Categories
Uncategorized

WhatsApp Pending, Anak Jadi Tahu VPN Bisa Buka Situs Pornografi

Saya cukup kewalahan menghadapi sebagian anak-anak dengan
pertanyaan tabu mereka. Perlu saya garisbawahi, anak-anak zaman now sangat pintar mengibuli guru mereka,
atau bahkan sangat kritis terhadap berita-berita yang belum tentu benar. Di kelas,
guru yang awam terhadap teknologi akan terbata-bata karena anak-anak selangkah
lebih cepat ke depannya.

VPN.

Begitu pula dalam hal tabu atau bahkan hoax sekalipun. Berita
bohong yang beredar di kalangan anak-anak karena mereka mencari tahu, mereka akan menggali informasi yang kita larang, mereka akan terus mencari apa yang membuat penasaran, sehingga
didapatkan jawaban.

Blokir atau tutup
sementara terhadap sesuatu sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak-anak. Selama
proses belajar, seminimal mungkin saya menghindari interaksi dengan anak-anak;
soal jaringan data, soal bagaimana meng-hack
akun media sosial kawannya, atau cara mencuri password Wi-Fi sekolah. Sekali saja saya beri celah, anak-anak akan
‘mudah’ sekali mendapatkan jawaban.
Hasilnya? Kita lihat sendiri saat ini. Dalam kacamata saya
sebagai seorang guru, kitalah orang dewasa dengan egosnya yang menjerumuskan
anak-anak ke dalam hal-hal tabu itu. Kita melarang,
anak-anak mencari. Kita membungkam
suara mereka, detik kemudian langsung bisa berteriak lantang.
Tanpa disadari, kita sendiri yang memberikan akses kepada
anak-anak untuk membuka situs
pornografi itu sendiri – sekalipun telah kita haramkan. Kisruh yang terjadi
akhir-akhir ini, bukan saja kerugian secara meterial yang harus dicatat, dan juga kerugian secara moral
yang mengakibatkan generasi muda makin terjerumus ke dalam penjelajah waktu di
sisi negatifnya.
Kita telah tahu sama-sama bahwa belakangan, media sosial,
termasuk WhatsApp diblokir aksesnya karena alasan tertentu. Kita Indonesia, sebuah
negeri yang berbeda dengan negara lain yang sekali dihujam jantung rakyatnya
akan diam.
Mereka yang beramai-ramai memprotes dan menuntut keadilan ‘hanya’
mendapatkan dampak dari rasa sakit kena tampar atau lelah bergadang. Lepas dari
itu, mereka akan sembuh sediakala setelah mengoleskan obat atau minum pil pahit
sehari kemudian.
Luka yang didapatkan anak-anak saya di sekolah – dan anak-anak
lain yang semula tabu – siapa yang akan bertanggung jawab? Memang, hal yang
simpel sekali, menutup akses, lalu
dibiarkan berkembang dengan sendirinya sampai muncul trending topic instalasi aplikasi pihak ketiga untuk membuka blokir situs maupun aplikasi
yang ditutup itu.
Di sinilah kita mengenal Virtual Private Network (VPN). VPN
tak lain sebuah layanan koneksi yang memberikan akses ke situs secara secure (aman) dan private dengan cara
mengubah jalur koneksi melalui server
dan menyembunyikan pertukaran data.
Sebuah smartphone yang
terkoneksi dengan jaringan VPN, akan mengubah koneksi dan bahkan IP sesuai ‘tembakan’
negara yang tercepat terhubung ke satelit. Secara sederhana, saat kamu tahu di
jalan utama sedang ada razia helm, maka insting kita yang tidak memakai helm
akan segera mencari jalan tikus.
Apa yang terjadi adalah kita tidak kena razia dan cepat
sampai tujuan tanpa ada yang ketahui. Demikian juga dengan VPN yang
menyembunyikan lokasi secara realtime
di mana tidak mudah untuk orang lain mengetahui lokasi kita saat mengakses
internet.
Saat jaringan di smartphone
kita ‘menembak’ server di dalam
negeri, lalu diputuskan, maka akan dilemparkan ke server luar negeri ‘terdekat’ untuk mengakses situs-situs yang
telah di-blokir itu.
Karena pemutusan jaringan itu maka hampir sebagian besar
masyarakat Indonesia mengetahui cara menggunakan VPN. Anak-anak saya yang notabene
‘tidak’ pernah saya kasih tahu cara ini mengetahuinya dari pesan siaran ataupun
trending topic di media sosial.
Anak-anak sudah tidak ada batasan lagi dalam mengakses situs
