Categories
Uncategorized

Hebatnya Wali Kota Banda Aceh Main Film Saat Bioskop Haram di Aceh

aceh tidak punya bioskop
Illiza Sa’aduddin Djamal, Wali Kota Banda Aceh main film Surga Menanti bersama Ummi Pipik – jawapos.com
Anak
diperkosa oleh seorang ayah yang bejat. Sekelompok pemuda memperkosa seorang
gadis yang masih perawan.

Seorang anak membunuh orang tua karena harta warisan.
Orang tua mengurung anak yang diduga depresi akibat tak kunjung dapat
pekerjaan.


Eh, tapi ini berita fakta lho. Di media massa cetak
maupun online ramai memberitakan ini. Bahkan media sosial populer paling
kebakaran jenggot untuk share berita terkini.

Saya
pikir ini hanya ada di negeri dongeng saja. Kayak di film-film. Tahunya di Aceh
juga kejadian, tidak hanya di kota saja namun di pelosok yang katanya media
informasi kurang beruntung di sana. 



Namun jangan salah, internet bisa lebih
kencang di pedalaman jika BTS 3G telah terpasang. 



Belum lagi televisi yang
semarak dengan kekerasan melalui berita resmi maupun sinetron-sinetron tak
mendidik. Kamu
search deh berita itu di internet, pasti ketemu. 


Kasus-kasus
yang saya sebutkan di atas kamu tahu. Saya tahu. Mereka tahu. Film hanya
menampilkan seolah-olah kekerasan terjadi. 



Sinetron yang katanya lulus sensor eh
kecolongan minta ampun. Jika di film masih bisa diatasi dengan nggak semua
orang mau nonton dan boleh nonton film ini dan itu.



Contohnya untuk film Ada
Apa dengan Cinta 2
khusus untuk mereka yang 17 atau 18 tahun ke atas. Film Captain America: Civil War dan X-Men: Apocalypse, siapa saja
boleh nonton
toh cuma berantam-berantam saja kayak di negeri khayalan. 


Adapula
film-film sejenis Suster Bunuh Diri, Dokter Nyesot, Malam Jumat Kliwon yang
berbau seks dari A sampai Z tentu anak-anak di bawah umur dilarang masuk
bioskop dan tidak semua bioskop boleh tayang. 



Giliran sinetron di televisi, balap-balapan
kendaraan bermotor, sepeda terbang biasa saja, siapa pun boleh tonton.
Bioskop
itu lebih aman lho dari yang dibayangkan. Katanya, bioskop itu ladang
mesum. Memang ada orang yang hamil karena bioskop?

Ada orang yang berhubungan
seks di dalam bioskop dalam remang-remang, ramai orang, bising suara film. Oh,
cuma pegang-pegang tangan, ciuman saja, kamu saja yang ganjen. 

Belum lagi
kita masih memegang teguh adat ketimuran. Tahu malu dong berbuat mesum
di tempat ramai walaupun itu gelap-gelapan.

Saya pria lho, nggak bangun “itu”
saat konsentrasi ke film dan ke orang lain di depan, belakang, kiri dan kanan!

Namun
Pemerintah Aceh itu memang sesuatu lho. Cetar membahana badai, istilah
Tante Syahrini. Sebelum tsunami – mungkin konflik – Banda Aceh pernah berdiri
bioskop yang cukup terkenal.

Tsunami menggulung Aceh, pendapat ini itu muncul
bahwa nggak boleh ada lagi bioskop di Aceh karena: rawan mesum!

Ampun
DJ! Tuh di pedalaman yang nggak ada bioskop bentar-bentar sudah
hamil anak SMA. Di kos-kosan yang jauh dari pemilik kos tahunya sedang
loncat-loncat di atas kasur.

Pantai yang tersembunyi di Aceh tahunya sedang
banyak yang bahenol. Banyak jalan menuju Roma, banyak cara pula mau berbuat
salah.

Salahnya saat ini adalah mereka yang terlanjur meletakkan pemikiran di
antara selangkangan sehingga kabur antara nyata dan ilusi.

Baiklah.
Aceh memang haram bioskop. Kata ulama. Kata pemimpin negeri ini. Kata DPR. Kata
merekalah, pokoknya.

Tapi kan, baru-baru ini Wali Kota Banda Aceh, Hj.
Illiza Sa’aduddin Djamal, main film lho, Surga Menanti, bersama
istri almarhum Uje, Ummi Pipik, Agus Kuncoro dan lain-lain. Bahkan, Bunda –
sebutan akrab wali kota cantik ini – baru saja menggelar premiere film
ini di Jakarta bersama kru film dan tentu saja pejabat-pejabat Aceh. Mesum
nggak tuh?

Film
Surga Menanti adalah sebuah film religi. Bagus untuk menyasar masyarakat Aceh. Film
ini tentang seorang anak yang menjadi hafiz al-Quran.

Skenario film ini
ditulis oleh Dyah Kalsitorini dan disutradarai oleh Hastobroto. Film yang
diproduksi oleh Khanza Film Production dan Yayasan Syekh Ali Jaber membawa
semangat hapal al-Quran untuk generasi saat ini.

Nggak ada yang salah dengan
film ini, bahkan sangat bagus untuk di tonton oleh banyak orang seperti halnya
Laskar Pelangi.

Aceh Haram Bioskop

Salahnya
itu di Aceh nggak ada bioskop. Di Aceh haram ada bioskop. Tetapi, film Surga
Menanti itu syuting di Aceh dan dibintangi oleh orang nomor satu di Banda Aceh.


Kok bisa dapat izin syuting film di Aceh? Katanya bioskop itu tempat
mesum. Atas nama film layar lebar itu tayangnya di bioskop bukan di televisi
atau layar tancap.

Terus kok mau Wali Kota Banda Aceh ikut main? Pencitraan?
Dapat honor besar? Karena naskahnya bagus? Karena pemainnya bagus? Karena soal
agama?

Lho? Film-film
sebelumnya apa yang kurang? Coba deh kamu sebutin berapa banyak film
religi yang telah diproduksi oleh pegiat film Indonesia.

Kalau mau berpikiran
mesum di mana-mana saja mentok di situ. Setingkat film Harry Potter bisa saja dibilang
mesum.

Film-film kartun Disney dikatai ngajarin hal jelek. Apa kata
jengkrik yang ikut main?

Ini
nih yang buat kecewa penonton. Apa benar untuk sekadar nonton Ibu Wali Kota
yang cantik itu kami harus ke Medan – yang terdekat dengan Aceh.

Itu sama saja
melempar devisa ke “negara” tetangga. Bioskop itu nggak salah sama sekali. Hanya
perilaku orang-orang yang salah.

Sudah banyaklah orang-orang Jakarta hamil di
luar nikah karena bioskop menayangkan ratusan film tiap tahun!

Ilusi
para pemangku kebijakan di Aceh teramat tinggi setingkat dewa. Masyarakat yang
nggak punya biaya cuma diminta tonton televisi dengan drama-drama impor penuh
manipulasi.

Giliran pejabat Aceh tercinta duduk manis manja di dalam bioskop
tiap kali “sidak” ke luar daerah. Di Aceh omongannya mendayu-dayu dan
merajuk-rajuk bahwa bioskop banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya. Nah,
kok ikut nonton juga?

Sisi
mudharat mana yang disasar oleh mereka yang buta terhadap perilaku mesum
di depan mata? Perilaku mesum tanpa sangkut paut dengan bioskop sama sekali.

Bioskop
dan mesum belum memiliki kesamaan sejauh ini. Di Barat saja yang lebih moderat
hanya secuil orang berbuat “jahat” di dalam bioskop.

Siapa yang mau itu yang
ikut. Toh,
malu itu manusiawi sekali. Pemikiran mesum itu kan milik mereka yang
mengangkatnya ke layar lebar.

Nggak ada yang bicarakan, nggak ada yang peduli
dan nggak ada yang cari.

Bioskop
di Aceh tak ada dengan berbagai argumentasi mereka yang mungkin saja belum
pernah masuk ke dalam bioskop dan merasakan “kengerian” di dalam sana.

Wali
Kota Banda Aceh yang terlibat aktif dalam film ini kenapa tidak dicekal? Mau
nggak mau setelah 2 Juni 2016, beliau akan tampil manis di layar lebar.

Bioskop
dipandang haram sama saja mengatakan film yang sedang tayang itu haram!

Film Surga Menanti – movie.co.id
Saya,
kamu, anak-anak, orang tua, remaja, dewasa, konsentrasi ke depan layar dengan
suara gaduh luar biasa.

Setingkat nonton Hunger Games: Mockingjay Part 2 saja
bersama Citra Rahman, saya “ketakutan” minta ampun begitu aksi berkelahi dengan
suara menggelegar atau saat Katniss Everdeen – diperankan oleh Jennifer
Lawrence yang nggak tampil seksi dalam konotasi sebenarnya di film ini – mengendap-endap
masuk ke ruangan bawah tanah yang rawan ranjau, saya hampir pipis dalam celana.

Mau keluar bioskop rugi telah bayar dan malu sama penonton lain. Deg-degan,
ngeri, nyeri, penasaran, campur aduk jadi satu.

Kapan mau menyaluri hasrat
seksual saya saat kondisi ini jika sedang bersama pasangan?

“Tapi,
Bang, coba nonton film yang agak gimana di bioskop. Pasti akan…,” kata
kamu.
Akan
saya nggak tonton. Saya pemilih lho, sama dengan kamu. Masa film hantu
penuh gairah di tonton juga, nanti hilang deh selera makan.

Dan kamu
tahu dong, nggak semua film bisa tayang di bioskop. Jika Aceh ada
bioskop, tim seleksi berhak untuk menayangkan atau tidak sebuah film.

Film yang
mengarahkan ke adegan dewasa, kembalikan ke distributor. Film sejenis Iron Man
atau Pirates of the Caribbean yang banyak lucunya masa dikembalikan juga?

Categories
Uncategorized

Kisah Wanita Diperkosa dan Hamil Seorang Diri

wanita diperkosa
Ilustrasi – loop.co.id
Aku
tidak tahu harus memulai dari mana. Aku tidak ingat dan tidak tahu apa yang
terjadi padaku dalam konsep ilmiah. Aku banyak lupa.

Kata orang aku tidak
waras. Orang-orang lebih banyak menjauhiku karena pikiran selalu tidak seimbang
dengan badan.

Aku mengerjakan ini tetapi pikiranku berada di tempat lain. Aku sedang
bersama seseorang tetapi kemudian aku lupa pernah mengenalnya.

Kukisahkan
tentang ini setelah 16 tahun. Aku malu? Oh tidak. Rasa malu itu tidak pernah
kurasa karena aku selalu memandang sama apa yang terjadi. 



