cerita ini saat anakku, Nabila, berumur enam tahun. Anak yang malang, manis,
bergairah dalam mengerjakan segala sesuatu, bersenang-senang dalam harinya. Ia
sama sekali tidak tahu permasalahan yang menimpa orang dewasa. Ia hanya tahu
bermain dengan santai, bersama sepupunya, Faiz, anak adikku yang hidup bahagia
bersama suaminya.
Inilah Daerah yang Jadi Kiblat Pariwisata Indonesia
aku?
tak kunjung usai. Pernikahan yang kujalani sangat bahagia di awalnya. Awal yang
hanya berumur pendek. Seumur jagung kata orang-orang. Aku berkenalan dengan
Candra saat kami masih aktif di lembaga swadaya masyarakat. Candra begitu
perhatian kepada wanita ini, wanita yang semula nggak peduli dengan kehadiran Candra
lebih dari seorang teman, wanita yang menyebut dirinya begitu egois karena
merasa pria hanya akan mempermainkannya, wanita ini yang bernama Nana. Itulah
aku.
dengan Candra berlangsung cepat. Cinta yang singkat terjadi antara aku dengan
Candra. Candra terlahir dengan watak periang. Di mana ada Candra dunia
seakan-akan hidup dalam gairah kembang api. Adat-istiadat pun digelar saat
pernikahan kami. Kedua belah pihak meramaikan suasana hari bahagia tersebut. Aku
cukup merasa satu hal, bahwa tiada hari selain itu untuk membuatku benar-benar
bahagia.
butuh seorang pria! Akhirnya aku berani mengutarakan ini saat Candra
menggenggam erat tanganku. Rona bahagia tidak hanya milik kami berdua. Bahagia
milik semua orang yang mengantar bahtera rumah tangga kami menuju kemenangan
yang didiam-idamkan semua orang.
selalu positif terhadap kehidupan yang hadir sebagaimana mestinya. Aku tidak
menolak kehidupan menjadi tidak normal karena hidup ini memang demikian adanya.
Cekcok antara aku dan Candra mulai terjadi begitu usia pernikahan kami masuk
dua bulan. Candra lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, di warung
kopi bersama teman-temannya, berbicara panjang lebar tanpa peduli urusan rumah
tangga. Waktu itu, kontrak kerja Candra telah berakhir dan di wajahnya
kelihatan beban yang berat. Aku tidak mempersoalkan masalah itu. Aku masih bisa
hidup saja bersamanya lebih dari cukup. Candra tidak demikian. Lepas dari
pekerjaan itu, ia tidak lantas mencari pekerjaan yang lain. Aku tidak bisa
berpangku tangan begitu saja. Rumah tangga kami benar-benar harus bertahan
sampai di mana mauku dan Candra.
bulan pernikahan, aku hamil. Wajah Candra biasa-biasa saja. Aku nggak mau ngurusin
beban yang ada di pikiran Candra karena baru setelah menikah aku paham betul tabiatnya.
Dari luar Candra boleh saja ceria, dari dalam batinnya tertekan entah karena
apa. Ada rahasia yang mungkin saja Candra tidak mau membaginya denganku. Wanita
yang telah ditidurinya dan sebentar lagi akan melahirkan anaknya.
rumah tanggaku tidak bagai dalam kapal pecah. Tetapi kapal yang sedang
membawaku dan Candra bisa saja karam tak sepengetahuan kami. Bisa juga diamuk
badai kencang sehingga tali-temali lepas dan aku terpelanting ke dasar lautan.
Candra biasa-biasa saja. Candra lebih banyak diam daripada menyampaikan
unek-unek di dalam pikirannya. Pagi hari Candra selalu berangkat. Malam baru
pulang. Aku tidak mengubris karena kupikir Candra butuh ketenangan. Aku
menyiapkan semua kebutuhan Candra di sela-sela kesibukan di pekerjaan yang baru
dan masa-masa kehamilan yang sulit.
baru merasa hatiku perih saat Candra tidak mau menemani check-up ke dokter di usia kandungan masuk tujuh bulan.
Candra terlalu egois dalam diamnya dan melakukan sesuatu di luar batas
kemampuanku untuk menggapainya. Aku mau Candra berbicara, memberi alasan,
sepatah kata saja. Tetapi Candra tidak mau membuka suara sampai aku lelah
menghardiknya dengan kata-kata pedas sekalipun.
diam.
frustasi.
Mengapa Aceh Layak Bawa Pulang Piala Wisata Halal Dunia?
aku tidak ikhlas mengandung anak dari pria yang entah sedang berada di langit
mana saat bersamaku. Tak ada guna aku mencak-mencak meminta kepastian dari pria
itu, tentang sesuatu yang aku bingung menjelaskannya. Aku nggak paham masalah
apa yang mendera Candra sampai dirinya benar-benar berlaku demikian.
butuh manusia bersuara. Aku butuh alasan. Katakan. Tapi Candra tetap diam. Sampai
semua menjadi sangat kalut di usia kandungan lebih sembilan bulan. Tinggal
menghitung hari aku akan melahirkan. Beban di pikiranku sama sekali tidak
berkurang. Beban itu bertambah parah begitu aku mengetahui Candra
mengabaikanku.
tidak pulang sudah lebih tiga hari. Aku melapor kepada dua adik laki-laki. Aku
meminta mereka mencari Candra. Berulangkali pula aku menghubungi nomor ponsel
pria itu. Suara operator menjawab dengan manisnya. Aku mengeluarkan
teriakan-teriakan tak tentu tujuan. Tetangga berdatangan. Ibu menangis
tersedu-sedu. Aku tidak tahu apa yang mesti kulampiaskan. Aku gagal memahami
salah di dalam diriku.
semakin menggelegar saat kedua adik tidak menemukan posisi Candra. Pria yang
telah enggan kusebut suami. Sikap manisnya tak lagi terbayang di dalam benakku.
Suaranya tak pernah lagi terngiang di pikiranku. Caranya berpakaian telah
hilang dari penglihatanku. Caranya makan membuatku enggan menyentuh piring.
telah lenyap. Kedua adikku bela-belain diri datang ke rumah Candra yang
jaraknya ratusan kilometer. Keduanya membawa pulang kabar duka. Lebih baik aku
mati suami daripada ditinggal pergi. Keluarga Candra juga tidak mengetahui di
mana dan ke mana anak mereka pergi. Dunia rasanya telah kiamat. Tetapi aku
tidak bisa mati. Kontraksi di dalam perutku tak jadi-jadi. Sakit tiada tara. Hatiku
panas. Amarahku memuncak. Pada siapa aku meminta pertolongan. Aku malu!
melarikanku ke rumah sakit. Aku butuh oksigen tambahan. Aku butuh pertolongan
untuk melahirkan bayi ini. Aku tak dapat melahirkan normal dalam kondisi
setengah gila. Rambutku acak-acakan. Badanku panas mendidih. Napas tersengal-sengal.
Tangan keram. Kaki keram. Pikiran mengawang-awang. Suara menyebut-nyebut entah
apa.
menit sebelum aku masuk ke ruang operasi, kusempatkan diri membuka ponsel. Kupanggil
nomor Candra. Suara tersambung. Hatiku mulai sedikit tenang. Hingga panggilan
terputus Candra tidak mengangkat telepon dariku. Kuulang sekali lagi. Tetap
sama. Sekali lagi. Ditolak. Sekali lagi. Ditolak kembali.
sebuah pesan masuk setelah itu.
meledak. Aku meraung-raung. Ponsel berpindah tangan ke adik perempuanku. Perutku
perih luar biasa tetapi bayi itu tak juga mau keluar. Aku dilarikan ke ruangan
operasi. Aku tak sadar diri setelah itu. Entah karena pingsan. Entah karena
telah dibius untuk kebutuhan operasi.
