Categories
Uncategorized

Kisah Profesor Sombong dan Angkuh Naik Haji Tidak Dapat Mabrur

Profesor sombong naik haji tidak mabrur – Sunyi yang melabuhkan rindu. Rasman berdiri di ambang pintu. Malam kian berderit. Nyanyian bersenandung dari dahan pohon rumbia di belakang rumahnya. 
Naik haji ke Baitullah.
Telah lama sekali ia menikmati kesyahduan alam ini. Hawa menggelora yang menggetarkan nada-nada cinta dalam dirinya. Ia telah melayang tinggi. 
Ke puncak menara tak bernama dan tak bertuan. Ia menyaksikan kain-kain putih beterbangan. Mungkin saja membawa harapan, bisa juga karena angin terlalu kencang.
Pada
biduk yang meliuk asa itu. Rasman menaruh harap. Oh, bukanlah semata khayalan
atau mimpi. Ia bersemangat menggapai tujuan karena mata memandang penuh iri
dari orang lain.

Kemenangan untuknya semata-mata ia dapat karena pandangan
berbeda di sekitar nyawanya terkembang.

Rasman
meraih cita-cita. Ia bersikap layaknya anak kecil yang mengimpikan mainan baru.
Ia pamerkan kepada semua khayalak.

Bahwa dirinya yang mampu mendapatkan mainan
tersebut. Ia merasa tidak goyah atau terhina dengan ucapan orang lain. Ia
merasa setiap omongan adalah motivasi untuk meluruskan yang benar dalam
dirinya.

Ibarat
cobaan, Rasman merasa itulah masanya. Silih berganti orang memandangnya iri.
Berpacu dalam waktu orang menyela keinginannya. Ia tak habis pikir dengan
ucapan demi ucapan. Ia tak terkendali pula untuk memamerkan kekuasaan dirinya. 

Ke
mana-mana ia berkata, “Menuntut ilmu itu wajib!”
Di
lain kesempatan ia pula menyuarakan dengan tegas, “Menunaikan ibadah haji wajib
bagi yang mampu!”
Namun
Rasman alpa. Ia terus mengejar cita-cita. Harta dan tahta ia raih dalam sekejap
mata.

Tiap Jumat ia berkhotbah di masjid-masjid berbeda. Mendengungkan
keagungan ilahi. Mendendangkan ayat-ayat tentang haji tatkala musim haji
tiba. Meneriaki orang-orang berharta untuk segera menunaikan ibadah haji.

Padahal, dirinya sendiri belum melangkah ke tanah suci.

Khotbahnya
tak berhenti sampai di mimbar Jumat. Di warung kopi kampung sebelah, hampir
tiap malam ia bercakap-cakap hingga larut.

Rasman menjelaskan secara detail
pengetahuannya mengenai haji. Orang-orang yang awam – kebanyakan tak sekolah –
menyimak dengan saksama ceramah agama.

Rasman semakin menggelora. Sesekali ia
berucap, “Saya sedang menempuh pendidikan tinggi di Kota!”

Rasman
tak pernah berhenti menceritakan mengenai hajar aswad di dalam kabah, kemegahan
Masjidil Haram, kemewahan Masjid Nabawi, orang-orang yang berlari kecil antara
bukit Safa dan Marwah, tangan-tangan yang melempar batu, dan semua rukun serta
syarat haji lainnya.

Tiap malam Rasman duduk di warung kopi, tiap malam pula ia
menceritakan hal yang sama.

Berulang kali pula ia berucap dengan makna yang
sama sambil tertawa kecil, “Sebentar lagi saya selesai pendidikan tinggi di
Kota!”

Jika
mendengar penjelasan haji dari Rasman, benarlah adanya jikalau ia telah
menunaikan ibadah wajib tersebut. Ceritanya tak pernah terpenggal. Ia
menceritakan sekonyong-konyong telah berhaji puluhan kali.

Seakan-akan Rasman
paham betul letak koordinat utara, selatan, barat dan timur di tanah Arab. Sepertinya,
Rasman paham benar toko-toko penjual aksesoris di Mekkah maupun Madinah.

Padahal,
langkah kaki Rasman belum pernah tersentuh di bandar udara Jeddah sekalipun. Dan
di akhir cerita, Rasman akan menambahkan, “Tak lama lagi saya akan menerima
gelar profesor!”

Orang-orang
terkagum. Entah karena bodoh. Entah karena tak mau tahu. Entah karena pura-pura
tuli. Entah karena sudah tahu ucapan cerita pengantar tidur dari Rasman.

Di
malam berikutnya, saat Rasman menceritakan hal serupa, orang-orang juga
mendengarnya. Karena tak ada orang lain yang pandai menceritakan banyak ilmu
agama selain Rasman.

Di sana pula, hanya Rasman seorang saja yang menempuh
pendidikan tinggi. Katanya akan mendapat gelar profesor.

Walaupun, Rasman
kuliah ke Kota pada hari Sabtu dan Minggu saja. Orang-orang di warung kopi
tetap tak mengambil tanya, karena mereka tidak tahu soal itu, juga karena
mereka tak berani menyanggah omongan Rasman.

“Mana
kau tahu, kau tidak sekolah setinggi aku!” begitu kilah Rasman saat ada suara
bising di dekatnya.
Cerita
Rasman selalu mengenai haji. Seakan-akan ia paham betul bagaimana cara melunasi
dana pembayaran haji. Ia menjelaskan seluk-beluk pembayaran haji kepada
orang-orang.

Ia mengatakan betapa rumitnya mengurus haji kepada orang-orang. Ia
mengatakan kenal si ini dan si itu yang bisa meluruskan orang yang ingin
menunaikan ibadah haji.

Di akhir cerita ia mengulang, “Aku selesaikan profesor
terlebih dahulu, haji itu tak pandang umur!”

Di
lain waktu, Rasman mengatakan kenal dengan petugas haji dari kampung sebelah.
Tak lama setelah itu ia mengatakan mengetahui tata cara manasik haji.

Bahkan,
ia pernah mengikutinya untuk coba-coba. Seperti biasa, di akhir cerita ia
mengatakan, “Aku tak mau membuang waktu meraih profesor selagi muda!”

Tak
hanya di warung kopi saja Rasman bercakap banyak. Di dalam rumah, ia pun
demikian. Istri dan anaknya meraung dalam gelap. Istrinya meratap sedih.
Anaknya menyendiri.
Rasman
sering berujar, “Minta saja uang jajan pada ibu kau itu!”
Pada
istrinya, Rasman berucap, “Belilah kebutuhan rumah tangga ini dengan gaji kau
itu!”
Karena
gaji Rasman tak pernah lagi keluar serupiah saja semenjak dirinya mengejar
profesor. Pulang pergi ke Kota dalam jarang lima jam perjalanan darat, membuat
tabungan Rasman berkurang dengan cepat.

Gajinya sebagai guru pegawai negeri
sudah tak cukup menampung semua kebutuhan ini dan itu. Pendidikan doktoral yang
telah selesai belum terasa cukup sebelum profesor tersemat di depan namanya.

Gaji
tambahan dari perguruan tinggi swasta tempatnya mengajar sore juga tak bisa
menambal kebolongan di sana-sini.

Istrinya,
sebagai guru pegawai negeri harus menambal bolong-bolong di tubuh suaminya yang
penuh gengsi.
Rasman
tak pernah mau mendengar kata tidak ada. Setiap kali ia membutuhkan, pada masa
itu pula semua harus tersedia.

Wewenang pendidikan anaknya ia limpahkan kepada
istri. Ia tak akan melepaskan cita-cita yang sebentar lagi akan tercapai.

“Kapan abang melunasi biaya haji?” tanya istri Rasman malam itu.

“Nantilah.
Kau tak tahu aku sedang fokus pada penelitian profesor?”
“Profesor
itu milik dunia, sedangkan haji tidak demikian…,”
“Banyak
kali cakap kau. Kau cuma lulus sarjana, aku sebentar lagi akan dapat
profesor. Seharusnya kau bangga punya suami hebat macam aku ini!”
“Haji
itu lebih wajib…,”
“Aku
lebih paham soal itu. Kau pun cuma pelajari dan mengajar ilmu hitung. Aku ini
mempelajari dan mengajari ilmu agama sejak jadi guru sampai dosen.

Apa yang aku
tak bisa? Aku bisa bercakap-cakap dalam bahasa Arab, aku bisa mengartikan
al-Quran dengan benar, aku memahami isi kandungan al-Quran dan hadits, aku tahu
betul ajaran agama karena telah kumakan sampai habis semua itu!”

Rasman berkacak
pinggang. “Soal haji itu, aku sudah hapal di luar kepala tata cara
pelaksanaannya,”

“Abang
kan belum menunaikannya,”

“Panggilan
haji itu telah ada, aku saja belum sempat mengerjakannya. Sampai di tanah suci,
aku sudah tahu ibadah apa saja dan tempat pelaksanaannya. Kau tak perlu ragu!”

“Apakah
abang akan membawa kami serta jika menunaikan haji?”
“Oh
tidak! Kau lunasi sendiri biaya haji itu. Kau sudah tahu biaya kuliah sampai
mendapat profesor sering tak cukup. Aku wajib melakukan penelitian dan membuat
karya ilmiah dengan bagus supaya cepat mendapat profesor,”
“Kami belum mampu melunasinya,” istri Rasman menggigit bibir. Pikirannya
menari-nari akan biaya pendidikan anak mereka dan kebutuhan rumah tangga yang
diabaikan Rasman.

“Kau
sabarlah kalau begitu,”
“Kenapa
tidak abang tunaikan haji terlebih dahulu, lalu menunaikan haji kami sekalian,”
“Aku
fokus dulu ke penelitian ini,”
“Penelitian
abang tentang haji, alangkah baiknya jika dipraktikkan langsung,”
“Ilmu
haji yang kumiliki telah cukup. Tak perlu buang-buang uang penelitian ke tanah
suci. Orang-orang yang telah pulang dari sana cukup sebagai sampel penelitian
ini.

Lagi pula, masa tunggu haji itu bertahun-tahun, tak akan dapat gelar
profesor itu lagi nanti!”

Istri
Rasman tak lagi berkutik. Rasman mengacungkan tangan. Tanda bahwa dirinya tak
lagi mau diganggu.
Malam
semakin larut. Besok wukuf di Arafah. Salat hari raya sudah lebih dari cukup
bagi yang tak mampu ke Padang Arafah.
Di
pagi yang begitu cerah. Takbir berkumandang. Rasman berkemas dengan rapi karena
ia akan menjadi khatib di kampungnya sendiri.
Berdirilah
Rasman di atas mimbar setelah salat hari raya. Rasman berapi-api menerangkan
perjalanan Ibrahim dan Ismail. Di akhir khotbah, Rasman menambahkan jurus
ampuh, ia terlupa posisinya sebagai khatib, bukan penceramah di warung kopi.
“Sebentar
lagi saya akan menjadi profesor!”
Rasman
lupa mengucap salam penutup khutbah. Rindu tak lagi menggetarkan hatinya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *