![]() |
Kurma bulan Ramadhan. |
Apakah aku harus menampakkan diri sedang melarat di hadapan orang lain? Apakah aku harus berteriak tentang tanggung jawab kepada orang lain?
Ia membeberkan betapa sulitnya anak kuliah. Tiap bulan mengirimkan uang sampai tak ada sisa di tabungan. Bahkan, untuk membeli beras pun ia harus ngutang ke orang lain.
Ia lebih banyak tahu jika membicarakan soal agama. Ia lebih sering berdebat soal agama di hadapan orang banyak. Ia menghapal beberapa ayat dan paham menjelaskan kepada orang lain.
Ia mengaku tak pernah tinggal salat lima waktu. Ia selalu mengatakan salat dhuha di waktu matahari sepenggalah tiap hari membukakan pintu rejeki.
Ia menganjurkan untuk salat malam – tahajud – untuk diberikan petunjuk dari segala masalah. Ia puasa Senin dan Kamis di luar bulan Ramadan.
Aku tidak bertanya alasan. Ia akan menjabarkan alasan dengan sendirinya. Ia teramat mudah membuat orang di sekitar iba sehingga mendoakannya agar lebih bahagia atau menyedekahkan sedikit isi kantong kepadanya.
Ia menerima seakan-akan gaji dan tunjangan tiap bulan hanya uang kertas untuk dibuat pesawat terbang, melayang di udara tak pulang-pulang atau bahkan hangus terbakar akibat kerusakan mesin di atas ribuan kaki.
Ia menggaruk-garuk leher yang entah benar gatal atau tidak.
“Semua tabungan sudah kami kirimkan untuk mereka, begitulah susahnya hidup menyekolahkan anak-anak!”
Ia terus menyeloroh tentang perut yang tidak stabil dan terasa kembung akibat air di dalam tubuh tak bercampur makanan. Ia terus mengutuk rejeki yang datang dan pergi di dalam hidupnya.
Ia terus mengisyaratkan bahwa cuma mereka sebuah keluarga sengsara di dunia ini selama Ramadan ini, bahkan nanti seusai Ramadan.
Terutama beban anak-anaknya di bangku kuliah. Merunut kepada keluarga lain, yang juga menyekolahkan anak-anak mereka, bertani malah, nggak pula merajuk ke mana-mana bahwa hidupnya susah.
Makan dan minum apa yang ada. Semua dibagi-bagi sesuai kebutuhan. Bersyukur pada pemberian-Nya bukan terus-menerus berujar “saya tidak punya,” “aku tidak punya uang,” dan seterusnya sampai benar-benar menjadi doa.
Bagaimana dengan orang lain? Pernahkah ia mendengar keluhan mereka? Atau hanya ia saja tokoh utama mengeluh di segala tempat?