Categories
Uncategorized

Sapiah yang Merindu Panggilan dari Tanah Suci

Siapa yang tidak rindu tanah suci? Semua
umat Islam akan merindukannya. Tanah suci tak lain tempat Islam bermula dengan
segenap harapan dan cita-cita dalam rangka memperbaiki akhlak manusia serta
mendekatkan diri pada
Ilahi


Di tanah suci pula, kisah nabi yang telah
diutus memberi contoh terbaik kepada umatnya. Banyak pelajaran yang lahir dari
tanah suci sehingga umat Islam mendamba ke sana. Anjuran Islam sendiri telah
mewajibkan bagi umatnya yang mampu untuk berhaji. Perencanaan ibadah haji sejak
dini sangatlah dianjurkan karena masa muda masih kuat untuk perjalanan jauh
maupun menunaikan rukun dan wajib haji dengan penuh keyakinan.
Sange (tudung saji khas Aceh) – Bai Ruindra

Namun,
tidak selamanya umat Islam memiliki jalan lurus dalam memenuhi panggilan haji. Banyak
sekali rintangan yang dihadapi sehingga perjalanan ke negeri Arab terhalangi. Salah
satu penyebabnya adalah biaya perjalanan haji yang tidak sedikit.

Semakin lama
disetor biaya perjalanan haji, semakin lama pula nomor antrian panggilan
didapat. Tak bisa dipungkiri bahwa pendaftar haji dari Indonesia memiliki masa
tunggu yang cukup panjang. Tiap tahun bertambah saja umat Islam yang mampu
melunasi biaya perjalanan haji. Jika dikalkukasikan dengan usia, saat sudah tua
baru melunasi biaya perjalanan haji entah kapan bisa berangkatnya.

Semua
orang punya rencana. Sapiah pun demikian. Perempuan Aceh ini begitu mendamba
haji karena baginya itulah cita-cita terakhir di usia senja. Wasiat dari
mendiang suami yang meninggal lima belas tahun lalu, bahwa dirinya harus melunasi
biaya perjalanan haji sesegera mungkin.

Sesuatu yang mustahil bagi perempuan
yang lahir tanggal 1 Juli 1956 karena dirinya bukanlah seseorang yang memiliki
penghasilan tetap. Ia mulai memikirkan pekerjaan yang tidak begitu rumit,
sesuai dengan kemampuannya, dan dapat menghasilan lebih besar keuntungan supaya
dapat melunasi biaya perjalanan menuju Mekkah.

Hanya itu saja niatnya, bekerja untuk berhaji!
Mulailah
Sapiah menekuni pekerjaan sebagai pengrajin sange (tudung saji khas
Aceh). Sange biasanya digunakan untuk menutup hidangan jamuan besar
(kenduri). Sange terbuat dari daun layah, sejenis pandan yang
hidup liar di dalam hutan.

Daun layah yang telah dikeringkan kemudian
dianyam menggunakan bili (jenis tanaman belukar) dengan metode khusus
sehingga membentuk sange. Bagian permukaan sange dilekatkan rotan
supaya lebih kokoh. Usaha yang ditekuni Sapiah semenjak tahun 2006 perlahan-lahan
mulai menghasilkan.

Semakin hari semakin banyak orang yang membeli sange
darinya. Sange yang dihasilkan Sapiah merupakan karya industri rumah
tangga dalam skala kecil. Sapiah tidak memiliki modal untuk mempromosikan sange­­-sange
tersebut dalam skala lebih besar.

Permintaan sange dari orang-orang yang
telah mengetahui dirinya sebagai pengrajin pun tidak selalu dalam jumlah besar.
Dalam sebulan Sapiah bisa menjual 15-20 buah sange ukuran kecil, sedang
dan besar. Masing-masing ukuran tersebut dihargai Rp.10.000 Rp.20.000 dan
Rp.30.000. Apabila masuk musim Maulid Nabi Muhammad saw., antara bulan Rabiul
Awal sampai Rabiul Akhir, Sapiah akan membuat sange untuk ukuran lebih
besar dari biasanya yang dihargai sampai Rp.60.000 perbuah.

