Categories
Uncategorized

Kisah Profesor Sombong dan Angkuh Naik Haji Tidak Dapat Mabrur

Profesor sombong naik haji tidak mabrur – Sunyi yang melabuhkan rindu. Rasman berdiri di ambang pintu. Malam kian berderit. Nyanyian bersenandung dari dahan pohon rumbia di belakang rumahnya. 
Naik haji ke Baitullah.
Telah lama sekali ia menikmati kesyahduan alam ini. Hawa menggelora yang menggetarkan nada-nada cinta dalam dirinya. Ia telah melayang tinggi. 
Ke puncak menara tak bernama dan tak bertuan. Ia menyaksikan kain-kain putih beterbangan. Mungkin saja membawa harapan, bisa juga karena angin terlalu kencang.
Pada
biduk yang meliuk asa itu. Rasman menaruh harap. Oh, bukanlah semata khayalan
atau mimpi. Ia bersemangat menggapai tujuan karena mata memandang penuh iri
dari orang lain.

Kemenangan untuknya semata-mata ia dapat karena pandangan
berbeda di sekitar nyawanya terkembang.

Rasman
meraih cita-cita. Ia bersikap layaknya anak kecil yang mengimpikan mainan baru.
Ia pamerkan kepada semua khayalak.

Bahwa dirinya yang mampu mendapatkan mainan
tersebut. Ia merasa tidak goyah atau terhina dengan ucapan orang lain. Ia
merasa setiap omongan adalah motivasi untuk meluruskan yang benar dalam
dirinya.

Ibarat
cobaan, Rasman merasa itulah masanya. Silih berganti orang memandangnya iri.
Berpacu dalam waktu orang menyela keinginannya. Ia tak habis pikir dengan
ucapan demi ucapan. Ia tak terkendali pula untuk memamerkan kekuasaan dirinya. 

Ke
mana-mana ia berkata, “Menuntut ilmu itu wajib!”
Di
lain kesempatan ia pula menyuarakan dengan tegas, “Menunaikan ibadah haji wajib
bagi yang mampu!”
Namun
Rasman alpa. Ia terus mengejar cita-cita. Harta dan tahta ia raih dalam sekejap
mata.

Tiap Jumat ia berkhotbah di masjid-masjid berbeda. Mendengungkan
keagungan ilahi. Mendendangkan ayat-ayat tentang haji tatkala musim haji
tiba. Meneriaki orang-orang berharta untuk segera menunaikan ibadah haji.

Padahal, dirinya sendiri belum melangkah ke tanah suci.

Khotbahnya
tak berhenti sampai di mimbar Jumat. Di warung kopi kampung sebelah, hampir
tiap malam ia bercakap-cakap hingga larut.

Rasman menjelaskan secara detail
pengetahuannya mengenai haji. Orang-orang yang awam – kebanyakan tak sekolah –
menyimak dengan saksama ceramah agama.

Rasman semakin menggelora. Sesekali ia
berucap, “Saya sedang menempuh pendidikan tinggi di Kota!”

Rasman
tak pernah berhenti menceritakan mengenai hajar aswad di dalam kabah, kemegahan
Masjidil Haram, kemewahan Masjid Nabawi, orang-orang yang berlari kecil antara
bukit Safa dan Marwah, tangan-tangan yang melempar batu, dan semua rukun serta
syarat haji lainnya.

Tiap malam Rasman duduk di warung kopi, tiap malam pula ia
menceritakan hal yang sama.

Berulang kali pula ia berucap dengan makna yang
sama sambil tertawa kecil, “Sebentar lagi saya selesai pendidikan tinggi di
Kota!”

Jika
mendengar penjelasan haji dari Rasman, benarlah adanya jikalau ia telah
menunaikan ibadah wajib tersebut. Ceritanya tak pernah terpenggal. Ia
menceritakan sekonyong-konyong telah berhaji puluhan kali.

Seakan-akan Rasman
paham betul letak koordinat utara, selatan, barat dan timur di tanah Arab. Sepertinya,
Rasman paham benar toko-toko penjual aksesoris di Mekkah maupun Madinah.

Padahal,
langkah kaki Rasman belum pernah tersentuh di bandar udara Jeddah sekalipun. Dan
di akhir cerita, Rasman akan menambahkan, “Tak lama lagi saya akan menerima
gelar profesor!”

Orang-orang
terkagum. Entah karena bodoh. Entah karena tak mau tahu. Entah karena pura-pura
tuli. Entah karena sudah tahu ucapan cerita pengantar tidur dari Rasman.

Di
malam berikutnya, saat Rasman menceritakan hal serupa, orang-orang juga
mendengarnya. Karena tak ada orang lain yang pandai menceritakan banyak ilmu
agama selain Rasman.

Di sana pula, hanya Rasman seorang saja yang menempuh
pendidikan tinggi. Katanya akan mendapat gelar profesor.

Walaupun, Rasman
kuliah ke Kota pada hari Sabtu dan Minggu saja. Orang-orang di warung kopi
tetap tak mengambil tanya, karena mereka tidak tahu soal itu, juga karena
mereka tak berani menyanggah omongan Rasman.

“Mana
kau tahu, kau tidak sekolah setinggi aku!” begitu kilah Rasman saat ada suara
bising di dekatnya.
Cerita
Rasman selalu mengenai haji. Seakan-akan ia paham betul bagaimana cara melunasi
dana pembayaran haji. Ia menjelaskan seluk-beluk pembayaran haji kepada
orang-orang.

Ia mengatakan betapa rumitnya mengurus haji kepada orang-orang. Ia
mengatakan kenal si ini dan si itu yang bisa meluruskan orang yang ingin
menunaikan ibadah haji.

Di akhir cerita ia mengulang, “Aku selesaikan profesor
terlebih dahulu, haji itu tak pandang umur!”

Di
lain waktu, Rasman mengatakan kenal dengan petugas haji dari kampung sebelah.
Tak lama setelah itu ia mengatakan mengetahui tata cara manasik haji.

Bahkan,
ia pernah mengikutinya untuk coba-coba. Seperti biasa, di akhir cerita ia
mengatakan, “Aku tak mau membuang waktu meraih profesor selagi muda!”

Tak
hanya di warung kopi saja Rasman bercakap banyak. Di dalam rumah, ia pun
demikian. Istri dan anaknya meraung dalam gelap. Istrinya meratap sedih.
Anaknya menyendiri.
Rasman
sering berujar, “Minta saja uang jajan pada ibu kau itu!”
Pada
istrinya, Rasman berucap, “Belilah kebutuhan rumah tangga ini dengan gaji kau
itu!”
Karena
gaji Rasman tak pernah lagi keluar serupiah saja semenjak dirinya mengejar
profesor. Pulang pergi ke Kota dalam jarang lima jam perjalanan darat, membuat
tabungan Rasman berkurang dengan cepat.

Gajinya sebagai guru pegawai negeri
sudah tak cukup menampung semua kebutuhan ini dan itu. Pendidikan doktoral yang
telah selesai belum terasa cukup sebelum profesor tersemat di depan namanya.

Gaji
tambahan dari perguruan tinggi swasta tempatnya mengajar sore juga tak bisa
menambal kebolongan di sana-sini.

Istrinya,
sebagai guru pegawai negeri harus menambal bolong-bolong di tubuh suaminya yang
penuh gengsi.
Rasman
tak pernah mau mendengar kata tidak ada. Setiap kali ia membutuhkan, pada masa
itu pula semua harus tersedia.

Wewenang pendidikan anaknya ia limpahkan kepada
istri. Ia tak akan melepaskan cita-cita yang sebentar lagi akan tercapai.

“Kapan abang melunasi biaya haji?” tanya istri Rasman malam itu.

“Nantilah.
Kau tak tahu aku sedang fokus pada penelitian profesor?”
“Profesor
itu milik dunia, sedangkan haji tidak demikian…,”
“Banyak
kali cakap kau. Kau cuma lulus sarjana, aku sebentar lagi akan dapat
profesor. Seharusnya kau bangga punya suami hebat macam aku ini!”
“Haji
itu lebih wajib…,”
“Aku
lebih paham soal itu. Kau pun cuma pelajari dan mengajar ilmu hitung. Aku ini
mempelajari dan mengajari ilmu agama sejak jadi guru sampai dosen.

Apa yang aku
tak bisa? Aku bisa bercakap-cakap dalam bahasa Arab, aku bisa mengartikan
al-Quran dengan benar, aku memahami isi kandungan al-Quran dan hadits, aku tahu
betul ajaran agama karena telah kumakan sampai habis semua itu!”

Rasman berkacak
pinggang. “Soal haji itu, aku sudah hapal di luar kepala tata cara
pelaksanaannya,”

“Abang
kan belum menunaikannya,”

“Panggilan
haji itu telah ada, aku saja belum sempat mengerjakannya. Sampai di tanah suci,
aku sudah tahu ibadah apa saja dan tempat pelaksanaannya. Kau tak perlu ragu!”

“Apakah
abang akan membawa kami serta jika menunaikan haji?”
“Oh
tidak! Kau lunasi sendiri biaya haji itu. Kau sudah tahu biaya kuliah sampai
mendapat profesor sering tak cukup. Aku wajib melakukan penelitian dan membuat
karya ilmiah dengan bagus supaya cepat mendapat profesor,”
“Kami belum mampu melunasinya,” istri Rasman menggigit bibir. Pikirannya
menari-nari akan biaya pendidikan anak mereka dan kebutuhan rumah tangga yang
diabaikan Rasman.

“Kau
sabarlah kalau begitu,”
“Kenapa
tidak abang tunaikan haji terlebih dahulu, lalu menunaikan haji kami sekalian,”
“Aku
fokus dulu ke penelitian ini,”
“Penelitian
abang tentang haji, alangkah baiknya jika dipraktikkan langsung,”
“Ilmu
haji yang kumiliki telah cukup. Tak perlu buang-buang uang penelitian ke tanah
suci. Orang-orang yang telah pulang dari sana cukup sebagai sampel penelitian
ini.

Lagi pula, masa tunggu haji itu bertahun-tahun, tak akan dapat gelar
profesor itu lagi nanti!”

Istri
Rasman tak lagi berkutik. Rasman mengacungkan tangan. Tanda bahwa dirinya tak
lagi mau diganggu.
Malam
semakin larut. Besok wukuf di Arafah. Salat hari raya sudah lebih dari cukup
bagi yang tak mampu ke Padang Arafah.
Di
pagi yang begitu cerah. Takbir berkumandang. Rasman berkemas dengan rapi karena
ia akan menjadi khatib di kampungnya sendiri.
Berdirilah
Rasman di atas mimbar setelah salat hari raya. Rasman berapi-api menerangkan
perjalanan Ibrahim dan Ismail. Di akhir khotbah, Rasman menambahkan jurus
ampuh, ia terlupa posisinya sebagai khatib, bukan penceramah di warung kopi.
“Sebentar
lagi saya akan menjadi profesor!”
Rasman
lupa mengucap salam penutup khutbah. Rindu tak lagi menggetarkan hatinya…
Categories
Uncategorized

Suami Pengangguran, Wanita Mantan Pengawai Ini Menangis karena Makin Banyak Anak

Wanita selalu sedih kalau suami pengangguran. Wanita pasti sedih suami pengangguran. Suami pengangguran buat wanita tertekan. Suami pengangguran salahkan wanita bekerja?

Aku bekerja menafkahi keluarga kecilku. Setiap hari tiada tanggal merah dalam kalender tak tertulis hidupku. Dari pagi sampai malam menjelang waktu kuistirahatkan penat, masih saja tersisa pekerjaan yang membuatku tak bisa memejamkan mata. Sehingga jadi benar filosofi yang kudengar selama ini, tugasku tak akan pernah lekang dari dapur, kasur dan sumur!

Aku keberatan? Rasa lelah kujawab iya. Jika kulayangkan somasi atas berat tanggung jawabku, aku harus mengirim surat permohonan ganti posisi kepada Tuhan. 

Kodratku adalah perempuan yang secara tidak tertulis wajib menjalankan tiga kewajiban tersebut. Mau tidak mau, dari masa ke masa aku memikul beban yang sama dengan perempuan mana pun. 
Ilustrasi.
Saat mengandung, akulah yang susah menunggu kelahiran anak sampai sembilan bulan. Saat menyusui, akulah yang terbangun di tengah malam gulita. 
Saat mengajarkan huruf-huruf abjad, akulah yang ditanyai. Saat anakku paham bahasa, akulah yang menjadi pusat kebenaran. Saat semua masih terlelap, akulah yang pontang-panting menyiapkan sarapan di pagi buta untuk keluarga. 
Saat semua sudah tertidur, akulah yang rutin memeriksa seluruh isi rumah sampai benar-benar aman tak ada pintu atau jendela yang masih terbuka. 

Wanita Sabar Jalani Rumah Tangga Meski Suami Pengangguran

Kujalani semua amanah Tuhan kepadaku, menjaga suami dan anak-anak selalu dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin orang menganggap baik, keluargaku selalu baik. 

Aku pun membenarkan jika keluargaku tak ada prahara yang sampai membuat suami main perempuan lain, atau anak-anak mencari kesenangan masing-masing. 
Selama ini, aku masih mampu mengendalikan keluarga kami agar tetap harmonis. Dalam hal apa pun, aku selalu menuruti keinginan suami dan anak-anak. 
Namun, dalam hal tertentu aku kadang sangat lelah ingin segera membaringkan tubuh di alas lembut. 
Aku punya suami seorang pengangguran. Seharusnya tidak perlu kukatakan begitu, tapi aku harus mengatakannya. Di kota kami, suamiku termasuk seorang lelaki yang tidak punya pekerjaan tetap. 
Sewaktu lajang, suamiku kerja semrautan memenuhi kebutuhan hidupnya yang tak seberapa. Benar saja, suamiku tidak merokok sehingga tidak perlu merongoh kocek lebih banyak dibandingkan laki-laki lain. 
Untuk urusan keluarganya pun, suamiku tak ambil pusing karena anak bungsu dengan suka hati menjalani hidupnya yang mewah. Kebutuhan suamiku ditanggung saudaranya yang lain, bahkan mertuaku. 

Istri Tetap Tabah Suami Pengangguran

Kini? Semua beban material rumah tangga aku yang pikul. Akulah perempuan penuh kekuatan yang bekerja siang malam. 
Sebagai seorang pegawai negeri, tentu aku harus menghemat tenaga agar pekerjaanku tidak menumpuk. Sebagai ibu rumah tangga, aku juga punya tanggung jawab yang tidak sedikit dibandingkan laki-laki mana pun. 
Aku bekerja di salah satu kantor milik pemerintah di kota kecil kami. Keseharianku penuh dengan pekerjaan yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, sesekali aku melakukan penyuluhan keluarga sehat ke kampung-kampung terpencil. 
Aku memang bukan seorang dokter, namun pekerjaanku sangat berhubungan dengan dunia medis. Di bawah perlindungan kantorku, para dokter bisa mengepak sayap ke mana-mana memberikan pelayanan kesehatan mereka. 
Aku mengejar rejeki yang berserak, kebutuhan suami dan anak-anak harus terpenuhi sampai akhir bulan. Suamiku sudah mengganti posisi ibu untuk kedua anak kami. Nayla yang berumur enam tahun sudah duduk dibangku kelas satu sekolah dasar. 