‘apapun’ meskipun situs dimaksud telah ‘dimatikan’ jalan indahnya di Indonesia.
Instalasi aplikasi VPN yang mudah dan aman melalui PlayStore dapat dilakukan
oleh siapa saja. Gratis dan mudah meskipun ada ‘larangan’ pencurian data.
“Data apa yang akan dicuri, Pak?” anak-anak langsung tertawa
saat saya menyebut aktivitas perbankan, nomor seluler, chatting, maupun foto atau video.
“Kami nggak punya buku bank, Pak!” sah saja mereka berkata
demikian karena memang belum berhak untuk akses ke bank, apalagi untuk
melakukan transaksi debit atau kredit melalui mobile banking.
“Nomor HP sekali pakai saja, Pak, besok beli baru lagi,” entah
saya yang tidak paham atau memang anak-anak yang terlalu ‘pintar’ memaknai itu
semua. Toh, mereka sangat tahu soal
gonta-ganti nomor ponsel meskipun ada batasan pembelian harus memiliki NIK.
Bebasnya orang menjual kartu simCard aktif yang memiliki
paket data menjadi pekerjaan rumah
yang mematikan saat ini. Siapa saja bisa membeli kartu telepon ini tanpa perlu
membawa KTP atau kartu identitas lain.
Chatting grup
kami cuma bahas si Cantik putus sama pacarnya, Pak!” aduh, benar-benar bingung bukan. Untuk apa data ‘itu’ dicuri karena
memang nggak dibutuhkan sama sekali. Lag
pula, “Nggak mungkinlah, Pak, orang luar negeri mau culik kami di sini!”
Atau, “Kami chat
pakai room private, Pak, langsung
dihapus setelah chat. Kemarin cuma bilang
masuk sekolah favorit itu lebih mahal daripada sekolah lain,” apa pentingnya itu?
Anak-anak sangat tahu, dan paham soal situasi yang mereka
hadapi. Enteng saja bagi mereka ‘membatasi’
diri di media sosial maupun internet. Saya bahkan setuju dengan pemikiran mereka soal nggak mungkin orang luar negeri yang disebut
mencuri data datang ke rumahnya untuk menculik dirinya
.
Yang ada, orang luar negeri itu nyasar ke sawah baru di tanam padi, atau ke hutan penuh kebun karet
karena Google Map salah kasih peta. Mungkin juga, saat orang luar negeri yang ‘mencuri’
data itu datang ke kampung kami yang selalu sejuk di pagi hari itu, akan bengong sendiri karena tak ada yang
mengerti bahasanya.
Mau pulang entah jalan
mana. Mau kabur, tapi bagaimana. Di sisi
lain, parang atau golok akan terhunus ke perutnya begitu menarik lengan anak
gadis orang. Tidak semudah itu ‘mengambil’
hak milik orang lain di negeri kita ini.
Gampanglah, Pak. Tinggal
blokir saja, orang itu nggak bisa chat lagi kita!” media sosial seperti
Instagram memiliki fitur blokir permanen
yang membuat kita tidak bisa lagi terhubung dengan orang tersebut; mencari saja
tidak akan keluar lagi namanya.
“Ganti nomor HP, hapus akun, bebaslah kami dari orang yang
curi data itu!”
Jadi, anak-anak kita telah kebal terhadap apa yang
dirisaukan atau dikhawatirkan oleh orang-orang yang pintar di negeri ini. Namun,
pembatasan yang telah terjadi mengakibatkan masalah yang jauh lebih besar.
Akses situs porno. Selama ini, anak-anak ‘mungkin’ telah
lupa bisa mengakses situs-situs porno karena mereka menganggap telah ditutup. Memang
tidak bisa saya sebut semua anak, ada sebagian malah sudah tahu VPN dalam diam-diam.
Jika sudah seperti ini sekarang, tidak ada lagi yang
diam-diam kecuali kapan waktu anak-anak
mengakses situs porno tersebut. Kita tidak akan pernah mengetahui karena orang akan malu untuk diketahui tindakannya
itu
.
Orang-orang dewasa yang ‘membuka jalan’ yang ‘membuat’
anak-anak kita tahu celah ini. Kami sebagai guru – yang paham teknologi –
sebisa mungkin menutupi hal-hal demikian, namun terbongkar dengan sendirinya sesuai kaidah yang tidak diinginkan.
Saya harus melarang, tentu tidak semudah itu. Karena saya tidak
bisa menarik kesimpulan anak ini buka
situs porno, anak itu baru saja
menonton video porno. Anak-anak sangat ‘pintar’ di mana setelah membuka situs
porno langsung menghapus riwayat pencarian atau bahkan, clear cache browser.
Aman terkenali. Tidak ada yang tahu. Besok-besok buka lagi. Meskipun