Hal ini karena di
Aceh memiliki tradisi kenduri besar-besaran dalam rangka memperingati hari
lahir Rasulullah saw. Bekerja seorang diri dan bukan termasuk perusahaan besar,
Sapiah tidak memiliki pembukuan yang jelas.

Kepada saya, Sapiah menyebutkan
bahwa penghasilan bersihnya dalam sebulan antara Rp.700.000 sampai dengan
Rp.1.000.000 dan tidak rutin. Jika musim maulid, penghasilannya bisa mencapai
angka Rp.3.000.000. Ia mulai menabung dari hasil penjualan sange tersebut.

Sapiah
tinggal bersama anak bungsu dan suaminya, rumah itulah satu-satunya warisan yang
diwariskan kepada mereka. Ia pun kerap membantu kebutuhan rumah tangga anak
perempuannya yang telah berusia 38 tahun.

Tak mungkin pula ia selalu berharap
kepada menantu yang bekerja sebagai petani membawa pulang bekal tiap hari. Ia sadar
bahwa dirinya memiliki penghasilan yang bisa disisihkan untuk membuat asap
tetap mengepul tiga kali sehari dari dapurnya.

Lembar
demi lembar rupiah telah mengunung di kamarnya. Ia pun menunaikan kewajibannya melunasi
biaya perjalanan haji tujuh tahun lalu. Ia telah mendapatkan nomor tunggu
keberangkatan ke tanah suci pada tahun 2017.

Cukup lama ia bersabar untuk
mendengar panggilan itu. Jika tak ada halangan, dua tahun lagi ia akan
dipanggil menuju baitullah. Cita-cita yang cukup lama ia pendam. Ia dapat
menghela napas panjang karena impiannya akan segera terwujud.

Ia kerap panas
dingin mendengar saudara, tetangga maupun orang-orang di sekitarnya dipanggil
terlebih dahulu. Ia masih punya sabar untuk menunggu. Sabar yang panjang sekali
seperti usahanya mengumpulkan lembar demi lembar rupiah dalam mewujudkan
cita-citanya.

Perjalanan
sabar Sapiah tidak mudah. Ia menceritakan berbagai kesulitan untuk dapat
melunasi biaya perjalanan haji. Ia pernah hampir menyerah karena semakin
ditabung, uang itu seakan-akan semakin menipis. Saat kopi habis, tak ayal ia
akan menarik selembar dari tabungannya.

Saat iuran listrik menunggak, ia harus
rela mengeluarkan selembar lagi dari tabungannya. Saat ke pesta di kampung ia
pun harus ikhlas memberikan selembar kepada anak bungsunya. Lembar-lembar yang
ia keluarkan bisa lima puluh sampai seratus ribu rupiah. Selembar saja
berkurang ia tidak bisa menggenapkan sejumlah biaya perjalanan haji yang telah
ditetapkan untuk wilayah Aceh.



Kepada saya yang masih muda, Sapiah berpesan…

Rencanakan haji sejak dini

Usia
yang semakin bertambah membuat Sapiah tak lagi sehat. Pesannya ini cukup beralasan
karena Sapiah sendiri mengalami beberapa gangguan kesehatan. Sepuluh tahun
terakhir, pendengaran Sapiah telah tidak sempurna lagi.

Berbicara dengannya
harus dengan suara lebih keras dibandingkan dengan orang lain. Memang, Sapiah
telah membeli alat bantu pendengaran namun enggan ia gunakan karena cepat habis
baterai dan alasan swing di telinga. Bahkan, saat saya menulis artikel
ini kesehatan Sapiah bertambah buruk.

Sebulan yang lalu, Sapiah mengalami stroke
sehingga badan sebelah kiri mati rasa. Proses penyembuhan terus dilakukan. Namun
matanya berlinang mengutarakan sebuah cita-cita yang belum tercapai. Ia takut
sekali jika dipanggil ke tanah suci dengan kondisi tidak sehat.

Jika
diizinkan berandai-andai, Sapiah ingin mengulang ke masa muda untuk dapat
berusaha lebih giat lagi. Rencana ke tanah suci sejak dini akan ia lakukan. Perjalanan
ke tanah suci tidak semudah berjalan ke kampung tetangga. Ia membutuhkan biaya
besar agar tanah Arab bisa dijejaki. Jika di masa muda telah menabung dan
melunasinya segera, ia bahkan bisa menunaikan haji bersama suami.
Sebuah
penyesalan yang berarti. Mengapa saya tidak merencanakan perjalanan haji
sekarang juga?

Lunasi perjalanan haji selagi mampu

Sapiah
berkata, masa muda adalah masa mencari uang sebanyak-banyaknya. Tidak ada
salahnya menyisihkan sedikit hasil keringat untuk ditabung sebelum dilunasi
biaya perjalanan haji.
Ucapan
Sapiah benar adanya. Perjalanan haji semakin hari semakin meningkat dan masa
tunggu semakin panjang. Saya tidak tahu sampai kapan bisa terus berkarya dan
menghasilan uang. Saya bukanlah pegawai yang memiliki gaji bulanan.

Saya bukan
pula pengusaha kaya yang gampang sekali mengeluarkan biaya besar untuk melunasi
biaya perjalanan haji. Saya masih gali lobang tutup lobang. Ada beras belum
tentu ada lauk. Ada garam belum tentu ada gula. Ada minyak belum tahu apa yang
mesti digoreng.

Makna
kata mampu pun seakan-akan sangat sensitif sekali. Tiada yang tahu pula, saya
akan mampu bekerja sampai usia berapa. Bisa juga saya mengalami kisah seperti
Sapiah saat didera banyak penyakit.

Bahkan, untuk makan saja selama pemulihan
harus disuapi orang lain. Bagaimana saya mencari uang lagi untuk melunasi
perjalanan haji? Sapiah telah melunasinya, ia tinggal menunggu panggilan. Sakitnya
akan berkurang dengan izin-Nya dan dengan usaha serta doa.

Jangan menunda-nunda perjalanan ke tanah suci
Saya
sering mengatakan, saat ini belum mampu ke tanah suci. Bahkan, alasannya masih
buram sekali. Tidak adalah penjelasan khusus mengapa saya menunda-nunda ke
tanah suci.
Jangan menunda-nunda!
Perkataan
Sapiah menyimpan banyak makna. Pertama, usia bisa berakhir kapan saja. Kedua, sakit
tak pernah bisa dielak. Ketiga, kondisi keuangan tidak selamanya stabil. Tiga alasan
ini pula mengapa haji tidak boleh ditunda. Selagi kesehatan masih mendukung dan
materi cukup tidak ada salahnya meluruskan niat untuk segera menunaikan biaya
perjalanan haji.
Kisah
Sapiah hanya segelintir dari mereka yang sedang menunggu panggilan ke tanah
suci. Namun, usaha Sapiah mendapat tempat tersendiri dalam hati saya.

Tidak mudah
mengumpulkan biaya perjalanan haji yang besar – mencapai 30 juta rupiah untuk
calon jamaah dari Aceh – di usianya yang tak lagi muda. Niat dan rencana yang
matang mengantarkan Sapiah ke satu tujuan; mampu melunasi biaya
perjalanan haji!

Saya?
Apa yang ditunggu?
Entahlah.
Perjalanan haji selalu terbersit dalam hati kecil paling dalam. Rencana demi
rencana yang enggan saya utarakan karena malu jika tidak terlaksana, atau
bahkan terkesan memamerkan kepada orang lain jika saya sanggup melunasi biaya
perjalanan haji di usia muda. Apakah Anda mempunyai rencana tersembunyi ke tanah suci?