Aku cuma tahu
orang-orang membicarakan tentangku dan tak lama setelah itu aku akan lupa. Orang-orang
bilang aku mengidap suatu penyakit, aku tidak merasa sakit apapun. Jiwaku baik
dan badanku sehat.
Enam
belas tahun lalu, pada malam yang enggan memihak kepadaku. Aku seorang diri di
rumah karena kedua orang tua sedang bepergian ke rumah saudara mereka.

Jangan kamu
tanya saudara dari sebelah siapa, Ayah atau Ibu, aku sungguh tidak
mengingatnya. Aku tidak hapal saudara dari pihak Ayah dan Ibu dengan baik
sebelum melihatnya langsung.

Aku hanya tahu mereka telah pamit usai magrib dan
tiba-tiba gerimis mulai turun. Saat itu rumah kami belum ada aliran listrik. Aku
duduk di sudut menghadap ke jendela dalam remang.

Aku menunggu Ayah dan Ibu
pulang. Gerimis yang mulai panik turun dengan sangat lebat. Malam yang pekat
tampak putih oleh hujan.

Pohon-pohon bergoyang di depan rumahku. Sebuah bayangan
melintas dan tiba-tiba telah ada di dalam rumah.

Dia
Amir, tetanggaku yang telah menikah. Istrinya sedang hamil dua bulan. Amir datang
bercakap-cakap dengan panjang lebar. Ia ingin menghiburku yang ketakutan
seorang diri.

Aku cukup senang dengan kedatangan Amir karena kami memang sudah
sering bermain bersama, sejak kecil kami biasa berdua ke mana-mana. Ia seperti
menerima kekuranganku dan membelaku jika ada anak-anak lain menghujat.

Perhatian
Amir kemudian baru kupahami betul sebagai seorang teman setelah ia menikah
dengan Mala. Aku, Fatimah yang malang ditinggal Amir karena pria itu memilih
wanita yang sempurna.

Aku berbicara saja tidak begitu jelas di hadapan banyak
orang.

Amir
duduk bersila di sampingku. Menghiburku yang sendiri. Aku tidak khawatir ketika
Amir mulai meraba-raba dan menjamah apa yang seharusnya tidak boleh
dilakukannya.

Aku pikir itu biasa saja dan tidak membawa pengaruh besar dalam
kehidupanku kemudian hari. Baru setelah Amir pulang, saat hujan reda, aku
merasakan sakit yang luar biasa di selangkangan.

Darah bercucuran dan aku mulai
panik. Aku takut kedua orang tuaku tahu apa yang telah terjadi. Aku mulai
membersihkan diri dan menangis menahan gejolak ini.

Pagi
hari yang dingin itu, aku cukup bahagia dan ingin segera menemui Amir. Namun kuurungkan
niatku karena begitu pintu terbuka, di depan sana Amir tengah bercengkrama
dengan Mala.

Sedikitpun Amir tidak melirik ke arahku. Aku tidak tahu sakit
seperti apa yang kuderita. Aku merasa dada sangat sesak.

Aku tak mampu menangis
atau pun berteriak. Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk
menjelaskan apa yang terjadi hingga dua bulan setelah itu aku mual-mual, panas
dingin dan ingin makan banyak.

Ibu
menghardikku dengan pertanyaan-pertanyaan. Sama seperti hari-hari sebelumnya,
Ibu tak pernah mengeluarkan kata-kata terindah kepadaku.

Ibu hanya mengeluarkan
kata-kata yang sama. Selalu itu saja.

“Saya
malu punya anak seperti kamu!” entah sudah berapa kali Ibu mengeluarkan kalimat
ini.

Aku kemudian paham itu kalimat pamungkas karena Ibu malu telah
melahirkanku sebagai seorang anak abnormal.

Malu
Ibu semakin tersirat di wajahnya begitu mengetahui anaknya hamil. Aku hamil
tetapi aku biasa-biasa saja melihat ini.

Aku mendengar orang mencemooh tapi aku
tidak tahu maksudnya bagaimana. Aku mendengar bentakan-bentakan Ibu tetapi aku
tidak mampu mencernanya dengan baik.

Aku menerima tamparan Ayah tetapi aku
tidak mampu membalas, dan untuk apa kubalas. Aku cuma bisa berujar satu kata.

“Amir..,”
Itu
saja. Dalam lirih dan perih. Dalam keadaan bahwa aku tidak sadar seutuhnya,
menurut mereka yang mendengar. Aku dibilang mengada-ada.

Aku tidak mabuk
alkohol tetapi pikiranku benar-benar tidak bisa kujalankan sebagaimana kamu
jalankan dengan benar.

Aku
terasing di rumah sendiri. Ibu dan Ayah telah menganggapku sebagai anak
durhaka. Dan Amir? Kamu ingin tahu tentang pria itu. Amir sama sekali tidak
menggubris aku yang telah dinodainya.

Amir tidak mengakui bahwa dirinya yang
telah merenggut keperawananku. Aku juga tidak punya bukti untuk menjelaskan
kepada siapapun bahwa Amir yang telah berbuat hina kepadaku.

Aku tahu orang itu
adalah Amir. Aku cukup mengenal Amir. Amir satu-satunya teman pria yang dekat
denganku dan hanya dia yang datang ke rumah malam itu.

Mala
melahirkan dan tak lama setelah itu aku juga melahirkan. Mala melahirkan anak
laki-laki, aku pun demikian. Anak laki-laki Mala banyak yang timang-timang tiap
waktu.

Aku laki-laki ku yang malang hanya ada di dalam pelukanku setiap waktu. Perlahan-lahan
Ibu iba. Ibu kemudian menaruh benci kepada Amir walaupun tidak diucapkan secara
terang-terangan.

Ibu mulai menutup pintu, menutup jendela, memalingkan muka
bayi tak bersalah itu, jika Amir melintas di depan rumah kami.

“Aku
tahu dia tak ikhlas!” selalu kata-kata itu yang keluar dari mulut Ibu jika Amir
melintas di depan rumah kami, sengaja atau tidak. Aku tidak paham maksud ikhlas
dari kalimat Ibu.

Aku akan lanjut menyusui agar bayi itu sehat dan cukup gizi. Aku
pun tidak tahu berapa lama bayi itu cuma berada di dalam rumah dan tak keluar
sama sekali.

Aku tidak mengadakan pesta aqiqah dan turun mandi
besar-besaran seperti Amir dan Mala. Aku bersabar di balik jendela mengintip
kericuhan tamu undangan di rumah Amir.

Anak laki-laki itu cukup senang dan
bahagia dipangku oleh banyak orang. Anak laki-laki ku, cuma menatap
langit-langit dengan mata berkedip dan bibir menyebutkan sesuatu.

Aku
tidak pernah mampu berkomunikasi dengan baik, tak akan pernah sampai kapan pun.
Aku lebih sibuk dengan dunia sendiri daripada mengurusi banyak urusan orang
lain.

Bayi itu menangis aku diamkan saja sampai Ibu yang menenangkannya. Semua kebutuhan
anak itu hanya Ibu yang tahu.

Aku
baru kelimpungan saat usia anakku tiga tahun. Ibu meninggal karena penyakit yang
aku tidak tahu namanya. Aku harus membesarkan anak seorang diri.

Aku tidak tahu
harus berbuat apa. Aku tidak bersawah seperti orang lain. Aku tidak punya kebun
di belakang rumah.

Aku tidak punya keahlian tangan seperti Mala yang pintar
menjahit. Aku tidak punya apa-apa selain Ayah. Ayah juga mulai sakit-sakitan. Tanggung
jawabku terbagi dua antara anak kecil dan orang tua. Anakku, Imam, tidak rewel
dan lebih banyak diam.

Imam seperti menyimpan rahasia cukup besar dan
menanggung beban teramat berat. Ayah lebih banyak maunya dan butuh dalam waktu
cepat.

Aku sangat kelelahan menghadapi tabiat Ayah dan sedih melihat Imam yang
tak banyak bicara. Hati kecilku merasa Imam akan sama denganku. Keturunan tak
akan jauh berbeda.

Aku memiliki IQ jongkok – begitu kudengar dari orang-orang –
dan Imam mungkin saja menerima harta karun itu dariku. Tanda-tandanya sudah ada
sehingga aku merasa sangat bingung untuk membuat Imam berharga.

Perlahan,
waktu terus bergulir. Aku kehilangan Ayah pada usia Imam tujuh tahun. Imam
masih seperti biasa, tidak banyak bicara dan akan mengeluarkan kata-kata jika
ia benar-benar butuh bantuanku.

Aku tidak bisa berdiam diri saja. Tidak ada
yang bisa kuharapkan selain bekerja lebih giat karena Imam telah masuk sekolah
dasar.

Aku bekerja apa saja. Aku mencuci dan menyetrikan baju orang lain yang
membutuhkan bantuanku. Dari satu rumah berpindah ke rumah lain. Tiap hari aku
mencuci dan menyetrika, kadang juga memasak.

Imam
tidak pernah bertanya tentang ayahnya sampai usia sepuluh tahun. Belakangan aku
tahu, Imam telah bosan dihina-hina teman-temannya di sekolah.

Anakku itu sangat
jauh berbeda denganku. Semua di luar kekhawatiranku. Sejak kelas satu sudah peringkat
pertama. Imam unggul dalam berbagai bidang studi dan olahraga, khususnya
sepakbola.

Anak-anak yang sering mengejek Imam kebanyakan perempuan. Hatiku terasa
begitu sesak begitu mengetahui Imam berteman baik dengan Aris, anak Amir dan
Mala.

Aku tidak tahu bagaimana cara melarang karena tiap kali ingin
kusampaikan, Imam dan Aris telah bermain di depan rumah. Mereka main hujan
bersama.

Mereka main mobil-mobilan berdua. Mereka saling menendang bola di
depan rumah jika tidak bermain di lapangan kampung yang jaraknya dua ratus
meter.

“Benarkah
ayah Imam sama dengan ayah Aris, Mak?”
Imam
yang pendiam selalu mengeluarkan kalimat tepat sasaran. Imam tidak akan
mengulang pertanyaan yang sama atau mengganti dengan pertanyaan lain sebelum
aku menjawab.

Imam akan bersabar menunggu jawaban dariku bahkan sampai
berhari-hari aku belum memberi penjelasan.

Imam yang pintar dalam banyak hal
sangat dewasa dan mudah mencerna apa yang disampaikan orang kepadanya.

Imam tentu
percaya omongan di luar sana dan melayangkan pertanyaan kepadaku untuk
memastikan saja. Tak lebih dari itu. Sebuah kepastian.

Mau tidak mau aku harus
menjawab walaupun di kemudian hari, sampai kapanpun, Amir tidak akan pernah
menjadi wali untuk Imam.

Amir tidak pernah mengakui Imam anaknya walau ia tahu
itu darah dagingnya. Amir tidak menikahiku sampai kini sehingga tidak ada
pertalian antara aku dengannya.

Dan terakhir, Imam lahir di luar pernikahan yang
sah.

Aku
diperkosa!
Oh,
baru di umur Imam 16 tahun aku berani mengeluarkan kalimat itu. Saat Imam tahu
ia lahir dari sebuah kekerasan. Saat Imam mengetahui lebih banyak persoalan
dariku.

Saat Imam menanggung beban seorang diri mengenai perwalian. Saat Imam
seharusnya dengan bangga mengenalkan kedua orang tua kepada calon istrinya
nanti.

Aku
menyelami apa yang ada di dalam pikiran Imam dari kerut di keningnya. Imam tak
pernah mengeluarkan sepatah kata pun. Imam mewarisi tabiat entah dari mana.

Bukan
dariku atau dari Amir. Imam lebih banyak berdiam diri saat harus melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan seorang ayah. Imam bahkan berani tegas kepada
siapapun yang bertanya mengenai ayahnya.

Sorot mata Imam sulit kuartikan jika
melihat Amir. Imam tanpa memberikan isyarat benci atau suka kepada Amir. Imam
juga tidak pernah mau bertegur sapa lagi dengan Amir begitu ia mengetahui fakta
sebenarnya.

Tatapan mata Amir yang sungguh berbeda. Amir tampak menyesal dan
aku tidak butuh lagi karena Imam telah besar, kubesarkan seorang diri!

Hubunganku
dengan Amir tak pernah baik. Hubungan Imam dengan Amir tidak bisa kujelaskan,
mungkin Imam pernah berbicara dengan Amir di luar pengetahuanku.

Hubungan Imam
dengan Aris biasa-biasa saja. Mereka berdua tahu satu ayah. Mereka berdua
berbeda. Aris hidup dalam kemewahan. Imam sebaliknya.

Aris memenuhi segala
kasih sayang. Imam hanya memilikku seorang. Di sisi lain, mereka saling
melengkapi.

Mungkin pengaruh pertalian darah, mungkin pengaruh psikologis
karena sejak kecil sering berdua. Entahlah. Aku tidak tahu.

Aku
wanita malang di mata banyak orang. Aku seorang yang memiliki IQ rendah. Berhakkah
aku hidup bahagia? Paling tidak dengan Imam, anakku!

Categories
Uncategorized

Catatan Istri Diselingkuhi Suami Mata Duitan

Aku
cukup bahagia hidup sejauh ini. Pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri. Suami yang
tampan dan sangat perhatian. Bahkan, dia begitu cemburu kepadaku.

Apapun yang
aku lakukan selalu diketahuinya tanpa kuketahui bagaimana cara dia mengetahui
hal itu. Bisa kukatakan, aku adalah wanita terbahagia saat ini.

Walaupun kami
belum dikaruniai seorang anak tetapi kami sangat menikmati masa-masa indah
selama delapan pernikahan.

Ilustrasi.

Suami
masih belum memiliki pekerjaan tetap meskipun dia baru saja menyelesaikan
megister. Dia bekerja ini dan itu sesuai dengan
passion dan bisa
menghasilkan uang untuk menunjang aktivitasnya yang semakin hari tampak beken
di mata orang. 



Padahal, sifat perlente dalam dirinya tak lain karena aku
menyuapi semua kebutuhan dia sebagai suami tercinta. 



Gajiku sebagai pegawai
negeri lebih dari cukup. Bisa kukatakan sembilan puluh persen biaya kuliahnya
adalah aku yang tanggung. 



Pakaian mahal dan bermerek yang dikenakannya adalah
aku yang membeli. 



Dia merengek ingin memiliki mobil karena teramat malu dengan
kawan-kawannya yang telah mengendarai kendaraan roda empat. 



Aku tak mau
menyia-nyiakan waktu, kuturuti keinginan suami. Aku mengambil kredit di bank
dan mencolek sedikit simpanan lalu kuboyong mobil plat merah ke rumah.
Kebahagiaan
suami adalah bahagia aku juga. Begitupun saat dia sakit lambung kala itu.

Kami
bahkan pulang pergi ke Kuala Lumpur untuk mengobati penyakitnya. Bukan tanpa
alasan aku dan dia ke luar negeri untuk berobat.

Desas-desus yang kudengar di
sini, banyak orang yang sembuh setelah terbang ke negeri jiran. Aku tak mau
membuang kesempatan ini.

Dia adalah sesuatu yang tak mungkin kuabaikan. Pucat wajahnya
sama dengan pucat wajahku juga. Kurus badannya akan menular ke kurus badanku
juga.

Dia tidak tidur menahan sakit, aku pun melakukan hal yang sama.

Namun
tiba-tiba, setelah semua kumiliki sempurna dia mulai bertingkah. Semula kukira
wajar dia kirim pesan maupun telepon tiap saat.


Nanyain apa yang aku
lakukan dan dengan siapa padahal dia sangat tahu bahwa aku sedang dalam
pekerjaan.

Sifat posesifnya semakin hari semakin menanjak naik. Tak hanya itu, uang
jajan yang kukasih tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Dia bahkan
memegang kendali kartu ATM milikku. Aku nggak ambil pusing karena sangat
percaya kepadanya. Kepercayaan yang kemudian kusesali karena tabiat dia yang
ternyata tak pernah puas.

Di
sini kuakui, kekurangan dalam diriku karena gemuk. Dia bosan dan malu
menggenggam tanganku ke mana suka karena orang-orang akan berprasangka tak
baik.

Dia mencari kesenangan di luar rumah dengan memamerkan semua milikku.

Dia
mengendarai mobil dengan angkuhnya di belakangku bersama wanita yang belum
kuketahui jelasnya.

Dia tertawa-tawa di pusat perbelanjaan maupun rumah makan
mahal dengan tabungan di rekeningku.

Aku
curiga kenapa tabungan cepat terkuras padahal dia sudah selesai kuliah. Aku diamkan
mungkin memang dia butuh.

Aku curiga kenapa mobil kami selalu membekaskan aroma
berbeda dari parfum yang kusemprotkan pada diriku atau dirinya.

Begitu sebuah
tanya kulontarkan, dia memetik emosi sampai ke langit ketujuh. Dia marah-marah
tanpa sebab padahal aku cuma mengeluarkan sebuah pertanyaan saja.

Kok
agak beda ya wangi mobil kita, Bang?”
Dia
tak menenangkan istrinya. Dia pula tak beralasan mengganti aroma pengharum di
mobil, misalnya. Dia hanya berkata, “Kau terlalu cemburu!”
Cemburu
yang bagaimana menurutnya? Aku tak membalas sikapnya yang posesif. Bahkan terhadap
rekanku yang masih muda dia menahan cemburu buta.

Padahal jelas-jelas rekanku
sebentar lagi akan menikah dengan kekasih wanitanya. Namun aku tak
membesar-besarkan masalah itu.

Mungkin
aku teramat sensitif kepada hal-hal sepele yang menyangkut suami, yaitu dia. Aku
mencium aroma berbeda karena ketakutan tersendiri dalam diriku.

Dia selalu
curiga aku selingkuh. Dan kemudian dia sering menerima telepon lalu membual
tawa membahana sampai larut malam.

Tanpa kutanya, dia mengatakan seorang teman
menelepon karena ingin curhat. Curhat yang akhirnya selalu terjadwal.

Aku masih
percaya – setengah percaya – dalam waktu yang lama sampai sebuah pesan kubaca
tak sengaja. – Abang kapan pulang ke mari? Adek kangen banget lho! – Begitu
kira-kira pesan yang kubaca saat dia tertidur pagi hari. 



Aku teriak sekuat
tenaga. Tak kupedulikan tetangga mengangga. Tak kuhiraukan apapun selain sebuah
kepastian.

“Apa
maksudnya ini, Bang???” pekikku.
Dan,
kamu tahu apa jawabnya? Dia benar-benar telah berubah menjadi manusia paling
beringas, tamak, rakus, emosional dan segala jenis keburukan lain yang ada di
dunia ini. Semua melekat kepadanya.
“Aku
bosan sama kamu!”
Segitukah
hati seorang pria? Apakah pria lain juga demikian?
Pengakuan
yang selanjutnya adalah sebuah pernikahan. Dia menikah tanpa sepengetahuanku. Dengan
wanita itu. Seorang pekerja swasta. Seorang janda beranak dua.

Seorang wanita
tinggi semampai. Seorang wanita cantik jelita menurutnya. Seorang wanita yang
lembut kasih sayangnya, baginya. Seorang wanita yang telah memberikan semua
hasrat kepadanya. Sedangkan aku?

Mesin
uang saja baginya?
Semua
telah kuberikan kepadanya. Apakah dia tidak terbuka hati untuk itu? Tak sempat
kubalik pertanyaan demi pertanyaan aku malah terusir dari rumahku sendiri.

Itu
juga rumahku, aku yang membeli rumah itu dengan simpanan yang tak kukasih tahu
kepadanya waktu itu.

“Kuantar
kau ke orang tuamu. Aku tak sudi melihat rupa kau yang begitu saja tak berubah!”
Aku
tertatih. Pulang ke rumah orang tuaku. Ke Ayah. Pria yang juga telah melakukan tabiat
yang sama dengan suami – enggan kusebut namanya kini – semasa mudanya.

Ayah menduakan
ibuku sewaktu aku masih di dalam kandungan. Menikah dengan ibu tiri yang kini merajuk
kepadaku jika tak ada pemasukan dari usahanya membuka kios kelontong.

Aku
terpuruk. Itu sudah jelas. Aku tidak makan. Histeris setiap saat. Bekerja tak
semangat. Aku dilanda frustasi teramat dalam. Rasanya mau kubanting semua yang
ada di dalam diriku.

Kucabik-cabik raga untuk melupakan semua yang kurasa. Aku tak
lagi senang. Aku tak terbungkus lagi dalam bahagia. Semua telah usai. Dan gemuk
badanku turun drastis.

Proses
yang tak kuingini berjalan begitu cepat. Semua harta dibagi dua.

Dia ngotot untuk
tidak membagi padahal jelas-jelas rumah, mobil dan bahkan seluruh tubuhnya
berisi uang dari kerja kerasku. Dia membantai aku dengan kalimat demi kalimat
yang tak bisa diterima akal sehat.

Naif sekali pria berpendidikan pascasarjana
mengeluarkan kata-kata tak berbobot. Aku terima umpatan-umpatan itu. Aku terima
saat dia mengatakan aku mandul.

Dia seakan-akan lupa perkataan dokter kandungan
yang mengatakan dirinya tak kuat untuk bertarung dalam perang sesungguhnya untuk
mencapai mulut rahim.

Aku
tidak masalah. Aku masih punya gaji. Biar aku egoistis tetapi aku tak pernah
menggantungkan hidup kepadanya.

Aku survive untuk melanjutkan hidup
tanpa dia. Kulihat kiri dan kanan yang terus mengabdi pada hidup, aku pun
demikian.

Tekadku kemudian adalah mempercantik diri. Terserah orang mau bilang
aku balas dendam karena dikata tak cantik dan gemuk oleh pria yang pernah menjadi
suami itu. Aku benar-benar butuh sesuatu yang baru.

Beban
psikologis dan latihan rutin seperti lari dan gym membuat bobotku turun
cukup banyak. Aku sudah bisa tertawa saat bersama rekan kerja atau di tempat gym.

Aku memulai hidup yang baru. Aku telah move on walau belum penuh
seutuhnya. Dan dia?

Datang
menjengukku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Di mana pula wanita yang
dia bangga-banggakan? Kenapa pula dia membuntuti langkahku?
“Kamu
kekurangan uang, Bang?”
Seandainya
berani, kulabrak dia dengan pertanyaan itu. Namun aku tak pernah sudi. Kulihat wajahnya
saja sudah muak.

Aku tak mau berhadapan lagi dengannya setelah sekian aroma
perih yang ditebarkan sampai aku tak mampu beranjak.

Salah dia sendiri memulai
apa yang sebelumnya dia yakini aku yang berbuat. Deritanya jika tak punya uang
setelah mencampakkan aku.

Pulang saja ke istri kedua itu jika butuh pelukan
hangat. Tak usah tebar pesona pada kehangatanku yang dianggap angin lalu tak
berbekas.

Catatan
ini kutulis untukku yang tertipu dengan tabiat manja dari pria. Sekarang siapa
yang lemah di antara kita?
***
Untukmu, terima kasih telah mengizinkan kisah ini dibagi.
Categories
Uncategorized

Sejenak Bersama Mr. Jali, Leonardo DiCaprio dari Lembah Leuser

Sejenak Bersama Mr. Jali, Leonardo DiCaprio dari Lembah Leuser
Mr. Jali, Leonardo DiCaprio dari Lembah Leuser, aktivis lingkungan dari Aceh yang selalu menyerukan agar menjaga kelestarian Leuser mulai dari memungut sampah plastik maupun melarang untuk pembukaan lahan perkebunan yang baru agar ekosistem tetap seimbang.
Alam
bersabda pada apa yang kami lewati pagi itu. Ciri khas tersendiri di tengah
rimba dengan cicit burung, angin semilir, air berkucuran menuju dataran rendah,
dan berbagai macam suara binatang lain yang tidak bisa dijabarkan dengan sebuah
kelimat seindah apapun.

Kami melewati batas yang teramat lelah untuk saya
jabarkan kembali di sini. Jalan setapak menuju puncak Gunung Leuser adalah
detik-detik di mana penat tersesat saat itu.

Gunung Leuser memiliki ketinggian
3404 meter di atas permukaan laut Aceh.  Zona
hutan tropis ini merupakan tempat rekreasi terpilih untuk siapa saja yang ingin
mendalami keanekaragaman hayati yang masih perawan.

“Leuser
adalah anugerah terindah bagi saya,” ucap Mr. Jali yang menjadi
guide
kami. Penggalan kata yang keluar dari mulutnya sangat kental dengan aroma Aceh. 



Tubuh lelaki lima puluhan tahun ini tak tampak ringkih sekalipun telah menemani
Leuser selama kurang lebih 35 tahun lamanya. 



Leuser dan Mr. Jali adalah
perpaduan yang tak terpatahkan untuk saat ini. Mr. Jali memang tidak terlahir
sebagai
guide profesional yang dibekali aneka ilmu mempromosikan suatu
tempat kepada
traveler.
Mr.
Jali mengaku dirinya adalah anak Leuser itu sendiri. Bahkan, sambil terkekeh,
Mr. Jali mengatakan dirinya lebih paham bau tanah di Leuser ketimbang bau
tubuhnya sendiri.

Naik turun Leuser telah menjadi aktivitas Mr. Jali sejak
lama, saat ia masih aktif sebagai petani sembakau. Wajar jika Mr. Jali paham
betul lekuk tubuh Leuser yang gahar di satu sisi dan lembut di sisi yang lain.

Pendakian
kami berlanjut ke jalan penuh belukar. Rasanya, saya jadi malu mengekor di
belakang Mr. Jali yang masih gagah di usia senja. Suara burung semakin
terdengar keras.

Mr. Jali mengatupkan kedua tangan, seperti membentuk sebuah terompet,
membunyikan dengan khas, suara alam semakin buas dengan cicit burung di
mana-mana.

Benar-benar suasana alam – hutan – yang tak bisa saya lewatkan
begitu saja.

Mr. Jali dari Leuser
Mr. Jali membangun track untuk memudahkan para traveler menuju puncak Leuser. Track yang dibangun menyerupai jalan setapak yang bersih dari sampah plastik.
“Saya
membuat track sesimpel ini agar mudah dilewati banyak orang. Saya ingin
orang-orang yang datang ke mari menikmati Leuser dengan nyaman,” Mr. Jali
berkata sambil menunjuk ke arah jalan yang kami lalui.

Bagi Mr. Jali siapapun
yang datang ke Leuser adalah tamu yang wajib dijamu dengan layak.

Tak hanya traveler
domestik saja, traveler dari luar negeri banyak juga yang datang
mengunjungi ekosistem tersembunyi di Taman Nasional Gunung Leuser yang
membentang seluas 1.094.692 hektar.

Langkah
kami terus mendaki. Berkelok. Sesekali tersungkur. Sunyi mencekam saat Mr. Jali
tak lagi berbicara. Namun tangan Mr. Jali dengan cekatan memungut sampah plastik
di jalan setapak yang kami lewati.
“Turis-turis
sukanya Leuser itu bersih. Akhirnya saya berinisiatif untuk memungut
sampah-sampah plastik yang tidak mudah larut jika sudah ditanam sekalipun agar Leuser
tetap asri di mata traveler,” ujar Mr. Jali dengan sumringah.

Mr. Jali
kemudian mengakui bahwa dirinya bisa berbicara dalam bahasa Inggris lantaran
sering menemani para peselancar alam dari luar negeri, seperti dari Eropa.

Sampah
plastik yang dipungut oleh Mr. Jali kemudian ia kantongi dan akan dibuang pada
tempatnya di pemondokan, di mana tempat sampah telah tersedia secara khusus.

Kelestarian
lingkungan sangat penting untuk menjaga ekosistem agar tetap seimbang, aku Mr.
Jali yang berupaya tetap menjaga Leuser dari tangan-tangan jahil di sekitarnya.


Tangan
Mr. Jali sangat terampil memungut sampah plastik seperti bekas botol minuman
maupun makanan ringan.

Mata Mr. Jali pun bagai mata elang yang bisa menangkap
plastik-plastik dari jarak cukup jauh, bagi saya sendiri yang tidak peka adanya
sampah tersembunyi di depan kami.

Mr. Jali mengakui bahwa pembunuh nomor satu
di dalam hutan adalah plastik-plastik yang dibuang begitu saja.

Daun-daun yang
luruh secara alamiah dari pohonnya begitu mudah larut dimakan tanah dan
kemudian menjadi pupuk alami yang berguna untuk tanaman di sekitarnya.

Mr. Jali
sengaja mengenakan celana berkantong banyak untuk dapat menampung plastik bekas
yang dibuang traveler yang melintasi track yang telah ia buat
tersebut.

Ia membuat track seperti itu supaya terkesan tidak sedang
mendaki sehingga para traveler benar-benar menikmati suasana di Leuser.

Mr.
Jali bukan tidak pernah menegur dan memberi arahan supaya sampah plastik tidak
buang di dalam hutan, namun banyaknya traveler yang datang membuat Mr.

Jali kewalahan bahkan lupa untuk selalu mengingatinya. Salah satu cara terbaik adalah
memungut sampah plastik tersebut jika ia menemukannya di mana pun, di lembah
bahkan sampai ke puncak Leuser.

“Jangan
lagi menebang pohon untuk membuka lahan baru!” begitu seruan Mr. Jali saat kami
istirahat sejenak di saung milik petani di lembah Leuser.

Suami istri yang
mendengar petuah Mr. Jali itu mangut-mangut.

“Mr.
Jali, bukankah semakin luas area perkebunan semakin besar penghasilan?” tanya
saya seketika.
“Betul.
Tapi memperluas area sama dengan membunuh habitat yang ada di dalamnya,” jawab
Mr. Jali dengan tegas.

“Lebih baik memaksimalkan area yang ada daripada
menambah seluas-luasnya yang belum tentu bisa dijaga dengan baik. Saya juga
berkebun, saya rawat penuh cinta sampai akhirnya hasil kebun saya tidak
mengecewakan,”

aktivis lingkungan dari Aceh Mr. Jali Leuser
Alam dan Mr. Jali adalah dua sahabat yang tak terpisahkan sejak lebih kurang 35 tahun lalu. Waktu yang lama untuk Mr. Jali mengenal baik Leuser. 
Hamparan
luas di lembah Leuser adalah kebun milik warga sekitar. Masih jauh perjalanan
kami mencapai puncak Leuser.

Namun semangat yang didengungkan oleh Mr. Jali tak
pernah pudar untuk kelestarian alam yang selalu senyawa dengan makhluk lainnya.

Peluh sudah membahasi hampir seluruh tubuh. Memang sinar matahari tidak
menyinari langsung ke tubuh kami namun langkah demi langkah menuju puncak Leuser
menguras tenaga cukup besar.

“Apa
yang membuat Mr. Jali melarang perluasan area perkebunan?” saya masih belum
puas dengan jawaban Mr. Jali. Sambil jalan Mr. Jali tetap memungut sampah
plastik di depannya.
“Ini
adalah botol plastik,” Mr. Jali mengangkat sampah plastik di tangan kanannya. “Walaupun
sudah diremas atau diinjak-injak, jika tak ada yang pungut semakin menggunung
bukan?” kami semua mengangguk.
“Sampah
plastik yang menggunung akan menghambat aliran air hujan turun ke lembah, di
mana kebun-kebun mulai subur. Begitu juga dengan perluasan area perkebunan. Semakin
kau buka, semakin tak pernah puas. Terus dibuka ke daerah-daerah lain. Sampai
akhirnya keseimbangan pohon-pohon di atasnya tak ada lagi. Apa yang terjadi
setelah itu?”
Bencana
alam. Jawab saya dalam hati.
“Lingkungan
ini tak meminta kita merusaknya, dia meminta kita menjaganya dengan baik. Maka jangan
tamak dan rakus!”
Rajali
Jemali bin Roga adalah sosok di balik kelestarian lingkungan di lembah Leuser. Namanya
memang tidak seharum aktor Leonardo DiCaprio yang terus berupaya agar
lingkungan lestari.

Gerakan demi gerakan Mr. Jali sejak puluhan tahun lalu tak
ubahnya dengan visi dan misi dari aktor yang baru saja membawa pulang piala
Oscar setelah bertahun-tahun penantian.

Sebagai
pemandu wisata tak bergelar apa-apa, Mr. Jali membuka jalan menuju Leuser
dengan slogan tanpa merusak lingkungan.

Mr.
Jali adalah Leonardo DiCaprio dari lembah Leuser, sejak dulu, kini dan nanti! 
***
Tonton juga sosok inspiratif Mr. Jali dalam video di bawah ini.