Categories
Uncategorized

Simalakama Seorang Guru Honor

Saya seorang guru. Menyebutnya
saja bisa membuat bangga apalagi benar-benar melakoninya. Saya benar seorang
guru, guru honor, guru yang dianggap sebagai pelengkap saja di sebuah sekolah. Bagaimana
tidak, saya hanya mengajar jika tersedia jam kosong atau lebih dari guru
pegawai negeri. Tidak hanya saya, guru honor lainnya juga mendapatkan perlakuan
yang sama. Di saat isu sertifikasi semakin santer mengarak guru pegawai negeri
untuk memenuhi 24 jam pelajaran dalam seminggu, tergerus pula jam pelajaran
bagi kami guru honor. Guru-guru tersertifikasi wajib mengajar supaya
dianugerahi gaji dua kali lipat di awal bulannya, atau di rapel percatur wulan.
Sebagian guru honor lain, teman saya sendiri, malah datang ke sekolah sekadar
menampakkan diri supaya terdata sebagai honorer walaupun tidak ada jam
mengajar. Harapan diangkat menjadi pegawai negeri semakin menjadi asa yang tak
terbendung, belum lagi informasi yang beredar bahwa honorer tidak akan diangkat
lagi jadi pegawai negeri. Secara sadar atau tidak, mungkin hanya untuk
menyenangkan hati lara, kami berkata pada diri sendiri akan sebuah kesabaran
pasti ada hasil.
“Nanti, saat pemimpin
kita diganti, kebijakan juga akan berganti!”
Saya berada di
lingkungan yang sama dengan guru tersertifikasi. Keberuntungan masih memihak
kepada saya walaupun hanya sedikit saja. Saya masih mendapat jatah jam mengajar
pelajaran Teknologi Informasi (TIK). Padahal ijazah saya jelas-jelas tertera
Sarjana Pendidikan Fisika. Saya mengajar TIK karena tidak ada guru yang
bersertifikat TIK dan guru-guru lain di sekolah ini belum mahir mengoperasikan
komputer.
Saya mengajar di dua
sekolah, MTsN Blang Bale dan MAN Suak Timah, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh
Barat. Dan hanya dua sekolah ini pula yang sudah menerapkan bayaran perjam bagi
guru honor. Saya masih berada di ujung keberuntungan, selain dibayar perjam,
gabungan jam mengajar saya dari dua sekolah itu melewati batas 30 jam
perminggu. Saya tidak bisa menyebutkan besar nominal yang diberikan dua sekolah
tersebut, paling tidak cukup untuk saya beli bensin tiap hari ke sekolah. Jam
mengajar saya lebih banyak dari guru bersertifikat sebagai guru profesional,
bukan?
Saya membiarkan waktu
berjalan sebagaimana mestinya. Di saat guru pegawai negeri bersertifikasi lupa
mengajar karena harus mengurus kelengkapan pembelajaran (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran,
Silabus, Program Semester, Program Tahunan, Minggu Efektif, Kriteria Ketuntasan
Minimum), juga berkas-berkas kenaikan pangkat. Saya diwajibkan berkonsentrasi
pada pelaksanaan pembelajaran itu sendiri. Saya masuk kelas lebih awal bersama
guru honor lain. Mengajar sesuai jam yang telah diberi tanggung jawab kepada
kami. Lalu pulang di jam yang sama dengan guru pegawai negeri.
Mengajar 30 jam di dua
sekolah, saya menyiasatinya dengan sangat jeli. Berbagi hari antara dua sekolah
terkadang tidak cukup memenuhi jumlah jam. Ada kalanya dalam satu atau dua hari
saya harus memangkas pertemuan mengajar. Bila pagi sampai dengan jam istirahat
di MAN, seusai istirahat saya akan ke MTsN. Untungnya lagi, jarak yang saya
tempuh lumayan dekat dan waktu istirahat pun sama-sama mengambil pukul 10.30
WIB.
Karena masih dianggap
anak bawang, sebutan kepada guru honor, saya mengerahkan segenap kekuatan untuk
berbagai bidang ilmu di luar ijazah yang saya emban. Mengajar di MAN lebih
leluasa saya lakukan karena sudah tersedia Laboratorium Komputer, sedangkan di
MTsN saya lebih mengandalkan pengetahuan dan buku-buku sebagai penunjang. Menghadapi
lebih kurang 300 siswa dalam seminggu membuat batin saya lelah sekali. Antara siswa
MAN yang beranjak dewasa tentu saja berbeda dengan siswa MTsN yang masih
berangkat dari anak-anak menuju masa remaja. Belum lagi mengajarkan ilmu
praktik tanpa disertai sarana pendukung membuat saya kelimpungan. Terlebih, saat
siswa-siswi sudah mengenal internet, berinteraksi di facebook maupun twitter,
saya dituntut kerja ekstra menjawab pertanyaan dari mereka. Saya menjelma
menjadi seorang guru ahli komputer, mereka bertanya semua hal, termasuk
guru-guru di dua sekolah yang menggantungkan harapan bisa mengetik soal-soal
ujian dengan benar di keyboard kepada
saya.
Saat saya tidak bisa
mengandalkan komputer karena mati lampu atau alasan lain, saya memastikan siswa-siswi
bisa belajar dengan metode lain. Mengenalkan kepada mereka istilah-istilah
dasar dalam pengoperasian komputer atau mengadakan diskusi kelompok. Di MTsN yang
belum memiliki laboratorium komputer, saya mengajak siswa-siswi bermain games karena mereka lebih suka bermain di
luar kelas.
 Siswa MAN sedang berdiskusi di halaman sekolah 
Siswa MTsN bermain games
Siswa MTsN bermain games 
Konsentrasi saya
sering terpecah antara tuntutan 30 jam pelajaran. Saya butuh, seperti yang
sudah saya sebutkan di awal, hanya dua sekolah ini yang memberikan kemakmuran
bagi kami guru honor walaupun sering kali terlambat satu bulan bahkan sampai
satu semester. Saya meninggalkan satu sekolah saja, calon guru honor yang lain
akan mengantri datang melamar. Seakan, kami tidak mengindahkan teguran
pemerintah yang mengatakan tidak ada lagi kemungkinan guru honor diangkat jadi
pegawai negeri. Tapi kami tetap mengajar, karena itulah aktivitas kami di
daerah sempit lapangan pekerjaan. Paling tidak, sudah rapi setiap pagi membawa
kebanggaan tersendiri karena kami seorang sarjana.
Sebagai guru honor, selain
diabaikan oleh sekolah kami pun dianak-tirikan oleh pemerintah. Saya termasuk
salah satu guru honor dari sekian ribu guru honor yang sudah mengabdi puluhan
tahun. Satu dua di antara kami menerima tunjangan fungsional sebesar Rp. 250
ribu sebulan dan dibayar persemester. Dan jika dalam satu sekolah tidak semua
guru honor mendapatkannya, kami berhak membagi sama rata. Saya mendapatkan
sedekah dari pemerintah itu dari MTsN, dan kami membagikannya kepada guru honor
lain yang datanya belum tersimpan di Kementerian Agama Kabupaten Aceh Barat. Besaran
angka tersebut sangatlah minim untuk motivasi seorang guru yang mengajar saban
waktu mencerdaskan anak bangsa. Saya bisa memahami pengeluaran pemerintah dalam
hal ini, tetapi mereka, guru honor yang lebih tua, lebih lama mengabdi, nominal
itu sungguh sangat berarti.
Terakhir, selain isu
sertifikasi, datanglah Kurikulum 2013 yang memangkas beberapa mata pelajaran
termasuk TIK. Sebagai guru yang hanya mengajar TIK saja maka saya akan
kehilangan jam pelajaran tersebut di masa mendatang. Di saat-saat seperti ini,
saya mengharapkan suatu keajaiban datang dari mana saja. Satu sisi, kurikulum
baru tersebut bagus untuk dilaksanakan di daerah urban. Di sisi lain, kurikulum
tersebut menciptakan kebingungan kepada guru mata pelajaran dan menghilangkan
banyak harapan guru-guru honor di seluruh negeri ini. Tapi pemerintah tahu yang
terbaik untuk dunia pendidikan Indonesia yang semakin tertinggal. Mungkin kami
yang semestinya berbenah, mengepakkan sayap mencari harapan di dunia baru
lainnya.