guru dan orang tua menyita smartphone mereka
karena terinstal VPN, kita tidak akan menemukan apa-apa. Selain, mereka
berkata, “Buat buka WhatsApp, Pak, kan
kemarin di-blokir!”
“Orang Instagram cuma gaya-gayaan terus dapat endorse, kok, Pak!” saya tidak hanya
bingung tetapi jadi guru yang ‘bodoh’ di depan siswanya. Kenyataan yang demikian
memang benar adanya.
Saya tidak mau berbicara yang ‘aneh’ tetapi konsep dari foto-foto
Instagram anak-anak berjalan sesuai usia mereka. Anak cewek memamerkan kecantikan
mereka terus dapat produk gratis dari sponsor. Anak cowok screenshot main game
terus mendapat lawan sepadan lalu dapat poin dan juga ‘uang’ setelah itu.
Kita orang dewasa yang mengarahkan anak-anak ke hal-hal yang
tabu. Lalu, melepaskan tanggung jawab karena masalah yang kita inginkan terjadi telah selesai. Proses yang
dihadapi anak-anak jauh lebih rumit.
Kita orang tua mungkin besok sudah tiada, atau menjadi
pikun, atau sakit tak sembuh-sembuh. Namun, generasi yang kita ‘ajak bermain’ dalam
ego kita untuk mendapatkan kepuasan batin itu tidak bisa mengulang masa-masa
keemasan mereka.
Saya mungkin punya alasan untuk ‘mendebat’ hal-hal demikian dengan
anak-anak. Mereka ngotot VPN aman,
saya bisa menjelaskan dari sisi berbeda VPN tidak aman. Namun, rekan-rekan saya
sesama guru yang 99 persen tidak tahu, akan membiarkan anak-anak bergerilya
dengan VPN itu. Baik dalam bermain WhatsApp, Instagram, Facebook, YouTube, maupun
membuka situs porno.
Batasan yang telah dilanggar oleh kita orang dewasa ini
mengerucutkan daya pikir anak untuk menjadi
apa. Kita menyuap ‘nasi’ ke mereka sampai bisa menyuap sendiri. Kita yang
mengajarkan mereka berdiri sampai bisa berlari.
Salah kita. Namun sifat temperamental kita tidak bisa
menerima kenyataan itu. Saya tidak bisa menjelaskan mana yang benar dan salah
di depan anak-anak, saat informasi yang datang berbeda. Akses mereka yang
internet lebih stabil karena VPN, saya mungkin lupa mengaktifkan VPN karena sibuk
dengan yang lain.
Kita tidak sama-sama menjaga anak-anak negeri ini. Kita yang
terus menyalahkan ‘orang lain’ telah berbuat jahat terhadap hidup kita. Anak-anak yang punya waktu lebih banyak
di internet, mudah mengakses semua media sosial. Video ini tidak bisa dibuka,
akan ada cara bagi mereka untuk membukanya.
Seperti bermain game,
anak-anak akan tahu kesalahan mereka saat tidak naik level. Mereka akan berulangkali melakukan trik ini dan itu sampai
akhirnya gembok itu terbuka. Giliran guru
di sekolah yang dituntut untuk ‘meluluskan’ semua anak-anak dibiarkan seorang
diri menjelaskan mana yang benar dan salah.
Satu hal yang pasti, guru saat ini tidak hanya mengajar
materi pelajaran sesuai kurikulum yang berlaku, tetapi menuntun anak-anak menjadi
pribadi yang berkarakter baik. Jika masalah VPN bisa merusak segalanya, apa
yang harus dilakukan?

Tonton juga ulasannya di video ini.

8 replies on “WhatsApp Pending, Anak Jadi Tahu VPN Bisa Buka Situs Pornografi”

Tidak diblokir saja, sudah menggunakan itu VPN. Hal hal seperti itu memang ada celahnya, anak muda lebih kreatif dan ilmu tentang hal seperti itu lebih ahli.
Ya seperti contohnya tinggal ganti nomor, beres sudah. Tidk perlu ada yang dikawatirkan. Akun data, hal yang tidak penting bagi mereka.

kalau terkait kejadian ini, mereka jadi tau apa vpn to dikembalikan lagi ke mereka, kalo pada dasarnya mereka memang sudah kecanduan porno, pasti mereka akan tetap mencari tau bagaikaman mengaksesnya meskipun diblokir, tidak pada saat momen kerusuhan ini, melainkan sebelum2nya.

pemerintah memblokir web bermuatan negatif,tetapi secara sengaja membuat pengguna masuk ke zona negatif yaitu Mengakses VPN, dengan VPN mereka bisa mengakses apa di internet. sebenarnya ini sudah lama terjadi….kenapa baru ada kesadaran sekarang…….!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *