Categories
Uncategorized

Pentingnya Asuransi Bagi Anak

Mungkin saja, mereka saat ini sedang bersenang-senang karena sedang berada di depan kamera atau karena saya ‘paksa’ untuk menjadi model di halaman sekolah kami yang sederhana.

Namun, satu hal yang pasti bahwa mereka memiliki mimpi-mimpi tentang masa depan; baik itu soal tubuh selalu sehat, cita-cita yang tercapai maksimal maupun pendidikan setinggi langit.

Ketika saya menulis tentang ‘senyum’ mereka di sini, saat itu pula mereka sedang melukiskan angan-angan di secarik kertas, lalu diberikan kepada guru dan bahkan mendapat ejekan dari teman-temannya.

“Kamu bisa kok menjadi dokter,” ujar guru menyemangati, atau “Kamu belajar saja malas mana mungkin jadi tentara,” ujar anak-anak lain. Saya sering mendengar itu, saya bahkan ikut terlibat dalam debat panjang anak-anak yang tengah beradaptasi dengan usia remaja.

Wajar jika mereka belum terbiasa dengan cita-cita dan masa depan di bangku SMP. Tetapi, saya kerapkali membubuhkan catatan di akhir pelajaran, “Bahwa, kalian punya cita-cita dan masa depan cerah namun bagaimana cara meraihnya tergantung pada hari ini!”

Senyum anak-anak tiap hari di sekolah.
Kenapa hari ini? Kenapa tidak besok? Kenapa sekarang? Karena ‘sekarang’ adalah waktu untuk menentukan arah, menancapkan jiwa raga pada apa yang ingin diraih dan menyegerakan ‘pekerjaan rumah’ agar hari esok lebih baik.

Anak-anak yang berganti tiap tahun, ragam pula tata krama maupun keinginan-keinginan. Tetapi, satu hal yang pasti bahwa mereka ingin menjadi ‘sesuatu’ di masa depan.

Usia belasan tahun yang indah memang belum mampu menjabarkan apa dan bagaimana tetapi dalam senang-senang itu mereka ingin sukses, ingin bahagia, ingin memiliki percintaan yang hebat – jika berbicara asmara.

Lihatlah mereka yang sedang melompat di lapangan voli. Indahnya bola di udara saat dipukul. Begitu terus terjadi tiap hari di halaman sekolah kami. Anak-anak tidak mau mengambil kesimpulan bahwa kesehatan mereka besok akan tumbang. 


Anak-anak hanya tahu cara bermain, cara memainkan perasaan guru dengan banyak alasan dan tentu tidak akan lupa soal cita-cita. Mereka terlena di lapangan voli untuk membentuk otot lebih baik atau membuat perut jadi ‘roti sobek’ seperti atlet-atlet. 


Saat kembali masuk ke dalam kelas, mereka akan bertanya, mereka akan antisipasi soal masa depan yang entah suram dan benar-benar memihak kepada mereka.
Anak-anak gemar sekali olahraga, pilihan di sekolah cuma voli.
Saya tentu saja tidak ingin kehidupan mereka berikutnya menjadi ‘suram’ sebagaimana yang ditakutkan.

Saya kemudian tidak hanya mengajar pelajaran, tidak hanya sebagai pembentak anak-anak yang malas di sudut kelas, tidak juga sebagai sosok yang tak peduli dengan membubuhkan nilai merah pada rapor siswa bandel.

Saya datang dengan cerita-cerita. Soal tubuh yang mesti selalu dijaga, soal apa yang akan menjadi rencana di masa depan atau paling keren adalah sekolah mana yang akan mereka jejaki setelah ini!

Sangat penting meluruskan tujuan usai tamat SMP. Babak penentuan itu dimulai karena mereka akan terus berakhir pada babak demi babak seiring berjalan usia. 


Jika tidak dibumbui pada masa SMP, maka mereka akan terlena saja dengan bola sedangkan di sini jauh sekali klub besar yang akan melirik mereka. Senyum indah dari anak-anak saya di sekolah mungkin tidak seberapa. 


Mungkin juga tidak bermanfaat untuk sebagian orang namun tahukah kamu bahwa senyum mereka mampu melahirkan semangat lebih besar dan melupakan duka sesaat.
Anak-anak memiliki masa depan indah sekali. Mereka perlu arahan yang tepat. Mereka membutuhkan tangan-tangan dewasa untuk memoles apa yang sebenarnya telah dicita-citakan. 


Sebagai guru, tugas saya tidak semata menghukum mereka di depan kelas karena tidak bisa menghapal besaran fisika. Tetapi, saya mencoba ‘meramal’ masa depan satu persatu anak yang duduk di bangku depan sampai belakang.
Siapa yang sudi melihat senyum mereka memudar?
Mereka memang tersenyum. Mereka memang menawarkan diri sebagai pembawa keceriaan. Namun, saya kembali masuk ke dalam angan-angan mereka.

“Kamu cocok jadi guru karena sifat keibuan,” atau “Ayo berlatih lebih keras, kamu sangat layak jadi polisi,” mungkin saya juga akan berujar,

“Jangan takut darah, hapalan kamu sangat kuat, bisa jadi dokter suatu saat nanti,”

Hal-hal kecil ini berlaku dalam keseharian saya. Saya memahami anak-anak satu persatu karena tahu bagaimana mereka bersikap, cara mereka menyesuaikan diri dengan teman-temannya maupun tingkat kecerdasan tiap anak. 
Categories
Uncategorized

WhatsApp Pending, Anak Jadi Tahu VPN Bisa Buka Situs Pornografi

Saya cukup kewalahan menghadapi sebagian anak-anak dengan
pertanyaan tabu mereka. Perlu saya garisbawahi, anak-anak zaman now sangat pintar mengibuli guru mereka,
atau bahkan sangat kritis terhadap berita-berita yang belum tentu benar. Di kelas,
guru yang awam terhadap teknologi akan terbata-bata karena anak-anak selangkah
lebih cepat ke depannya.

VPN.

Begitu pula dalam hal tabu atau bahkan hoax sekalipun. Berita
bohong yang beredar di kalangan anak-anak karena mereka mencari tahu, mereka akan menggali informasi yang kita larang, mereka akan terus mencari apa yang membuat penasaran, sehingga
didapatkan jawaban.

Blokir atau tutup
sementara terhadap sesuatu sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak-anak. Selama
proses belajar, seminimal mungkin saya menghindari interaksi dengan anak-anak;
soal jaringan data, soal bagaimana meng-hack
akun media sosial kawannya, atau cara mencuri password Wi-Fi sekolah. Sekali saja saya beri celah, anak-anak akan
‘mudah’ sekali mendapatkan jawaban.
Hasilnya? Kita lihat sendiri saat ini. Dalam kacamata saya
sebagai seorang guru, kitalah orang dewasa dengan egosnya yang menjerumuskan
anak-anak ke dalam hal-hal tabu itu. Kita melarang,
anak-anak mencari. Kita membungkam
suara mereka, detik kemudian langsung bisa berteriak lantang.
Tanpa disadari, kita sendiri yang memberikan akses kepada
anak-anak untuk membuka situs
pornografi itu sendiri – sekalipun telah kita haramkan. Kisruh yang terjadi
akhir-akhir ini, bukan saja kerugian secara meterial yang harus dicatat, dan juga kerugian secara moral
yang mengakibatkan generasi muda makin terjerumus ke dalam penjelajah waktu di
sisi negatifnya.
Kita telah tahu sama-sama bahwa belakangan, media sosial,
termasuk WhatsApp diblokir aksesnya karena alasan tertentu. Kita Indonesia, sebuah
negeri yang berbeda dengan negara lain yang sekali dihujam jantung rakyatnya
akan diam.
Mereka yang beramai-ramai memprotes dan menuntut keadilan ‘hanya’
mendapatkan dampak dari rasa sakit kena tampar atau lelah bergadang. Lepas dari
itu, mereka akan sembuh sediakala setelah mengoleskan obat atau minum pil pahit
sehari kemudian.
Luka yang didapatkan anak-anak saya di sekolah – dan anak-anak
lain yang semula tabu – siapa yang akan bertanggung jawab? Memang, hal yang
simpel sekali, menutup akses, lalu
dibiarkan berkembang dengan sendirinya sampai muncul trending topic instalasi aplikasi pihak ketiga untuk membuka blokir situs maupun aplikasi
yang ditutup itu.
Di sinilah kita mengenal Virtual Private Network (VPN). VPN
tak lain sebuah layanan koneksi yang memberikan akses ke situs secara secure (aman) dan private dengan cara
mengubah jalur koneksi melalui server
dan menyembunyikan pertukaran data.
Sebuah smartphone yang
terkoneksi dengan jaringan VPN, akan mengubah koneksi dan bahkan IP sesuai ‘tembakan’
negara yang tercepat terhubung ke satelit. Secara sederhana, saat kamu tahu di
jalan utama sedang ada razia helm, maka insting kita yang tidak memakai helm
akan segera mencari jalan tikus.
Apa yang terjadi adalah kita tidak kena razia dan cepat
sampai tujuan tanpa ada yang ketahui. Demikian juga dengan VPN yang
menyembunyikan lokasi secara realtime
di mana tidak mudah untuk orang lain mengetahui lokasi kita saat mengakses
internet.
Saat jaringan di smartphone
kita ‘menembak’ server di dalam
negeri, lalu diputuskan, maka akan dilemparkan ke server luar negeri ‘terdekat’ untuk mengakses situs-situs yang
telah di-blokir itu.
Karena pemutusan jaringan itu maka hampir sebagian besar
masyarakat Indonesia mengetahui cara menggunakan VPN. Anak-anak saya yang notabene
‘tidak’ pernah saya kasih tahu cara ini mengetahuinya dari pesan siaran ataupun
trending topic di media sosial.
Anak-anak sudah tidak ada batasan lagi dalam mengakses situs
‘apapun’ meskipun situs dimaksud telah ‘dimatikan’ jalan indahnya di Indonesia.
Instalasi aplikasi VPN yang mudah dan aman melalui PlayStore dapat dilakukan
oleh siapa saja. Gratis dan mudah meskipun ada ‘larangan’ pencurian data.
“Data apa yang akan dicuri, Pak?” anak-anak langsung tertawa
saat saya menyebut aktivitas perbankan, nomor seluler, chatting, maupun foto atau video.
“Kami nggak punya buku bank, Pak!” sah saja mereka berkata
demikian karena memang belum berhak untuk akses ke bank, apalagi untuk
melakukan transaksi debit atau kredit melalui mobile banking.
“Nomor HP sekali pakai saja, Pak, besok beli baru lagi,” entah
saya yang tidak paham atau memang anak-anak yang terlalu ‘pintar’ memaknai itu
semua. Toh, mereka sangat tahu soal
gonta-ganti nomor ponsel meskipun ada batasan pembelian harus memiliki NIK.
Bebasnya orang menjual kartu simCard aktif yang memiliki
paket data menjadi pekerjaan rumah
yang mematikan saat ini. Siapa saja bisa membeli kartu telepon ini tanpa perlu
membawa KTP atau kartu identitas lain.
Chatting grup
kami cuma bahas si Cantik putus sama pacarnya, Pak!” aduh, benar-benar bingung bukan. Untuk apa data ‘itu’ dicuri karena
memang nggak dibutuhkan sama sekali. Lag
pula, “Nggak mungkinlah, Pak, orang luar negeri mau culik kami di sini!”
Atau, “Kami chat
pakai room private, Pak, langsung
dihapus setelah chat. Kemarin cuma bilang
masuk sekolah favorit itu lebih mahal daripada sekolah lain,” apa pentingnya itu?
Anak-anak sangat tahu, dan paham soal situasi yang mereka
hadapi. Enteng saja bagi mereka ‘membatasi’
diri di media sosial maupun internet. Saya bahkan setuju dengan pemikiran mereka soal nggak mungkin orang luar negeri yang disebut
mencuri data datang ke rumahnya untuk menculik dirinya
.
Yang ada, orang luar negeri itu nyasar ke sawah baru di tanam padi, atau ke hutan penuh kebun karet
karena Google Map salah kasih peta. Mungkin juga, saat orang luar negeri yang ‘mencuri’
data itu datang ke kampung kami yang selalu sejuk di pagi hari itu, akan bengong sendiri karena tak ada yang
mengerti bahasanya.
Mau pulang entah jalan
mana. Mau kabur, tapi bagaimana. Di sisi
lain, parang atau golok akan terhunus ke perutnya begitu menarik lengan anak
gadis orang. Tidak semudah itu ‘mengambil’
hak milik orang lain di negeri kita ini.
Gampanglah, Pak. Tinggal
blokir saja, orang itu nggak bisa chat lagi kita!” media sosial seperti
Instagram memiliki fitur blokir permanen
yang membuat kita tidak bisa lagi terhubung dengan orang tersebut; mencari saja
tidak akan keluar lagi namanya.
“Ganti nomor HP, hapus akun, bebaslah kami dari orang yang
curi data itu!”
Jadi, anak-anak kita telah kebal terhadap apa yang
dirisaukan atau dikhawatirkan oleh orang-orang yang pintar di negeri ini. Namun,
pembatasan yang telah terjadi mengakibatkan masalah yang jauh lebih besar.
Akses situs porno. Selama ini, anak-anak ‘mungkin’ telah
lupa bisa mengakses situs-situs porno karena mereka menganggap telah ditutup. Memang
tidak bisa saya sebut semua anak, ada sebagian malah sudah tahu VPN dalam diam-diam.
Jika sudah seperti ini sekarang, tidak ada lagi yang
diam-diam kecuali kapan waktu anak-anak
mengakses situs porno tersebut. Kita tidak akan pernah mengetahui karena orang akan malu untuk diketahui tindakannya
itu
.
Orang-orang dewasa yang ‘membuka jalan’ yang ‘membuat’
anak-anak kita tahu celah ini. Kami sebagai guru – yang paham teknologi –
sebisa mungkin menutupi hal-hal demikian, namun terbongkar dengan sendirinya sesuai kaidah yang tidak diinginkan.
Saya harus melarang, tentu tidak semudah itu. Karena saya tidak
bisa menarik kesimpulan anak ini buka
situs porno, anak itu baru saja
menonton video porno. Anak-anak sangat ‘pintar’ di mana setelah membuka situs
porno langsung menghapus riwayat pencarian atau bahkan, clear cache browser.
Aman terkenali. Tidak ada yang tahu. Besok-besok buka lagi. Meskipun
guru dan orang tua menyita smartphone mereka
karena terinstal VPN, kita tidak akan menemukan apa-apa. Selain, mereka
berkata, “Buat buka WhatsApp, Pak, kan
kemarin di-blokir!”
“Orang Instagram cuma gaya-gayaan terus dapat endorse, kok, Pak!” saya tidak hanya
bingung tetapi jadi guru yang ‘bodoh’ di depan siswanya. Kenyataan yang demikian
memang benar adanya.
Saya tidak mau berbicara yang ‘aneh’ tetapi konsep dari foto-foto
Instagram anak-anak berjalan sesuai usia mereka. Anak cewek memamerkan kecantikan
mereka terus dapat produk gratis dari sponsor. Anak cowok screenshot main game
terus mendapat lawan sepadan lalu dapat poin dan juga ‘uang’ setelah itu.
Kita orang dewasa yang mengarahkan anak-anak ke hal-hal yang
tabu. Lalu, melepaskan tanggung jawab karena masalah yang kita inginkan terjadi telah selesai. Proses yang
dihadapi anak-anak jauh lebih rumit.
Kita orang tua mungkin besok sudah tiada, atau menjadi
pikun, atau sakit tak sembuh-sembuh. Namun, generasi yang kita ‘ajak bermain’ dalam
ego kita untuk mendapatkan kepuasan batin itu tidak bisa mengulang masa-masa
keemasan mereka.
Saya mungkin punya alasan untuk ‘mendebat’ hal-hal demikian dengan
anak-anak. Mereka ngotot VPN aman,
saya bisa menjelaskan dari sisi berbeda VPN tidak aman. Namun, rekan-rekan saya
sesama guru yang 99 persen tidak tahu, akan membiarkan anak-anak bergerilya
dengan VPN itu. Baik dalam bermain WhatsApp, Instagram, Facebook, YouTube, maupun
membuka situs porno.
Batasan yang telah dilanggar oleh kita orang dewasa ini
mengerucutkan daya pikir anak untuk menjadi
apa. Kita menyuap ‘nasi’ ke mereka sampai bisa menyuap sendiri. Kita yang
mengajarkan mereka berdiri sampai bisa berlari.
Salah kita. Namun sifat temperamental kita tidak bisa
menerima kenyataan itu. Saya tidak bisa menjelaskan mana yang benar dan salah
di depan anak-anak, saat informasi yang datang berbeda. Akses mereka yang
internet lebih stabil karena VPN, saya mungkin lupa mengaktifkan VPN karena sibuk
dengan yang lain.
Kita tidak sama-sama menjaga anak-anak negeri ini. Kita yang
terus menyalahkan ‘orang lain’ telah berbuat jahat terhadap hidup kita. Anak-anak yang punya waktu lebih banyak
di internet, mudah mengakses semua media sosial. Video ini tidak bisa dibuka,
akan ada cara bagi mereka untuk membukanya.
Seperti bermain game,
anak-anak akan tahu kesalahan mereka saat tidak naik level. Mereka akan berulangkali melakukan trik ini dan itu sampai
akhirnya gembok itu terbuka. Giliran guru
di sekolah yang dituntut untuk ‘meluluskan’ semua anak-anak dibiarkan seorang
diri menjelaskan mana yang benar dan salah.
Satu hal yang pasti, guru saat ini tidak hanya mengajar
materi pelajaran sesuai kurikulum yang berlaku, tetapi menuntun anak-anak menjadi
pribadi yang berkarakter baik. Jika masalah VPN bisa merusak segalanya, apa
yang harus dilakukan?

Tonton juga ulasannya di video ini.

Categories
Uncategorized

Kisah Keluarga Cuma Minum Air Putih di Saat Sahur Bulan Ramadan

Jika melihat dari berbagai sisi, keluarga mereka lebih berada daripada keluargaku. Dua orang tua mereka adalah pekerja dengan gaji tetap dan tunjangan tiap bulan. Tiga anaknya telah besar dan sedang menempuh pendidikan tinggi. Namun, di bibirnya selalu berujar.
Kurma bulan Ramadhan.

“Kamu belum merasakan apa yang kami rasakan!” maksudnya, menyekolahkan anak-anak sampai tinggi. Apakah aku harus menjabarkan semua yang kurasakan kepada orang lain? 

Apakah aku harus menampakkan diri sedang melarat di hadapan orang lain? Apakah aku harus berteriak tentang tanggung jawab kepada orang lain?
Aku memilih diam menjabarkan berbagai alasan. Namun lagi-lagi dia datang dengan sebuah keluhan, kepadaku yang sebenarnya lebih melarat dari dirinya yang bekerja tiap hari dan di awal bulan telah mendapat gaji.

Ia membeberkan betapa sulitnya anak kuliah. Tiap bulan mengirimkan uang sampai tak ada sisa di tabungan. Bahkan, untuk membeli beras pun ia harus ngutang ke orang lain.

Bulan Ramadan yang penuh berkah, ia kembali mengeluh. Padahal jika kuamati dan selami dengan baik, pemahaman agamanya lebih kuat dibandingkan denganku.

Ia lebih banyak tahu jika membicarakan soal agama. Ia lebih sering berdebat soal agama di hadapan orang banyak. Ia menghapal beberapa ayat dan paham menjelaskan kepada orang lain.

Ia mengaku tak pernah tinggal salat lima waktu. Ia selalu mengatakan salat dhuha di waktu matahari sepenggalah tiap hari membukakan pintu rejeki.

Ia menganjurkan untuk salat malam – tahajud – untuk diberikan petunjuk dari segala masalah. Ia puasa Senin dan Kamis di luar bulan Ramadan.

Keluhannya di bulan suci ini tidak bisa beribadah dengan tentram.

Aku tidak bertanya alasan. Ia akan menjabarkan alasan dengan sendirinya. Ia teramat mudah membuat orang di sekitar iba sehingga mendoakannya agar lebih bahagia atau menyedekahkan sedikit isi kantong kepadanya.

Ia menerima seakan-akan gaji dan tunjangan tiap bulan hanya uang kertas untuk dibuat pesawat terbang, melayang di udara tak pulang-pulang atau bahkan hangus terbakar akibat kerusakan mesin di atas ribuan kaki.

“Kami cuma minum air putih saat sahur,” ujarnya perih. Akan ada kelanjutannya walaupun aku tidak memotong. Aku menyimak gerak tubuhnya yang tak kaku.

Ia menggaruk-garuk leher yang entah benar gatal atau tidak.

“Si sulung baru minta kiriman lagi, adiknya mau beli laptop baru, si bungsu motornya masuk bengkel, belum lagi uang makan bulanan yang juga dikirim serta,” ia mulai mengiba sebuah laporan yang sama sekali nggak ada sangkut pautnya denganku.

“Semua tabungan sudah kami kirimkan untuk mereka, begitulah susahnya hidup menyekolahkan anak-anak!”

Rasa syukur bagian mana yang tidak aku pahami? Ia terus bercerita lebih baik sakit sekarang jika nanti senang melihat kesuksesan anak-anaknya.

Ia terus menyeloroh tentang perut yang tidak stabil dan terasa kembung akibat air di dalam tubuh tak bercampur makanan. Ia terus mengutuk rejeki yang datang dan pergi di dalam hidupnya.

Ia terus mengisyaratkan bahwa cuma mereka sebuah keluarga sengsara di dunia ini selama Ramadan ini, bahkan nanti seusai Ramadan.

Karena ini tengah bulan, ceritanya akan tetap sama. Aku mendengar cerita serupa di awal bulan. Dan di akhir bulan ia akan kembali bercerita dengan berbagai alasan.

Terutama beban anak-anaknya di bangku kuliah. Merunut kepada keluarga lain, yang juga menyekolahkan anak-anak mereka, bertani malah, nggak pula merajuk ke mana-mana bahwa hidupnya susah.

Makan dan minum apa yang ada. Semua dibagi-bagi sesuai kebutuhan. Bersyukur pada pemberian-Nya bukan terus-menerus berujar “saya tidak punya,” “aku tidak punya uang,” dan seterusnya sampai benar-benar menjadi doa.

Minum air putih di saat sahur bisa saja karena itulah doa yang terkabul akibat keluhannya selama ini. Ia – keluarganya hidup di rumah mewah – termasuk golongan yang aman-aman saja dengan gaji bulanan.

Bagaimana dengan orang lain? Pernahkah ia mendengar keluhan mereka? Atau hanya ia saja tokoh utama mengeluh di segala tempat?

Categories
Uncategorized

Jangan Hormati Orang Tidak Puasa Ramadhan

Jangan Hormati Orang Tidak Puasa Ramadhan. Bagaimana hukum orang tidak puasa Ramadhan – “Jangan makan di luar orang lagi puasa!”
Bulan Ramadhan.
Ibu, selalu menegur saya waktu kecil dulu jika makan di luar rumah saat bulan puasa. Ibu saya memang bukan orang alim agama namun paham betul dalam menghormati bulan Ramadhan. 
Bulan puasa yang hanya ada setahun sekali ini wajib di hormati karena kaidah dalam bulan ini adalah berpuasa. Tak ada bulan lain selain bulan ini yang menganjurkan untuk puasa sebulan penuh. 
Puasa yang paling dasar adalah menahan lapar dan dahaga. 
Jelasnya tidak dibenarkan makan dan minum di bulan ini. Jika tidak berpuasa sekali pun maka hormatilah bulan ini, bukan saja orang yang sedang berpuasa.

Bagaimana Hukum Orang Tidak Puasa Ramadhan?

Zaman sekarang malah terbalik. Orang yang sedang berpuasa disuruh hormati orang yang tidak berpuasa. Siapa yang mesti dihormati dan menghormati? 
Wajarkah makan dan minum di depan orang banyak di bulan Ramadhan? Jika pun nggak bisa menahan diri maka sembunyi-sembunyilah saat lapar. 
Jika tak mau menghormati orang-orang yang sedang puasa maka hormatilah bulan ini karena janji Tuhan tak pernah ingkar terhadap nikmatnya.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” –QS. Al Baqarah: 183 –

Orang yang berpuasa adalah orang yang beriman. Mau rumah makan bukan 24 jam. Mau restoran menawarkan menu lezat dan diskon gila-gilaan. 
Mau sirup manis sekolam di depan mata. Tetap saja tidak tergoda karena baginya puasa melatih sabar dan tabah menahan godaan. 
Orang berpuasa bukan saja menghormati bulan penuh ampunan ini namun juga menghormati orang-orang lain yang tidak berpuasa dengan cara menghalau cercaan. 

Bagaimana Hukum Orang Jualan Siang Hari Bulan Puasa?

Sejak kecil saya telah terbiasa dididik untuk menghormati bulan Ramadhan. Walaupun masa itu cuma puasa setengah hari namun tak lantas pamer-pamer makanan ke mana-mana. 
Aura bulan puasa itu cukup kuat sekali bagi orang-orang yang beriman dan menjalankannya sepenuh hati. Dulu dan kini saya tidak merasakan perbedaan sama sekali. 
Anak-anak zaman sekarang yang telah dilatih untuk berpuasa juga menghormati orang-orang yang sedang berpuasa. Anak-anak malah malu jika makan di depan orang dewasa yang sedang puasa. 
Lalu, membuka warung makan di tengah hari? Kena razia marah-marah? Pemberitaan di mana-mana. 
Si tukang razia dihujat habis-habisan bahkan oleh mereka yang sedang puasa. Siapa yang semestinya harus dibela saat ini? 
Orang yang sedang puasa menyediakan makanan untuk orang tidak puasa? Orang Islam menyediakan makan untuk dijual di tengah hari bulan puasa? 
Atau bulan Ramadhan yang menangis karena harga dirinya diinjak-injak oleh umatnya sendiri? 
Ketika pencuri sembunyi tangan, maka emas permata tak akan pernah ditemukan lagi. Ketika pencuri dibela oleh putusan, maka selamanya ia akan mencuri. 
Ketika orang tidak puasa dihormati maka selamanya ia akan keras kepala. Mungkin tak akan pernah lagi puasa. Mungkin puasa saat senang hati saja. 
Mungkin telah kebal hatinya karena agama cuma tertulis di kartu tanda pengenal saja. 
Puasa memang bukan wajib untuk semua umat Islam namun orang Islam akan puasa walaupun tidak beriman – dalam konteks keimanan sebenarnya; salat lima waktu dan amal ibadah lain. 
Puasa adalah pembiasaan yang telah diajarkan sejak kecil oleh orang tua jika telah terlahir sebagai muslim. Kebiasaan ini terus terjadi apabila lingkungan menghormati bulan puasa. 
Namun jika lingkungan tidak menghendaki dengan dalih mencari nafkah maka si orang tersebut juga akan tak puasa. 
Semua orang mencari nafkah untuk kehidupan lebih baik. 
Menghormati orang yang tidak puasa adalah dengan memberi nafkah kepadanya. Jika penjual sedang puasa maka sama saja telah menelan ludah sendiri. 
Niat puasa yang dilafalkan di waktu malam untuk siapa tujuannya? 
Cuma sekali di waktu siang dagangan itu entah laku entah tidak namun dibombardir telah berlaku baik memberi makan orang tidak puasa. 
Padahal, jika mau mengalkulasikan lebih terperinci berapa banyak pemasukan mereka yang hanya membuka warung makan saat berbuka, sahur dan habis tawarih. 
Mereka yang masuk ke dalam golongan ini juga berjualan, mencari rejeki, menutupi kebutuhan rumah tangga termasuk baju baru untuk anak-anak di hari raya. 
Jangan berkilah bahwa nafkah itu nggak adil karena mereka yang berjualan di saat berbuka atau sahur saja masih hidup saat akhir Ramadhan nanti. 
Beginilah apabila mental kerupuk dipelihara. Yang salah dibela. Yang benar diabaikan. Yang salah bahkan dapat bantuan. 
Yang benar malah dihukum. Bagian bab ini akan menjadi sebuah monster di waktu ke depan. 
Akibat dari menghormati orang tidak puasa dan dibela sampai ke level pemerintah maka tidak tertutup kemungkinan orang-orang yang buta mata hati membuka warung makan lebar-lebar di tengah hari bulan Ramadhan. 

Apa bedanya bulan Ramadhan dengan bulan-bulan lain? 

Aneh tetapi nyata. Saat masyarakat muslim meminta nonmuslim untuk menghormati bulan Ramadhan tetapi umat muslim yang sedang puasa justru tidak menghormati bulan suci ini. 
Pergeseran ini karena hawa napsu yang tidak mampu dikendalikan selama bulan puasa dan karena mengasihani tanpa menggunakan logika secara terperinci. 
Orang Islam itu sendiri paham betul alasan kenapa tidak berpuasa. Islam tidak memberatkan terhadap suatu apapun kecuali diberat-beratkan oleh umatnya sendiri. 
Puasa boleh tidak dikerjakan apabila sakit, wanita haid, wanita melahirkan, sedang dalam perjalanan jauh, belum baligh, orang tua dan beberapa golongan lain. 
Tetapi dengan catatan mengganti di hari lain di luar bulan Ramadhan. 
Dan, kenapa jangan menghormati orang tidak puasa? Karena orang tersebut – golongan Islam – adalah mereka yang naif dan tidak menghormati bulan Ramadhan. 
Jika kita termasuk ke dalam golongan menghormati orang tidak puasa, maka catatlah sendiri bahwa kita termasuk golongan yang tidak menghormati bulan suci ini. 
Perkara ini kembali ke ayat dalam kutipan di atas. 
Catatan akhir, untuk apa kita menahan haus dan lapar sampai petang jika begini kondisinya? 
Categories
Uncategorized

Ramadhan Kendalikan Hawa Napsu yang Penuh Kebohongan Siang dan Malam

Jumat pertama di bulan Ramadhan, terasa lebih syahdu karena tendangan dari khatib. Saya yang terkantuk-kantuk jadi on seketika mendengar suara lembut di atas mimbar. 
Ramadhan.
Biasanya, di awal Ramadhan khatib akan bercerita tentang keutamaan sepuluh hari pertama kita berpuasa. Kayak cerita itu telah “basi” khatib mencari celah ke tema lain yang lebih menarik.

Katanya, kata Ramadhan, napsu itu pembohong!

Eh, bukannya napsu itu bisikan syaitan ya? 
Orang berpuasa memiliki banyak sekali godaan. Apa-apa saja di hadapan terasa nikmat dan sedap sekali apabila dapat dielus, dipeluk, bahkan sampai dilahap sekalipun. 
Ada bubur kacau hijau sekuali, rasanya habis semua dimakan. Air sungai habis semua diminum sampai ikan-ikan terkelepar-kelepar. 
Air laut yang asin tak tinggal sisa sampai kapal pelaut, kapal persiar, kapal selam dan lain-lain terseok-seok di atas karang. 
Ada buah jambu masak dipetik sampai sekarung. Ada durian dijual mahal karena bukan sedang musim, dibeli sampai ratusan ribu. Intinya, mata tak pernah mau silap sesenti pun dari apa yang dilihatnya. 
Begitu berbuka, tepar! 
Begitulah napsu. Napsu sungguh pandai memanipulasi data-data akurat yang sebenarnya telah ditransfer dengan cepat oleh akal sehat. 
Namun lagi-lagi napsu tidak bisa dicegah karena ia terus menghujat dengan rentetan kemauan yang belum pasti. 
Napsu berkata bahwa semua ada masanya untuk menikmati dan kita percaya masanya itu akan tiba. Waktu yang ditentukan ternyata menjawab bahwa napsu adalah pembohong. 
Kebohongan demi kebohongan dilancarkan oleh napsu karena ia ingin menang sendiri. Mana mungkin manusia sanggup minum air sungai, segelas atau dua gelas besar saja air manis waktu berbuka sudah buat perut kembung. 
Kue-kue berderet di atas meja makan rasanya kok kasihan sekali nggak tersentuh. Kuah asam pedas yang buat lidah bergoyang di sore hari, kasihan sekali hanya disentuh sesendok teh. 
Daging ayam panggang cuma diambil secuil, selebihnya dibiarkan dingin bahkan sampai basi keesokan harinya.
Semua hanya secuil demi secuil. Manusia yang berpuasa selalu ada maunya karena dorongan hawa napsu.
Padahal jelas-jelas napsu itu pembohong karena setelah berbuka ia tidak menepati janji. 
Napsu ingin kita membeli kue seharga emas, kita turuti. Saat berbuka kue tersebut hanya tersentuh sepotong. Jika beli emas bisa jadi mahar melamar wanita idaman.
Ramadhan tak pernah membual bahwa manusia yang serakah akan lelah. 
Ramadhan menganjurkan untuk makan tidak berlebihan saat berbuka karena setelah itu tarawih menanti. 
Ramadhan tidak menipu untuk membeli ini dan itu untuk berbuka, boleh saja yang manis walaupun hanya sebiji kurma.
Napsu memang tidak pernah bisa dikendalikan tetapi melawan hawa napsu bisa saja dilakukan. Caranya kembali ke pribadi masing-masing. 
Jika masih percaya napsu itu pembohong maka hindari saja kemauannya di siang hari. 
Diajak beli kurma berton-ton, diamkan saja. Diminta beli es teller jangan terlalu dihiraukan karena nanti kamu akan teller beneran, jika tidak habis meminumnya. 
Napsu mau makan pisang goreng, beli saja secukupnya. Napsu ngidam kue lapis tahan dulu untuk hari itu karena sudah beli pisang goreng sebelumnya. 
Ia mau kamu mangkal cantik di depan orang-orang jualan penganan berbuka, sebaiknya hindari saja karena ujung-ujungnya kamu akan beli juga. Jika bukan karena kasihan ya karena ingin makan. 
Napsu itu pintar berbohong tetapi tidak bertanggung jawab. 
Dan kita, lebih pandai bertanggung jawab dari pada berbohong. Kamu berbohong, tes kebohongan akan terlihat dari mata dan raut wajah. Kamu bilang masih puasa, eh tiba-tiba tertawa.
Categories
Uncategorized

Kisah Profesor Sombong dan Angkuh Naik Haji Tidak Dapat Mabrur

Profesor sombong naik haji tidak mabrur – Sunyi yang melabuhkan rindu. Rasman berdiri di ambang pintu. Malam kian berderit. Nyanyian bersenandung dari dahan pohon rumbia di belakang rumahnya. 
Naik haji ke Baitullah.
Telah lama sekali ia menikmati kesyahduan alam ini. Hawa menggelora yang menggetarkan nada-nada cinta dalam dirinya. Ia telah melayang tinggi. 
Ke puncak menara tak bernama dan tak bertuan. Ia menyaksikan kain-kain putih beterbangan. Mungkin saja membawa harapan, bisa juga karena angin terlalu kencang.
Pada
biduk yang meliuk asa itu. Rasman menaruh harap. Oh, bukanlah semata khayalan
atau mimpi. Ia bersemangat menggapai tujuan karena mata memandang penuh iri
dari orang lain.

Kemenangan untuknya semata-mata ia dapat karena pandangan
berbeda di sekitar nyawanya terkembang.

Rasman
meraih cita-cita. Ia bersikap layaknya anak kecil yang mengimpikan mainan baru.
Ia pamerkan kepada semua khayalak.

Bahwa dirinya yang mampu mendapatkan mainan
tersebut. Ia merasa tidak goyah atau terhina dengan ucapan orang lain. Ia
merasa setiap omongan adalah motivasi untuk meluruskan yang benar dalam
dirinya.

Ibarat
cobaan, Rasman merasa itulah masanya. Silih berganti orang memandangnya iri.
Berpacu dalam waktu orang menyela keinginannya. Ia tak habis pikir dengan
ucapan demi ucapan. Ia tak terkendali pula untuk memamerkan kekuasaan dirinya. 

Ke
mana-mana ia berkata, “Menuntut ilmu itu wajib!”
Di
lain kesempatan ia pula menyuarakan dengan tegas, “Menunaikan ibadah haji wajib
bagi yang mampu!”
Namun
Rasman alpa. Ia terus mengejar cita-cita. Harta dan tahta ia raih dalam sekejap
mata.

Tiap Jumat ia berkhotbah di masjid-masjid berbeda. Mendengungkan
keagungan ilahi. Mendendangkan ayat-ayat tentang haji tatkala musim haji
tiba. Meneriaki orang-orang berharta untuk segera menunaikan ibadah haji.

Padahal, dirinya sendiri belum melangkah ke tanah suci.

Khotbahnya
tak berhenti sampai di mimbar Jumat. Di warung kopi kampung sebelah, hampir
tiap malam ia bercakap-cakap hingga larut.

Rasman menjelaskan secara detail
pengetahuannya mengenai haji. Orang-orang yang awam – kebanyakan tak sekolah –
menyimak dengan saksama ceramah agama.

Rasman semakin menggelora. Sesekali ia
berucap, “Saya sedang menempuh pendidikan tinggi di Kota!”

Rasman
tak pernah berhenti menceritakan mengenai hajar aswad di dalam kabah, kemegahan
Masjidil Haram, kemewahan Masjid Nabawi, orang-orang yang berlari kecil antara
bukit Safa dan Marwah, tangan-tangan yang melempar batu, dan semua rukun serta
syarat haji lainnya.

Tiap malam Rasman duduk di warung kopi, tiap malam pula ia
menceritakan hal yang sama.

Berulang kali pula ia berucap dengan makna yang
sama sambil tertawa kecil, “Sebentar lagi saya selesai pendidikan tinggi di
Kota!”

Jika
mendengar penjelasan haji dari Rasman, benarlah adanya jikalau ia telah
menunaikan ibadah wajib tersebut. Ceritanya tak pernah terpenggal. Ia
menceritakan sekonyong-konyong telah berhaji puluhan kali.

Seakan-akan Rasman
paham betul letak koordinat utara, selatan, barat dan timur di tanah Arab. Sepertinya,
Rasman paham benar toko-toko penjual aksesoris di Mekkah maupun Madinah.

Padahal,
langkah kaki Rasman belum pernah tersentuh di bandar udara Jeddah sekalipun. Dan
di akhir cerita, Rasman akan menambahkan, “Tak lama lagi saya akan menerima
gelar profesor!”

Orang-orang
terkagum. Entah karena bodoh. Entah karena tak mau tahu. Entah karena pura-pura
tuli. Entah karena sudah tahu ucapan cerita pengantar tidur dari Rasman.

Di
malam berikutnya, saat Rasman menceritakan hal serupa, orang-orang juga
mendengarnya. Karena tak ada orang lain yang pandai menceritakan banyak ilmu
agama selain Rasman.

Di sana pula, hanya Rasman seorang saja yang menempuh
pendidikan tinggi. Katanya akan mendapat gelar profesor.

Walaupun, Rasman
kuliah ke Kota pada hari Sabtu dan Minggu saja. Orang-orang di warung kopi
tetap tak mengambil tanya, karena mereka tidak tahu soal itu, juga karena
mereka tak berani menyanggah omongan Rasman.

“Mana
kau tahu, kau tidak sekolah setinggi aku!” begitu kilah Rasman saat ada suara
bising di dekatnya.
Cerita
Rasman selalu mengenai haji. Seakan-akan ia paham betul bagaimana cara melunasi
dana pembayaran haji. Ia menjelaskan seluk-beluk pembayaran haji kepada
orang-orang.

Ia mengatakan betapa rumitnya mengurus haji kepada orang-orang. Ia
mengatakan kenal si ini dan si itu yang bisa meluruskan orang yang ingin
menunaikan ibadah haji.

Di akhir cerita ia mengulang, “Aku selesaikan profesor
terlebih dahulu, haji itu tak pandang umur!”

Di
lain waktu, Rasman mengatakan kenal dengan petugas haji dari kampung sebelah.
Tak lama setelah itu ia mengatakan mengetahui tata cara manasik haji.

Bahkan,
ia pernah mengikutinya untuk coba-coba. Seperti biasa, di akhir cerita ia
mengatakan, “Aku tak mau membuang waktu meraih profesor selagi muda!”

Tak
hanya di warung kopi saja Rasman bercakap banyak. Di dalam rumah, ia pun
demikian. Istri dan anaknya meraung dalam gelap. Istrinya meratap sedih.
Anaknya menyendiri.
Rasman
sering berujar, “Minta saja uang jajan pada ibu kau itu!”
Pada
istrinya, Rasman berucap, “Belilah kebutuhan rumah tangga ini dengan gaji kau
itu!”
Karena
gaji Rasman tak pernah lagi keluar serupiah saja semenjak dirinya mengejar
profesor. Pulang pergi ke Kota dalam jarang lima jam perjalanan darat, membuat
tabungan Rasman berkurang dengan cepat.

Gajinya sebagai guru pegawai negeri
sudah tak cukup menampung semua kebutuhan ini dan itu. Pendidikan doktoral yang
telah selesai belum terasa cukup sebelum profesor tersemat di depan namanya.

Gaji
tambahan dari perguruan tinggi swasta tempatnya mengajar sore juga tak bisa
menambal kebolongan di sana-sini.

Istrinya,
sebagai guru pegawai negeri harus menambal bolong-bolong di tubuh suaminya yang
penuh gengsi.
Rasman
tak pernah mau mendengar kata tidak ada. Setiap kali ia membutuhkan, pada masa
itu pula semua harus tersedia.

Wewenang pendidikan anaknya ia limpahkan kepada
istri. Ia tak akan melepaskan cita-cita yang sebentar lagi akan tercapai.

“Kapan abang melunasi biaya haji?” tanya istri Rasman malam itu.

“Nantilah.
Kau tak tahu aku sedang fokus pada penelitian profesor?”
“Profesor
itu milik dunia, sedangkan haji tidak demikian…,”
“Banyak
kali cakap kau. Kau cuma lulus sarjana, aku sebentar lagi akan dapat
profesor. Seharusnya kau bangga punya suami hebat macam aku ini!”
“Haji
itu lebih wajib…,”
“Aku
lebih paham soal itu. Kau pun cuma pelajari dan mengajar ilmu hitung. Aku ini
mempelajari dan mengajari ilmu agama sejak jadi guru sampai dosen.

Apa yang aku
tak bisa? Aku bisa bercakap-cakap dalam bahasa Arab, aku bisa mengartikan
al-Quran dengan benar, aku memahami isi kandungan al-Quran dan hadits, aku tahu
betul ajaran agama karena telah kumakan sampai habis semua itu!”

Rasman berkacak
pinggang. “Soal haji itu, aku sudah hapal di luar kepala tata cara
pelaksanaannya,”

“Abang
kan belum menunaikannya,”

“Panggilan
haji itu telah ada, aku saja belum sempat mengerjakannya. Sampai di tanah suci,
aku sudah tahu ibadah apa saja dan tempat pelaksanaannya. Kau tak perlu ragu!”

“Apakah
abang akan membawa kami serta jika menunaikan haji?”
“Oh
tidak! Kau lunasi sendiri biaya haji itu. Kau sudah tahu biaya kuliah sampai
mendapat profesor sering tak cukup. Aku wajib melakukan penelitian dan membuat
karya ilmiah dengan bagus supaya cepat mendapat profesor,”
“Kami belum mampu melunasinya,” istri Rasman menggigit bibir. Pikirannya
menari-nari akan biaya pendidikan anak mereka dan kebutuhan rumah tangga yang
diabaikan Rasman.

“Kau
sabarlah kalau begitu,”
“Kenapa
tidak abang tunaikan haji terlebih dahulu, lalu menunaikan haji kami sekalian,”
“Aku
fokus dulu ke penelitian ini,”
“Penelitian
abang tentang haji, alangkah baiknya jika dipraktikkan langsung,”
“Ilmu
haji yang kumiliki telah cukup. Tak perlu buang-buang uang penelitian ke tanah
suci. Orang-orang yang telah pulang dari sana cukup sebagai sampel penelitian
ini.

Lagi pula, masa tunggu haji itu bertahun-tahun, tak akan dapat gelar
profesor itu lagi nanti!”

Istri
Rasman tak lagi berkutik. Rasman mengacungkan tangan. Tanda bahwa dirinya tak
lagi mau diganggu.
Malam
semakin larut. Besok wukuf di Arafah. Salat hari raya sudah lebih dari cukup
bagi yang tak mampu ke Padang Arafah.
Di
pagi yang begitu cerah. Takbir berkumandang. Rasman berkemas dengan rapi karena
ia akan menjadi khatib di kampungnya sendiri.
Berdirilah
Rasman di atas mimbar setelah salat hari raya. Rasman berapi-api menerangkan
perjalanan Ibrahim dan Ismail. Di akhir khotbah, Rasman menambahkan jurus
ampuh, ia terlupa posisinya sebagai khatib, bukan penceramah di warung kopi.
“Sebentar
lagi saya akan menjadi profesor!”
Rasman
lupa mengucap salam penutup khutbah. Rindu tak lagi menggetarkan hatinya…
Categories
Uncategorized

5 Kebiasaan Buruk Siswa di Sekolah yang Tak Boleh Dicontoh

5 Kebiasaan Buruk Siswa di Sekolah yang Tak Boleh Dicontoh – Belajar
itu sangat membosankan! Kata siswa sih begitu. Bagi mereka, ke sekolah
itu have fun saja. Mau guru masuk atau kagak, no problem. Asalkan
bola voli nyasar di lapangan seharian di sekolah nggak kenapa.

Siswa tidak rapi.

Siswa memang
cenderung suka yang tidak disukai guru. Namun tahukah kamu jika guru itu bosan
mengajar? Apalagi saat menghadapi siswa nonbandel. Susahnya lebih daripada
siswa yang benar-benar bandel.

Kalau siswa bandel mah sudah ketahuan
belangnya. Awut-awutkan di kelas. Siswa yang setengah bandel ini, susahnya
minta ampun. Lebih baik ni, kalau mau jadi siswa bandel ya bandel banget
jangan tanggung-tanggung.

Kalau setengah jadi begitu, guru pun susah ngasih
surat panggilan kepada orang tua. Mau tulis alasan apa coba? Padahal guru sudah
geram sampai tingkat tinggi.

Lima
alasan sepele ini yang membuat guru bosan banget duduk manis atau
mengajar di kelas. Alasan yang terkadang dibuat-buat karena malas belajar.

Pura-pura Sakit

Banyak
mah yang pura-pura sakit saat pelajaran dimulai. Bahkan guru sudah
tanda, jika pelajaran Matematika atau Fisika di Putri pasti sakit. Kebiasaan ini
mendarah daging dan tidak akan dibuang oleh si siswa sebelum ditegur oleh guru.

Terkadang, guru cuek saja saat mengajar dan percaya nggak percaya. Giliran sakit
beneran guru sudah nggak yakin lagi.

Sakitnya
siswa yang nggak mau terima pelajaran itu beragam. Ada yang ringan-ringan saja
seperti sakit perut, yang intinya lebih baik tiduran di kantor guru atau ruang
UKS. Ada pula yang kesurupan tiap guru masuk.

Padahal jika dilihat dari
tabiatnya malah ingin cari perhatian lebih. Di sekolah kesurupan eh di Facebook
malah selfie haha hihi. Katanya lihat hantu eh pulang sekolah ngakak-ngakak.
Ada juga jenis sakit seperti pingsan tiba-tiba saat upacara atau di kelas
sebelum jam istirahat. Eh tahu-tahu si siswa ini nggak sarapan!

Sebentar-sebentar ke Kamar Mandi

Kesal
memang jika ada siswa yang keluar kelas saat jam pelajaran. Apalagi yang minta
permisi itu dia lagi dia lagi. Pokoknya, tiap ada guru di kelas selalu dia saja
yang keluar untuk pipis. Sekali dua kali sih guru akan percaya.

Berkali-kali
mah kebangetan namanya. Selidik punya selidik ternyata si siswa ini
keluar kelas karena ada yang bening-bening di kelas sebelah. Sengaja keluar
saat guru di dalam kelas supaya mudah curi-curi pandang ke si doi yang entah
pacarnya atau gebetan semata!

Tidur di Kelas

Siswa
tipe ini sebenarnya mudah diatasi. Biarkan saja dia tertidur dan guru lanjutkan
pelajaran. Namun jika tiap saat tertidur saja sangat menganggu kehidupannya. Dengan
mudah nanti mengatakan guru tidak menjelaskan materi ini dan itu, padahal dia
saja yang tukang tidur.

Tanggung-jawab guru sebenarnya dipertaruhkan untuk
siswa yang suka tidur ini. Satu sisi dia memang nggak menganggu namun sisi lain
sangat mengganggu. Siswa lain akan nyelutuk kok dia bebas tidur
sedangkan mereka belajar.

Ajak Teman Bicara

Tidur
sih nggak apa-apa karena rugi cuma dia seorang. Nah siswa yang ajak
teman bicara sangat tidak menarik. Tiap guru masuk dia-dia saja yang ngomong.
Rasanya gudang informasi hanya dia yang miliki. Jika teman bicaranya aktif,
maka bisik-bisik di kelas tak bisa dihindari.

Jika teman pasif hanya suara dia
yang terdengar. Coba saja tanyakan padanya mengenai penjelasan mata pelajaran,
paling hanya lima menit dia diam sebelum mulai bicara kembali. Herannya tak
pernah habis dia bicara. Jika dikasih hukuman ke depan kelas, satu kata pun
nggak akan keluar!

Sibuk Sendiri

Tiba-tiba
guru marah karena dirinya dilukis oleh seorang siswa. Siswa yang cenderung
sibuk sendiri memang ada-ada saja tabiatnya. Kalau nggak melukis pasti
buat tugas pelajaran lain. Kesibukan-kesibukannya tersebut seakan nggak pernah
habis. Kebiasaan itu berlanjut.

Pekerjaan rumah nggak pernah dikerjakan di
rumah karena bisa dikerjakan waktu pelajaran lain. Hapalan nggak perlu
dilakukan karena waktu guru lain masuk bisa menghapal. Jika pelajarannya jam
terakhir, jika jam pertama? Tetap saja sama. Datang lebih cepat lalu nodong
teman minta tugas. Begitu seterusnya.

Kesadaran
siswa patut ditingkatkan untuk setiap pelajaran. Jika siswa terus beralasan dan
guru mengabaikan alasan tersebut maka tak tertutup kemungkinan prestasi siswa
semakin hari semakin terjun payung. Sekarang, tinggal kita mau pilih yang mana! 
Categories
Uncategorized

Malang Sekali, Anak Ini Kecanduan Lem sampai Mabuk

“Kami
ngelemlah, Bang!” ujar paras manis di depanku. Deru
kendaraan bermotor sayup-sayup menghilang. Hanya tinggal beberapa saja yang
lalu-lalang di jalan utama kota kami. 

Ilustrasi.

Menjelang 
dini hari tak ada yang lebih menarik selain hawa malam yang semakin
dingin, pemandangan penjual kaki lima sedang menutup dagangan mereka, beberapa
lewat dengan sepeda motor; entah pria atau wanita dengan
make up tebal
dan rambut terurai sambil melambai-lambaikan tangan kepada siapa saja di jalan. 



Dan mereka yang sedang istirahat setelah memetik gitar, mendabuh wajan plastik,
menggoyang tutup botol yang disatukan dengan kayu, maupun botol minuman
sehingga membentuk irama
comprengan.

Satu
di antara mereka yang dengan penuh nikmat merokok adalah Wahyu – nama disamarkan.
Perawakan remaja umur 15 tahun ini tampak gahar dengan kulit gelap dan rahang
kokoh. Sinar temaram dari lampu jalanan membuatku bisa mengamati rupa dari
Wahyu. Asap rokok yang mengepul ke udara tak menutupi watak keras yang tersirat
dari anak sekolahan tersebut.
“Sejak
kapan kamu ngelem?” tanyaku memakai istilah mereka.
Wahyu
tidak langsung menjawab. Embusan asap rokok dari puntung kedua saat bertemu
denganku menimbulkkan polusi. Aku terbatuk-batuk. Wahyu cuek saja dan bahkan
tak menghormati orang yang lebih tua darinya. Kehidupan di jalanan membuatnya
tak bisa membedakan lagi adab dan sopan santun, mungkin demikian.
“Tiga
tahun lalu!” tegas Wahyu tanpa beban. Sepertinya, kebiasaan yang Wahyu lakukan
bersama mereka di sini tak lain hal yang wajar. Usia belia telah terkikis
akibat konsumtif terhadap barang-barang haram yang tak biasa.

Kamu pastilah
tahu soal narkoba – jarum suntik, pil atau sejenisnya. Kamu tahu bahaya narkoba
yang sedang mengincar generasi muda. Narkoba jenis “populer” yang sering sekali
aku dan kamu lihat di televisi atau baca di internet adalah barang mahal.

Mereka
yang ingin mencoba dan ketagihan narkoba mau tidak mau harus mendapatkannya
dengan harga tak murah. Pengguna narkoba sangat mudah dilacak dengan berbagai
cara oleh pihak berwenang. Namun ini tak berlaku pada Wahyu dan mereka yang
sedang bercengkrama di depanku.

Jiwa-jiwa muda ini penuh semangat. Tawa mereka
membahana di balik malam. Langkah mereka masih jauh ke depan. Cita-cita dan
harapan bahagia seakan-akan telah terkubur dalam sekali hirup lem plastik.

“Rasanya
bedalah, Bang!” kata Wahyu seperti pernah memakai narkoba jenis sabu maupun
ekstasi. Candu terhadap lem plastik selama tiga tahun membuat Wahyu tak bisa
berkutik.

Selain murah, orang-orang tidak tahu lem plastik ini adalah jenis “narkoba”
yang lebih mematikan. Bahkan penjual tidak curiga saat Wahyu membeli lem
plastik dalam jumlah banyak.

Lepas
ngamen lewat pukul 12 belas malam di tempat-tempat makan populer kota
kami, Wahyu dan mereka yang masih berkulit lembut itu berjejer menanti malam
penuh bidadari.

Tempat nongkrong mereka adalah jalanan sepi yang jarang dilalui
orang-orang. Mereka mulai menghirup. Meresapi. Merasakan kelezatannya. Terkapar
penuh halusinasi.

Mata berkunang-kunang menahan kehikmatan sesaat yang tiada
tara. Tubuh yang sedang dalam masa pertumbuhan telah rusak hanya karena “wangi”
lem plastik.

“Abang
mau coba nikmatnya?” tanya Wahyu santai. Aku tak bisa membayangkan bagaimana
mereka terbuai dengan aroma. Hanya dengan wangi lem plastik saja mereka dapat
terbuai ke langit ketujuh, bagaimana dengan narkoba sesungguhnya?
Ngamen semalam adalah
untuk membeli lem plastik buat kesenangan. Wahyu mulai mendekati mereka yang
sebagian telah teler.

Racauan yang keluar dari mulut mereka sudah tidak
teratur. Tentang cewek, guru paling cantik, guru kiler, sampai guru
olahraga yang celananya sobek di selangkangan saat latihan voli.

Kondisi mabuk
mereka benar-benar tidak teratur, seperti berada di antara alam nyata dan
khayalan. Sebagian besar berbicara “normal” dan tahu apa yang diucapkan. Berbeda
dengan teler narkoba sungguhan yang lupa diri.

Aku
menarik lengan Wahyu. “Sampai kapan kamu akan ngelem?”
Alah,
masih muda ni, Bang. Cuma ngelem doang kok!
Aku
bertaruh pada diri sendiri. Maju mundur nggak berlaku di sini. Aku sendiri,
mereka dengan jumlah banyak. Lagian, informan yang memintaku ke sini menasehati
untuk tidak ikut campur urusan lain selain melihat dan mendengar cerita mereka.
“Mereka
lebih beringas dari harimau!” sebut informan yang bekerja di LSM tersebut.
Tak
bisa kutampik. Wahyu – mereka – itu adalah brondong-brondong yang
punya nyali dan tenaga besar. Dalam keadaan ngelem pun bisa menghajar
orang.
Aku
mundur teratur. Tingkah aneh mulai kelihatan dari mereka. Peloncoan-peloncoan
ala remaja terjadi. Di antara malam yang terus merangkak, senda-gurau mereka
tak lagi syahdu.

Mereka memang tidak lebih sepuluh orang namun jika “banyak”
dari mereka ngelem tiap malam, bagaimana setelah hari ini?

*Jenis/merek
lem plastik sengaja tidak disebutkan. 
Categories
Uncategorized

Siswa Bully Guru, Masyarakat Diam Karena Biar Guru Saja Masuk Penjara

Siswa bully guru. Siswa penjarakan guru – Barangkali, terlalu banyak kasus guru dilapor oleh siswa – terutama orang tua siswa – atas tindak bully atau kekerasan fisik lainnya. Namun, belum ada guru yang melapor balik atas tindakan-tindakan yang sebenarnya telah dialamatkan kepada guru oleh siswanya. Pandangan terhadap pendapat guru selalu benar masih mengawangi jati diri siswa.
Terlepas dari itu, guru melampiaskan
rasa lelah, kasih sayang dalam berbagai bentuk sampai mengakali persoalan agar
siswa mengubah haluan hidup menjadi lebih baik. 
Guru tidak hanya terpaku pada nilai-nilai di atas kertas tertulis.
Siswa bully guru biasa saja saat ini.

Guru
melakukan berbagai cara saat siswa mampu ini dan itu. Di mata siswa, guru
selalu tersalah apabila menengur mereka yang mengaduh di dalam kelas, mereka
yang pura-pura tidur saat jam pelajaran, mereka yang berburu kasih sayang
dengan mengacau pembelajaran berlangsung.

Mereka yang tidak mencatat padahal
sudah pasti tidak mampu menghapal selembar catatan dalam 10 menit ke depan,
mereka yang ingin cepat keluar karena lapangan voli menanti dengan bola
menari-nari sendiri, dan berbagai alasan lain sehingga menjadi satu kesatuan
yang sulit dijabarkan.

Alasan-alasan kesalahan selalu
dialamatkan kepada guru sebagai pemangku ‘kebijakan’ terhadap siswa. Guru yang
lepas tangan dianggap telah bermain hakim sendiri.

Tetapi, jangan lupa rumus
bahwa guru paling mampu menghapal nama
siswa pintar dan bandel di dalam kelas
.

Rumus ini saya pikir berlaku di
mana-mana. Siswa yang pintar sudah pasti mendapat perhatian dari guru. Siswa
yang bandel dan berulangkali kena teguran pasti akan dipotong rambutnya yang
mendekati bahu.

Namun siswa yang berada di garis pertengahan, tentu saja seakan
dilupakan oleh guru meski mereka tak pernah berbuat salah dan bahkan tak pernah
ikut ujian ulang – remedial.

Guru yang berbuat salah karena
memukul, memotong rambut, dengan buru-buru dilaporkan oleh orang tua dan bahkan
siswa yang selalu dapat nilai merah di raport.

Guru yang tidak mendendam dengan
senang hati menerima perlakukan bully
besar-besaran oleh siswa, orang tua bahkan mereka yang berada di luar pagar
sekolah.

Siswa Bully Guru Jadi Hal Biasa 

Hati guru yang teramat sakit kembali mengajar dan mau tidak mau harus
menaikkan nilai siswa yang melaporkannya dan mempermalukannya tersebut, ke
batas nilai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM), agar siswa tersebut naik kelas
atau lulus Ujian Nasional (UN).

Sebenarnya, ada rasa malu, masa guru dibully oleh siswa? Ada rasa
malu kenapa menyalahkan ‘siswa’ atas ketidakadilan yang saya alami, atau yang
dialami pula oleh guru-guru lain.

Teramat lama dalam diam, saya bercerita
tentang diri yang dihujat kata-kata dan perlakuan fisik oleh siswa. Saya hanya
berharap mereka di mana-mana sudi membuka mata atas apa yang kami alami di
dalam kelas, di perkarangan sekolah dan di mana-mana saat berinteraksi dengan
siswa.

Tempat terendah di sekolah
dimenangi oleh guru honorer. Di sini pula saya berada. Mau tidak mau posisi itu
menjadi sebuah hal yang mudah sekali jadi bully.

Coba saya ketepikan bully yang
berasal dari sesama guru maupun pandangan masyarakat. Bully dari siswa jauh lebih besar pengaruhnya daripada
anggapan-anggapan bahwa guru
honorer mereka yang bodoh tidak beruntung
.

Siswa Penjara Guru Hal Biasa Juga

Memang, tiap kejadian tidak
mungkin direkam buktinya, apalagi kejadian demi kejadian itu terjadi seketika,
tidak disengaja, dan berkenaan dengan pribadi yang harus dilindungi.

Dalam hal
ini, mereka yang harus saya lindungi adalah siswa meski di bagian lain mereka
mencabik harga diri saya sebagai guru lebih dalam.

Saya mendapat bully bukan sekali dua, tetapi berulangkali
dan diterima atau tidak hanya waktu yang mengalir dalam kenangan. Bully yang saya terima entah itu bagian
sensitif yang mesti diceritakan atau bagian lain yang perlu diabaikan.

Namun,
bagian apapun itu adalah pertimbangan untuk menghargai posisi masing-masing, di
mana ada batasan antara guru dan siswa.

Saat Ditanya “Kapan Kawin?” oleh Siswa

“Kapan kawin?” adalah pertanyaan
yang menjadi persoalan panjang bagi siapapun yang masih sendiri. Bagi sebagian
orang mungkin wajar, bagi sebagian yang lain mungkin tidak.

Entah bagaimana,
siswa di sekolah mudah memberi pertanyaan demikian kepada saya.

Semula saya
pikir biasa saja, namun belakangan menjadi sebuah bully yang tidak bisa saya berantas. Begitu saya lewat di depan
mereka, di depan kelas, lantas beberapa suara dengan lantang bertanya.

Bicara wajar tidak wajar tentu
kembali ke penilaian masing-masing. Pertanyaan saya adalah, wajarkah seorang
siswa mengusik guru dengan pertanyaan demikian?

Dalam pertemanan saja,
pertanyaan ini menjadi bully yang
mematikan sampai orang yang ditanya diam atau gagap dalam mencari
alasan-alasan.

Jika sedang bersama teman mudah saja saya menjawab asal-asalan
sambil bercanda. Di depan siswa? Tentu tidak mudah. Risau itu berulangkali
karena ada siswa yang cukup sering bertanya.

“Pak, kapan kawin?”
“Pak, kapan kami dapat undangan?”
Terus terulang sampai frustasi
dan merasa harus melempar suara keras ke sisi mereka. Saya tidak bisa melakukan
apa-apa meski hati terusik. Di sisi berbeda saya malu kepada siswa-siswa lain
yang melihat dengan tatapan iba.

Saya merasa tidak bernyawa untuk mencari
jawaban atas pertanyaan itu. Pertanyaan dari siswa paling meresahkan daripada
pertemuan jodoh yang diusulkan oleh sesama guru.

“Kapan kawin?” memang pertanyaan
mudah. Sayangnya pertanyaan itu menjadi bully
mematikan karena ditanya oleh siswa saya sendiri. Saat orang lain, teman atau
kerabat tidak pernah bertanya, siswa-siswa ini mudah sekali meresahkan
kehidupan pribadi saya.

Sekali bertanya mungkin tidak masalah, berkali-kali
saya malu sendiri yang berpacu apakah benar saya tidak punya jodoh atau malu
karena tidak pernah pamer punya pasangan di depan siswa-siswa.

Tetapi kembali
lagi, apakah itu penting? Apakah saya harus melampiaskan semua kehidupan
pribadi di depan siswa?

Saya Menegur, Mereka Merekam dan Share ke Youtube

Guru menjaga privasi siswa di
luar perkarangan sekolah. Saya harap semua siswa paham akan hal ini. Siapapun
siswa yang paling bandel hanya akan dikenang guru di dalam perkarangan sekolah
saja. Sayangnya, siswa melakukan hal sebaliknya. Bahkan, lebih parah karena
pengaruh teknologi masa kini yang mudah dan memperdaya siapa saja.
Guru menegur bahkan sampai
marah-marah di dalam kelas karena kebutuhan siswa itu sendiri. Kapan guru marah?

Saat si ganteng di sudut kelas tidur, saat si cantik sibuk memoles bedak di
wajah, saat si banyak bicara mengajak teman diskusi tentang pacarnya atau
saat-saat lain yang dipahami benar oleh guru dan siswa.

Lalu, saya menegur
bahkan sampai marah ketika itu karena alasan untuk kebaikan mereka yang tidak
mengerjakan tugas. Balasan yang saya terima setelah membubuhkan nilai tinggi
untuk mereka adalah sebuah tayangan video di Youtube.

“Bang, kok gitu ya anak kelas itu main rekam abang lagi ngajar,” ujar
teman sesama guru.
“Saya nggak tahu, lihat di mana?”
“Tadi anak-anak share ke media sosial, mereka pada ribut
dan marah-marah gitu sama yang upload,”
Sesaat saya merasa apa yang
dilihat saat itu adalah gelap. Urat-urat bermunculan di sisi kiri dan kanan
kening saya. Entah apa yang bisa saya lakukan. Malu sudah pasti.

Siswa Tidak lagi hormat pada guru sama dengan siswa bully guru. 

Tetapi memberi
teguran lagi kepada siswa yang disebut teman saya barusan, menjadi persoalan
yang kompleks.

Harga diri saya sebagai seorang guru telah jatuh ke lubang yang
berduri, tertusuk di sana-sini dan tidak ada tangga untuk naik ke permukaan. Saya
bingung mencari kesalahan-kesalahan. Satu orang berbuat, amarah saya meledak
untuk semua isi kelas.

Maka, persoalan tidak menyayangi
anak bandel di sinilah letaknya. Bully
yang saya anggap besar-besaran di dunia maya itu terus berlanjut. Guru lain
bertanya tentang video itu. Siswa juga bertanya. Saya ditegur kepala sekolah. Saya
malu bertemu orang yang pernah menonton.

Akhirnya, apa yang telah saya ajarkan
tidak berguna untuk mereka yang duduk manis di dalam kelas. Proses yang panjang
untuk saya dapat bangkit dari masalah ini, saya benar-benar frustasi kala itu
dan memutuskan tidak masuk lagi ke kelas yang merekam aktivitas saya mengajar
tersebut.

Keputusan yang salah bagi banyak orang. Tetapi, saya guru honorer
yang juga mempunyai harga diri.

Siapa yang meminta mereka membully saya di internet? Jangan pernah
lupa filosofi, gara-gara nila setitik
rusak susu sebelanga
, karena kejadian itu pula, gara-gara satu anak yang
bangga dengan smartphone miliknya,
merusak seisi kelas karena guru lain tidak mau mengajar pelajaran Teknologi
Informasi (TIK) karena keterbatasan ilmu tentang pengoperasian komputer.
Efek bully video di internet itu berdampak panjang. Sikap saya berubah
sebagaimana mestinya. Orang-orang menyebut ‘jahat’ tetapi bagi saya itu adalah
pelampiasan dari apa yang saya takuti. Saya bersabar dalam diam dan tidak
memperpanjang masalah.

Saya tidak mengumbar apapun ke luar lingkungan sekolah.
Tetapi ini dunia maya, ini mudah diakses oleh siapa saja, maka wajah saya yang
dikenali menjadi tanda tanya apa yang terjadi.

Siswa bully guru orang lain diam saja, guru tampar siswa orang lain penjarakan guru.

Tidak mudah untuk saya bangkit
dan masuk kembali ke dalam ruang belajar. Laboratorium komputer yang bergorden,
remang jika tidak dihidupkan lampu, panas jika pendingin ruangan mati, menjadi
sebuah ketakutan pelik. Aturan sekolah yang kemudian tidak membenarkan siswa
membawa ponsel, tidak bisa begitu saja diterima oleh akal sehat saya.

Saya
harap-harap cemas, mata saya jalang ke mana-mana, saya curiga, saya jadi diam,
saya hanya menampilkan slideshow dan
tugas yang harus dikerjakan melalui projektor. Saya tidak bisa bersuara, saya
bingung bergerak, saya hanya duduk di bangku guru, di depan komputer yang
terhubung ke projektor.

Tidak mudah mengambil kesimpulan
atas apa yang saya alami. Beberapa siswa mengeluh ke guru lain, saya tidak
seperti biasa.

Tetapi saya tidak bisa mengajarkan mereka dari dekat, saya tidak
bisa menatih mereka belajar mengetik dengan cepat, saya tidak bisa ke depan desktop di depan siswa karena saya
khawatir. Seolah gerak-gerik saya direkam oleh kamera di mana-mana.

Batu Dilempar Melalui Pintu

Saya dilempar batu. Ya. Saya guru
yang dilempar batu oleh seorang siswa. Saya tidak tahu maksud tersembunyi dari
itu tetapi juga tidak ada penyelesaian dari ini.

Saya sedang berada di dalam
kelas, mengajar seperti biasa, lalu batu-batu kecil ‘kerikil’ dilempar oleh
seorang siswa dari pintu masuk.

Batu-batu itu berserak dan membunyikan suara
yang gaduh. Saya tersentak, siswa yang melempar batu cekikikan dan lari ke arah
berlawanan.

Saya melongo beberapa saat. Pelajaran
yang diajarkan buyar. Saya tidak tahu akan berujar apa. Saya bingung mau
berbuat apa. Apakah saya harus meninggalkan kelas atau berdiri kaku di dalam suasana
yang tidak memungkinan.

Kelas mulai ribut, sebagian besar dari mereka mengutuk
siswa yang baru saja melempar batu. Mereka meminta saya melapor ke kepala
sekolah. Sebagian dari mereka ingin main hakim sendiri.

Tapi saya, tidak ada ucapan
apa-apa. Selama mengajar di sekolah ini, tidak ada masalah yang terjadi antara
saya dengan siswa. Tidak ada pula pribadi yang saya usik sehingga siswa
mendendam kepada saya. Tangan yang mulai bergetar dan mata perih, saya
memutuskan keluar ruangan.

Saya menghela napas panjang dan berlari kecil ke
kantor lalu terduduk di kursi dengan napas tersengal-sengal.

Saya baru saja dibully oleh seorang siswa, di depan siswa
saat saya mengajar pelajaran Fisika. Siswa banyak yang menyukai saya dan begitu
kejadian seperti ini terjadi, emosi saya memuncak lebih tinggi. Saya tidak tahu
harus melapor ke siapa dan harus berbuat apa.

Siswa tidak lagi santun pada guru.

Namun berita cepat tersebar,
siswa yang melempar batu hanya mendapat teguran dari wali kelas dan guru
bimbingan konseling.

Tentu, saya tidak memperpanjang masalah, saya tidak
mengambil jalan lebih panjang, saya tetap masuk ke dalam kelas siswa yang
melempar batu.

Rasa enak tidak enak mendadak
muncul. Saya yang menjadi korban jadi pusat perhatian dan bisik-bisik dari
siswa lain. Apakah karena saya guru honorer lantas berhak diperlakukan dengan
kekerasan? Entah, saya tidak tahu definisi orang-orang menilainya.

Saya mencoba
bersabar, saya menjalani apa yang mungkin saya mampu, tetapi pada akhirnya saya
menyerah. Beban batin terlalu berat untuk saya tetap bertahan.

Sisi yang entah
bagaimana menyebut, sudah tidak dibayar dengan wajar malah kekerasan – bully – yang memalukan yang saya dapat.

Akhirnya saya memilih
meninggalkan sekolah setelah sering kaku, tidak fokus dan sering hilang hasrat
mengajar. Saya berpikir, ketakutan saya lebih besar dari itu.

Saya lebih
memilih keluar dari sekolah daripada nanti kena pukul palu tetapi tidak ada
biaya untuk mengobatinya.

Saya tidak pamit kepada siswa-siswa pada akhir
semester. Saya hanya berujar terima kasih kepada kepala sekolah dan guru-guru
yang telah menerima saya selama ini.

Saya beralasan ini dan itu namun tidak
saya sebut tentang bully. Saya ingin
melupakan dan tidak ingin mengingat masa itu.

Kasus Bully pada Berbagai Persepsi

Kasus bully bisa saja berawal dari ejekan terhadap hal-hal kecil. Bully atau perundungan ini bisa dialami
oleh siapa saja dan bisa diperlihatkan efeknya dan tidak. Orang yang memiliki
mental baja akan mudah melupakan pernah dibully.

Namun berbeda dengan mereka yang emosionalnya sering kalut, maka sekali kena bully dalam beberapa waktu akan
merasakan mengakarnya ketakutan tersebut.

Elise Dwi Ratnasari kepada CNN  Indonesia (23/07/2017) melaporkan bahwa
ejekan adalah perkara awalnya kasus bully
yang terjadi di Thamrin City.


Bully sebenarnya
telah terjadi di mana-mana hanya saja luput dari pandangan atau korban tidak
melapor sehingga kasus tidak terangkat ke permukaan.

Alasan saya tidak melapor
saat terjadi kekerasan fisik misalnya, karena pertimbangan di mana hubungan
batin guru dan siswa masih kuat sekali.

Saya menjaga hubungan baik ini meski
terkadang siswa tidak melakukannya. Tetapi, konteks apapun itu saya tetap –
merasa – korban atas perlakuan tersebut.

Seto Mulyadi atau dikenal dengan
panggilan Kak Seto memberikan pandangan bahwa, “Bullying sudah banyak terjadi tetapi kadang kita cuek enggak
peduli. Jadi, seperti kok terus
terulang dan tidak ada tindakan yang lebih tegas.

Siswa pukul guru tak dipenjara.

Jadi, satu-satunya cara kita
harus tegas melakukan satu gerakan nasional anti-bullying. Bullying kadang
ada yang menganggap suatu yang biasa sudah tradisi, jadi stop berpendapat seperti itu. Karena rantai bullying yang terus bergulir ini
harus diputus. Tapi ya itu harus ada keseriusan dari kita semua,” (okezone.com,
19/07/2017).

Pandangan Kak Seto tentu berdasar
kepada banyak persoalan yang terjadi akibat bully.
Fenomena yang terus terjadi mau tidak mau menjadi permasalahan panjang.

Anak kota
yang memiliki orang tua modern, begitu mengalami depresi akibat bully langsung melarikannya ke psikolog.
Anak di pelosok, mereka hanya tahu sedang ‘dikerjai’ teman lalu bungkam seribu
bahasa meski fisik jadi korbannya.

Reza Indragiri, pengamat
psikologi kepada okezone.com (18/07/2017) menyebut, “Bully di sekolah bukan hal sepele. Saking seriusnya, sampai
ada yang melakukan bullycidesuicide yang diakibatkan oleh
penderitaan tak tertahankan akibat menjadi korban bully,”
Anak yang lemah menjadi sasaran bully itu sendiri. Mereka yang berkuasa
seakan-akan memiliki banyak cara untuk merampas yang tidak seharusnya. Apa yang
terjadi kepada saya sebenarnya sama halnya yang terjadi kepada siswa.

Bedanya,
saat saya mengalami bully, pandangan
demi pandangan merasa iba, kok tega siswa
itu merendahkan gurunya
. Saya tidak ada pertolongan meski hati menjerit
kesakitan.

Saya tidak mampu minta tolong dan mengadu dengan berbagai alasan
yang makin menjatuhkan harga diri saya.

Lalu, yang terjadi kemudian
adalah memberi vonis bahwa saya sombong. Padahal, inilah efek dari bully yang pernah dialami. Saya tidak
menegur karena cemas akan disebut begini dan begitu. Saya jadi pendiam karena
takut salah berbuat.

Kecemasan panjang ini menjadi mainan sehari-hari korban bully. Mereka harus menelan pil pahit
ini sampai waktu yang lama. Jika sakit badan bisa segera diobati, sakit batin
tidak semudah itu.

Jika anak yang mengalami bully
bisa mendendam, mana mungkin saya mendendam kepada siswa? 

Mungkin ini hanya curahan hati semata. Tetapi, saya berharap LPSK memberikan masukan berarti untuk ‘ocehan-ocehan’ guru lain yang sedang dalam proses mediasi dengan siswanya. Diam bukan pilihan karena itu tulisan ini ada.

Kenangan lama saya biar berlalu, masa mendatang adalah apa yang bisa dibantu untuk menyelesaikan masalah-masalah pelik ini.

Jika siswa mudah melakukan bully terhadap guru mereka, sudah besar kemungkinan mereka membully sesamanya. Bukankah ini menjadi pekerjaan rumah yang berat di dunia pendidikan kita? 

Categories
Uncategorized

5 Faktor Lulus Tes Kuliah Jalur SNMPTN dan SBMPTN

5 Penentu Kelulusan Kuliah Jalur SNMPTN dan SBMPTN. Faktor-faktor lulus SNMPTN dan SBMPTN. Lulus SNMPTN karena nilai raport tinggi. Lulus SBMPTN karena belajar. 

Kamu
pasti sedang mengalami masa-masa sulit, bukan? Gagal move on atau gagal
paham mengenai masa depan. Soal move on dari mantan pacar yang enggan
kamu ceritakan, nggak masalah sih. Tetapi soal gagal paham mengenai bagaimana
dan apa yang harus saya lakukan untuk masa depan,
saya punya solusi untuk
itu.
Duduk
di kelas Duabelas selalu dihantui perasaan galau, bahkan lebih galau saat kamu
diPHPin sama siapa itu namanya. Galau gagal dapetin pacar gampang
banget kamu dapetin yang lain, belum lagi jika rupa kamu itu
ganteng luar dalam. Aih! Nggak tahanlah siapapun yang lirik kamu. Cewek maupun
cowok. Eh, masa kini memang lagi heboh model begituan kan? Pacarnya nggak cukup
cewek saja!
Rahasia sukses kuliah – scholarsofficial.com

Tapi
ni, galau memilih jurusan kuliah bahkan lebih miris dari yang kamu
bayangkan. Rata-rata siswa kelas Duabelas kepala
bakal pecah ketika
melihat deretan jurusan pilihan di kampus plat merah. Kedokteran sudah pasti
masih ke dalam kantong orang tua kamu, atau malah kamu sendiri.


Psikologi termasuk
jurusan favorit walaupun agak membingungkan kamu jika selesai kuliah pulang
kampung. Kamu tahu dong ya orang kampung itu jarang sakit jiwanya, yang
ada cuma lelah ke sawah saja. Teknik adalah pilihan jurusan untuk mereka yang macho­-macho
saja sih, walaupun sekarang agak susah membedakan arti macho
sebenarnya.

Ilmu Keguruan kayaknya jadi pertimbangan khusus karena iming-iming
gaji besar jika lulus PNS nanti. Tapi ya begitulah, guru PNS dan sertifikasi
banyak sangat banyak dan nggak bakal pensiun saat kamu lulus 4 tahun ke
depan. Jurusan-jurusan lain nggak kalah menggiurkan untuk kamu yang
galau tingkat dewa. Iya sih, dewa itu nggak tahu berada di tingkatan
mana tetapi kemampuan dalam diri, kamu tahu berada di tingkat mana.

Pilih
jurusan, baik melalui jalur undangan – sekarang SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri) – maupun testing, sama-sama memperhitungkan lima
faktor ini. Kamu nggak perlu ikut-ikutan si Ganteng masuk kedokteran atau si
Cantik masuk psikologi. Kamu hanya perlu mantapkan diri, saat ini kamu sedang
berada di tingkat mana?

Kenali Kemampuan Kamu

Dari
kecil hingga kelas Duabelas, kamu paham betul bisa
ngitung atau ngapal.
Saat guru Fisika menjabarkan rumus kecepatan maupun penerapan Hukum Hewton
tentang gerak, pikiran kamu ada di mana. Bisa saja kamu cepat sekali
nangkep
soal rumus segitiga jika diketahui a dan v ditanya t. 


Bisa saja kamu malah
nggak tahu siapa si a, si v dan si t. Otomatis jurusan berbau IPA jauh-jauh deh
dari hasratmu. Namun jika guru Bahasa Indonesia masuk dengan sejurus
puisi-puisi Pujangga Lama kamu pun nggak bisa hapal, nah ini ni yang malah
kelimpungan.

Kemampuan kamu ada di mana? Jangan-jangan cuma bisa main bola
saja. Jika demikian, jurusan kuliah yang wajib kamu isi di kolom formulir
adalah yang berkaitan dengan kemampuan fisik!

Kenali Bakat Kamu sebelum Menyesal Salah Jurusan

Sejak
kecil, kamu suka main bola. Rata-rata anak cowok
kan begitu. Namun itu
bukanlah tolak-ukur untuk memilih jurusan. Bakat itu mengalir seiring kamu
mempelajari pelajaran di sekolah dan ilmu sosial. 



Misalnya, saat ibu kamu masak
tiba-tiba
blender mati mendadak. Tahu-tahu tangan kamu mencokeh di salah
satu bagian dan
blender hidup kembali. Inilah bakat alami bahwa kamu
akan bermain dengan ilmu-ilmu terapan. Jika kamu gemar mengkhayal rumah mewah,
gedung tinggi, terbang ke angkasa, atau soal-soal hantu cantik rupa. 



Kamu akan
menjadi sastrawan perkasa dengan imajinasi tersebut. Jurusan apa yang mesti
dipilih, kamu selaraskan kembali dengan bakat yang sebenarnya tidak terpendam
dalam diri kamu. Asalkan kamu berani mengeluarkan bakat tersebut dengan benar,
kamu telah berada di garis yang seharusnya.


Baca Juga:

Karena ZenBook, Cinta Sejati Enggan Dibagi Dua

Bakat ada karena terus diasah. Tanpa diasah bakat kamu akan sia-sia dan tidak berguna sama sekali. Meskipun sadar akan kemampuan tetapi tanpa tahu bakat maka pengorbanan akan sia-sia.

Kenali Minat Agar Sukses Saat Kuliah

Bakat saja tidak cukup tanpa minat. Bakat kamu mengutak-atik listrik tapi kamu sama sekali nggak berminat untuk menjadi pekerja PLN. 
Kamu boleh tinggalkan jurusan yang berkenaan dengan hal tersebut. Kamu memang sangat berbakat menghitung tetapi kamu sangat berminat menjadi penulis terkenal. Kamu dapat memilih jurusan yang ada hitung-hitungnya dan menulis sambil lalu. 
Kamu tinggalkan jurusan eksakta dan pilih jurusan sastra. Tapi jangan lupa, ilmu pasti butuh tentor untuk diajarkan sedangkan ilmu sastra cukup dengan membaca dan menulis. Sama saja bohong jika kamu ingin menjadi penulis tetapi tidak menulis dan membaca namun hanya belajar soal tata bahasa saja!

Cari Tahu Peluang Lulus di Jurusan yang Kamu Incar

Memilih
jurusan sama dengan mencuri. Ketepatan pilihan sangat tergantung pada
persaingan. Ingat, bukan cuma kamu saja yang memilih Farmasi. Bukan cuma siswa
kelas Duabelas di Jakarta saja yang memilih Hukum di UI. 



Bukan hanya anak-anak
Bandung saja yang memilih Pertambangan di ITB. Kamu ciptakan peluang itu dengan
mengamati nilai-nilai di rapor saat melalui jalur undangan. Jangan paksa untuk
memilih Sastra Inggris sedangkan nilai Bahasa Inggris selalu pas-pasan. 



Kamu yakinkan
diri bahwa mampu menjawab soal-soal testing dengan benar jika ingin memilih kedokteran.
Jangan pula sudah beli formulir mahal eh kamunya malah tidur-tiduran sebelum
hari ujian dimulai.

Soal Keberuntungan Itu Pasti Berpihak

Ini
sih soal “perjudian” selama mengikuti jalur masuk perguruan tinggi, baik
melalui jalur undangan maupun testing. Soal beruntung dan tidak sebenarnya
kembali kepada empat hal di atas. Kamu benar-benar yakin sekali bisa fokus
kuliah Statistik namun lulus di Sastra Arab. 



Kamu yakin betul akan jadi dokter
terhebat maupun psikolog terbaik, sayangnya keduanya tidak lulus. Jika jalur
undangan dan testing telah dilalui dengan pemilihan jurusan yang sama dan tidak
lulus juga. 



Kembali ke empat hal di atas. Selaraskan kembali dan pilih jurusan
berbeda. Peruntungan kamu bisa jadi bukan sebagai dokter atau guru. Kamu lebih
baik jadi arsitek. Kamu lebih ulet jadi programmer. Keberuntungan ini akan
berujung pada masa depan kamu, setelah lulus kuliah nanti.



Nah,
mau kemana kamu setelah hari ini? Keputusan hari ini adalah jawaban
kehidupannya berikutnya. Saat tak lagi manja kepada orang tua. Saat tak lagi
galau karena putus pacar. Saat kamu fokus pada kuliah itulah kehidupan dewasa
kamu dimulai.



Salah pilih jurusan, siap-siap kamu galau sepanjang perkuliahan. Sebelum memulai kuliah beberapa bulan lagi, kamu bisa cek terlebih dahulu Promo Maret Tokopedia untuk mendapatkan segala kebutuhan kuliah dengan harga murah. Jangan lupa juga catat Kalender Promo Tokopedia karena segala kebutuhan kulian bisa didapatkan dengan mudah. 

Promo Tokopedia Maret.

Tentu saja, kamu akan membutuhkan laptop, sepatu model terbaru, baju baru, beberapa potong celana baru, bahkan ransel yang benar-benar stylish dan sesuai gaya anak kuliahan. Belanja secara online tidak hanya memudahkan kamu tetapi juga bisa berhemat. Jangan lupa juga, alasan kamu berhemat tak lain solusi untuk menutupi tahun pertama kuliah seperti SPP, uang pembangunan, sewa kamar dan lain-lain yang sekali bayar. Jadi, belanja dar sekarang bisa membuat kamu lega saat sudah memulai perkuliahan nanti.