Siswa bully guru. Siswa penjarakan guru – Barangkali, terlalu banyak kasus guru dilapor oleh siswa – terutama orang tua siswa – atas tindak
bully atau kekerasan fisik lainnya. Namun, belum ada guru yang melapor balik atas tindakan-tindakan yang sebenarnya telah dialamatkan kepada guru oleh siswanya. Pandangan terhadap pendapat guru selalu benar masih mengawangi jati diri siswa.
Terlepas dari itu, guru melampiaskan
rasa lelah, kasih sayang dalam berbagai bentuk sampai mengakali persoalan agar
siswa mengubah haluan hidup menjadi lebih baik.
Guru tidak hanya terpaku pada nilai-nilai di atas kertas tertulis.
|
Siswa bully guru biasa saja saat ini. |
Guru
melakukan berbagai cara saat siswa mampu ini dan itu. Di mata siswa, guru
selalu tersalah apabila menengur mereka yang mengaduh di dalam kelas, mereka
yang pura-pura tidur saat jam pelajaran, mereka yang berburu kasih sayang
dengan mengacau pembelajaran berlangsung.
Mereka yang tidak mencatat padahal
sudah pasti tidak mampu menghapal selembar catatan dalam 10 menit ke depan,
mereka yang ingin cepat keluar karena lapangan voli menanti dengan bola
menari-nari sendiri, dan berbagai alasan lain sehingga menjadi satu kesatuan
yang sulit dijabarkan.
Alasan-alasan kesalahan selalu
dialamatkan kepada guru sebagai pemangku ‘kebijakan’ terhadap siswa. Guru yang
lepas tangan dianggap telah bermain hakim sendiri.
Tetapi, jangan lupa rumus
bahwa guru paling mampu menghapal nama
siswa pintar dan bandel di dalam kelas.
Rumus ini saya pikir berlaku di
mana-mana. Siswa yang pintar sudah pasti mendapat perhatian dari guru. Siswa
yang bandel dan berulangkali kena teguran pasti akan dipotong rambutnya yang
mendekati bahu.
Namun siswa yang berada di garis pertengahan, tentu saja seakan
dilupakan oleh guru meski mereka tak pernah berbuat salah dan bahkan tak pernah
ikut ujian ulang – remedial.
Guru yang berbuat salah karena
memukul, memotong rambut, dengan buru-buru dilaporkan oleh orang tua dan bahkan
siswa yang selalu dapat nilai merah di raport.
Guru yang tidak mendendam dengan
senang hati menerima perlakukan bully
besar-besaran oleh siswa, orang tua bahkan mereka yang berada di luar pagar
sekolah.
Siswa Bully Guru Jadi Hal Biasa
Hati guru yang teramat sakit kembali mengajar dan mau tidak mau harus
menaikkan nilai siswa yang melaporkannya dan mempermalukannya tersebut, ke
batas nilai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM), agar siswa tersebut naik kelas
atau lulus Ujian Nasional (UN).
Sebenarnya, ada rasa malu,
masa guru dibully oleh siswa? Ada rasa
malu kenapa menyalahkan ‘siswa’ atas ketidakadilan yang saya alami, atau yang
dialami pula oleh guru-guru lain.
Teramat lama dalam diam, saya bercerita
tentang diri yang dihujat kata-kata dan perlakuan fisik oleh siswa. Saya hanya
berharap mereka di mana-mana sudi membuka mata atas apa yang kami alami di
dalam kelas, di perkarangan sekolah dan di mana-mana saat berinteraksi dengan
siswa.
Tempat terendah di sekolah
dimenangi oleh guru honorer. Di sini pula saya berada. Mau tidak mau posisi itu
menjadi sebuah hal yang mudah sekali jadi
bully.
Coba saya ketepikan bully yang
berasal dari sesama guru maupun pandangan masyarakat. Bully dari siswa jauh lebih besar pengaruhnya daripada
anggapan-anggapan bahwa guru
honorer mereka yang bodoh tidak beruntung.
Siswa Penjara Guru Hal Biasa Juga
Memang, tiap kejadian tidak
mungkin direkam buktinya, apalagi kejadian demi kejadian itu terjadi seketika,
tidak disengaja, dan berkenaan dengan pribadi yang harus dilindungi.
Dalam hal
ini, mereka yang harus saya lindungi adalah siswa meski di bagian lain mereka
mencabik harga diri saya sebagai guru lebih dalam.
Saya mendapat bully bukan sekali dua, tetapi berulangkali
dan diterima atau tidak hanya waktu yang mengalir dalam kenangan. Bully yang saya terima entah itu bagian
sensitif yang mesti diceritakan atau bagian lain yang perlu diabaikan.
Namun,
bagian apapun itu adalah pertimbangan untuk menghargai posisi masing-masing, di
mana ada batasan antara guru dan siswa.
Saat Ditanya “Kapan Kawin?” oleh Siswa
“Kapan kawin?” adalah pertanyaan
yang menjadi persoalan panjang bagi siapapun yang masih sendiri. Bagi sebagian
orang mungkin wajar, bagi sebagian yang lain mungkin tidak.
Entah bagaimana,
siswa di sekolah mudah memberi pertanyaan demikian kepada saya.
Semula saya
pikir biasa saja, namun belakangan menjadi sebuah bully yang tidak bisa saya berantas. Begitu saya lewat di depan
mereka, di depan kelas, lantas beberapa suara dengan lantang bertanya.
Bicara wajar tidak wajar tentu
kembali ke penilaian masing-masing. Pertanyaan saya adalah, wajarkah seorang
siswa mengusik guru dengan pertanyaan demikian?
Dalam pertemanan saja,
pertanyaan ini menjadi bully yang
mematikan sampai orang yang ditanya diam atau gagap dalam mencari
alasan-alasan.
Jika sedang bersama teman mudah saja saya menjawab asal-asalan
sambil bercanda. Di depan siswa? Tentu tidak mudah. Risau itu berulangkali
karena ada siswa yang cukup sering bertanya.
“Pak, kapan kawin?”
“Pak, kapan kami dapat undangan?”
Terus terulang sampai frustasi
dan merasa harus melempar suara keras ke sisi mereka. Saya tidak bisa melakukan
apa-apa meski hati terusik. Di sisi berbeda saya malu kepada siswa-siswa lain
yang melihat dengan tatapan iba.
Saya merasa tidak bernyawa untuk mencari
jawaban atas pertanyaan itu. Pertanyaan dari siswa paling meresahkan daripada
pertemuan jodoh yang diusulkan oleh sesama guru.
“Kapan kawin?” memang pertanyaan
mudah. Sayangnya pertanyaan itu menjadi
bully
mematikan karena ditanya oleh siswa saya sendiri. Saat orang lain, teman atau
kerabat tidak pernah bertanya, siswa-siswa ini mudah sekali meresahkan
kehidupan pribadi saya.
Sekali bertanya mungkin tidak masalah, berkali-kali
saya malu sendiri yang berpacu apakah benar saya tidak punya jodoh atau malu
karena tidak pernah pamer punya pasangan di depan siswa-siswa.
Tetapi kembali
lagi, apakah itu penting? Apakah saya harus melampiaskan semua kehidupan
pribadi di depan siswa?
Saya Menegur, Mereka Merekam dan Share ke Youtube
Guru menjaga privasi siswa di
luar perkarangan sekolah. Saya harap semua siswa paham akan hal ini. Siapapun
siswa yang paling bandel hanya akan dikenang guru di dalam perkarangan sekolah
saja. Sayangnya, siswa melakukan hal sebaliknya. Bahkan, lebih parah karena
pengaruh teknologi masa kini yang mudah dan memperdaya siapa saja.
Guru menegur bahkan sampai
marah-marah di dalam kelas karena kebutuhan siswa itu sendiri. Kapan guru marah?
Saat si ganteng di sudut kelas tidur, saat si cantik sibuk memoles bedak di
wajah, saat si banyak bicara mengajak teman diskusi tentang pacarnya atau
saat-saat lain yang dipahami benar oleh guru dan siswa.
Lalu, saya menegur
bahkan sampai marah ketika itu karena alasan untuk kebaikan mereka yang tidak
mengerjakan tugas. Balasan yang saya terima setelah membubuhkan nilai tinggi
untuk mereka adalah sebuah tayangan video di Youtube.
“Bang, kok gitu ya anak kelas itu main rekam abang lagi ngajar,” ujar
teman sesama guru.
“Saya nggak tahu, lihat di mana?”
“Tadi anak-anak share ke media sosial, mereka pada ribut
dan marah-marah gitu sama yang upload,”
Sesaat saya merasa apa yang
dilihat saat itu adalah gelap. Urat-urat bermunculan di sisi kiri dan kanan
kening saya. Entah apa yang bisa saya lakukan. Malu sudah pasti.
Siswa Tidak lagi hormat pada guru sama dengan siswa bully guru.
Tetapi memberi
teguran lagi kepada siswa yang disebut teman saya barusan, menjadi persoalan
yang kompleks.
Harga diri saya sebagai seorang guru telah jatuh ke lubang yang
berduri, tertusuk di sana-sini dan tidak ada tangga untuk naik ke permukaan. Saya
bingung mencari kesalahan-kesalahan. Satu orang berbuat, amarah saya meledak
untuk semua isi kelas.
Maka, persoalan tidak menyayangi
anak bandel di sinilah letaknya.
Bully
yang saya anggap besar-besaran di dunia maya itu terus berlanjut. Guru lain
bertanya tentang video itu. Siswa juga bertanya. Saya ditegur kepala sekolah. Saya
malu bertemu orang yang pernah menonton.
Akhirnya, apa yang telah saya ajarkan
tidak berguna untuk mereka yang duduk manis di dalam kelas. Proses yang panjang
untuk saya dapat bangkit dari masalah ini, saya benar-benar frustasi kala itu
dan memutuskan tidak masuk lagi ke kelas yang merekam aktivitas saya mengajar
tersebut.
Keputusan yang salah bagi banyak orang. Tetapi, saya guru honorer
yang juga mempunyai harga diri.
Siapa yang meminta mereka membully saya di internet? Jangan pernah
lupa filosofi, gara-gara nila setitik
rusak susu sebelanga, karena kejadian itu pula, gara-gara satu anak yang
bangga dengan smartphone miliknya,
merusak seisi kelas karena guru lain tidak mau mengajar pelajaran Teknologi
Informasi (TIK) karena keterbatasan ilmu tentang pengoperasian komputer.
Efek
bully video di internet itu berdampak panjang. Sikap saya berubah
sebagaimana mestinya. Orang-orang menyebut ‘jahat’ tetapi bagi saya itu adalah
pelampiasan dari apa yang saya takuti. Saya bersabar dalam diam dan tidak
memperpanjang masalah.
Saya tidak mengumbar apapun ke luar lingkungan sekolah.
Tetapi ini dunia maya, ini mudah diakses oleh siapa saja, maka wajah saya yang
dikenali menjadi tanda tanya apa yang terjadi.
Siswa bully guru orang lain diam saja, guru tampar siswa orang lain penjarakan guru.
Tidak mudah untuk saya bangkit
dan masuk kembali ke dalam ruang belajar. Laboratorium komputer yang bergorden,
remang jika tidak dihidupkan lampu, panas jika pendingin ruangan mati, menjadi
sebuah ketakutan pelik. Aturan sekolah yang kemudian tidak membenarkan siswa
membawa ponsel, tidak bisa begitu saja diterima oleh akal sehat saya.
Saya
harap-harap cemas, mata saya jalang ke mana-mana, saya curiga, saya jadi diam,
saya hanya menampilkan slideshow dan
tugas yang harus dikerjakan melalui projektor. Saya tidak bisa bersuara, saya
bingung bergerak, saya hanya duduk di bangku guru, di depan komputer yang
terhubung ke projektor.
Tidak mudah mengambil kesimpulan
atas apa yang saya alami. Beberapa siswa mengeluh ke guru lain, saya tidak
seperti biasa.
Tetapi saya tidak bisa mengajarkan mereka dari dekat, saya tidak
bisa menatih mereka belajar mengetik dengan cepat, saya tidak bisa ke depan desktop di depan siswa karena saya
khawatir. Seolah gerak-gerik saya direkam oleh kamera di mana-mana.
