web browsing
Audio / Microphone Loud speaker, PMIC internal amplifier,
Dual internal microphones with ASUS Noise Reduction Technology,
FM Receiver
Size / Weight 152.6 x 73 x 8.8 mm / 160 grams
Color Deepsea Black and Sunlight Gold
Harga Rp 2,7 jutaan