Adiknya Nayla, Raka, baru saja berumur satu setengah tahun. Dan kedua anakku ini dibawah kendali ayah mereka. Sering pula Nayla jadi sangat keras kepala waktu kuminta mengerjakan tugas sekolah, kuperhatikan sejenak, hal itu tak lain dari watak suamiku yang sering mengajarkannya pada Nayla. 
Putri sulung kami ini sudah sangat berprinsip, di usianya yang masih kanak-kanak Nayla sudah berpikir kritis akan banyak hal dan tentu saja sudah punya keputusan kuat. Sekali Nayla katakan benar, tak akan pernah Nayla udah jadi tidak. 
Sekali Nayla ingin baju yang baru dilihat di iklan, sampai kapan pun Nayla tak akan pernah mau menerima baju yang sama walau harganya lebih mahal. 

Suami Pengangguran Makin Banyak Anak

Entahlah, aku tidak begitu tahu apa yang dilakukan suamiku sejak pagi sampai sore hari dengan kedua anak kami. Sedikit tidaknya, watak suamiku sebagai lelaki keras dan tangguh sudah tertular pada Nayla. 
Aku pun tidak bisa memungkiri bahwa anak seusia Nayla sangat mudah meniru sesuatu yang baru. Dan yang lebih mencengangkan bagiku, Raka pun ikut-ikutan rewel saat tidak ayahnya tak ada di rumah. Raka sering melimpahkan airmata di tengah malam buta saat suamiku keluar rumah nonton bola bersama teman-temannya. 
Raka pun tidak pernah mau menerima dongeng sebelum tidur saat susu formula kebanggaannya habis di lemari kaca rumah kami. Raka juga sama kerasnya dengan Nayla, dalam usia balita putra kami ini kerap menunjuk mainan mobil-mobilan mahal. 
Entah apa yang terjadi, setiap kali Raka melihat mainan di iklan kami harus membeli yang sama. Aku malah bingung bagaimana Raka bisa membedakan kemauannya. 
Suamiku punya tanggung jawab lain diluar pekerjaannya mengurus Nayla dan Raka. Di lorong rumah kami, suami dipercaya jadi ketua lorong. 
Setiap warga yang tinggal di lorong B perumahan pegawai ini wajib melapor masalah kepada suamiku. Posisi ini menjadikan suamiku bukan lagi pengangguran banyak acara, yang banyak menghabiskan waktu di warung kopi tanpa ada inti pembicaraan berarti. 
Suamiku sudah dituakan, walau gaji tak seperapa yang sering direkap menjadi tiga bulan sekali, aku patut menghela nafas setengah panjang. 

Suami Tak Ada Inisiatif Bekerja Tetap Jadi Pengangguran

Pekerjaan sebagai ketua lorong tidak sama dengan kepala desa. Suamiku tidak berkantor, tidak punya tanggung jawab khusus, tidak punya jam kerja padat pula. Orang-orang baru akan mengedor pintu rumah kami saat suatu masalah terjadi, selain rapat sesekali di balai kampung. 
Biar kupaksakan tentang apa pun, dari segi keuangan suamiku tetap seorang pengangguran. Hari itu Nayla sangat terburu. Tidak seperti biasanya Nayla ingin cepat-cepat ke sekolah. Suamiku masih belum siap dan aku pun masih mengurus Raka yang banyak tingkah sejak subuh. 
Nayla mengeluarkan lengkingan panjang di depanku. 
“Mama nggak ada sedikit pun perhatian kepada kakak!” 
Aku terperangah. Belum pernah kudengar Nayla mengeluarkan kata-kata seperti itu. Kulirik suamiku yang masih terbuai dengan berita korupsi di pagi hari. 
Suara televisi tak kalah besarnya dari suami Nayla. Seandainya rumah kami tak kedap suara, mungkin saja para tetangga akan mendengar pekikan Nayla. 
“Sabar dulu, kakak,” ujarku menenangkan. 
“Nayla tak sabar, Ma! Selalu Raka, selalu dia!” Nayla mulai mengumpat. Herannya, suamiku tak bergeming. Setiap pagi hanya aku yang sibuk menyiapkan keperluan keluarga, suamiku malah duduk manis denga secangkir kopi di depan televisi. 
Berita-berita terbaru dari media nasional akan memperkaya bahan debat suamiku dengan teman-temannya di warung kopi. 
Nayla terus mengeluarkan nada protes di sampingku. Raka pun melotot karena perhatianku terbagi. Nayla malah makin tak karuan, menarik-narik lenganku yang sedang menyuapi Raka sarapan. 
Karena aku tidak mengubris maunya, Nayla menyenggol piring nasi Raka sampai tumpah ke lantai berkeramik putih susu. 
“Nayla!” 
Mata Nayla malah menatapku tajam. Raka mulai menangis. Dan suamiku masih belum beranjak. 
“Pa, isiinlah sebentar nasi Nayla ke tempatnya!” perintahku. 
“Biasanya Mama yang isi,” jawab suamiku tak bergeming. 
Mulai lagi?

Suami Pengangguran Makin Hari Makin Egois

Pertengkaran di pagi hari hampir selalu terjadi. Tidak hanya karena alasan Nayla atau Raka. Banyak hal sepele yang membuat sabarku hilang entah ke mana. Seharusnya suamiku paham sedikit saja posisiku, paling tidak membantu pekerjaan rumah di pagi hari. 
Suami sangat mengerti aku sering tidur larut karena Raka mengamuk minta ini itu. Suami tahu juga rutinitasku di pagi hari, tidak hanya menyiapkan keperluan rumah tangga kami namun harus bergegas ke kantor yang jaraknya lima belas menit perjalanan. 
Dan suami sangat-sangat tahu, di kantor pekerjaanku menggunung sedangkan suamiku hanya menidurkan Raka lalu bisa duduk kembali di depan televisi. 
“Jam segitu mana ada berita lagi, paling berita gosip artis!” alasan suamiku setiap saat ditegur. 
Aku mendengus. Nayla tidak diam setelah menumpahkan nasi Raka. Raka menangis, Nayla ikut-ikutan adu suara dengan adiknya. Pikiranku tambah kacau. Suamiku seperti sudah tutup telinga mendengar kedua anaknya tersedu-sedan. 
Kutinggalkan Raka dan Nayla yang terus berlomba dengan suara paling keras, kudekati suami dan menyambar remote lalu kumatikan televisi yang sedang memberikan pejabat korupsi. Berita-berita itu lagi. Tidak penting-pentingnya untuk kelangsungan keluarga kami. 
“Lho? Kok dimatikan?” protes suamiku. 
“Itu!” tunjukku ke arah Nayla dan Raka. Kedua anak kami masih berlinang air mata. Raka guling-guling di lantai. Nayla berdiri dengan seragam sekolah sudah rapi. 
“Itu kan tugas Mama,” 
“Tugasku? Papa bantu dong sesekali! Sambil nonton berita tak penting itu Raka bisa disuapi, kan?” 
“Setelah Mama pergi kerja, Papa juga yang suapi Raka!” suamiku malah ngotot. 
“Oya? Jadi menurut Papa, Mama tidak ada campur tangan apa-apa dalam keluarga kita? Dari pagi sampai malam, Mama habiskan waktu untuk keluarga ini. Kok tega-teganya Papa berkata begitu?” suaraku meninggi. 
“Jadi Mama sudah capai bekerja? Pensiun saja!” 
Percuma!
Aku tidak akan pernah menang berdebat dengan suamiku. Laki-laki ini selalu berada di garis batas keinginannya. Aku sangat paham, bahkan sudah kuselami wataknya semenjak kami belum menikah. 
“Terserah! Papa ambil Nayla dan antar dia ke sekolah sekarang, biar saja tasnya kosong tak ada makan apa-apa!” putusku. Kularikan badanku ke tempat Raka. Kupungut putra bungsu kami lalu kubawa ke kamar mandi. Biasanya Raka akan mengakhiri tangisannya selesai dimandikan. 
Mudah sekali suamiku bicara putusan pensiun. Dia pikir hidup kami akan sejahtera saat aku pensiun? Tidak akan pernah. Karena akulah tulang punggung keluarga ini! 
Tak lama suara Nayla pun reda, rayuan suamiku berhasil membuat Nayla berhenti menangis. Dari sudut mata kulihat mereka berlalu. Tak lama suara dengungan sepeda motor keluar dari perkarangan rumah kami. 
Aku terpengkur. Kuperhatikan Raka lekat-lekat. Putraku itu sedang memainkan percikan air. 
Apa jadinya putra kami ini kelak? Beban istrinya juga?

Cerita ini hanya Cerpen Terbaik saja

Categories
Uncategorized

Suami Egois dan Pemalas Ini Melempar Piring Kosong sampai Retak ke Wajah Istri yang Bekerja Seorang Diri

Piring Retak – keluargacinta.com
Piring retak dan pecah pagi itu. Di rumah Safrida yang baru selesai dibangun sebulan lalu. Rumah dua kamar itu dibangun dari hasil jerih payah Safrida selama dua tahun terakhir. Rumah itu pun belum usia sepenuhnya, dapur belum jadi dan lantainya belum berkeramik.
Hari masih sangat pagi, Safrida sudah tergopoh-gopoh menyiapkan kopi dan sarapan pagi. Namun ada saja piring yang jatuh dari rak karena tersenggol tangannya. Gelas yang baru saja diambil Safrida letakkan kembali ke tempat semula. Safrida bergegas mengambil sapu dan membersihkan bekas piring sebelum suaminya terbangun. 
Tangan Safrida perih, ada bekas serpihan piring yang menyentuh jari tangannya. Safrida menggigit untuk meredakan rasa sakit dan menghentikan peredaran darah ke arah luka. Safrida sudah menggoreng telur. Cukup mata sapi saja. Sepagi ini Safrida tidak sempat menyiapkan menu sarapan istimewa. Banyak pekerjaan yang menunggunya sampai sore nanti. 
Safrida sarapan dengan terburu-buru. Telur mata sapi yang sudah ia goreng diletakkan di meja makan. Telur itu untuk suaminya. Mau dimakan atau tidak Safrida tidak peduli. 
Suami Safrida selalu terlambat bangun pagi. Biasanya Safrida sudah sampai di tempat kerja. Pesan singkat atau telepon penuh nada protes baru sampai ke telinga Safrida. Safrida sudah melayani dengan baik suaminya, menyiapkan sarapan, istirahat siang ia sempatkan pulang sebentar, menyiapkan makan siang lagi. Baju selalu dicuci dan tersetrika rapi. Suaminya tetap saja tidak puas. 
Safrida sudah duduk manis di meja kerjanya. Beberapa rekan sudah ada di meja masing-masing, sebagian yang lain ada yang belum datang. 
“Bahagia sekali Nana, dapat suami yang sangat perhatian,” Asri memulai percakapan di pagi hari. Mungkin pengganti sarapan paginya. 
“Katanya, kemarin baru dibeli mutiara dari luar negeri,” timpal Ina. “Saya sudah pernah lihat lho, jadi ingin punya juga,” 
“Coba kalau suami kita seperti itu ya?” khayal Asri. 
“Iya. Rumah saya pasti banyak perabotan mewah, mobil bagus, baju trend saat ini, uang belanja tiap hari…” 
“Benar. Dengar-dengar, suami Nana juga sering masak. Suami saya? Jangankan disuruh makan, belanja saja nggak mau!” 
Safrida tidak ikut menimpali. Asri dan Ina masih memuji-muji suami Nana, rekan kerja yang selalu datang terlambat tiap hari. Sesekali Asri dan Ina juga saling mengagumi suami masing-masing. Suami Asri yang sering membantu cuci baju di hari minggu, sampai bersihkan halaman rumah. Suami Ina yang rajin ngepel lantai tiga hari sekali. Suami mereka, punya keistimewaan yang bisa dibanggakan. Suami Safrida? 
“Suamimu bagaimana, Saf?” tanya Asri mendadak. Safrida terhenyak. Menelan ludah. Pahit. Apa yang bisa dibanggakan dari suaminya? Melihat suami yang hanya duduk tak melakukan apa-apa tiap hari sudah membuat Safrida muak. Bangun siang hari. Tidak mandi. Marah-marah. Minta uang jajan. Nonton televisi sampai larut malam. Atau menghabiskan banyak waktu di warung kopi ujung gang masuk rumah mereka. Besoknya, rutinitas yang sama. Lusa sama saja. Lusa lagi tetap sama. Sampai sekarang. 
Safrida tersenyum pada Asri dan Ina. Jawabnya cukup dalam hati saja. Suamiku masih tidur pagi ini!
***
Safrida membuka pintu depan. Suara televisi yang diputar kencang sampai terdengar ke pintu pagar. Safrida melihat suaminya berleha-leha di depan televisi. Di lantai yang belum berkeramik, gelas kopi, piring, asbak rokok, sebungkus rokok mahal. Berjajar di samping laki-laki yang belum menyadari istrinya sudah pulang siang ini. 
Dengan langkah gontai, Safrida ke dapur. Ia tidak sempat masak siang ini. Gulai kamping yang ia belikan dari warung sebelah, cukup mengenyangkan suaminya. Safrida mengambil piring, menaruh nasi, menuangkan air putih ke gelas panjang. Meletakkan di meja. 
Tahu-tahu suaminya sudah berdiri di belakang. Bau asap rokok menyesakkan napas Safrida. 
“Kau tidak masak?” suara berat itu terdengar kasar. Mata suaminya menyala seperti matahari terik di siang ini. 
“Tidak. Makan saja apa yang ada dulu,” 
“Apa yang ada? Kau pikir aku ini ayam?”
Bentakan tiap siang. Safrida sudah kebal. Tiga tahun pernikahan tidak pernah sekali pun suaminya bersikap baik. Hanya sekali, sebelum menjadi suami istri. Waktu lelaki yang ia malas sebutkan nama itu meminangnya pada ayah ibu. 
“Kau tahu? Tidak memasak untuk suami itu haram hukumnya!” 
“Ohya? Kau tahu dari mana?” Safrida tidak tahan. Tiga tahun ia boleh lemah. Tidak untuk hari ini. Omongan Asri dan Ina memacu detak jantungnya semakin cepat. Safrida sudah lelah bekerja dan melayani suami egois tiap hari. 
“Sudah berani kau sama suamimu rupanya?” suaminya berkacak pinggang. Menghembuskan asap rokok ke wajah Safrida. Safrida tidak takut. “Mau jadi istri durhaka kau?” 
“Iya! Dan kau suami durhaka!” 
Pring!
Piring pecah. Dengan cekatan, sekali hempas suaminya memecahkan piring berisi gulai kambing. Dua puluh ribu basah di lantai. Terbuang karena kebengisan suaminya. 
“Pecahkan saja semua piring yang ada!” Safrida mencoba kuat, “Nanti biar kuganti dengan yang baru!” 
“Kau istri jahannam!” 
“Kau tak lebih dari itu! Kau diam di rumah menunggu makan sedangkan aku bekerja. Kau marah tidak dimasak sedangkan kau sendiri tidak mencari sesuap nasi pun. Kau bangun siang hari. Kau habiskan waktu di depan televisi. Kau merokok dari uangku. Kau tidur di rumahku. Kau makan nasi dari beras yang kubeli. Kau ambil semua dariku tapi kau sakiti hatiku tiap saat aku bersamamu!” emosi Safrida meluap. Ia menumpahkan semua kekesalan dan kecewa pada orang yang tepat. 
“Sudah tugasmu begitu!” 
“Tugasku? Tugasmu mencari nafkah memberi makan istrimu, membahagiakan istrimu bukan mengguras tenaga istrimu!” 
“Oh, jaman sekarang istri sudah boleh bentak-bentak suami, begitu?” 
Safrida melotot. 
“Kau membentak tiap hari, aku malah baru hari ini. Bukan jaman yang kau salahkan! Dari dulu sampai sekrang suami tidak berhak membentak istri, tidak berhak memperlakukan istri sebagai pembantu dalam hidupmu! Apa salah aku melawan watak kau yang tak berubah!” 
“Berubah katamu? Kau sudah tahu aku pengangguran kenapa kau mau aku nikahi?” 
Safrida kehabisan kata-kata. 
“Kau puas setelah menikah denganku kan? Kau puas setelah aku tiduri tiap malam kan? Bukankah kau ingin memiliki suami tampan agar kau tidak malu kenalkan aku pada teman-teman kau itu?” 
Safrida duduk lemas. 
“Heh! Jangan kau kira aku tidak bisa mendapatkan yang lebih baik darimu!” 
Amarah Safrida kembali menguap. Ke ubun-ubun. 
“Ya. Carilah jika kau mau! Aku telah melayanimu dengan baik. Agamaku tidak pernah menganjurkan pernikahan seperti ini!” 
“Agamaku juga!” 
“Agamamu? Kau masih ingat agama? Kapan kau terakhir shalat?” 
Lelaki itu gusar. 
“Agamaku tidak menghalalkan kekerasan dalam perkawinan, dari jaman nabi sampai masa kini. Kau seharusnya mengerti, agamaku dan agamamu masih tetap sama!” 
Safrida melangkah meninggalkan suaminya. Lelaki yang ditinggal itu diam terpengkur. Rambutnya acak-acakan. Hatinya tak kurang acak dari itu. 
“Aku tidak wajib menafkahi keluargaku, itu tugasmu sebagai suami!” 
Safrida mengambil tas. Helm. Menarik pintu depan. Kembali ke tempat kerja. Jas yang ia kenakan sudah basah keringat. Begitu juga kerudungnya sudah miring kiri kanan. Suara televisi masih terdengar kencang. Piring di dapur pecah, mengalahkan suara televisi dengan berita seorang suami membunuh istrinya. Pecahkan saja semua! 
***
Sprei sudah diganti dengan yang baru dicuci. Safrida mematikan lampu. Hari ini lelah sekali. Suara televisi belum kecil sedikit pun semenjak ia pulang tadi siang sampai sore hari. Safrida memejamkan mata. Sekelebat bayangan suram datang. Ayah dan ibu ingin pernikahannya bahagia. Punya anak. Suami perhatian dan penuh kasih sayang.
Safrida iri dengan tetangga, Aminah sudah punya dua orang anak. Tiap pagi suami Aminah mengantar kedua buang hatinya ke sekolah dengan penuh tawa. Sore hari suami Aminah menyiram bunga di perkarangan rumah mereka. Malam harinya terdengar suara kedua anak Aminah mengaji, sesekali suami Aminah memperbaiki bacaan ngaji anak-anaknya. Tak pernah terdengar piring pecah. Tak ada bentakan. Tak ada suara televisi kencang-kencang. Tak ada asap rokok. Tak ada derita. Mereka bahagia! 
Dalam isak, Safrida merasa ada tubuh berat dan bau rokok menindih badannya. Lelaki yang sudah ia nikahi dua tahun lalu, hanya ingat padanya saat malam. Meminta berulang-ulang sampai Safrida luluh. Kerap kali Safrida menolak, lelaki yang ia sebut suami itu memaksa diiringi pukulan. Safrida tak kuat. Napasnya terengah-engah. Ia ingin berteriak. Lari sekencangnya. Memaki. Hanya dalam tangis. Kasih sayang sudah hilang dari hari suaminya. 
“Aku masih datang bulan,” tolak Safrida halus. 
“Menolak ajakan suami itu dosa besar, Safrida,” rayuan itu lembut. Safrida akan terhanyut jika tidak tersadar ia telah disakiti dari pagi sampai sore hari ini. 
“Aku benar-benar tidak bisa,” 
“Kau bohong!” 
“Aku tidak berbohong padamu,” 
“Kau pikir aku percaya?” 
“Kau harus percaya, aku istrimu!” 
“Istriku? Kalau kau merasa istriku berikan yang aku mau!” 
“Kalau kau merasa suamiku, percayalah padaku!” 
Safrida mulai terisak. Suaminya tak akan luluh dengan isak tangisnya seperti dulu-dulu. Diikuti pemaksaan dan kekerasan. Ia sudah tidak kuat. 
“Kenapa kau tidak pernah memahamiku…” 
Tangis Safrida pecah. Suaminya terpaku di sudut kasur. 
“Tiga tahun kau nikahi aku, tidak pernah semalam pun kau berbaik padaku. Kau kasar. Kau egois. Kau tahu agamamu tidak membenarkan kau gauli istri dalam keadaan tidak suci. Kau tak peduli. Kau terus sakiti aku dan juga agamaku!” 
“Ah!” suaminya pergi. Meninggalkan Safrida dalam tangis. Suaminya tidak akan pulang sebelum pagi. Safrida tidur ditemani airmata. Perih hatinya tak sebanding dengan kecewa sekian lama ia pendam. Suaminya tak berpaling padanya, mungkin ke pangkuan perempuan lain malam ini. Safrida tidak berharap itu terjadi. Ia mencintai suaminya. Biar omongan orang melecehkan tapi benar ia mencintainya. Safrida bisa mendapatkan lelaki lain. Ia perempuan sukses dalam karir. Disegani. Disantuni banyak orang. 
Safrida galau. Ayah ibu sudah mencium bahaya rumah tangganya, ia masih bingung mencari alasan meninggalkan lelaki pengangguran itu.
Categories
Uncategorized

Haram Main Bola di Pesantren Karena Ngaji Jadi Tak Benar

Ahmadi suka main bola.
Hobinya adalah main bola. Sejak masih kanak-kanak sampai kini di usia tujuh
belas tahun, ia masih kerap menghabiskan sore di lapangan bola. Tak hanya itu,
tiap ada pertandingan Ahmadi pasti akan diikutkan. Tiap ada perlombaan di
televisi seperti piala dunia, Ahmadi rela bergadang untuk menonton. Bahkan, ia
sampai menghapal nama-nama permain sepak bola dunia. Ia mengidolaka mereka,
agar kelak ia akan menjadi salah satu dari bintang itu.

Main bola pakai sarung. 
Ternyata cita-citanya
tinggal di perampatan jalan masuk rumah gubuk dekat sungai. Rumah tempat ia
dilahirkan dan dibesarkan orang tua. Di halaman rumah menjulang ke sungai itu
pula, ia sering menghabiskan waktu bermain bola. Menendang-nendang bola ke
sana-sini lalu jatuh ke sungai, itu sewaktu masih kecil dan ia menangis tidak
bisa memungut bola yang telah dibawa arus.
Mata Ahmadi berpaling
pada rumah kayu beratap rumbia. Di depan sana Mak dan Ayah berdiri melambai
tangan. Ahmadi tidak kuasa menahan airmata. Ia tidak harus menangis berpisah
setahun ke depan dengan kedua orang tua. Toh, di bulan puasa ia akan pulang
lagi. Namun ia tidak bisa memungkiri, ia sedih meninggalkan Mak dan Ayah yang
sudah sepuh. Ia anak satu-satunya keluarga ini. Ayah seorang teungku[1]
di kampungnya.  Tiap malam mengajar baca hijaiyah[2]
pada anak-anak kampung. Sedangkan Mak, hanya ibu rumah tangga. Bersawah dan
berkebun mengikuti Ayah.
Ahmadi tidak mau
berlama-lama di tengah pilu. Jejak langkah bersandal jepit itu pun meninggalkan
senyum Mak dan Ayah. Berlalu pergi.
***
Ke sinilah Ahmadi
pergi. Di kamar temaram lampu teplok dan kitab gundul. Tertatih Ahmadi mengeja
huruf Arab tak berbaris. Malam ini ia harus bisa mengartikan sebagian isi
tulisan tersebut. Mau tidak mau ia harus bisa agar seperempat jam ke depan ia
tidak berdiri di depan balee.[3]
Sudah berulang kali
Ahmadi mendapatkan hukuman yang sama. Karena sore hari ia kelelahan menendang
bola bersama teman yang sekemauan. Di dekat rawa, ada lapangan kosong
berilalang. Tiap sore mereka mencuri waktu ke sana. Bola kertas dari serpihan
koran bekas tak jadi soal. Mereka tetap beradu tapak kaki.
Malam ini, ia tidak
mau mengalami hal yang sama. Wajah bahagia Mak dan Ayah melintas. Mak mengukir
waktu dengan kata pada sesama orang kampung, membanggakan Ahmadi yang sudah
berguru ke Teungku Haji. Ayah juga demikian, walau tidak berkata banyak
tetap saja sering mencontohkan Ahmadi pada anak-anak yang mengaji di rumah
malam hari.
Suara panggilan
terdengar di daun jendela. Lonceng pun berbunyi sekali. Pertanda mereka harus
bergegas ke balee. Malam pun merambat lewat isya dan mereka sudah duduk
di balee utama di tengah padang. 



Lampu teplok menyala di depan
masing-masing santri. Semua mata tertunduk. Teungku Zubir pun
menerangkan isi kitab dengan suara lantang. Satu dua kata diterjemahkan. Sesekali
Teungku Zubir bertanya. Tak satu pun berani menjawab dan mengatakan
tidak. 



Ahmadi tidak luput dari perhatian Teungku Zubir. Harap-harap
cemas Ahmadi menunduk semakin dalam. Dalam hati ia berteriak doa, janganlah ia
yang harus mengulang bacaan kitab tak berbaris itu. Jantungnya berlari kencang.
Mencapai kamar empat persegi dan bergumul dalam selimut.
“Ahmadi, giliranmu
membaca dan menjelaskan!”
***
Desahan napas Ahmadi
terdengar berat. Di sampingnya Irham duduk membaca kitab. Mereka tinggal
sekamar dan berbeda ranjang. Ranjang Ahmadi dua kali lebih renta dari ranjang
Irham. Isi saku Ahmadi juga berkali-kali lebih tipis dari isi saku Irham yang
tiap bulan dikirim uang jajan oleh orang tuanya. 



Ahmadi lebih pahit mengecap
nasi berteman garam dan bawang, sedangkan Irham hampir tiap hari berkawan ikan
dan sayur. Tak sekali pun Irham mengajak Ahmadi makan bersamanya. Terkadang,
Ahmadi mengerutu, orang kaya memang pelit. Ia tak mau memperpanjang, walau pun
garam dan bawangnya sering hilang satu persatu. Ia pun tidak pernah bertanya
dan menuduh Irham.
Ahmadi memejamkan
mata. Episode demi episode terlintas di benaknya. Saat ia menendang bola, lalu
masuk ke gawang dan menang. Berdiri di depan santri lain lantaran tidak bisa
membaca kitab fikah[4]
dengan lancar. 



Kaidah Nahwu[5]
yang masih amburadul. Isi kitab Saraf[6] yang ketinggalan
antara bola dan angin sore. Hafalan-hafalan Al-Qur’an yang belum ia benarkan. Berkumpul
jadi satu naskah drama memenuhi episode Ahmadi yang sudah mendengkur.
“Tak usahlah kau
mendengkur kuat-kuat begitu,” bisik Irham. Ahmadi sudah tidak mendengar lagi.
Irham yang merasa terganggu sengaja menyentuh badan kekar Ahmadi. Sekali
sentuh, Ahmadi terhentak.
“Kenapa kau ini?”
bentak Ahmadi. Matanya merah, tidurnya terganggu. Mimpinya melayang bersama
bola. Irham memberi isyarat jangan ribut.
“Kau membuatku
terganggu tiap malam dengan dengkurmu, sudah cukuplah kau ganggu santri lain di
lapangan bola!”
“Maksudmu apa?”
“Apa kau tak dengar
kata Teungku Zubir?”
Ahmadi diam saja.
Tentu saja ia ingat.
“Biar aku jelaskan
lagi padamu,” Ahmadi mendengus. Sikap banyak tahu Irham menyala seperti lampu
di depannya. Minyak lampu Irham tidak pernah habis. Ia bahkan menyimpan banyak
minyak tanah di bawah ranjangnya. Jika pun Ahmadi kehabisan, tak pernah ia
minta dan tak pernah sekali pun Irham menawar.
“Coba kau jelaskan
kembali,” dengan sikap acuh Ahmadi kembali merebahkan badannya. Mungkin Irham
tidak melihat Ahmadi sudah kembali memejamkan matanya.
“Sudah berulang kali Teungku
Zaki melarang santri main bola, tak ada guna main bola tiap sore. Tujuan
utama kita ke mari untuk mengaji, dididik jadi teungku bukan pesepak
bola hebat!”
“Hm, jadi menurutmu
sepakbola itu tak baik begitu?” ternyata Ahmadi belum terlelap. Sesekali ia
patut memberi debat pada Irham yang terkadang terlalu naif pada semua santri
lain. Terlalu ikut campur akan urusan santri lain.
“Jelas. Kita bukan
dilatih untuk jadi pemain bola, kita akan jadi teungku! Belajar ilmu
agama, diamalkan, kemudian diajarkan pada orang lain!”
“Dengan begitu kau
berpikir kami akan menjadi pemain bola?”
“Kalau bukan untuk apa
juga kalian bermain bola?”
“Kau terlalu diam dan
berdiri di depan kitab kuning itu, kami juga membaca dan belajar sama
sepertimu. Ada hal tertentu yang tidak kau pahami dari jiwamu, akan
kebutuhanmu, hasratmu akan sesuatu. Kita sama-sama ditempatkan pada lahan yang
sama. Pada keadaan yang sama, kamar yang sama, kita belajar di balee
yang sama, bergaul bersama laki-laki. Tidak mungkin kau lupa akan hasratmu,”
“Aku tidak punya
hasrat bermain bola,”
“Kau tidak punya, aku
dan santri yang lain memilikinya,”
“Apa kalian akan
membentuk klub dan berlomba?”
Ahmadi terkekeh.
“Kau terlalu
meraba-raba jauh entah ke langit mana. Sepakbola tak mesti harus ikut lomba,
tak harus buat klub, tidak mesti jadi atlet hebat, tidak ikut seleksi pemain
nasional, ada yang ingin kami cari selain itu!”
“Benarkah? Aku melihat
ambisi kalian berlebihan, tak pernah mendengar omongan Teungku Zubir,
kalian hanya takut pada Teungku Haji, jika beliau datang baru kalian
lari terbirit-birit!” nada ucapan Irham jelas-jelas mengejek. Ahmadi tidak
mengubris. Terbiasa dengan sikap Irham yang kurang bersahabat.
“Kami lari bukan
takut, hanya segan beliau datang menegur,”
“Ah, sama saja! Kalian
sudah tak patuh dan tak menghormati dayah[7]
ini!”
“Siapa bilang? Itu kan
pendapat kau saja, kau yang kurang memahami arti sepakbola. Tak pernah kau
tengok santri lain mengaji lebih bagus darimu padahal baru bermain bola. Aku
dan santri lain laki-laki, kami sama-sama menyukai bola dan olahraga. Kau tak
akan pernah tahu jika kau tak suka. Badanmu tak pernah terasa keram tak
olahraga jika kau tak pernah berolahraga,”
“Itu kan olahraga
bukan sepakbola?”
“Apa bedanya olahraga
dengan sepakbola?”
Irham terhenyak. Hampir
saja Ahmadi tertawa lepas, namun tidak jadi mengingat malam sudah beranjak
jauh. Mungkin santri lain sudah tertidur. Paling tidak aman terbahak walaupun
di kamar sendiri, dinding kayu pemisah kamar satu dengan lain tidak memihak
pada suara keras.
“Olahraga itu bisa apa
saja, sepakbola juga termasuk olahraga. Membuat badanku sehat dan tidur pun
jadi cepat, selamat malam ya!”
Irham mendengus kesal.
Tidak pernah ia merasa kurang berharga. Teungku Zubir saja selalu
mengelu-elukan namanya. Tidak sebanding dengan Ahmadi yang sore main bola
malamnya tidak bisa mengeja bacaan kitab dengan benar. Irham tak pernah suka
mengajar Ahmadi, lebih baik ia menunggu panggilan Teungku Haji mengajar
santri baru nanti.
Dengan kesal Irham
kembali ke kitab fikah pada bab nikah. Berulang kali dibaca dan berulang
kali pula tidak berkonsentrasi. Diliriknya Ahmadi. Wajah tampan laki-laki itu
memang memesona. Badannya tegap. Saat belajar di balee Ahmadi lebih
cepat memahami penjelasan Teungku Zubir dibandingkan santri lain. Tiap
kali Irham mencari kelemahan Ahmadi, tiap kali pula ia menemukan kelemahannya
sendiri.
Ahmadi mungkin sudah
di alam mimpi bersama bola. Sebelum bolanya masuk ke gawang yang dipawangi
Irham ia sempat melihat Teungku Zubir berdiri di samping gawang. Memberi
isyarat magrib sudah hampir tiba, berhentilah bermain bola!
***
Pagi sekali Ahmadi
sudah terbangun. Gerimis membasahi subuh. Ahmadi melepas selimut dan bergegas
ke pancuran. Berwudhu’ dan menuju balee utama. Di sana belum ada
siapa-siapa. Hanya rintik gerimis menyentuh atap rumbia kering.
Luput dari pandangan
Ahmadi. Di depan rumahnya, tak jauh dari balee utama Teungku
Haji, pemilik dayah ini memandangnya takjup. Berulang subuh beliau
menyaksikan Ahmadi bangun pagi. Berulang juga dilihatkan Ahmadi membangunkan
santri lain. 



Namun sekali saja Ahmadi tak pernah tahu Teungku Haji
mengintip paginya. Ahmadi terlalu sibuk dengan dunia cerah miliknya. Lupa akan
suasana temaram di dayah, hanya satu dua obor yang masih menyala. Baginya,
dayah ini sudah terang tak perlu dipenuhi lampu bertenaga puluhan watt.
Ahmadi meraba korek di
saku kanannya, menyalakan lampu telpok di tiang tengah balee. Hatinya
sedikit miris. Lampu ini dua kali lipat lebih kecil dari lampu milik Irham. Namun
Irham tak pernah mau membawa keluar lampu miliknya sejengkal pun dari kamar. 



Ahmadi tak mau mengambil beban. Irham sudah begitu, dua tahun juga ia dan Irham
sekamar dan belum sepenuhnya ia memahani lelaki berbadan kurus itu.
Sekali Ahmadi menguap.
Matanya masih merasa kantuk. Apalagi dingin bergerimis, lebih nyaman berada di
bawah selimut dan melanjutkan mimpi. Ahmadi tidak berlama-lama dengan perasaan penuh
buaian manja. Ia angkat kedua tangan mencapai telinga. Memulai azan subuh.
***

[1]Sebutan untuk guru ngaji/ustad
[2]Huruf arab/baca Al-Qur’an
[3]Surau
[4]Fiqih (berisi mengenai hukum-hukum dalam berbagai permasalahan agama
Islam).
[5]Ilmu tata Bahasa Arab atau cabang dari ilmu bahasa dalam Bahasa Arab.
[6]Mengenai perubahan kata-kata atau pembagian dan pengelompokan kata-kata
Bahasa Arab. 
[7]Pesantren 
Categories
Uncategorized

Negeri Kita Adalah Negeri Copot

Ini negeri bernama Copot. Pemimpinnya seorang Pencopot. Para menteri juga berinisial tidak berbobot. Bangunan yang berdiri di negeri ini terdiri dari semen dan batu bata hampir melorot. 
Tiang penyangga sisi empat bangunan mewah itu seakan-akan bolong dan sekali diterpa angin akan merosot. 
Dan orang-orang di negeri ini kebanyakan sering sewot, lantaran hampir semua media bahkan menyorot permasalahan negeri ini.
Ilustrasi
Adalah Lolot. Seorang pintar tapi bodoh. Tiap hari mendayuh sepeda ontel ke bangunan tua di ujung jalan masuk negeri mereka. 
Negeri ini memang tidak besar, penduduk negeri ini tidak menerima pendatang baru untuk bertamu. Mungkin akan cepat cemburu melihat orang non pribumi berjaya di negeri berlimpah hasil bumi.
Nyatanya, beberapa tahun silam pendatang diusir keluar dari negeri ini lantaran iri hati dan dengki. Negeri ini kecil, tidak lebih luas dari negeri Patung Singa.
Lolot hanya julukan. Tiap pagi ia harus bangun subuh-subuh untuk mendendangkan irama gendang. Usai subuh tepatnya. 
Gendangnya menyeruak ke seluruh kampung untuk membangunkan anak cucu yang masih terlelap. Gendang Lolot sampai juga ke telinga Pencopot. 
Diiringi marah dan geram Pencopot menegur Lolot. Sekali dua Lolot mengindahkan teguran Pencopot. Lolot masih pintar karena ia merasa ada jabatan penting di negeri Copot ini.
Lolot belum berpikir ke arah lain selagi anak cucu masih bisa bangun pagi dan bersekolah. 
Jam tujuh, Lolot sudah berdiri di ambang pintu sekolah. Dengan dasi kupu-kupu ia meneriakkan lagu Indonesia Raya di pagi Senin. 
Anak-anak di barisan depan yang tidak seberapa jumlahnya mengikuti. Ada yang merasa takut dimarahi. Ada yang merasa tidak enak jika tidak ikut bernyanyi. 
Ada juga yang hanya ikut-ikutan saja. Dan ada juga yang memang mempunyai sikap nasionalisme. 
Jangan pernah tanya pada Lolot nasionalisme itu. Di pagi hari jawabannya akan semangat menjelaskan padamu akan arti nasionalisme dan sikap bela negara. 
Jika di siang hari nasionalisme akan berubah menjadi cara mendapatkan sebungkus nasi mengisi perut kosong. 
Di sore hari nasionalisme itu berubah menjadi bola yang ditendang ke sana-sini oleh pesepak bola. 
Dan di malam hari nasionalisme sudah berubah menjadi khayalan tingkat tinggi dan mimpi manis menemani tidur malam. 
Aneh, Lolot memang kolot. Pintarnya jika sudah Pencopot tidak senang dengan apa yang ia kerjakan. 
Bodohnya akan muncul jika hal-hal kecil membebani pikirannya. Lihat saja, karena belum makan siang saja sikap nasionalismenya bisa berubah begitu saja. 
Inilah Lolot. Di negeri Copot yang pemimpimnya Pencopot. Biar bodoh namun pintar, Lolot tetap kepala sekolah Kolot. 
Dari masih berumur dua puluhan tahun Lolot membangun sekolah Kolot hingga bernama sampai kini. Banyak alumni Kolot yang menjadi orang hebat. 
Contohnya pemimpin mereka, Pencopot, baru mengenal huruf abjad setelah duduk di kelas satu Sekolah Dasar Kolot. 
Guru Lolot pulalah yang mengajarkannya. 
Pencopot sudah menjadi pemimpin. Dan Lolot bangga dengan prestasi anak didiknya itu. Ke mana-mana Lolot pasti akan membanggakan Pencopot. 
Bangganya melebihi seorang ayah terhadap anaknya. Lolot tahu kelemahan dan kelebihan Pencopot. Dari masih kanak-kanak Lolot sudah mengenal Pencopot. 
Namun Pencopot tidak pernah merasa Lolot membangga-banggakan dirinya. 
Hari ini seperti biasa, Lolot memarkirkan sepeda ontel tua tidak berwarna lagi di bawah rimbun beringin depan sekolah Kolot. 
Sekali pandang matanya melihat anak-anak sedang bermain petak umpat di halaman sekolah hampir roboh bangunannya ini. Wajah mereka ceria. 
Semurah senyum matahari pagi ini. Lolot teramat senang melihat anak-anak girang gembira. 
Wajah Lolot memperlihatkan muram yang teramat dalam. Pandang matanya menepi ke seluruh sisi Sekolah Kolot. 
Dengan susah payah ia membangun sekolah ini hingga menjadi bangunan utuh dan diakui sebagai salah satu sekolah negeri. Mencetak alumni berprestasi. Membanggakan negerinya sampai ke negeri lain. 
Linang airmata Kolot menetes dan jatuh pada lengan keriputnya. Rasa sedihnya tidak terkira. 
Umurnya yang teramat beruban membuat langkah kakinya mencapai kelas hampir jatuh di tengah jalan. Tidak seorang pun yang memperhatikan. 
Anak-anak masih bermain dengan girangnya. Guru-guru lain hanya duduk bercengkrama di dalam kantor menunggu jam masuk. 
Tatih langkah Lolot peyot. Ia jatuh di depan pintu masuk kelas satu. Bayangnya melintas jauh ke tahun-tahun yang lewat. 
Saat Pencopot pertama membedakan huruf-huruf vokal dan konsonan. Lolot dengan sabar mengajarkan Pencopot yang cepat marah. 
Yang tidak mau mendengar omongan guru dan temannya. Yang tidak peduli bahwa dirinya belum bisa. Yang Pencopot tahu, dirinya bisa dalam sekali ajar. 
Egonya melintas batas pada ruang dan waktu sampai kini. Sifatnya seperti terbentuk dalam cetakan batu sehingga tidak bisa dihancurkan sekali hentak. 
Sikapnya yang tidak memahami pendapat orang lain sudah mendarah daging dan dimakan sampai keturunannya. 
Binar mata Lolot terpejam. Hatinya teriris. Mungkin ini akan menjadi bagian akhir dalam hidupnya menapak kaki di kelas ini. 
Bukan karena Lolot sudah tua dan patut pensiun. Namun karena Pencopot sudah mencopot Lolot dari jabatan kepala sekolah. 
Alasan Pencopot sungguh tidak bisa ditebak. Lolot diturunkan jadi guru biasa dan dipindahtugaskan ke sekolah lain. Mungkin lucu, mungkin serius. 
Karena Lolot sering menegur jalan langkah Pencopot sebagai pemimpin. Pencopot yang sensitif langsung berinisiatif Lolot sudah tidak memihak padanya. 
Sudah tidak sekutu. Lolot tidak mengerti. Apalagi Lolot tidak pernah membuat salah, dan Sekolah Kolot makin hari bahkan semakin maju. 
Lolot terdiam di depan pintu kelas satu. Membayangkan wajah Pencopot kecil. Dengan wajah memerah karena membaca masih terbata-bata. 
Lolot iba. Bahkan sampai kini. 
“Kenapa kau mencopot jabatanku, nak?” tanya Lolot mengiba di tengah hari setelah pencopotan dirinya dari Kepala Sekolah Kolot. 
Lolot merasa Pencopotlah yang bertanggung jawab atas tindakan ini. Kali ini Lolot yang meminta belas kasihan pada mantan muridnya yang sudah menjadi orang besar. 
“Tidak mungkin kucopot jabatan Pak Lolot,” bela Pencopot. Masih belum berpaling dari komputer di depan meja kerjanya. Lolot duduk di kursi tamu. 
Tidak digubris dan dimanjakan dengan sangat hormat layaknya murid kepada guru. 
Tanpa memalingkan wajahnya Pencopot kembali berkata, “Pak Lolot mengerti sendirilah, engkau guruku. 
Dan kini kau juga masih guruku, mungkin ini yang terbaik untuk orang setua Pak Lolot. Biarkan anak-anak muda yang memimpin. Jangan egoislah, Pak Lolot!” 
Lolot melotot. Sikap Pencopot semakin tidak wajar. Kecil dulu sikapnya tidak sekasar ini. 
Sekarang sudah mencapai taraf yang tidak mungkin Lolot saingi. 
Waktu kecil Lolot bisa memukul dengan sebiji lidi, sekarang Lolot hanya diam dibalas pukul dengan omongan tak hormat. 
“Janganlah Bapak bersikap seperti itu, saya jadi tak enak,” Pencopot menuangkan secangkir kopi ke cangkir putih. 
Lolot menelan liur. Diajak minum pun tidak. 
Bayang menyemu, di mana Lolot memberi segelas kopi di hari yang dingin saat Pencopot mendapat nilai merah di raportnya. 
Menemani dengan membawa cerita lucu. Pencopot tertawa, Lolot ikut membawa tawa. 
“Beginilah pemerintahan, Pak Lolot,” kata Pencopot seperti mengajar gurunya sendiri. 
“Ada pergantian dan refresh terhadap sesuatu biar lebih fresh,” 
Dalam hati, Lolot tersindir dengan gaya bicara Pencopot. 
Dulu pelajaran bahasa Pencopot tidak pernah naik menjadi angka tujuh. Mengeja huruf abjad juga tidak pernah sampai lancar. 
“Bukankah kinerja juga harus dipertimbangkan?” tanya Lolot kembali. 
“Benar. Tapi kinerja tidak diikuti dengan peraturan pemerintah juga tidak bisa ditolerir,”
“Peraturan yang mana? Kami sudah menjalankan dengan benar,”
“Peraturan yang tidak tertulis dan tidak seharusnya ditulis, Pak Lolot. 
Peraturan itu ada karena saya masih duduk di kursi ini sampai akhir masa jabatan nanti,” 
Lolot mengerutkan kening yang sudah berkerut. 
“Peraturan pendidikan yang benar saya sudah jalankan semenjak dulu, saya rasa tidak ada peraturan lain yang harus saya patuhi,”
“Nah, ini!” Pencopot bangkit dari duduknya. 
“Salah satu contoh peraturan yang Pak Lolot langgar! Saya sudah tekankan, selama saya masih ada di ruang ini, semua harus ikut aturan main saya, mengabdi sepenuh hati pada saya, menerima keputusan saya, mendukung saya, menghormati saya, dan tidak membantah omongan saya!” 
Pencopot memainkan pena di depan meja duduk Lolot. Lolot menciut. Kecewa. Banyak sakit yang didera hatinya. 
“Pahamkah, Pak Lolot?” Lolot mengeleng.
Pencopot naik pitam. Ditekan kuat-kuat pena ke dasar meja sampai patah. 
“Anda sering mengusik kenyamanan saya, Pak Lolot!”
“Bagian mana?”
“Bagian yang seharusnya tidak Anda gendangkan tiap pagi, Anda tahu berapa banyak pendukung saya lari terbirit-birit mendengar gendangan lagu jelek Anda di pagi hari?” 
“Saya hanya mendendang membuat anak-anak bersekolah,”
“Ya, Anda telah melanggar peraturan itu. Sekolah Kolot hanya mencetak generasi kolot. Generasi yang tidak bisa menerima pemimpin yang adil, demo di mana-mana, protes ini itu, tidak terima diperlakukan dengan tidak baik, meminta diberikan yang bukan mereka. Saya sudah berikan semua, menjadikan Copot menjadi negeri bermartabat. Disegani banyak orang. Disenangi banyak kalangan. Mana mungkin Anda tidak mengerti ini, Pak Lolot?” 
“Mereka memprotes karena ada alasan, mereka sudah mendukung Anda tapi Anda malah mengabaikan mereka, mereka menjadikan Anda nomor satu malah Anda menjadikan mereka nomor dua, mereka meminta Anda memperbaiki negeri ini Anda malah bersenang-senang dengan kemewahan Anda,” 
“Benarkah?” Pencopot makin marah. Lolot malah senang. Biarkan ia dicopot dari segala jabatan, ia akan berbangga telah mendikte kembali Pencopot setelah sekian tahun tidak ia ajarkan. 
“Benar. Massa tidak mendemo jika kau berikan yang mereka mau, tidak akan aksi protes jika kau buat peraturan sesuai undang-undang yang berlaku, mereka tidak menjelekkanmu jika kau bersikap sopan,” 
“Saya sudah melakukan itu, Pak Lolot!” 
“Mana buktinya? Murid Sekolah Kolot mogok setelah kau copot jabatanku? Mereka tidak menerima tindakanmu. Kau tahu? Mereka sudah bosan dengan bualanmu mengenai kesejahteraan, mereka letih dengan kepongahanmu!”
“Terlalu panjang omonganmu, Pak Lolot. Tidakkah Anda tahu saya seorang pemimpin? Saya yang berhak mengatur semua urusan negeri ini, saya yang memberi perintah. Termasuk Anda keluar dari ruang kerja saya!” 
Lolot terkejut bukan main. Benar kata banyak orang. 
Pencopot makin tamak dengan jabatannya. Lolot masih merasa tidak bersalah akan hal yang ia jalankan. 
Ia memimpin sekolah dengan baik. Anak-anak menyenanginya. 
Orang tua mengharapkannya tetap memimpin. Masyarakat menerima pemikiran dirinya memajukan sekolah. 
Letih Lolot berdebat. Tahunya Pencopot sudah meninggalkan sopan santun di atas kebanggaannya terhadap tahta. 
Negeri ini tidak berubah semenjak Pencopot memimpin Copot. Copot makin copot. Rontok satu persatu tiang penahan keperkasaannya. 
Categories
Uncategorized

Jodoh di Telapak Kaki Ibu

jodoh di tangan ibu
Ilustrasi – centroone.com
Jodoh di Telapak Kaki Ibu – Sulit sekali rasanya mengutarakan isi hatiku pada perempuan setengah baya yang tak pernah beranjak dari kursi belakang rumah kami, kecuali untuk ibadah dan tidur di malam hari. Kursi itu terbuat dari rotan berwarna cokelat muda, terdapat bagian meletakkan kaki di ujung memanjang ke depan, alasnya kami lekatkan bantal tipis berwarna biru muda, dan tempat sandaran kami balut dengan kain warna putih. 
Aku ingin menikah, Bu!
Ibu tidak pernah mau diganggu, ingatan Ibu masih tajam walaupun usianya sudah mendekati angka delapan puluh. Satu hal yang tidak pernah Ibu tinggalkan, berdoa dan membaca kitab suci di pagi hari. Belakangan, Ibu sudah tidak bisa lagi membaca karena matanya kian kabur, Ibu masih tetap mengenali kami satu persatu. Termasuk Ustad Wahed yang selalu datang tiap jumat sore, mendiskusikan hukum-hukum agama dengan Ibu. 
Sebagai bungsu dari lima bersaudara, aku selalu menuruti semua keinginan Ibu. Keempat kakak perempuanku sudah berkeluarga dan memiliki karir yang sangat benderang. Kakak tertua, Sita, baru saja pulang dari luar negeri menyelesaikan pendidikan doktoralnya. Kakak kedua, Irma, sudah menjadi dokter spesialis kandungan yang sangat disegani di kota kami. Kakak ketiga, Mina, menjadi satu-satu perempuan terpenting bagi keluarga dan kota kami, dua tahun lalu Kak Mina menjabat sebagai wakil walikota dan sangat sibuk dengan kegiatannya. Kakak keempat, Wati, belum lama ini dipromosikan menjadi dekan di kampusnya. Dan aku? 
Entahlah. Mungkin hanya aku satu-satunya putri termalang dalam keluarga ini. Di usia 30 tahun aku seperti pesuruh bagi keluargaku sendiri. Kak Wati memang tinggal bersama kami di rumah Ibu, tetapi semua pekerjaan rumah kukerjakan sendiri tanpa dibantu Kak Wati maupun kedua anaknya yang sibuk kuliah. Usai subuh aku sudah ke pasar membeli kebutuhan dapur dengan sepeda motor butut satu-satunya pemberian Ibu, setelah itu aku membersihkan rumah, menyiapkan sarapan untuk Ibu dan keluarga Kak Wati, bolak-balik memapah Ibu ke kamar kecil saat dibutuhkan, sepanjang hari tiada henti aku bekerja, lewat jam sebelelas aku baru bisa beristirahat dengan tenang. Belumlah terasa tidurku sudah nyenyak, belum pula suara azan subuh, Ibu kembali memanggilku ke kamar mandi untuk wudhu dan menemaninya shalat malam dalam terkantuk. 
Aku lupa kapan terakhir bersenang-senang!
Dalam pendidikan aku jauh tertinggal dibandingkan keempat kakakku. Ibu hanya mengizinkanku belajar sampai sarjana. Lima tahun lalu, aku sangat bahagia ketika dinyatakan lulus beasiswa keluar negeri. Tetapi Ibu, “Kamu tidak boleh jauh-jauh dari Ibu, Cut! Siapa yang ngurus Ibu kalau kamu pergi, siapa yang masak, siapa yang bersihkan debu di rumah, siapa yang nyapu lantai kotor, siapa yang…”
Keputusanku sudah bisa ditebak. Aku gagal berangkat keluar negeri. Keempat kakakku? Satu pun tidak membela adik bungsu mereka. Bahkan mereka hanya mementingkan keperluan masing-masing, pamer telah pernah singgah di negeri ini dan itu. Semuanya membuatku iri, membuatku tidak berharga, tidak ada yang bisa kubangga-banggakan di depan saudara-saudaraku saat mereka berkunjung ke rumah. Tetap saja, dengan baju lusuh, kerudung kusam, aku menyiapkan minum untuk tamu sedangkan kakak-kakakku dengan baju mahal dan wangi hanya duduk manis di kursi empuk. 
Dan soal usiaku yang terus bertambah, tidak ada satu pun dari mereka yang menawarkan lelaki untukku. 
Mereka tahu, aku tidak kenal dekat dengan laki-laki mana pun!
***
Mungkin, hari ini menjadi sangat spesial bagi kami. Ibu mengumpulkan seluruh keluarga di rumah sesusai magrib. Seorang diri pula aku membuatkan makanan enak seperti pesanan Ibu sebelumnya. Keempat kakakku dan suami mereka sudah datang dan berada di meja makan. Sepertinya, ini masalah serius, pertemuan ini hanya dihadiri orang-orang dewasa tanpa anak-anak. 
“Kalian sudah menebak maksud undangan ini, Ibu rasa tidak perlu juga berpanjang ucapan. Ibu sudah memutuskan akan mewariskan rumah dan segala isinya pada anak Ibu yang telah lelah merawat Ibu selama ini. Kalian sudah punya harta sendiri dan pekerjaan, Ibu tidak berikan jatah apa-apa lagi walaupun kalian memaksa. Peninggalan Ayah hanya rumah dan isinya, tidak ada emas maupun permata yang Ibu simpan untuk kalian!” 
Keempat kakakku sama-sama tidak menyahut. Dari wajah mereka dapat kulihat penolakan, terlebih Kak Wati yang sudah berharap rumah ini menjadi miliknya. Kak Wati belum membangun rumah, lebih memilih membeli mobil mewah untuk dirinya, suaminya dan kedua anaknya. Jika malam hari, bisa dibayangkan tiga mobil berdiri di depan rumah kami. 
Malam yang semakin bisu, suara denting piring terdengar sesekali. Kami tidak ada yang membantah dan menolak perkataan Ibu. Sepertinya Kak Wati juga menerima, walau dalam keadaan tertekan. 
“Ibu tidak mengusir kamu, Wati,” mungkin Ibu mengerti risau hati Kak Wati. “Kamu beserta keluarga masih bisa tinggal di sini jika Cut tidak keberatan, Ibu pun bisa tidak diizinkannya jika dia mau. Ibu memberikan rumah ini kepada Cut tanpa mengucilkan kalian. Kalian paham ke mana pembicaraan ini, sudah lama Ibu mengistimewakan kalian!” 
Aku sangat berniat memotong perkataan Ibu, melihat reaksi keempat kakakku yang lain akhirnya aku memilih diam juga. 
“Kabar terakhir, Ibu pun tidak meminta pendapat kalian setuju atau tidak. Pilihan Ibu ini harus kalian setujui walau dengan berat hati. Cut sudah harus kita kawinkan, laki-laki yang beruntung itu sudah Ibu putuskan adalah Ustad Wahed,” 
Ini yang paling mengejutkan dibandingkan perkara warisan. Bagaimana bisa Ibu mengambil keputusan demikian? 
Jodoh itu soal rasa, Bu!
Ustad Wahed? Laki-laki itu memiliki wajah berseri-seri, tutur katanya teramat sopan, dalam diam saja memiliki daya tarik tersendiri. Ibu terlalu berlebihan menjodohkanku dengan laki-laki yang mungkin lebih muda dariku. Ustad Wahed pun sudah hafal kebiasaanku mulai dari pintu masuk sampai belakang rumah, di dekat kursi Ibu, depan kolam ikan, tanaman kecil-kecilan, jemuran pakaian, gudang penuh barang, dan beragam pemandangan yang merusak penglihatan lainnya. 
“Sudah Ibu tanyakan baik-baik pada Ustad Wahed, beliau setuju dan menerima Cut sebagai jodohnya. Kita memerlukan orang alim agama dalam keluarga, semenjak Ayah tiada shalat magrib berjamaah saja sudah kita tinggalkan. Cut sudah lama menunggu kapan dikawinkan. Ibu paham isi hati Cut selama ini, mengurus Ibu seorang diri tanpa meminta imbalan apa-apa,” 
Sudah, Bu. Aku tidak berani mengutarakannya,mengenai jodoh itu. 
Malam terus merangkak, ketiga kakakku pulang ke rumah masing-masing. Tinggal kami bertiga setelah suami Kak Wati pamit istirahat. 
“Pilihan Ibu pasti terbaik, Cut,” ujar Kak Wati. Kupikir Kak Wati akan menyinggung warisan rumah yang jatuh kepadaku secara tidak sah di mata hukum.
“Apakah pantas, Kak?” tanyaku hati-hati. Ibu duduk sambil memejamkan mata di tempat semula. 
“Ustad Wahed sudah menerima artinya kalian berjodoh, beliau pasti sudah lama sekali memperhatikanmu. Ibu pun memperhatikan kalian berdua. Orang tua terkadang lebih peka terhadap sesuatu tanpa kita sadari, kamu harus mendengarkan Ibu!” 
Aku mendengarkan, kali ini aku akan mengikuti, seperti yang sudah-sudah. 
Jodoh memang soal rasa, kupikir Ibu telah memilih yang sangat tepat untuk pendamping hidupku. Selama ini aku terus menyalahkan Ibu, karena alasan yang menurutku tidak masuk akal saat Ibu melarangku berhubungan dengan laki-laki lain, melarang pula saatku ingin keluar negeri, melarangku kuliah lagi walau di dalam kota ini saja. 
Seorang Ibu telah merencanakan dengan baik setiap putusannya.
Dan aku, kembali harus menurutinya. – Jodoh di Tangan Ibu
***
Categories
Uncategorized

Bolehkah Aku Mencintaimu Saja Tak Lebih dari Itu?

bolehkah aku mencintaimu saja
Ilustrasi – gambar-katakata.com
Bolehkah Aku Mencintaimu Saja Tak Lebih dari Itu – Sebagai perempuan dia memang terlahir cantik, sampai saat ini dia dipanggil dengan nama Cantek! Mungkin masa mudanya perempuan ini memang sudah cantik sehingga orang-orang memanggilnya demikian. Cantek belumlah tua, belum sampai empat puluh. Beban hidupnya yang menjadi Cantek tua, menikah di usia tujuh belas membuat Cantek jauh dari orang tua. 
Cantek sudah punya dua orang anak, keduanya perempuan. Si bungsu baru kelas satu SMA dan si sulung masih kelas empat SD. Cantek terlihat sangat tegar dengan hidupnya yang semakin tak terurus. Cantek tetap bangun di pagi hari, ke sawah ketika musim tanam maupun panen. Selebihnya Cantek ke kebun karet, menjadi penarik karet bukanlah pilihan tepat untuk warga kampung Cantek. Rata-rata penghasilan mereka tidak tercukupi dengan harga karet yang rendah, belum lagi jika musim hujan tiba harapan menjadi kaya tertinggal sudah. 
Dalam benak Cantek, hidup terus berjalan dengan pasti. Kedua anaknya butuh tempat berlindung dari kerasnya dunia yang semakin galau. Cantek kemudian bekerja di salah satu rumah orang terkaya di kampungnya. Orang kaya ini banyak anak, banyak pula pakaian kotor yang musti dibersihkan. Di sinilah keberadaan Cantek sepulang dari kebun karet. Cantek mengumpulkan sisa tenaga menyempurkan hidup keluarganya dari lapar. Cantek menampakkan wajahnya begitu cantik di hadapan semua orang, sampai rasa lelah mengakhiri sepanjang waktu di setiap hari. 
***
Petaka besar itu datang sepuluh tahun lalu. Cantek tak pernah membayangkan bahwa hidupnya akan berakhir sebagai tulang punggung keluarga. Mengurus anak-anak dan suami. Benar! Suaminya sendiri! 
Cantek mendengus. Seharusnya laki-laki yang disebut suami itu yang mencukupi kebutuhan rumah tangga mereka. Tidak perlu dicari alasan apapun, karena musibah itu Cantek jadi perempuan tersabar di kampung ini. Ke mana langkah Cantek dan kedua anaknya selalu mengharap iba dari orang lain, sebenarnya orang yang memberi iba pada mereka. Seakan kedua anaknya sudah yatim, orang-orang berdatangan memberi sedekah di hari besar untuk kedua anaknya. Padahal di dalam kamar pengap, suaminya terbaring sendiri. 
Cantek duduk termenung, waktu tidak bisa ditarik kembali menjadi sebuah penghalang dari masalah keluarganya. Waktu pula yang telah merenggut bahagia yang diingini semua perempuan saat sudah menikah. Cantek sudah menjalani hari-hari penuh bahagia bersama suami dan anak-anaknya. Bahagia yang tidak sembarang bahagia. Bahagia yang membuat seluruh persendian lemas dan ingin segera diistirahatkan. Cantek tidak bisa melakukan itu, jika Cantek istirahat panjang seperti suaminya maka kedua anaknya akan merana seumur hidup mereka. 
Katanya, suami Cantek kena karma. Entah karena apa. Katanya, kutukan keluarga. Katanya penyakit keturunan. Cantek tidak percaya begitu saja, suaminya menderita luka yang tak terperih. Cantek mengenal laki-laki yang kini dia sebut suami sebagai laki-laki yang sangat gagah, tidak pernah terlintas dalam benak Cantek suaminya akan cacat seperti sekarang. Dulu, bahkan Cantek sangat bangga bersuamikan laki-laki yang kini terbaring tak berdaya di kamar sepi tak bersuara. Untuk makan sesuap nasi saja suaminya sudah tidak sanggup, bagaimana untuk mencari sebutir beras di tanah sering basah lantaran hujan sepanjang tahun! 
Cantek berdiam diri saat semua mata menuduh dirinya membawa petaka. Cantek bersabar pada keadaan yang menuntut dirinya melupakan luka merubah jadi suka. Seandainya Cantek bukan perempuan baik-baik, sudah dari dulu Cantek tinggalkan suami dan anak-anaknya. Baiknya Cantek menikah lagi dengan laki-laki yang sempurna dari fisik dan batin. Cantek masih muda, Cantek bisa melakukan itu. Cantek masih meletakkan semua nafsu akan kepuasan dirinya di pilihan terakhir saat semua harus diakhiri. 
Biar pun keluarga suami memandang sebelah mata usaha Cantek merawat suami seorang diri, Cantek tidak mengeluh. Sejak dulu, saat mereka pertama membina rumah tangga Cantek sudah tahu bahwa keluarga suaminya tidak begitu menerima kehadiran dirinya. Modal cantik bukanlah aturan utama dalam keluarga suaminya yang petani ulung. Modalnya tak lain adalah mampu bekerja sebagai buruh kasar di sawah dan kebun karet. 
Sebelum suaminya masih mampu menjelajah isi kampung mencari rezeki, Cantek tak pernah bekerja. Cantek hanya duduk di rumah menemani tubuhnya agar terus terawat cantik. Dalam keseharian Cantek hanya menunggu suami pulang membawa bekal makan mereka. Mertua yang sering mengecoh asal kata sering mengumpat kelakuan Cantek. Cantek menulikan semua ratapan mertuanya. Sampai akhirnya Cantek pindah ke rumah sendiri, sebuah rumah kecil berdinding kayu dan atap rumbia. Di sinilah Cantek bersama suami memulai musibah besar dalam hidup mereka. Musibah yang tak pernah akan dilupakan Cantek sampai kapan pun. 
Suaminya jatuh di kamar mandi. Itu sebab! Cantek tahu itu awal mula perkara itu. Beberapa hari sebelum kejadian itu, suaminya berkali-kali mengeluh sakit dipergelangan kaki dan tangan. Cantek masih terus memaksa untuk ke kebun karet di pagi hari, lalu ke sawah sampai menjelang senja. Sedangkan Cantek mempercantik diri di rumah bersama kedua anak mereka yang semakin tumbuh besar. 
Kejadian itu berlanjut pada sesuatu yang tidak pernah Cantek pikirkan. Suaminya tidak pernah bangun dari jatuhnya. Cantek memekik. Kedua anaknya histeris. Tetangga berdatangan. Hari sudah semakin senja, tak lama azan magrib berkumandang! 
***
Cantek melihat laki-laki yang disebut suami terbaring lemah di kasur berjamur. Laki-laki itu tak berdaya. Berbagai usaha sudah dilakukan Cantek untuk mengobati suaminya. Hasilnya tidak pernah merubah suaminya menjadi laki-laki gagah seperti pertama kali mereka bertemu. Laki-laki itu tetap terbaring lemah. Tetap tak bisa menggerakkan seluruh tubuhnya. Tetap tak mampu melafalkan kata-kata menjadi kalimat panjang meminta pertolongan. Akhirnya, Cantek berinisiatif sendiri. Pagi hari waktu sarapan, lalu buang air besar maupun kecil. Siang hari makan siang dilanjutkan dengan tidur. Sore hari makan malam sebelum kembali terlelap, walau Cantek tahu mata suaminya tak pernah terpejam. Suaminya terus memadang kosong ke seluruh penjuru, membuat Cantek teriris. 
Tatapan mata suaminya tidak bisa ditipu. Tatapan yang meminta pertolongan. Namun tidak hanya itu saja, tatapan itu lebih kepada permohonan maaf atas ketidak-berdayaannya dalam mengendalikan perekonomian keluarga. Cantek selalu memaling dari mata suaminya. Tubuh suaminya memang tidak bisa bergerak, tapi hati dan perasaan tetap merasa suasana alam nyata! 
Sepuluh tahun lalu bagai waktu yang sangat lama sekali. Hari-hari yang sangat melelahkan. Hari-hari yang penuh beban fisik dan batin. Satu dua keluarga suami yang awalnya rajin membantu sekarang hilang satu persatu. Cantek sadar bahwa kebutuhan hidup mereka juga harus tercukupi. Keluarga Cantek sendiri sesekali datang berkunjung, itu pun tak lama karena kehidupan keluarganya juga tak lebih baik dari dirinya. 
Waktu tidak membuat suami Cantek sembuh dari rapuh tubuhnya. Simpanan terus terkuras habis membiayai pengobatan, mulai dari pengobatan alternatif hingga ke dokter. Sembuhnya tidak cepat, butuh bertahun-tahun. Sampai sepuluh tahun kini, suami Cantek baru bisa mengerakkan telunjuk meminta sesuatu yang diingininya. 
Cantek memilih mundur dari penglihatan suaminya, kedua anaknya sering menemani ayah mereka. Cantek tidak lelah mengurus suaminya. Cantek tak sanggup berlama-lama menatap mata laki-laki yang sangat dicintainya terbaring lemah. Laki-laki itu tidak berdaya, memandang dengan tatapan penuh makna. 
Cantek menyibukkan diri lebih banyak pada pekerjaannya. Hari-hari lewat lebi cepat, namun suaminya tidak pernah menampakkan perubahan akan sembuh. 
***
Laki-laki itu, suami Cantek dikata dokter sakit lumpuh. Jika orang-orang pintar itu mengatakan strok. Bagi Cantek suaminya tidak sakit apa-apa. Suaminya hanya butuh waktu istirahat lebih panjang setelah lelah menghidupi keluarganya di masa muda lalu keluarga kecilnya bersama Cantek dan anak-anak. Hanya saja, Cantek yang menerima musibah ini, karena setelah menikah dengan Cantek suaminya lumpuh. 
Cantek berprasangka baik pada keputusan Tuhan. Selama Cantek berusaha maka semuanya akan ada jalan. Suaminya terlihat sangat putus asa jika melihat Cantek bersedih. Tidak ada pegangan lagi jika Cantek menghindar dari masalah ini bagi suaminya. Keluarga suaminya sudah pada aktivitas mereka yang tak tentu. Bertani dan berkebun. Melepas tanggung jawab dengan meninggalkan suaminya serta anak-anak dalam luka bukanlah pilihannya. Cantek belum menutup mata untuk itu. 
Dalam setiap sujud, Cantek mengemis pada Pencipta. Mungkin Dia sudah bosan memberikan senang pada Cantek dan keluarga. Mungkin juga Dia sangat tahu akan sehat suaminya, bisa saja keluarganya tak terjaga dengan baik. Cantek menepis prasangka tidak baik akan keputusan Tuhan terhadap keluarganya. Biarkan waktu yang menjawab semua tanyanya!
Dan malam itu semakin larut, Cantek diam di dekat pembaringan suaminya. Sepuluh tahun sudah. Tidak ada tanda-tanda laki-laki itu bisa menyuapi sendiri nasinya. Laki-laki itu merengek dengan suara tak jelas. Sekujur tubuhnya tak merespon tangan Cantek yang menyentuh. Laki-laki itu mengucap kata-kata tak bermakna. 
Sesekali Cantek melihat wajah sayu suaminya. Cantek bertahan dalam diam. Sebagai perempuan Cantek terlampau abai akan dirinya sendiri. Cantek masih termasuk perempuan muda yang bisa punya keturunan lagi. Cantek pun masih bisa mencari laki-laki lain. 
Cantek menepis semua galau. Baginya, merawat suami yang tak sehat sudah memuaskan segala rasa yang dimiliki. 
Tak akan lama lagi, semua ada batasnya!
***
Bolehkah Aku Mencintaimu Saja?
Categories
Uncategorized

Cerita Seorang Keturunan China yang Rindu Kota Beijing

perempuan china berjilbab
Ilustrasi –  cepologis.com
“Rindukah kamu kepada Cina, Mei Ling?”

Rindu? Dia mengutarakan sebuah rindu padanya. Ia tidak perlu tertegun dengan pertanyaan yang sama. Dia bertanya sejak mereka masih kanak-kanak, sehingga sebuah cinta mengikrari hubungan mereka menjadi dekat. Dia bertanya seolah-olah, ia tidak pernah ingin ke sana. Ke tempat yang jauh sekali dan entah bagaimana rupanya, mungkin saja hanya dihiasi oleh orang-orang berkulit putih dan bermata sipit saja. 
“Jika kamu rindu, mari kita rayakan kerinduan itu!” 
Oh, apakah itu berupa ajakan. Ia tahu benar maksud tersirat itu. Dia tidak pernah terang-terang mengajak atau meminta pendapatnya untuk berlibur ke sana – tahulah maksud sana itu. 
“Mungkin, jika aku berbohong, kamu pun tak akan percaya,” ujar Mei Ling tanpa berpaling dari pria yang duduk di hadapannya. 
“Ayo kita realisasikan rindu itu!” tegas pria yang telah serumah dengannya lebih lima tahun lalu. Seorang anak berusia empat tahun telah menyemai rumah tangga mereka menjadi lebih semarak. 
“Untuk apa?” pertanyaan Mei Ling terkesan terpaksa. Ia sering bertanya pada diri sendiri, tentang itu, tidak perlu jawaban karena ia tidak pernah dapat. 
“Kita lihat Beijing!” 
“Aku tak dilahirkan dan dibesarkan di sana,” ujar Mei Ling masih ketus. 
“Nenek moyang kamu berasal dari sana,” suaminya tak menyerah. 
“Aku lancar berbicara bahasa Aceh dari pada bahasa Mandarin,” 
“Itu hanya alasan. Lagi pula itu terjadi karena kamu tinggal di tanah Aceh,” 
“Aku tidak mau membahas itu,” 
“Kenapa?”
“Karena aku tak tahu mau ke mana jika ke Beijing!” nada suara Mei Ling berbeda. Pria yang duduk di depannya menatap teduh. 
“Anggap saja liburan panjang,”
“Aku tak bisa menganggapnya, karena aku keturunan orang itu, seperti katamu,” 
Pria yang masih mengenakan kopiah hitam usai menunaikan salat magrib di masjid depan rumah mereka, tertegun sesaat. Dia tidak putus asa untuk meyakinkan istrinya supaya berlabuh sebentar ke tanah Beijing. 
“Kamu tahu orang tuaku pun lahir dan besar di sini, nenek kakekku juga serupa. Orang tuaku saja tak pernah bermimpi dan bercita-cita berlayar ke negeri Cina. Karena kami tahu, tak ada saudara yang bisa kami kunjungi di sana. Kami telah sebatang kara dan beranak-keturunan di tanah asing. Tak ada sepetak tanah tersisa untuk kami di Cina!”
Dia memahami. Paham betul ucapan istrinya karena dua manusia ini adalah teman masa kecil di kampung Cina, di Banda Aceh. Dia main hujan, Mei Ling ikutan. Dia belajar mengaji, Mei Ling ikut juga walaupun orang tuanya melarang. Dia ke sekolah agama, Mei Ling mengekor di belakang walau kedua orang tuanya telah mendaftarkannya di sekolah umum. Mei Ling lebih paham Islam dibandingkan agama nenek moyang. Bukan cuma karena dia seorang, tetangga dan kawan sepermainan lain juga mendukung hal demikian. Saat Mei Ling memutuskan yakin terhadap Islam, kedua orang tuanya tidak melarang. Kehidupan dewasa Mei Ling akan tetap di Aceh, walau rindu tidak terperi selalu menghantui langkahnya untuk ke tanah Cina. 
“Aku bisa ambil cuti dari kantor,” dia kembali bersuara dengan penuh semangat. 
“Tak usah kamu lakukan itu, Agam!” suara Mei Ling setengah berteriak. Cut Nyak Mutia tertidur pulas di ruang keluarga tak jauh dari mereka. Mei Ling menyebuti suaminya dengan nama jika ia telah berada di atas sabar. Suaminya tidak memprotes karena pun usia mereka hanya berbeda dua bulan lebih tua dari Mei Ling. 
“Aku butuh refreshing, Mei Ling,” tegas Agam tersenyum simpul. 
“Tak musti juga ke Cina!” putus Mei Ling sambil menarik piring nasi di depan Agam dengan terpaksa. Ia tak habis pikir dengan suaminya yang lebih memilih merayu ke Cina dibandingkan menghabiskan sepiring nasi dengan lauk udang dimasak santan kesukaan Agam. 
“Tidak takut kamu durhaka kepada suami, Mei Ling?” Agam mengedipkan mata. Pria itu selalu punya cara meluluhkan hati istrinya. Kelembutan dan kehangatan yang tersimpan dalam diri Agam yang mengantarkan cinta berlebih di hati Mei Ling. 
“Apa aku akan durhaka dengan paksaanmu?”
“Aku tidak memaksa, Mei Ling. Aku menyampaikan ini karena aku pun ingin menikmati keindahan negeri nenek moyang istriku,” sifat Agam tak lebih seperti Mutia saat anak mereka merajuk meminta sesuatu. 
“Kamu menyebut durhaka, seakan ini perintah yang tak boleh kubantah,” Mei Ling meletakkan piring kotor ke tempat khusus, dicuci besok pagi sebelum ia berangkat ke toko elektronik warisan keluarga dan sedikit tambahan modal dari Agam. 
“Mana tahu malaikat mengaminkan, Mei Ling,”
“Abang….,” bentak Mei Ling. Jika sebutan telah menuju ke pengungkapan lebih hormat, Mei Ling telah kehilangan akal sehatnya dan butuh belas kasihan dari suaminya. “Tiket pesawat sedang promo besar-besaran lho,” Agam tidak mau kalah menyemangati semangat Mei Ling yang entah telah berada di tingkat mana. Barangkali telah sembunyi di bawah tempat tidur.
“Aku tak mau,”
“Kamu rindu, Mei Ling,”
“Abang tak tahu perasaanku,” airmata wanita bermata sipit itu mulai tumpah. “Sejak kecil aku selalu bertanya pada orang tua, kapan kami ke Cina. Mereka tak pernah menjawab. Lama-lama aku baru sadar, tak ada rumah kami di sana, tak ada saudara, tak ada tempat tinggal yang kami kunjungi…,”
“Kamu mempunyai darah Cina, Mei Ling!” Agam berkata lebih tegas. “Semua orang Cina saudara kamu. Sama halnya dengan semua saudara seiman adalah saudara kita. Kamu tak perlu takut melangkah dan berharap lebih jauh. Aku tahu kamu tidak mengetahui apa-apa tentang Cina. Kamu tak tahu jalan. Kamu tak tahu tempat indah. Kamu tak tahu tempat suci agama kita. Tapi kamu punya lidah yang bersilat bijaksana dalam bahasa orang-orang Cina. Itulah kunci yang kita pegang. Kita bisa mengelilingi Cina dengan bekal bahasa yang kamu kuasai. Kita bisa mengambil sedikit waktu ke sana. Kamu akan baik-baik saja,” 
“Apa yang akan kita lihat di sana?”
“Apa yang kamu mau,”
“Aku tidak menginginkan apa-apa,”
“Kamu ingin, hati kamu yang menjawabnya!”
Mei Ling terdiam. Mana mungkin ia membohongi suara hatinya. Mana mungkin ia menyembunyikan hasrat itu terus-menerus kepada Agam. Agam bukan satu-satunya pria yang berteman dengannya. Kebetulan jodoh mempertemukan mereka. Pria lain di luar sana. Bertanya semenjak ia masih kanak-kanak. Tentang Cina. Tentang perekonomian Cina yang hampir selalu stabil. Tentang Tembok Besar yang belum pernah ia kunjungi. Tentang ekspansi besar-besaran perusahaan-perusahaan teknologi Cina yang memakan dunia global dengan rakus. Tak ada yang bisa dijawabnya dengan mudah. Ia terbata-bata. Tak ada kepastian. 
“Aku ingin ke sana, sangat ingin…,” Mei Ling sesunggukan. 
“Aku tahu,” Agam memeluk istrinya. Dia tidak mau memperpanjang masalah. Dia tahu Mei Ling sering membaca tentang Cina. Dia melihat Mei Ling mendekatkan diri dengan komunitas Cina di Banda, lalu antusias mendengar cerita mereka yang pernah ke Beijing. Dia meradang saja saat Mei Ling membentak Mutia karena anak semata wayang mereka tidak rajin belajar bahasa Mandarin. Dia sering mendengar laporan dari karyawan toko jika Mei Ling menerapkan aturan Cina dalam berdagang, satu saja angka kurang atau lebih, Mei Ling tahu kesilapannya. Dia juga sering mendengar omongan mertua yang menceritakan keinginan ke Cina, paling tidak Mei Ling bisa sampai ke Cina selagi masih muda dan kemudahan rejeki. 
“Kita akan memenangi rindu itu,” ujar Agam sambil memeluk istrinya dengan erat. 
“Aku tak yakin,” 
“Aku yakin!”
“Kenapa kamu begitu yakin?”
“Karena Cina sangat dekat dengan hati kita, hati kamu,” 
Mei Ling membenarkan. Tiap ada perayaan acara Cina yang tidak bertentangan dengan Islam selalu ia rayakan bersama keluarga kecil. Tahun Baru Cina yang telah ditetapkan sebagai hari libur nasional oleh pemerintah ia rayakan dengan semarak. Ia pun tidak lupa membagi-bagi angpao pada hari raya Cina kepada sanak-famili walaupun ia sendiri tidak merayakannya lagi semenjak usia 18 tahun. 
“Ibarat penyakit yang tak pernah diobati rindu juga bersifat kronis. Rindu itu penyakit hati yang buat pikiran kamu terbeban,”
“Rindu ini adalah rindu yang jauh…,”
“Rindu ini dekat dengan kita, Mei Ling. Karena kamu merasa, kamu menyelami rasa itu sampai melakoninya dalam hidup. Aku pun menerima rindu itu dengan masakan yang kamu sajikan, dengan pakaian yang kamu rapikan, dengan pernak-pernik rumah ini yang kamu sematkan aroma Cina,”
“Itu karena aku masih bagian dari Cina…,”
“Dari bagian terkecil itu pula rindu ada dan tidak bisa dilupa. Apa kamu berniat membuangnya?”
“Tidak,”
“Jika tidak mari kita sampaikan rindu itu,”
“Tapi aku takut…,”
“Apa yang kamu takutkan?”
“Aku takut tidak bisa kembali…,”
“Kamu akan kembali, kami di sini adalah cinta yang menemanimu!”
Mei Ling memaknai setiap kata dari Agam. Ia percaya pada ucapan, pelukan dan harapan yang lahir dari suaminya. Ia mendekap tubuh suaminya dengan erat. Tidak ingin pula ia melepasnya. Tubuh itu penuh kehangatan. Penuh rindu yang selalu ingin ia kembali berlabuh padanya. 
Mei Ling rindu. Rasa yang tidak bisa dibohongi. Tidak apa jika ia menjadi wisatawan ke negeri nenek moyang. Wisatawan yang mengobati luka batin teramat sulit diobati tanpa menjenguk. Cina akan ia jenguk, akan ia jejak, akan ia tapaki tangga demi tangga Tembok Besar, pun akan ia tanya nenek buyut yang kerap keluarganya agung-agungkan. Waktu tidak pernah bisa ditebak, mana tahu jodoh bertemu keluarga bisa terpenuhi karena rindu. 
“Kita berangkat, Abang…,” Mei Ling menatap mata Agam dengan penuh harap. 
“Pasti! Angin segar Cina telah menanti kita!”
Mei Ling dan Agam bersitatap. 
Cina yang jauh, tunggulah sebentar lagi…
***
*Penulisan kata Cina karena masyarakat Aceh belum familiar dengan Tiongkok.
Categories
Uncategorized

Maaf, Aku Jatuh Cinta Begitu Adanya

wanita jatuh cinta
Wanita jatuh cinta – flackrplex.blogspot.com
Jatuh Cinta Seadanya – Sebentar lagi aku akan melepas masa lajang. Bagi setiap perempuan ini merupakan waktu yang paling ditunggu-tunggu. Bagaimana tidak? Aku akan hidup berpisah dengan keluarga, dan memulai lembaran baru dengan seorang laki-laki yang sama sekali belum aku kenal. Memang, hubungan kami dimulai dari pertemuan antara kedua keluarga, merasa cocok akhirnya kami memutuskan untuk menikah. 
Namun, bukan itu yang menjadi masalah besar dalam hidupku menjelang masa yang sangat sakral itu. Aku masih ragu apakah aku benar-benar bisa mencintai dia seperti aku mencintai diriku sendiri. Hanya sebentar perkenalan kami sebelum kedua keluarga memaksa untuk terus segera menjalin ikatan lebih erat. 
Aku tidak bisa berkutik waktu itu, ingin rasanya membantah dan tidak menyetujui perjodohan ini namun aku tidak bisa menyakiti mata tua ayah ibu. Mereka sudah sangat lelah menunggu aku memilih seorang lelaki yang selalu aku dambakan. Bukan aku tidak pernah dekat dengan laki-laki, pilihanku selalu membuahkan kecewa pada keluarga. Aku kenalkan laki-laki dengan wajah tampan, mereka menolak halus. Lalu kubawa seorang laki-laki kaya raya, mereka hanya tersenyum dan mengeleng. 
Aku kalut. Keinginan mereka tidak aku ketahui. Sampai suatu ketika, ayah dan ibu memperkenalkan lelaki itu. Seorang lelaki yang belum aku kenal sebelumnya. Tidak setampan dan sekaya teman lelaki yang pernah kukenalkan pada mereka. Ada keistimewaan lain dari laki-laki ini. Sebuah nilai yang luput dari pandanganku, dan ayah ibu mendambakannya. Mungkin, hampir semua perempuan akan merindukannya. 
Aku masih bimbang. Mulai merenda satu per satu ucapan ayah ibu. Lelaki ini, yang sebentar lagi akan tidur sekamar denganku, dia akan bisa membimbingku dan anakku untuk lebih mengenal Tuhan kami. Perempuan mana yang tidak menginginkan hal ini? Aku seperti terhempas dalam sebuah renda yang kusut dan susah diluruskan. Tanyaku kembali hadir. Apakah sebuah pernikahan itu harus didasari rasa cinta? 
Aku perempuan. Banyak memilih tentu saja aku akan ketinggalan rajutan yang sedang kurenda hingga jari terasa pegal. Aku juga perempuan yang sudah melewati kepala tiga, bukan waktu main-main untuk mulai mengakhiri kesendirian. Teman perempuanku bahkan sudah mempunyai momongan dan hidup bahagia dengan laki-laki idaman mereka. Bahkan ada pula yang menikah dengan orang yang sama sekali tidak dicinta dari awal. 
Lalu, kenapa aku begitu ragu menerima kehadirannya? Dia adalah laki-laki terbaik yang dihadiahkan ayah ibu untukku. Bukan membanding-bandingkan dengan laki-laki yang pernah kukenal. Laki-laki ini sangat menghargai aku sebagai seorang perempuan. Memberikan apa yang aku inginkan jika ia sanggup dan menolak jika dia tidak berkenan. 
Ibarat benang yang sedang kurenda menjadi kain panjang, yang nantinya bisa kukenakan di hari istimewa kami. Hubungan antara aku dan lelaki tidak banyak bicara ini pun berjalan perlahan-lahan. Sesekali kami keluar di akhir pekan untuk saling mengenal satu sama lain. Aku masih merasa tidak dekat dengannya. Dia hanya duduk diam tanpa memulai sebuah pembicaraan. Aku juga ikut-ikutan tidak menyuara karena suaraku hilang di kerongkongan melihat sikapnya yang sangat dingin. Mungkin aku salah, sikapnya bukan dingin, dia hanya tidak bisa memulai. Aku bertanya dia akan jawab, aku meminta dia akan beri, dan aku tidak merespon apa-apa dia akan diam saja. 
Dia memang istimewa. Sangat menjaga aku sebagai seorang perempuan. Tidak pernah menyentuhku seperti teman lelaki yang pernah dekat denganku. Juga tidak pernah meminta apa-apa seperti teman laki-laki yang pernah aku kencani. Malam panjang di sebuah kafe remang hanya dihabiskan dengan menyantap makanan. Jika aku bicara dia akan tegur untuk menghabiskan makan di depanku. Jika selesai makan, dia hanya diam dan sesekali memberi senyum. Menandakan dia tidak punya topik untuk dibicarakan. Malam beranjak ke depan layar bioskop, jika semua orang histeris dia hanya tersenyum. Jika aku memang tangannya, dia tidak balas menggenggam jemari lentikku. 
Malam menepi di kendaraan yang dia kemudi perlahan. Pelan sekali. Seakan aku merasa tidak akan pernah sampai ke rumah. Dia memelankan motornya agar aku tidak terjatuh. Dia bahkan menjaga jarak duduk denganku. Aku bertanya, dia hanya menjawab dengan nada biasa saja, tidak datar, belum saatnya untuk saling menyentuh dan merasakan satu sama lain. 
Begitukah? Segala keistimewaan dia rajut menjadi renda romantis untukku. Namun aku tidak merasakan apa-apa. Romantis baginya belum tentu bagiku. Bayangnya saja tidak pernah hadir dalam mimpi dan anganku. Terkadang, kedatangannya menjenguk ayah ibu kuabaikan begitu saja. Aku menyibukkan diri dengan hal lain. 
Aku menjauh. Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia selalu memberi semua inginku. Perasaanku dijaga dengan baik dalam sebuah renda benang emas. Perasaan ayah ibu dia pelihara dalam ikatan yang aku tidak mengerti sekuat apa. Asam rasa sikapku dia perlihatkan sangat manis di depan ayah ibu. Renggang rajutan yang sedang kamu renda ia sembunyikan dengan tawa canda bersama ayah ibu. 
Rajutan benang berwana pernikahan akan kami renda tidak lama lagi. Semua persiapan sudah dilakukan. Menjahit baju pengantin. Perlengkapan kamar pengantin. Mengenakan inai di tangan dan kakiku seperti kebiasaan. Undangan sudah disebar luas. Banyak teman yang datang khusus sebelum hari pernikahan, hanya untuk membantu dan mengucapkan selamat. Aku tidak keberatan dengan kehadiran mereka. Namun aku tidak suka mereka bertanya tentang lelaki yang akan bersanding denganku. Rasa itu masih belum ada, walau semua orang memuji dan merindukan hadirnya. 
Aku menghitung waktu. Ingin rasanya mengulur setiap detik agar rajutan yang akan kami renda itu tidak terajut dengan bagus. Waktu tetap tidak bisa aku hentikan begitu saja, rumahku sudah dipenuhi sanak keluarga. Suara riuh terdengar sampai membuat pendengaranku ingin pecah. Aku harus mengabaikan mereka yang membuatku semakin bimbang menerima kehadiran lelaki itu. 
Besok aku akan mendua. Aku merasa tidak kuat. Mata tua ayah ibu terus membayangiku. Umur semakin beranjak jauh meninggalkanku. Aku tidak bisa menghentikan semua ini. Tapi aku tidak sanggup! 
Kurenda malam dengan rajutan yang semakin panjang, rajutan ini sudah lama kutinggal, benang emas bermanik mutiara pemberian lelaki itu saat pertunangan kami. Sedikit lagi, renda itu selesai, namun sayang terputus karena tanganku menjangkau rendaan warna biru tua yang sudah selesai beberapa waktu lalu. 
Seiring dengan putusnya rendaan benang emas bermanik mutiara pintu kamarku dibuka. Ibu berdiri disana. Mata tuanya tidak seteduh dan segembira beberapa hari yang lalu. Ibu mendekat dan langsung memelukku. Pikiranku tidak karuan. Firasat mengatakan telah terjadi sesuatu pada keluarga ini. 
Ibu memandangku lekat-lekat, lalu mengambil tanganku dan meremas erat-erat. Aku semakin tidak mengerti. 
Pelan suara ibu terdengar. Petir seperti menyambar rendaan benang emas bermanik mutiara di tanganku. Kabar itu begitu menghentakkanku. Ibu memelukku lagi, aku diam terpaku. Suaranya hilang bersama malam yang kian pekat. 
Beginikah? Tiada hari esok untukku. Aku memang tidak menginginkan lelaki itu. Dulu. Belum tentu besok dan seterusnya. Mulai malam ini aku sudah merasa kehilangan. Suara tawanya, senyumnya, perhatiannya kepadaku dan keluarga, sikapnya yang selalu menjagaku, diamnya dan semua yang ada pada dirinya. 
Aku tidak sanggup menatap mata ibu. Mata tua itu sudah terlalu lama memendam duka karena aku belum dipinang lelaki idaman. Ibu juga yang membawa lelaki itu untukku. Karena dia yang terbaik dari setiap lelaki yang pernah kukenal. 
Aku tidak menginginkan dia hadir, dan kini doa itu benar-benar telah dikabul. Doa yang tidak kupanjatnya dan selalu kusesali dalam kata-kata yang akhirnya menjadi doa besar. Lelaki itu dipanggil. Kembali pada yang hak. Bukan kepelukanku. 
Lelaki itu pergi, sebelum aku menjanda karena ketidak inginku kepadanya. Tuhan mendengar sedihnya yang tidak kuketahui. Aku yakin dia merasa sedih dan kecewa karena kuabaikan dalam setiap rajutan waktu kebersamaan kami. 
Lukanya adalah lukaku sekarang. Jatuh Cinta Seadanya. 
***
Categories
Uncategorized

Cerita Sinyak dan Seorang Nenek

cerpen anak
Anak Perempuan Sedih -1freewallpapers.com
Cerpen Anak – Namaku Sinyak. Usiaku 14 tahun. Aku sekolah di salah satu sekolah menengah pertama di Banda Aceh. Aku tinggal bersama Nenek. Katanya, beliau adalah nenekku. Tapi kata tetangga, beliau bukan nenekku. Orang-orang bilang, beliau memungutku di antara lumpur pada hari terjadi gempa dan tsunami di Aceh. Hari itu, 26 Desember 2004. Sepuluh tahun sudah musibah besar itu terjadi. Sepuluh tahun pula aku kehilangan kedua orang tua.
Kami hidup berdua saja. Aku dan nenekku. Rumah kami memiliki dua kamar. Satu ruang tamu berukuran dua kali kamar tidur. Dapur dengan ukuran setengah kamar tidur. Sumur dan kamar mandi berada di luar rumah. 
Nenek bilang, rumah kami adalah rumah bantuan. Tepatnya rumah bantuan untuk korban gempa dan tsunami. Aku tidak tahu siapa yang memberikannya. Nenek juga tidak menjelaskan padaku. 
Aku menghabiskan waktu bersama Nenek di rumah saja. Nenek membeli ikan-ikan kecil pada nelayan yang pulang melaut lalu dijadikan ikan asin. Tiap pagi, sehabis subuh, Nenek bergegas ke laut dengan jarak lebih kurangsatu kilometer. Nenek jalan kaki ke sana dan pulang dengan memikul seember ikan. Di hari Minggu, aku menemani Nenek melakukan pekerjaannya. Aku membantu menjemur ikan setelah diberi garam secukupnya. Aku duduk di teras rumah menjaga supaya tidak ada anjing yang mendekati ikan yang sedang kami asinkan. Biasanya aku membaca buku pelajaran sambil mendengarkan radio. Nenek tidak sanggup membeli televisi dan aku tidak meminta untuk membelinya. 
Nenek sangat sayang padaku. Pulang sekolah aku selalu mendapati meja makan dengan makanan enak. Kadang-kadang, dengan raut wajah sedih Nenek menggoreng ikan asin untuk makan malam kami. Bagiku tidak apa-apa, asalkan Nenek tetap tersenyum, tanpa lauk pun nasi terasa lezat. 
Aku sering bertanya-tanya, tiap hari Nenek selalu memberikan uang jajan padaku. Nenek tidak pernah sekali pun mengatakan dari mana uang tersebut. Beasiswa yatim piatu yang kudapat tersimpan di Bank dan akan kami ambil untuk keperluan sekolah saja. 
Sering kali aku merindukan kedua orang tua. Waktu tsunami usiaku masih empat tahun. Aku tidak ingat wajah kedua orang tuaku. Kata Nenek, kedua orang tuaku sangat baik. Nenek tidak pernah mengatakan bagaimana rupa kedua orang tuaku. Karena hal ini pula, aku jadi percaya Nenek bukanlah nenekku sebenarnya. Jika Nenek adalah nenekku, orang tua dari Ayah atau Ibu, Nenek pasti akan berlinang airmata mengingat wajah anaknya. 
Nenek tidak menceritakan wajah Ayah dan Ibu berbentuk tirus atau bulat. Ayah dan Ibu gemuk atau kurus. Rumah kami dulu besar atau kecil. Di mana alamat rumah orang tuaku juga dirahasiakan Nenek, atau memang tidak diketahuinya. Pekerjaan orang tuaku juga tidak diberitahu oleh Nenek kepadaku. Bahkan, nama Ayah dan Ibu sulit sekali Nenek ucapkan di hadapanku. Nenek mencari-cari nama yang sesuai untuk kedua orang tuaku. Mana mungkin Nenek lupa tentang anaknya sendiri? 
Kuambil kesimpulan, Nenek bukanlah nenekku. Aku sudah melupakan hal itu. Kasih sayang Nenek kepadaku lebih dari cukup. Nenek mencintaiku bagai cucunya sendiri. 
Nenek sudah sangat tua. Aku tidak tahu persis berapa usianya. Nenek juga tidak ingat berapa usianya sendiri. Walaupun sudah sangat tua, Nenek masih sanggup menemaniku mengerjakan tugas sekolah sampai larut malam. Sejak sekolah dasar Nenek membantu tugas-tugas sekolahku. Biar Nenek tidak mengetahui jawabannya, beliau cukup mengelus kepalaku dengan tatapan penuh semangat. 
Seperti malam ini, Nenek kembali menemaniku. 
“Nek, tadi siang ada orang yang membuntutiku!” ujarku setengah memekik. 
“Ah, mana mungkin?”
“Iya. Aku yakin sekali orang itu mencuri-curi pandang ke arahku. Dia berdiri di depan sekolah, matanya menatapku lama sekali…,” 
“Seperti apa orang itu?” tanya Nenek penasaran. 
“Orang itu laki-laki. Tinggi, gemuk, kulitnya lebih hitam dariku,” 
“Kamu yakin dia mengikutimu?”
“Yakin!” 
“Sebaiknya kamu berbaik sangka pada lingkungan sekitar, belum tentu ada orang lain yang mau melukaimu tanpa sebab.” 
Lalu, kami kembali pada aktivitas masing-masing. Nenek berbaring di atas tikar dan aku melanjutkan tugas sekolah yang belum selesai. 
***
Hari ini, aku kembali diikuti oleh orang yang tidak kukenali. Aku berlari. Orang itu pun mempercepat langkahnya. 
Aku bergegas mencapai rumah dan mencari Nenek. 
“Nek, orang itu masih mengikutiku!” 
Nenek yang sedang menggoreng ikan asin mematikan kompor. Dengan tergopoh Nenek berlari ke jendela depan dan melihat pergerakan orang di jalanan. 
“Tidak ada siapa-siapa,” ujar Nenek lebih tenang. 
“Bagaimana mungkin, dia mengikutiku sejak dari sekolah,”
“Mungkin perasaanmu saja,” 
Mungkin juga. Selama ini aku begitu kacau. Jujur saja, aku sangat cemburu pada teman-temanku. Mereka diantar dan dijemput ayah atau ibu mereka. Mereka juga mendapatkan uang jajan yang cukup untuk membeli makanan enak selama di sekolah. Mereka dengan mudah membeli buku pelajaran maupun buku novel. 
Dari dulu, Nenek tidak pernah mengantarku ke sekolah. Kecuali pada suatu hari, yaitu hari pertama masuk sekolah dasar. Setelah itu aku selalu sendiri. Ke mana-mana sendiri! 
Mana mungkin aku tidak merindukan kedua orang tua? Dalam mimpi saja aku selalu merasakan kehadiran mereka. Aku memang tidak mengenal Ayah dan Ibu, mereka pasti akan mengenali anaknya. Hari-hari yang kulalui terasa sangat hampa walaupun kehadiran Nenek sangat menghiburku. 
Aku merasa berbeda di antara teman-teman yang lain. Teman-temanku mengenal kedua orang tua mereka semenjak bayi. Mereka bisa bercerita pada kedua orang tua tentang sekolah maupun meminta dibelikan baju baru. Aku sering berbagi cerita pada Nenek, tapi Nenek sering kali tidak mengerti apa yang kuucapkan. Aku sama sekali tidak berani meminta Nenek membelikan baju baru untukku. 
Aku kesepian tanpa kehadiran Ayah dan Ibu. Aku juga takut sekali karena tidak ada yang melindungi dari orang-orang jahat di sekelilingku. Orang yang membuntutiku pasti akan datang lagi besok. Nenek yang sudah tua tidak akan mungkin bisa melawan orang itu. Jika orang itu berniat jahat, maka aku sudah diculik dan dijual. Banyak sekali anak-anak dijual sekarang ini. Aku mendengar dari berita di radio. Kemungkinan terburuk bisa saja terjadi padaku, karena aku seorang anak perempuan. 
***
Benar saja. Orang itu masih membuntutiku. Aku sudah tidak menghitung hari ke berapa orang itu menungguku di depan pagar sekolah. Saat teman-temanku satu persatu dijemput orang tua mereka, aku berlari ke lain arah jalan setapak menuju rumahku. 
“Nek, orang itu masih mengikutiku!” aku berteriak di depan pintu masuk rumah kami. Nenek keluar rumah dengan napas tersengat-sengat. Nenek menarik lenganku ke dalam rumah lalu mengunci pintu rapat-rapat. 
“Apa kamu tidak salah lihat?” 
“Aku tidak bohong! Dia sudah sering mengikutiku, hari ini sudah sampai di depan rumah kita. Apa jangan-jangan dia akan menculik anak kecil?” 
Nenek sering menceritakan orang-orang dewasa yang menculik anak-anak. Sejak aku balita, Nenek sudah mendongengkan sebuah kisah penculikan padaku. Saat aku susah tidur, Nenek akan mengatakan ada orang yang akan mencari-cari anak kecil lalu dibawa pergi. Nenek tidak menjelaskan ke mana orang itu membawa pergi anak kecil yang sudah diculik. 
“Kamu jangan takut,” ujar Nenek menenangkanku. 
“Apa orang itu adalah orang yang sering Nenek ceritakan?” 
Nenek tampak bingung menjawabnya. 
“Seandainya Ayah ada di antara kita, beliau pasti akan mengusir orang jahat itu!” aku takut sekali mengeluarkan suara. 
Pintu diketuk dua kali. Aku memeluk Nenek erat-erat. Nenek menarik napas dalam-dalam. Mungkin, ini adalah hari terakhir aku bersama Nenek seperti dalam dongeng. Kami mendengar pintu diketuk lagi. Nenek belum beranjak membuka pintu. Aku pun masih enggan melepas pelukan Nenek. 
Pintu kembali diketuk. Orang itu tidak sabar. Dari jendela dapat kulihat wajahnya mengintip. 
“Kamu tenang ya, Nenek akan hadapi orang itu!” kata Nenek dengan suara lantang. 
“Jangan, Nek!” 
Nenek memberikan isyarat kepadaku untuk diam. Aku takut sekali. Apalagi saat Nenek membuka pintu, wajah orang yang membuntutiku tersenyum puas. Aku berlari ke dalam kamar. Mengunci pintu kamar dari dalam. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi pada Nenek. Orang itu pasti menginginkanku bukan Nenek. Seandainya aku punya ilmu sihir, aku pasti akan menghadapi orang itu. Ternyata, dongeng-dongeng yang diucapkan Nenek sebelum aku tertidur tidak bisa membantu. Contohnya, aku tidak dapat mengeluarkan kekuatan apapun untuk membantu Nenek melawan orang yang tak dikenal itu. 
Aku menguping di dekat pintu. Suara orang itu terdengar jelas sekali. 
“Namanya Sinyak, Nek?” 
“Iya, dia cucu Nenek,” 
“Sinyak mirip sekali dengan putri kami. Saya tidak tahu di mana letak kemiripan itu. Saat melihat Sinyak, saya merasa sangat dekat dengannya,”
“Apa yang terjadi dengan putri bapak?”
“Putri kami hanyut dibawa tsunami,”
Tsunami lagi. Apakah dia ayahku? Kali ini aku sedikit percaya dongeng. Dongeng selalu berakhir bahagia. Kehidupan di dunia nyata juga akan berakhir bahagia. Selama ini, Nenek tidak pernah mengajakku ke kuburan Ayah dan Ibu. 
“Sudah 14 tahun ya?” 
“Iya. Saya sudah pasrah, Nek. Saya tidak mencari-cari lagi putri kami. Suatu hari saya melihat Sinyak, saya merasa dialah putri kami. Saya tidak tahu, mungkin inilah perasaan orang tua terhadap anaknya. Memang susah menemukan seorang anak 4 tahun setelah 10 tahun berlalu,” 
“Saya paham, tapi Sinyak benar cucu saya…,”
“Sinyak bukan cucu Nenek!” teriakku lantang setelah membuka pintu. Entah dari mana datangnya keberanianku. Aku sangat menyesal setelah mengeluarkan kalimat tersebut. Raut wajah Nenek berubah memerah. Matanya sendu dan berair. 
“Sinyak…,” panggil Nenek lembut. 
“Tetangga bilang, Sinyak bukan cucu Nenek!” aku masih bersikukuh dengan pendirianku. 
“Mereka bisa saja salah, Nenek adalah nenekmu…,” 
“Mereka benar. Mereka bilang Nenek mengambilku di jalanan pada hari tsunami!”
Kami semua saling pandang. Orang itu juga menatapku lekat-lekat. Kulihat Nenek menyeka airmatanya. Selama ini aku tidak pernah berani membantah perkataan Nenek. Tapi mendengar pengakuan orang yang mengikutiku, aku jadi punya keberanian. Seakan-akan aku sudah mendapatkan pembela jika berbuat salah. 
“Mungkin dia Ayahku!” tunjukku. Nenek terperangah. Orang itu terpana tak percaya. Aku terkejut dengan ucapanku sendiri. Sungguh tega aku menyakiti hati Nenek yang sudah membesarkanku seorang diri.
Barangkali, karena didasari keinginanku untuk memiliki seorang Ayah sehingga aku berbuat demikian pada Nenek. Aku pun merasa sebuah kekuatan datang setelah mendengar pengakuan orang yang mengikutiku itu. Kecurigaanku sudah sirna begitu melihat ketenangan orang itu. Orang itu bukan orang jahat. Orang itu sedang mencari putrinya. Dan aku sedang mencari Ayahku, juga Ibuku. 
Waktu sudah sore. Nenek dan orang itu sudah membuat sebuah janji. Orang itu akan datang lagi besok dengan membawa anggota keluarga yang lain. Setelah itu, kami akan mencari kemiripan antara aku dengan putri orang itu. 
***
Aku menunggu dengan hati gembira. Tak kuhiraukan Nenek yang duduk termenung. Aku bahagia sekali. Sebentar lagi aku akan memiliki kembali Ayah dan Ibu. 
Kami menunggu sampai sore. Orang itu belum lagi muncul di depan rumah kami. Malam pun tiba. Orang itu juga tak terlihat datang sesuai janjinya. 
“Mungkin, dia memang bukan Ayahmu, Sinyak,” kata Nenek dalam suara parau. 
“Berani sekali Nenek bicara itu, sudah lama sekali aku merindukan Ayah. Nenek tidak tahu betapa sedihnya hatiku tidak memiliki Ayah dan Ibu. Tidak ada tempat untuk mengadu. Tidak ada tempat meminta pertolongan. Tidak ada orang yang mengajakku jalan-jalan. Tidak ada orang yang membeliku makanan enak. Tidak ada orang yang membeliku baju baru. Tidak ada orang yang mengantarku ke sekolah…,”
Kutinggalkan Nenek di ruang tamu sendirian. Aku sedih sekali. 
Keesokan harinya, pelajaran yang kuterima di sekolah terasa hambar. Aku menunggu jam pulang. Siapa tahu orang yang mengaku Ayahku sudah berdiri di depan pagar sekolah. 
Bel berbunyi tiga kali. Teman-temanku berhamburan menjumpai orang tua mereka. Aku pun berdiri di depan pagar. Menanti orang yang mengaku Ayahku. Aku menunggu lebih lama, tiga puluh menit. 
Aku pulang dengan langkah lunglai. Sesampai di rumah, Nenek memintaku segera makan siang. Namun aku sedang tidak berselera sama sekali. Tak lama Nenek memberikan selembar kertas kepadaku. Kuperhatikan lekat-lekat sebelum kubaca perlahan-lahan. 
Sinyak yang baik…
Maafkan saya telah menganggu kamu. Saya mengaku khilaf. Selama ini saya selalu dibayang-bayang sosok putri kami yang telah lama meninggal. Saya belum bisa menerima kepergian putri kami. Tapi sebenarnya, putri kami telah tiada. Sesampai di rumah hari itu, istri saya menjelaskan sendiri bahwa putri kami meninggal di dalam pangkuan saya. Saya tidak percaya, tapi istri saya menyakinkan sekali lagi sehingga saya benar-benar bisa menerima kebenaran pahit tersebut. 
Melalui surat ini, saya memohon pada Sinyak untuk menjaga Nenek dengan baik. Nenek tetap nenek Sinyak. Jangan lukai hati beliau. Saya percaya, suatu saat nanti Sinyak pasti akan bertemu dengan Ayah dan Ibu. 
Salam, 
Amri. 
Luluh sudah harapanku. Hati yang sudah sangat gembira berubah kembali menjadi duka. Pantas saja orang itu tidak menjumpaiku di sekolah. Ternyata dia menemui Nenek dan menyampaikan kebenaran. Sungguh pahit kuterima ini. 
“Sinyak, makanlah, sudah hampir sore,” kata Nenek sambil mengelus rambutku. Airmata tak kuasa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku sudah menjadi anak durhaka telah menyakiti hati Nenek. 
“Maafkan Sinyak, Nek…,” 
“Sudah dari dulu Nenek maafkan.” 
Lalu kami saling berpelukan. 
***
Cerita Anak Tsunami Aceh