Saya, di antara ribuan
guru honor lain. Beginilah nasib kami. Curahan hati saya barangkali lebih
bahagia dibandingkan guru honor lain. Saya masih mendapatkan imbalan dari dua
sekolah dengan dihitung perjam masuk. Guru honor lain, akan dibayar persemester
sealakadarnya saja. Seandainya mereka bisa menulis, bisa mengakses internet,
kegetiran mereka akan lebih menyayat hati! 

Tujuan pendidikan kita adalah mencerdaskan anak bangsa, dan saya akan merealisasikan semboyan itu!

*Gambar koleksi pribadi.
Categories
Uncategorized

Jangan Minum Air Putih Saat Berbuka

Saya punya sebuah cerita.
Ada seorang anak bertanya pada
bapaknya
, macam nyanyian
Bimbo-lah nadanya. “Pak, kok kita berbuka dengan yang manis?”
Bapak itu termenung sebelum menjawab. “Karena anjuran agama begitu,”
“Kalau agama tidak menganjur, kita boleh berbuka dengan yang lain ya?”
“Bolehlah,”
“Oh,”
Si anak ini, antara sadar dan tidak sadar menimbang-nimbang perkataan
bapaknya. Tidak tahunya, si anak ini tidak bisa menahan jika tidak minum
banyak.
Begitu berbuka tiba, si anak mencari-cari gelas lalu diisikan air putih
dengan penuh. Kedua orang tuanya heran melihat anak mereka tidak menyentuh
minuman manis di atas meja makan. Padahal ibunya sudah bersusah payah membuat
penganan manis demi anaknya.
“Kenapa kamu minum air putih saja?” tanya ibunya.
“Kata ibu guru air putih itu lebih sehat bu,”
“Lho, berbuka kan lebih baik dengan yang manis?”
“Kata bapak, boleh tidak dengan yang manis, bu!”
Si anak menaruh nasi di piring setengah porsi, lauk setengah porsi.
Sebelum menyentuh nasi dan lauk, si anak kembali meneguk air putih. Segelas
saat berbuka, segelas sebelum makan.
“Kenapa kamu minum terus?” tanya bapaknya.
“Karena saya haus pak!”
“Makanlah dulu,”
“Iya pak!”
Si anak menyuap nasi pelan-pelan. Dua sendok tersuap, seteguk air putih
diminum. Belum setengah piring habis dimakan, air putih sudah habis segelas
lagi. Nasi dan lauk masih tersisa banyak, si anak sudah minum segelas air putih
lagi.
“Kenapa kamu banyak sekali minum?” tanya ibunya.
“Karena air putih lebih bermanfaat dari pada yang lain,”
“Nasi juga lebih bermanfaat,”
“Saya sudah makan barusan, minumnya belum cukup!”
Si anak kembali meneguk segelas air putih. Penganan lain yang
manis-manis di atas meja tidak tersentuh sedikitpun.
“Saya harus minum banyak, supaya besok saya punya stok air putih di
dalam tubuh!” ujar si anak lagi.
Waktu berbuka selesai. Mereka ambil wudhu. Si saat wudhu, si anak juga
kembali meneguk air putih di keran rumah tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Berdiri di belakang ayahnya si anak terengah-sengah saat ruku’dan sujud. Usai
shalat magrib si anak terkulai di ruang keluarga sambil menonton sebuah
tayangan televisi.
Tak lama azan isya terdengar dari masjid dekat rumah mereka. Kedua orang
tua si anak sudah bersiap menunaikan isya dan tarawih, si anak malah terdiam di
depan televisi.
“Kenapa kamu belum juga berkemas?” tanya ibunya.
“Badan saya sangat berat bu!”
“Kamu minum berapa gelas air putih?”
“Saya tidak hitung bu!”
Akhirnya, si anak ditinggal orang tuanya di rumah seorang diri.
Sebentar-sebentar dirinya berlari ke kamar mandi membuang air kecil. Badannya
lemas dan perut keroncongan. Saat kedua orang tuanya pulang tarawih dirinya
masih bolak-balik ke kamar mandi.
“Makanya, lain kali didengar kata orang tua,” tegur ibunya.
“Kata bapak, boleh buka bukan dengan yang manis!”

“Tapi bukan dengan air putih segalon juga!” 
Categories
Uncategorized

18 Menit Bersama Air Kehidupan

Di
mana pun itu, setiap kehidupan membutuhkan air!

Anggapan di atas tidak saya kutip dari ahli
manapun. Saya sendiri merupakan manusia yang tidak akan pernah bisa menahan
dehidrasi dalam semenit saja, kecuali saat berpuasa. Tidak bisa dibayangkan
jika suatu tempat mengalami curah hujan sangat minim sehingga penghijauan
berkurang dan kekeringan tidak bisa dielakkan. Selama ini, saya hanya melihat
dan membaca berita di belahan dunia Arab yang menjalani kehidupan mereka dalam
kekeringan teramat sangat. Ternyata, di pedalaman Indonesia juga masih terdapat
masyarakat yang memikul bergalon-galon air dari mata air di dataran tinggi
untuk penghidupan lebih berseri.
Belum lama ini, bersama Dompet Dhuafa – salah
satu lembaga independen yang bekerja dalam rangka kesejahteraan masyarakat menengah
ke bawah – saya berkesempatan mengunjungi Semoyong, pedalaman Lombok yang
mengalami masa-masa kritis kekurangan air sampai saat ini. Sebelumnya, daerah
kering di Desa Kidang, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah ini bertahun-tahun
tidak merasakan nikmatnya kehidupan mereka bersama air. Jauh sebelum 22 Juni 2011,
saat Dompet Dhuafa memberikan bantuan, masyarakat dataran rendah Semoyong ini
mencari air di daerah-daerah lain di mana mata air masih mengalir. Jarak yang
ditempuh berkilo meter sehingga mereka lupa mengukur jalan karena memikul air
begitu berat mencapai rumah mereka.
Dompet Dhuafa berdedikasi memberikan bantuan
kepada masyarakat Desa Kidang, Nusa Tenggara Barat ini dengan melakukan
pengeboran mata air. Di bantu masyarakat setempat pengeboran ini dilakukan
sehingga mencapai mata air di kedalaman 75 meter. Bagi saya yang tinggal di
daerah dengan curah hujan sangat merata angka tersebut sangatlah besar sekali.
Jauh meninggalkan 2011, masyarakat Kidang
seakan melupakan kehidupan mereka yang kering. Air bor yang difasilitasi
dananya oleh Dompet Dhuafa tersebut diberi nama Air Untuk Kehidupan. Setidaknya
masyarakat setempat sudah bisa bernafas lega dalam menghilangkan dahaga maupun
kulit kering akibat tidak tersentuh air.
Ceritanya jauh berbeda ketika Burhanuddin,
salah seorang warga yang dipercaya sebagai ketua kelompok mengatakan bahwa Air
Untuk Kehidupan tersebut tidak selamanya bisa menyala. Pengeboran mencari air di kedalaman hampir mencapai perut
bumi tersebut tidak lantas membuat keluarga bahagia di daerah ini. Mereka
kembali diajarkan sabar, saling berbagi, menahan dahaga saat air tidak keluar
sebagaimana harapan, dan tentu saja mereka sudah sangat terbiasa dengan itu.
Menurut Burhanuddin, air bor tersebut dinikmati
setidaknya 100 kepala keluarga. Menyiasati kekurangan air mereka membagi
kelompok-kelompok kecil supaya kehidupan benar-benar layak. Air Untuk Kehidupan
tersebut dihidupkan dalam jarak waktu 4 jam sekali dengan durasi 18 menit
sebelum berhenti mengalir. Pagi hari dihidupkan sekitar jam 6 untuk satu
kelompok, kemudian jam 10 untuk kelompok lainnya, dan seterusnya selama rentang
waktu sehari. Satu keluarga juga dibatasi hanya bisa menerima air sebanyak 6
wadah plastik berukuran besar seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Air
tersebut digunakan secukupnya dalam waktu seharian penuh. Dan jika listrik
padam maka masyarakat setempat tidak bisa menikmati air di setiap sendi
kehidupan mereka. Sebagian mereka yang memiliki kemampuan ekonomi berlebih
sudah membeli penampungan air dengan harga di atas 1 juta rupiah. Sedangkan mereka
yang memiliki kehidupan kurang beruntung cukup menahan haus berkepanjangan
dalam waktu tak menentu.
Selama 18 menit tersebut pula mereka sudah
diajarkan cara berhemat. Kehidupan mereka sangatlah timpang. Di saat air
berkurang dari hari ke hari mayoritas masyarakat Kidang tidak mendapatkan
pekerjaan layak. Kaum laki-laki lebih banyak mengurus ternak sedangkan kaum
perempuan bekerja sebagai penenun. Ternak sapi kadang tidak terurus, bahkan
kandangnya terletak di dekat mata air kehidupan yang diambil warga. Hasil
tenunan pun tidak kalah pilunya di saat tidak ada pembeli yang berminat
mengambil hasil kerja keras mereka.
Masyarakat Kidang, umumnya di pedalaman Semoyong,
mereka membutuhkan air untuk kehidupan layak. Anak-anak tumbuh dalam kekeringan
dan tidak tercukupi kebutuhan dahaga mereka. Saya hanya berharap, barangkali
ada jiwa lain yang terketuk pintu hati mereka selain Dompet Dhuafa. Tidak bisa
dipungkiri dengan air sebanyak itu, dengan tata cara pelaksanaannya, dengan
durasi hidup mati air tergantung pada listrik, kehidupan mereka benar-benar
jauh dari makmur.
Dengan kata lain, mereka juga butuh air bersih
untuk diminum. Air Untuk Kehidupan tersebut belum tentu mampu memenuhi air
minum jika dilihat dari ketergantungan kebutuhan lain. Air Untuk Kehidupan
tersebut juga sangat jauh dari kata sehat jika dilihat sumber air mengalir
berdiri di antara kandang sapi dan durasi 18 menit. Mereka yang menerima air di
kesempatan pertama tentu saja sangat berbeda dengan mereka yang menerima air di
kesempatan terakhir. Air yang mengalir tanpa penyaringan lantas diminum sudah
bisa dibayangkan bagaimana kehidupan generasi penerus di dataran kering ini.
Saya merasa, mereka, di Kidang, Nusa Tenggara
Barat ini, sangat butuh perhatian lebih dari berbagai pihak. Pemerintah yang
abai kita lupakan saja karena masyarakat ini sudah sangat sabar menghadapinya. Mereka
tidak manja, hanya kehidupan mereka tidak seberuntung kehidupan kita. Saat
ladang mereka mengering, penghasilan tidak ada, air kehidupan berhenti mengalir,
entah apa yang mereka rasa.

Semoyong jadi sepenggal kisah yang terlupa, karena
mereka ada kita pun bisa menyelami hidup lebih bermakna!