Batu Dilempar Melalui Pintu
Saya dilempar batu. Ya. Saya guru
yang dilempar batu oleh seorang siswa. Saya tidak tahu maksud tersembunyi dari
itu tetapi juga tidak ada penyelesaian dari ini.
Saya sedang berada di dalam
kelas, mengajar seperti biasa, lalu batu-batu kecil ‘kerikil’ dilempar oleh
seorang siswa dari pintu masuk.
Batu-batu itu berserak dan membunyikan suara
yang gaduh. Saya tersentak, siswa yang melempar batu cekikikan dan lari ke arah
berlawanan.
Saya melongo beberapa saat. Pelajaran
yang diajarkan buyar. Saya tidak tahu akan berujar apa. Saya bingung mau
berbuat apa. Apakah saya harus meninggalkan kelas atau berdiri kaku di dalam suasana
yang tidak memungkinan.
Kelas mulai ribut, sebagian besar dari mereka mengutuk
siswa yang baru saja melempar batu. Mereka meminta saya melapor ke kepala
sekolah. Sebagian dari mereka ingin main hakim sendiri.
Tapi saya, tidak ada ucapan
apa-apa. Selama mengajar di sekolah ini, tidak ada masalah yang terjadi antara
saya dengan siswa. Tidak ada pula pribadi yang saya usik sehingga siswa
mendendam kepada saya. Tangan yang mulai bergetar dan mata perih, saya
memutuskan keluar ruangan.
Saya menghela napas panjang dan berlari kecil ke
kantor lalu terduduk di kursi dengan napas tersengal-sengal.
Saya baru saja di
bully oleh seorang siswa, di depan siswa
saat saya mengajar pelajaran Fisika. Siswa banyak yang menyukai saya dan begitu
kejadian seperti ini terjadi, emosi saya memuncak lebih tinggi. Saya tidak tahu
harus melapor ke siapa dan harus berbuat apa.
Siswa tidak lagi santun pada guru.
Namun berita cepat tersebar,
siswa yang melempar batu hanya mendapat teguran dari wali kelas dan guru
bimbingan konseling.
Tentu, saya tidak memperpanjang masalah, saya tidak
mengambil jalan lebih panjang, saya tetap masuk ke dalam kelas siswa yang
melempar batu.
Rasa enak tidak enak mendadak
muncul. Saya yang menjadi korban jadi pusat perhatian dan bisik-bisik dari
siswa lain. Apakah karena saya guru honorer lantas berhak diperlakukan dengan
kekerasan? Entah, saya tidak tahu definisi orang-orang menilainya.
Saya mencoba
bersabar, saya menjalani apa yang mungkin saya mampu, tetapi pada akhirnya saya
menyerah. Beban batin terlalu berat untuk saya tetap bertahan.
Sisi yang entah
bagaimana menyebut, sudah tidak dibayar dengan wajar malah kekerasan – bully – yang memalukan yang saya dapat.
Akhirnya saya memilih
meninggalkan sekolah setelah sering kaku, tidak fokus dan sering hilang hasrat
mengajar. Saya berpikir, ketakutan saya lebih besar dari itu.
Saya lebih
memilih keluar dari sekolah daripada nanti kena pukul palu tetapi tidak ada
biaya untuk mengobatinya.
Saya tidak pamit kepada siswa-siswa pada akhir
semester. Saya hanya berujar terima kasih kepada kepala sekolah dan guru-guru
yang telah menerima saya selama ini.
Saya beralasan ini dan itu namun tidak
saya sebut tentang bully. Saya ingin
melupakan dan tidak ingin mengingat masa itu.
Kasus Bully pada Berbagai Persepsi
Kasus
bully bisa saja berawal dari ejekan terhadap hal-hal kecil.
Bully atau perundungan ini bisa dialami
oleh siapa saja dan bisa diperlihatkan efeknya dan tidak. Orang yang memiliki
mental baja akan mudah melupakan pernah di
bully.
Namun berbeda dengan mereka yang emosionalnya sering kalut, maka sekali kena bully dalam beberapa waktu akan
merasakan mengakarnya ketakutan tersebut.
Elise Dwi Ratnasari kepada CNN Indonesia (23/07/2017) melaporkan bahwa
ejekan adalah perkara awalnya kasus bully
yang terjadi di Thamrin City.
Bully sebenarnya
telah terjadi di mana-mana hanya saja luput dari pandangan atau korban tidak
melapor sehingga kasus tidak terangkat ke permukaan.
Alasan saya tidak melapor
saat terjadi kekerasan fisik misalnya, karena pertimbangan di mana hubungan
batin guru dan siswa masih kuat sekali.
Saya menjaga hubungan baik ini meski
terkadang siswa tidak melakukannya. Tetapi, konteks apapun itu saya tetap –
merasa – korban atas perlakuan tersebut.
Seto Mulyadi atau dikenal dengan
panggilan Kak Seto memberikan pandangan bahwa, “
Bullying sudah banyak terjadi tetapi kadang kita cuek enggak
peduli. Jadi, seperti
kok terus
terulang dan tidak ada tindakan yang lebih tegas.
Siswa pukul guru tak dipenjara.
Jadi, satu-satunya cara kita
harus tegas melakukan satu gerakan nasional anti-bullying. Bullying kadang
ada yang menganggap suatu yang biasa sudah tradisi, jadi stop berpendapat seperti itu. Karena rantai bullying yang terus bergulir ini
harus diputus. Tapi ya itu harus ada keseriusan dari kita semua,” (okezone.com,
19/07/2017).
Pandangan Kak Seto tentu berdasar
kepada banyak persoalan yang terjadi akibat
bully.
Fenomena yang terus terjadi mau tidak mau menjadi permasalahan panjang.
Anak kota
yang memiliki orang tua modern, begitu mengalami depresi akibat bully langsung melarikannya ke psikolog.
Anak di pelosok, mereka hanya tahu sedang ‘dikerjai’ teman lalu bungkam seribu
bahasa meski fisik jadi korbannya.
Reza Indragiri, pengamat
psikologi kepada okezone.com (18/07/2017) menyebut, “Bully di sekolah bukan hal sepele. Saking seriusnya, sampai
ada yang melakukan bullycide, suicide yang diakibatkan oleh
penderitaan tak tertahankan akibat menjadi korban bully,”
Anak yang lemah menjadi sasaran
bully itu sendiri. Mereka yang berkuasa
seakan-akan memiliki banyak cara untuk merampas yang tidak seharusnya. Apa yang
terjadi kepada saya sebenarnya sama halnya yang terjadi kepada siswa.
Bedanya,
saat saya mengalami bully, pandangan
demi pandangan merasa iba, kok tega siswa
itu merendahkan gurunya. Saya tidak ada pertolongan meski hati menjerit
kesakitan.
Saya tidak mampu minta tolong dan mengadu dengan berbagai alasan
yang makin menjatuhkan harga diri saya.
Lalu, yang terjadi kemudian
adalah memberi vonis bahwa saya sombong. Padahal, inilah efek dari
bully yang pernah dialami. Saya tidak
menegur karena cemas akan disebut begini dan begitu. Saya jadi pendiam karena
takut salah berbuat.
Kecemasan panjang ini menjadi mainan sehari-hari korban bully. Mereka harus menelan pil pahit
ini sampai waktu yang lama. Jika sakit badan bisa segera diobati, sakit batin
tidak semudah itu.
Jika anak yang mengalami bully
bisa mendendam, mana mungkin saya mendendam kepada siswa?
Mungkin ini hanya curahan hati semata. Tetapi, saya berharap LPSK memberikan masukan berarti untuk ‘ocehan-ocehan’ guru lain yang sedang dalam proses mediasi dengan siswanya. Diam bukan pilihan karena itu tulisan ini ada.
Kenangan lama saya biar berlalu, masa mendatang adalah apa yang bisa dibantu untuk menyelesaikan masalah-masalah pelik ini.
Jika siswa mudah melakukan bully terhadap guru mereka, sudah besar kemungkinan mereka membully sesamanya. Bukankah ini menjadi pekerjaan rumah yang berat di dunia pendidikan kita?