|
Piring Retak – keluargacinta.com |
Piring retak dan pecah pagi itu. Di rumah Safrida yang baru selesai dibangun sebulan lalu. Rumah dua kamar itu dibangun dari hasil jerih payah Safrida selama dua tahun terakhir. Rumah itu pun belum usia sepenuhnya, dapur belum jadi dan lantainya belum berkeramik.
Hari masih sangat pagi, Safrida sudah tergopoh-gopoh menyiapkan kopi dan sarapan pagi. Namun ada saja piring yang jatuh dari rak karena tersenggol tangannya. Gelas yang baru saja diambil Safrida letakkan kembali ke tempat semula. Safrida bergegas mengambil sapu dan membersihkan bekas piring sebelum suaminya terbangun.
Tangan Safrida perih, ada bekas serpihan piring yang menyentuh jari tangannya. Safrida menggigit untuk meredakan rasa sakit dan menghentikan peredaran darah ke arah luka. Safrida sudah menggoreng telur. Cukup mata sapi saja. Sepagi ini Safrida tidak sempat menyiapkan menu sarapan istimewa. Banyak pekerjaan yang menunggunya sampai sore nanti.
Safrida sarapan dengan terburu-buru. Telur mata sapi yang sudah ia goreng diletakkan di meja makan. Telur itu untuk suaminya. Mau dimakan atau tidak Safrida tidak peduli.
Suami Safrida selalu terlambat bangun pagi. Biasanya Safrida sudah sampai di tempat kerja. Pesan singkat atau telepon penuh nada protes baru sampai ke telinga Safrida. Safrida sudah melayani dengan baik suaminya, menyiapkan sarapan, istirahat siang ia sempatkan pulang sebentar, menyiapkan makan siang lagi. Baju selalu dicuci dan tersetrika rapi. Suaminya tetap saja tidak puas.
Safrida sudah duduk manis di meja kerjanya. Beberapa rekan sudah ada di meja masing-masing, sebagian yang lain ada yang belum datang.
“Bahagia sekali Nana, dapat suami yang sangat perhatian,” Asri memulai percakapan di pagi hari. Mungkin pengganti sarapan paginya.
“Katanya, kemarin baru dibeli mutiara dari luar negeri,” timpal Ina. “Saya sudah pernah lihat lho, jadi ingin punya juga,”
“Coba kalau suami kita seperti itu ya?” khayal Asri.
“Iya. Rumah saya pasti banyak perabotan mewah, mobil bagus, baju trend saat ini, uang belanja tiap hari…”
“Benar. Dengar-dengar, suami Nana juga sering masak. Suami saya? Jangankan disuruh makan, belanja saja nggak mau!”
Safrida tidak ikut menimpali. Asri dan Ina masih memuji-muji suami Nana, rekan kerja yang selalu datang terlambat tiap hari. Sesekali Asri dan Ina juga saling mengagumi suami masing-masing. Suami Asri yang sering membantu cuci baju di hari minggu, sampai bersihkan halaman rumah. Suami Ina yang rajin ngepel lantai tiga hari sekali. Suami mereka, punya keistimewaan yang bisa dibanggakan. Suami Safrida?
“Suamimu bagaimana, Saf?” tanya Asri mendadak. Safrida terhenyak. Menelan ludah. Pahit. Apa yang bisa dibanggakan dari suaminya? Melihat suami yang hanya duduk tak melakukan apa-apa tiap hari sudah membuat Safrida muak. Bangun siang hari. Tidak mandi. Marah-marah. Minta uang jajan. Nonton televisi sampai larut malam. Atau menghabiskan banyak waktu di warung kopi ujung gang masuk rumah mereka. Besoknya, rutinitas yang sama. Lusa sama saja. Lusa lagi tetap sama. Sampai sekarang.
Safrida tersenyum pada Asri dan Ina. Jawabnya cukup dalam hati saja. Suamiku masih tidur pagi ini!
***
Safrida membuka pintu depan. Suara televisi yang diputar kencang sampai terdengar ke pintu pagar. Safrida melihat suaminya berleha-leha di depan televisi. Di lantai yang belum berkeramik, gelas kopi, piring, asbak rokok, sebungkus rokok mahal. Berjajar di samping laki-laki yang belum menyadari istrinya sudah pulang siang ini.
Dengan langkah gontai, Safrida ke dapur. Ia tidak sempat masak siang ini. Gulai kamping yang ia belikan dari warung sebelah, cukup mengenyangkan suaminya. Safrida mengambil piring, menaruh nasi, menuangkan air putih ke gelas panjang. Meletakkan di meja.
Tahu-tahu suaminya sudah berdiri di belakang. Bau asap rokok menyesakkan napas Safrida.
“Kau tidak masak?” suara berat itu terdengar kasar. Mata suaminya menyala seperti matahari terik di siang ini.
“Tidak. Makan saja apa yang ada dulu,”
“Apa yang ada? Kau pikir aku ini ayam?”
Bentakan tiap siang. Safrida sudah kebal. Tiga tahun pernikahan tidak pernah sekali pun suaminya bersikap baik. Hanya sekali, sebelum menjadi suami istri. Waktu lelaki yang ia malas sebutkan nama itu meminangnya pada ayah ibu.
“Kau tahu? Tidak memasak untuk suami itu haram hukumnya!”
“Ohya? Kau tahu dari mana?” Safrida tidak tahan. Tiga tahun ia boleh lemah. Tidak untuk hari ini. Omongan Asri dan Ina memacu detak jantungnya semakin cepat. Safrida sudah lelah bekerja dan melayani suami egois tiap hari.
“Sudah berani kau sama suamimu rupanya?” suaminya berkacak pinggang. Menghembuskan asap rokok ke wajah Safrida. Safrida tidak takut. “Mau jadi istri durhaka kau?”
“Iya! Dan kau suami durhaka!”
Pring!
Piring pecah. Dengan cekatan, sekali hempas suaminya memecahkan piring berisi gulai kambing. Dua puluh ribu basah di lantai. Terbuang karena kebengisan suaminya.
“Pecahkan saja semua piring yang ada!” Safrida mencoba kuat, “Nanti biar kuganti dengan yang baru!”
“Kau istri jahannam!”
“Kau tak lebih dari itu! Kau diam di rumah menunggu makan sedangkan aku bekerja. Kau marah tidak dimasak sedangkan kau sendiri tidak mencari sesuap nasi pun. Kau bangun siang hari. Kau habiskan waktu di depan televisi. Kau merokok dari uangku. Kau tidur di rumahku. Kau makan nasi dari beras yang kubeli. Kau ambil semua dariku tapi kau sakiti hatiku tiap saat aku bersamamu!” emosi Safrida meluap. Ia menumpahkan semua kekesalan dan kecewa pada orang yang tepat.
“Sudah tugasmu begitu!”
“Tugasku? Tugasmu mencari nafkah memberi makan istrimu, membahagiakan istrimu bukan mengguras tenaga istrimu!”
“Oh, jaman sekarang istri sudah boleh bentak-bentak suami, begitu?”
Safrida melotot.
“Kau membentak tiap hari, aku malah baru hari ini. Bukan jaman yang kau salahkan! Dari dulu sampai sekrang suami tidak berhak membentak istri, tidak berhak memperlakukan istri sebagai pembantu dalam hidupmu! Apa salah aku melawan watak kau yang tak berubah!”
“Berubah katamu? Kau sudah tahu aku pengangguran kenapa kau mau aku nikahi?”
Safrida kehabisan kata-kata.
“Kau puas setelah menikah denganku kan? Kau puas setelah aku tiduri tiap malam kan? Bukankah kau ingin memiliki suami tampan agar kau tidak malu kenalkan aku pada teman-teman kau itu?”
Safrida duduk lemas.
“Heh! Jangan kau kira aku tidak bisa mendapatkan yang lebih baik darimu!”
Amarah Safrida kembali menguap. Ke ubun-ubun.
“Ya. Carilah jika kau mau! Aku telah melayanimu dengan baik. Agamaku tidak pernah menganjurkan pernikahan seperti ini!”
“Agamaku juga!”
“Agamamu? Kau masih ingat agama? Kapan kau terakhir shalat?”
Lelaki itu gusar.
“Agamaku tidak menghalalkan kekerasan dalam perkawinan, dari jaman nabi sampai masa kini. Kau seharusnya mengerti, agamaku dan agamamu masih tetap sama!”
Safrida melangkah meninggalkan suaminya. Lelaki yang ditinggal itu diam terpengkur. Rambutnya acak-acakan. Hatinya tak kurang acak dari itu.
“Aku tidak wajib menafkahi keluargaku, itu tugasmu sebagai suami!”
Safrida mengambil tas. Helm. Menarik pintu depan. Kembali ke tempat kerja. Jas yang ia kenakan sudah basah keringat. Begitu juga kerudungnya sudah miring kiri kanan. Suara televisi masih terdengar kencang. Piring di dapur pecah, mengalahkan suara televisi dengan berita seorang suami membunuh istrinya. Pecahkan saja semua!
***
Sprei sudah diganti dengan yang baru dicuci. Safrida mematikan lampu. Hari ini lelah sekali. Suara televisi belum kecil sedikit pun semenjak ia pulang tadi siang sampai sore hari. Safrida memejamkan mata. Sekelebat bayangan suram datang. Ayah dan ibu ingin pernikahannya bahagia. Punya anak. Suami perhatian dan penuh kasih sayang.
Safrida iri dengan tetangga, Aminah sudah punya dua orang anak. Tiap pagi suami Aminah mengantar kedua buang hatinya ke sekolah dengan penuh tawa. Sore hari suami Aminah menyiram bunga di perkarangan rumah mereka. Malam harinya terdengar suara kedua anak Aminah mengaji, sesekali suami Aminah memperbaiki bacaan ngaji anak-anaknya. Tak pernah terdengar piring pecah. Tak ada bentakan. Tak ada suara televisi kencang-kencang. Tak ada asap rokok. Tak ada derita. Mereka bahagia!
Dalam isak, Safrida merasa ada tubuh berat dan bau rokok menindih badannya. Lelaki yang sudah ia nikahi dua tahun lalu, hanya ingat padanya saat malam. Meminta berulang-ulang sampai Safrida luluh. Kerap kali Safrida menolak, lelaki yang ia sebut suami itu memaksa diiringi pukulan. Safrida tak kuat. Napasnya terengah-engah. Ia ingin berteriak. Lari sekencangnya. Memaki. Hanya dalam tangis. Kasih sayang sudah hilang dari hari suaminya.
“Aku masih datang bulan,” tolak Safrida halus.
“Menolak ajakan suami itu dosa besar, Safrida,” rayuan itu lembut. Safrida akan terhanyut jika tidak tersadar ia telah disakiti dari pagi sampai sore hari ini.
“Aku benar-benar tidak bisa,”
“Kau bohong!”
“Aku tidak berbohong padamu,”
“Kau pikir aku percaya?”
“Kau harus percaya, aku istrimu!”
“Istriku? Kalau kau merasa istriku berikan yang aku mau!”
“Kalau kau merasa suamiku, percayalah padaku!”
Safrida mulai terisak. Suaminya tak akan luluh dengan isak tangisnya seperti dulu-dulu. Diikuti pemaksaan dan kekerasan. Ia sudah tidak kuat.
“Kenapa kau tidak pernah memahamiku…”
Tangis Safrida pecah. Suaminya terpaku di sudut kasur.
“Tiga tahun kau nikahi aku, tidak pernah semalam pun kau berbaik padaku. Kau kasar. Kau egois. Kau tahu agamamu tidak membenarkan kau gauli istri dalam keadaan tidak suci. Kau tak peduli. Kau terus sakiti aku dan juga agamaku!”
“Ah!” suaminya pergi. Meninggalkan Safrida dalam tangis. Suaminya tidak akan pulang sebelum pagi. Safrida tidur ditemani airmata. Perih hatinya tak sebanding dengan kecewa sekian lama ia pendam. Suaminya tak berpaling padanya, mungkin ke pangkuan perempuan lain malam ini. Safrida tidak berharap itu terjadi. Ia mencintai suaminya. Biar omongan orang melecehkan tapi benar ia mencintainya. Safrida bisa mendapatkan lelaki lain. Ia perempuan sukses dalam karir. Disegani. Disantuni banyak orang.
Safrida galau. Ayah ibu sudah mencium bahaya rumah tangganya, ia masih bingung mencari alasan meninggalkan lelaki pengangguran itu.