terbangun dalam remang. Aku bersyukur jika telah mati. Tetapi suara bayi
menangis di sampingku membuat rasa syukur itu kutarik kembali. Bayi itu dipeluk
Ibu dengan hangat. Aku iba kepada bayi itu. Kasihan kepadanya yang tidak
bersalah.
tahun ini, aku tidak pernah mencari Candra. Tidak pernah kukabari apapun
tentangku kepada keluarganya. Walau kemudian keluarga Candra ada yang datang
meminta maaf. Aku diam seperti diamnya Candra saat bersamaku. Aku tidak tahu di
mana dan apa dan mengapa dan seterusnya, salahku kepada Candra. Aku bagaikan
pesakitan yang duduk di bangku merah untuk di sidang. Aku seperti dituduh telah
berbuat jahat dan akan segera divonis mati atas perbuatan yang tak pernah
kuperbuat sebelumnya.
tak pernah akan menerima kepulangan, Candra!”
kali ada yang tanya. Teman-teman yang kasihan kepadaku. Tetangga. Siapa pun.
Jawaban ini kuberi sebagai penegasan bahwa sakit hatiku kepada Candra teramat
lebih dalam dari yang dibayangkan orang banyak.
dengan Candra bukan cinta satu malam. Aku istri. Aku menikah dengannya. Bagian
mana yang membuat Candra tidak siap menerimaku, aku tidak tahu. Candra datang
dengan berani mengatakan cinta lalu pergi sebagai pengecut setelah menabur
benih.
seorang wanita. Aku berhak bahagia bagaimana pun definisinya!
tidak memaksa menulis tentang ini, dia hanya meminta berulangkali. Dan,
untuknya terima kasih telah berbagi.
tahu, sebagaimana orang-orang di lingkungan kami tahu kisah ini. Tetapi tidak
ada yang mencemooh bahkan sampai melempar telur seperti dalam drama televisi. Drama
yang dialami wanita ini cukup perih untuk saya jabarkan menjadi sebuah kisah,
apabila dilihat sendiri.
ini tegar dalam segala sisi. Dia melupakan semua masalah suaminya yang pengecut
dan memulai yang baru sebagai orang tua tunggal. Wanita ini telah membuang luka
di kolong yang orang lain tidak tahu.
ini bagian dari kehidupan yang enggan orang bicarakan karena berlaku universal.
Tidak hanya wanita ini yang mengalami hal serupa. Banyak wanita lain yang
mengalami persoalan demikian namun tetap berangkat kerja untuk memenuhi
kebutuhan. Kasihan tentu saja. Membantu sejauh mana kita sanggup. Semua orang
punya kehidupan masing-masing dan bantuan sesekali nggak pernah cukup. Salut
saya kepada wanita dalam kisah ini adalah tidak mengiba. Dia bekerja keras
walaupun suaminya telah pergi. Jika ia meraung terus-menerus, anaknya tak akan
ubah seperti dirinya yang menderita sepanjang waktu.
mudah memulai kembali kehidupan yang kacau. Pernikahan yang semula ingin
bahagia malah terbengkalai karena sifat egois dari seorang saja. Bagi saya,
wanita ini tidak bersalah. Justru pria yang menjadi suami wanita ini yang harus
duduk di bangku persidangan. Alasan apa sampai meninggalkan istri sedang hamil?
Sudah punya wanita lain? Tidak puas? Tidak bahagia?
ini butuh alasan lho. Dia ditinggal karena apa. Sampai kisah ini saya
tulis wanita ini belum mengetahui alasan pasti. Dia memang tidak menghubungi
bekas suaminya. Pria itu juga tidak mencoba menghubungi terlebih dahulu,
sekadar minta maaf atau apapun itu.
hati wanita ini tidak saya lihat. Tetapi sakit hati yang dipendam bisa meledak
seketika. Tentu pada pria yang mencampakkannya jika kembali suatu saat nanti. Apakah
pria itu akan terus membatu sampai suatu saat nanti? Saya tidak tahu. Namun
beragam kisah mengajarkan bahwa sebuah kata kembali selalu ada. