Begitu pagi
mendera, selalu saja ‘beban’ berat melanda, bukan lagi mimpi-mimpi akan harapan
dan cita-cita. Waktu tidak bisa diajak mundur sedetik saja agar dapat
menentukan pilihan terbaik menurut definisi kita sendiri.
Mungkin, Tuhan memang
menggenggam mimpi-mimpi tetapi saat hendak dicapai ia sirna maka sama sekali
tak ada arti. Rumus yang tidak berlaku, waktu yang kian berlalu, dan usia tidak
mungkin diajak muda kembali.
Mata
kerapkali terbinar ketika melihat orang sukses di usia muda. Hati selalu
tersentak saat tahu orang-orang lain telah memiliki ‘bonus’ terbesar dalam
hidupnya.
Namun, begitu dilihat kembali jati diri, maka hempasan usia di atas
30 tahun menjadi catatan kegagalan kian perih.
Mau diubah segala upaya tetapi
usia terlanjur di makan rayap. Mau digapai cita dan harapan usia menjadi
penghalang yang nyata. Mau tidak mau, itu saja yang bisa dilakukan, mungkin
dalam kehampaan dan penghinaan yang tidak bisa diabaikan.
Apa yang
kau pikirkan saat disebut guru honorer? Manusia bodoh tidak beruntung atau
manusia tidak berguna dalam banyak arti di dunia kerja negeri kita. Guru
honorer – tahulah – mereka yang tidak memiliki harapan karena mau mengajar
tidak dibayar dan ‘hanya’ berharap suatu saat akan disayangi oleh pemerintah
dalam janji-janji manis yang mungkin ada dan tiada.
Guru honorer yang malang,
mau bekerja lain tak bisa karena usia telah membatasi ‘produktivitas’ dan juga
dianggap manusia gagal. Guru honorer dianggap tak layak mendidik anak negeri
tetapi mereka tetap masuk kelas karena di sekolah tidak cukup guru pegawai
negeri.
Guru honorer selalu dilirik dengan tatapan sinis seolah menjabarkan
bahwa profesi ini begitu ‘sampah’ dalam kehidupan.
Di sinilah
aku bermaya sekarang. Dalam kubangan yang enggan kulepas atau juga dalam jerat
tali yang tidak bisa putus lagi. Sekali lagi – mungkin karena kebodohan –
mungkin karena terhalang usia, atau mungkin karena memang ‘bodoh’ sehingga
tidak layak mendapatkan apa-apa bahkan memberi secuil inspirasi kepada orang
lain.
Aku pernah
membangun cita. Aku pernah mencari suaka untuk kebahagiaan. Aku pernah
menggapai asa tetapi seperti layangan yang putus seketika di bawah awan putih
bertalu-talu dalam rindu kepada hujan musim kemarau.
Aku pernah ingin bahagia
seperti mereka, barangkali waktu telah mengelabui potongan kalimat untuk
mencapai nada tinggi itu. Aku tersentak di tengah malam karena mimpi-mimpi
pemanis tidur yang tak pernah berkabar baik. Saat kubayang dan kuterka harapan
masa depan dalam balutan guru honorer, mungkin saat itu pula aku berpikir bahwa
diriku telah gagal dalam segala hal.
Kumulai
sesuatu yang berbeda, sebuah keengganan yang kuajak bangkit kembali, dari alam
bawah sadar, dari negeri antah berantah, dari sebuah khayalan, dari sebuah
kata-kata; lalu menjadi kenyataan dalam suatu ketika. Boleh aku bermimpi
meskipun sebagai guru honorer yang tiap hari hanya makan ikan asin dan sayur
kangkung.
Di pandangan orang, aku guru honorer yang tidak beruntung tetapi
kupikir jangan sampai diriku demikian. Kau bisa berbaris di deretan orang-orang
penuh senyum, mengapa tidak denganku yang kian terburuk dengan kabar guru
honorer yang tidak akan diangkat jadi pegawai negeri dalam segala aturan
berubah suatu waktu.
Aku tidak
pernah merenung untuk membuat usaha karena memang tidak punya modal. Aku tidak
pernah membawa lari raga ke pematang sawah karena fisikku terlalu lemah untuk itu.
Aku melampiaskan potongan kenangan dalam kalimat merayu, merajuk, mengiba,
kepada siapa saja yang merasa dukaku bisa membawa secercah cahaya.
Jika
kusebut, “Aku ingin ke Korea!” kepada mereka yang tahu profesiku sebagai guru
honorer, niscaya mereka akan berujar, “Mimpi kau terlalu naif anak muda!”
mungkin juga kalimat lain atau mungkin juga picingan ekor mata dengan aungan
rendah sekali.
Tetapi, untuk kau yang membaca kisah ini, mungkin saja terjadi,
bukan ke Korea, bukan ke negeri yang sempat kusebut, tetapi bisa saja ke
negeri-negeri yang entah terpikir olehku atau tidak, tetapi sekali lagi, aku
yakini akan mencapainya; suatu ketika bukan lagi dalam mimpi!
Kurangkai
kata di blog ini dalam keterpukuran,
tidak tahu arah, tidak ada keinginan-keinginan, karena ingin menumpahkan
kekesalan, pada paruh waktu tersisa di delapan tahun yang lewat. Perjalanan
yang panjang, terkatung-katung, terlunta-lunta, belum ada secercah harapan
tetapi aku seakan lupa tentang masa depan, lupa tentang apa yang perlu kucapai.
Begitu sebuah hentakan terjadi, aku tersenyum tipis, aku meradang, aku
memandang sayu; bahwa aku bisa menjadi sesuatu dengan menulis di sini, di blog, yang dianggap meracau atau
mengada-ada oleh mereka yang juga masih menganggap guru honorer hanyalah
kumpulan anak negeri yang kesulitan hidup.
 |
Elvitiana Rosa yang bercita-cita menjadi penulis. |
Kumulai dari Sini, untuk Kau Tahu, Juga Dia
Ketahui
“Dia benar. Mimpiku memang selalu berubah,
bahkan hingga hari ini. Terlalu banyak mimpi, sampai aku pun tak tahu pasti
yang mana mimpi yang benar-benar harus dikejar, mana yang tugasnya hanya
menghiasi tidur malam,” tulis Agustinus Wibowo dalam Titik Nol: Makna
Sebuah Perjalanan.
Aku juga
demikian suatu ketika dulu. Mimpiku sebagai guru honorer adalah mendapat
secercah harapan hidup ‘mewah’ seperti orang lain yang kerap mengusik hidupku.
Beranjak
ke sini, mimpiku makin buruk dan dunia guru honorer makin terpuruk dan
dianak-tirikan oleh pemerintah – barangkali pemerintah juga menyebut
perkumpulan bodoh yang telah mengajar anak negeri dengan lupa banyak
konstribusi yang telah diberikan.
Jika kini
bicara tentang mimpi barangkali aku telah lupa. Aku hanya mengejar waktu. Aku
mengejar ketertinggalan seperti anak-anak yang takut tinggal kelas padahal
tidak akan pernah terjadi lagi di masa kini. Aku memulai yang beda dari orang
lain di dekatku.
Aku mencoba peruntungan yang entah dapat kugapai atau hanya
khayalan semata sebelum beranjak tidur. Aku tidak mau mengabari siapa-siapa
tetapi dunia yang kujalani kini kerap mengabarkan kepada siapa-siapa tentang
lakon yang telah kuraih.
Dari meja
guru honorer yang kian lapuk, di antara buku-buku tugas anak-anak yang
menggunung, di antara usilan guru-guru pegawai soal tunjangan sertifikasi yang
belum masuk rekening, juga di antara honor guru honorer yang entah akan
bersentuhan dengan sepuluh purnama lagi, aku melarutkan diri dalam ide-ide,
dalam titik tanpa koma, lalu membubuhkan kata demi kata dalam sebuah paragraf
tanpa bisa diganggu dengan guru lain yang sudah beralih topik tentang mobil
mewah mereka yang tidak bisa diklaim asuransi karena lecet sedikit.
Penggalan
kisah menarik itu dimulai pada pertengahan 2014. Aku sudah terlarut dalam
keterpukuran, tidak bisa berbuat apa-apa kala sebuah surat elektronik diterima.
Kabar itu membuatku panas dingin, mungkin tidak mungkin tetapi itu nyata.
Yang
tak lama, aku telah dengan gugup duduk di ruang tunggu Bandara Sultan Iskandar
Muda, Aceh Besar, jam lima pagi lewat seperempat, untuk keberangkatan pertama
ke Jakarta, lalu ke Lombok sebagai hadiah lomba menulis kisah inspiratif, GuruKami, Pahlawan Semesta, yang tak pernah kulupa sama sekali.
Baca Juga:
Makin ku
berpikir, makin tidak bisa kubayangkan, seorang guru honorer duduk dengan penuh
ketegangan dalam pesawat terbang ke perjalanan jauh. Jendela yang terbuka
menampakkan awan beriringan seolah telah melupakan cacian dan lirikan mata
merendahkan dari orang-orang di sekitarku.
Aku mungkin terlarut dan berpikir,
ini adalah perjalanan pertama dan terakhir untukku bagikan kepada anak-cucu. Tetapi,
goresan tangan berkata lain. Ke Lombok adalah permulaan, setelah itu aku menjadi
terbiasa menarik koper di bandar udara.
 |
Di Lombok tahun 2014. |
Mungkin, aku
sedang mencoba mencari jati diri atau lebih tepatnya mencari inspirasi untuk
diri sendiri dan mengabaikan orang lain. Tetapi, berkali-kali, aku harus keluar
dari harapan-harapan yang entah bermuara ke mana di bawah pundak guru honorer.
Aku
bahkan selalu berpikir, mungkin saja, aku akan menjadi seperti guru honorer
temanku di sekolah yang sama, sudah lebih 20 tahun tidak jadi pegawai negeri. Aku
tidak ingin hidupku kian terpuruk, aku tidak tahu mungkin besok akan tiada dan
dilupa begitu saja. Maka, aku tidak pernah berhenti menghunus ‘pena’ untuk
mencapai titik-titik yang enggan merambah kepada keberuntunganku.
Dari sekian
yang kulakukan di sekolah, mungkin belum mampu menginspirasi orang lain atau
malah hanya ‘dicincang’ oleh kepala sekolah yang tidak puas. Saat sinisan yang
kuterima, saat itu pula aku merasa profesi guru honorer adalah pilihan yang
tidak pernah membuat hidupku tenang.
Aku tidak bisa mengubah apapun selain
menarik diri untuk menghancurkan pertahanan itu. Jika ada orang yang kemudian
berujar, “Kau ambil cangkul lalu ke sawah sambil menunggu diangkat jadi PNS,”
maka kuambil notebook dengan layar
ketikan menyala meski tidak ada kalimat yang terburai.
Bagiku,
kupikir matang-matang, jika pegawai itu memihak kepada lelahku, maka dia akan
datang suatu saat nanti. Jika tidak, maka perjalanan menulis akan melepas
dahaga dari segala upaya hidup susah. Kusebut tadi, mungkin di awal aku belum
mampu menginspriasi orang lain, setidaknya siswa-siswa di sekolah.
Tetapi, saat
berkali-kali aku naik pesawat terbang, ke Bali dengan segenap keindahan, ke
Bangkok dengan segala upaya kemewahan dan ke berulangkali ke Jakarta dengan
kemacetan lalu-lintas sebagai pemandangan terbaik, aku menuangkan kisah kepada
siswa-siswa di sekolah dalam tiap kesempatan sebagai penyemangat.
 |
Di Bali tahun 2016 undangan ASUS Indonesia launching ZenFone 3. |
 |
Di Bangkok, hadiah lomba menulis dari Priceza Indonesia tahun 2017. |
 |
Di Jakarta suatu ketika, abaikan adik kecil yang melongo. |
Aku telah
mampu. Setidaknya, bisa memberikan secuil kisah kepada mereka yang tahu benar
bahwa aku adalah guru honorer yang malang. Aku mencambuk diri untuk lepas dari
kungkungan egois yang merata.
Aku mulai membagi kisah, lalu mengajarkan cara
agar siswa-siswa di sekolah bisa mendapatkan lebih dari apa yang kuraih. Lantas,
mereka terbiasa melihat tanganku menenteng ponsel-ponsel terbaru dengan harga
mahal, notebook terbaik dan
terkencang dengan harga lebih dari mahal dari sepeda motor atau foto-foto
perjalanan yang kini menginspirasi mereka.
“Pak, enak kali bisa lihat Opening Ceremony Asian
Games!” atau kalimat lain yang bernada gurauan, “Bapak yang jadi stuntman Jokowi ya?” kuberi ruang untuk
mereka menerka-nerka namun mereka tahu bahwa undangan dari pemerintah untuk
hadir dalam pembukaan olahraga terbesar Asia setelah 56 tahun lalu, karena aku
menulis bukan karena undian berhadiah lalu mendapatkan tiket masuk ke Stadion
Gelora Bung Karno yang ramai malam itu.
Sampai ke
titik ini, aku telah mampu membuat mata siswa-siswa terbinar, meski ada saja
yang menyalak dengan ekor mata merendahkan di lingkungan sekolah dari orang
dewasa yang merasa merekalah terhebat karena berpangkat dan golongan tinggi.
Aku
tidak memedulikan hal itu. Aku kian terlarut dengan kedekatan dan canda tawa
bersama siswa-siswa di sekolah. Lantas, aku ajarkan beberapa hal yang berada di
luar kurikulum agar mereka menjadi seleb
sebagaimana rata-rata anak kota saat ini.
“Saya
ketemu sama anak SMA yang menang lomba menulis Asian Games!” sebagai pembuka
kumulai dengan kalimat menghentakkan, “Dia sama seperti saya, dikawal ke
mana-mana, ke Ancol dan Taman Mini dengan gratis, makan malam bersama
Menkominfo, dan ikut pembukaan Asian Games ke-18 yang mewah dan merinding
dengan Tari Ratoh Jaroe itu!”
 |
Di GBK sebelum pembukaan Asian Games 2018. |
 |
Di depan GBK yang ramai oleh penonton pembukaan Asian Games 2018. |
 |
Parade atlet di dalam Stadion GBK. |
Kisah naik
pesawat sudah terbiasa saya bagi. Ketemu artis membuat teriakan tak bisa
ditepis lagi dari deretan dengan jilbab rapi itu. “Pak, kok nggak selfie sama
Rian d’Masiv?” atau “Bapak bohong nggak ada foto sama Syahrini!” namun mereka
lagi-lagi tahu bahwa aku pernah bertemu dengan nama itu dan nama-nama lain.
“Pak, maulah
ketemu artis!” ujar anak-anak suatu ketika, dan sering.
“Maka, kamu
menulislah!” hanya itu cara yang bisa kubagi saat ini di lingkungan kami yang
terbatas. Kubuka pintu mereka membuat blog,
kucoret beberapa catatan penting di tulisan mereka yang belum usai, kusebut
cara untuk mendapat produk endorse di
media sosial, maupun kusarankan untuk mereka lakukan ini dan itu.
Kutahu susah,
kukasih bukti kembali bahwa meski aku guru honorer yang entah berujung ke mana
hidupnya, aku telah berbenah dan mendapatkan lebih dari apa yang kuingini
selama ini. Kau pun bisa tahu dengan membaca tentangku
yang telah membubuhkan ragam prestasi.
“Pak,
bagaimana bisa dapat handphone gratis?”
tanya mereka lagi saat kupamer smartphone
dari sponsor. Kujawab dengan nada yang sama, “Kamu menulislah!” bagian yang
kuyakini dan kudapat pasti maka itu yang bisa kubagi.
Lantas, di
kelas tiga SMA, mereka kalut soal jurusan kuliah. Aku yang kemudian menarik
jati diri beberapa di antaranya – karena guru lain sibuk dengan uang yang telah
habis dipotong kredit bank. Aku arahkan ke jurusan ini dan itu.
Aku bantu
pendaftaran masuk kuliah yang lagi-lagi guru pegawai nggak paham soal sistem
internet yang kian modern. Aku ajak anak-anak ke warung kopi sore hari untuk apabila
internet di sekolah lagi ngadat. Begitu seterusnya, bertahun-tahun, bahkan ada
siswa yang kini lulus kuliah dan bekerja dengan mapan!
Aku memang
terpuruk sebagai guru honorer di pandangan banyak orang. Aku tidak demikian
saat menyebut diri sebagai penulis. Sampai kini, aku ingin terus menginspirasi,
membuka mata anak-anak bahwa apapun bisa dicapai dengan mudah asalkan
usaha lebih keras.
Kumulai Berbagi Inspirasi dengan Mendikte Kata
Dua tahun
lalu, aku berpikir tentang sesuatu yang mungkin tidak mungkin dijalankan. Aku pasang
surut. Aku merasa terhalang tetapi harus kubuat. Apa yang telah kuraih lantas
kubagi kepada anak-anak. Mungkin akan tidak berguna tetapi kuyakin suatu saat
akan berarti untuk mereka yang menanti hal serupa.
Aku buat
kelas belajar blog di sela-sela
mengajar. Protes memang ada tetapi saat presentasi yang menuai keindahan berupa
jalan-jalan gratis dan dapat barang mahal gratis, semua terdiam dan ingin
memulai.
Objek yang nyata menjadi daya tarik tersendiri meskipun proses menuju
ke hal-hal indah itu tidak semudah mereka lihat. Aku tak segan menekan pada
satu kalimat, “Perjuangan ini bukan semalam saja,” dan kubeberkan perjalanan menulis
blog sejak Multiply, lalu Blogdetik, Kompasiana,
Steemit dan benar-benar fokus pada blog
ini saja.
Kuyakin ada
di antara mereka yang memiliki ketertarikan. Bahkan, ada yang telah memulai
tanpa sepengetahuanku. Bahkan juga, pengikut mereka di media sosial lebih banyak
daripada milikku sendiri.
Tak ada jalan menuju blogger, mereka akan bisa menjadi Youtuber atau malah influencer di media sosial. Aku ‘hanya’
membuka jalan, memberi masukan, mencari celah, di mana masa muda mereka yang
cantik dan tampan bisa menuju ke arah sana.
 |
Siswi-siswi yang gemar difoto. |
Kuabaikan pandangan
tidak sedap di luar kelas. Kututup telinga saat aungan panjang pelajaran hari
itu tidak penting. Kuyakini, dunia tidak selalu berkutat kepada buku dan
kertas.
Anak-anak bahkan sangat mahir bermain game, sangat fotogenik saat difoto,
sangat paham smartphone terbaru yang
mahal dan murah. Mereka larut dalam kubangan ini dan aku membawa langkah mereka
ke sana, meski tidak membawa janji-janji. “Siapa yang sabar dia yang akan
bertahan!”
Pelajaran
membuat blog kemudian menjadi wajib. Satu
persatu mereka menekuni dengan serius. Lepas dari sekolah ada yang mengirim
pesan melalui media sosial atau WhatsApp.
Kuberi jawaban, kuberi masukan. Mungkin
mereka akan jadi sesuatu, mungkin mereka akan mendapatkan sesuatu. Entah bisa
kutelusuri atau tidak, dalam lupa kutahu pasti beberapa di antara mereka mulai
menekuni blog, mulai pamer foto
produk endorse di media sosial atau
mulai share kanal Youtube.
Aku telah
mencambuk mereka. Sedikit memang. Tetapi, aku bangga telah mengenalkan ‘cara’
kepada mereka yang kini bisa menutupi uang jajan kuliah dengan hasil kerja
sendiri.
Kuberi Jiwa dan Raga yang Kudapat hanya Angin
Lalu
Kau pernah dengar
keluhan ini? Mungkin sebagian orang anggap biasa saja. Begitu terjun langsung
sebagai guru honorer maka dengan mudah memantik hal ini. Aku tidak mau
menyalahkan siapa-siapa. Aku cuma merasa makin tersudut dengan sinisan, cibiran
dan bentakan dari hasil kerja keras.
Mungkin ini
tidak termasuk ke dalam kata menginspirasi. Kutuang di akhir inspirasiku
sebagai guru blogger karena ibarat
anak-anak yang sedang ujian akhir, bagian ini adalah paling penting dalam
menginspirasi masa depan.
Aku telah menuangkan ragam inspirasi tiap hari dalam
kelas, maka saat tiba melepaskan inspirasi yang datang dari anak-anak bagaikan
helaan napas yang enggan keluar. Saat tidak hanya mengajar di dalam kelas
menjadi acuan, maka aku merasa dibutuhkan meski enggan hadir dari siapa yang
tidak percaya.
Namun, anak-anak kerap berujar, “Bapak ada kan saat kita ujian?” karena anak-anak tahu, di sekolah kami, aku
yang tiap waktu berujar soal komputer, dan komputer, dan komputer!
Kekalutan
mereka saat ujian nasional berbasis komputer wajar terjadi. Aku berdiri di
antara mereka karena ‘tugas negara’ yang diembankan kepada guru honorer yang
entahlah bagaimana. Tetapi, aku terlarut dalam lelah dari jam 6 pagi sampai 6
sore.
Aku lantas memastikan bahwa seluruh komputer menyala untuk bisa ikut
ujian. Meski, ada orang yang khawatir nggak keruan, aku tetap tenang karena aku
paham bahwa komputer yang menyala tidak akan mudah padam, soal yang dijawab
tidak mudah meloncat ke halaman berikutnya, kecuali mati lampu dan internet
padam barulah kita bisa istirahat.
 |
Siswa lagi ikut UNBK. |
Kuberi
waktu lebih banyak membantu sekolah selama ujian. Kuakali siswa-siswa dengan
beragam cara agar tidak takut menjawab ujian. Kukasih tahu cara termudah menjawab
soal maupun kutegur untuk tidak mengoyang-goyang meja agar kabel LAN tidak
copot.
Kutahu, mereka sangat tergantung kepadaku meski mereka tahu aku hanyalah
guru honorer yang mungkin akan – kembali – disalip oleh mereka sendiri usai
kuliah nanti dengan pekerjaan bergaji besar.
Coba
kutinggalkan anak-anak dengan kekhawatiran kelulusan, di dalam kantor yang tak
pernah bosan membicarakan soal tunjangan kerja, guru-guru yang kini menjadi
rekan kerja seolah terlalu manja menjadi maju.
Apa-apa masalah kecil akan
disodorkan ke depanku, misalnya sekadar membuat tabel di halaman Word. Di akhir
semester nanti, guru-guru akan melakukan pendekatan tersendiri dengan beragam
cara agar aku mau membantu mengejarkan raport berbasis komputer di Kurikulum
2013.
Begitu
orang lain bergantung kepadaku, aku malah berpikir tidak lunak, kepada siapa
aku bergantung dalam balutan guru honorer ini? Mungkin aku telah lelah
‘menginspirasi’ dalam bekerja milik orang lain.
Mungkin juga aku dianggap bisa
tetapi tidak beruntung dalam baju yang compang-camping. Namun, mereka di sini
selalu mencariku, anak-anak maupun guru-guru, bahkan hal terkecil sekalipun!
Aku harus
bertahan. Aku harus mengirim kabar kepada entah siapa. Aku ada di ‘selokan’
terdalam sedang mengapai mimpi yang belum tentu masih indah. Apakah ini cukup
menginspirasi? Atau mungkin juga, “Ah, itu cuma curhat guru honorer yang gagal!”
karena itulah aku menulis banyak kisah, agar dikenang, oleh siswa-siswa di sekolah,
mereka yang sudah tamat, mungkin juga kau yang jauh dalam jangkauanku.
Dengan
ini, aku ingin memberi tahu, meski aku cuma guru honorer tetapi bukan berarti
tidak ada inspirasi yang bisa kubagi. Aku telah #BukaInspirasi
untuk kau kenang atau mungkin dijadikan kenang-kenangan!
***
Artikel ini telah dipublish oleh viva.co.id di: https://www.viva.co.id/blog/lifestyle/1074716-sebuah-inspirasi-dari-meja-guru-honorer-ke-blogger-terbaik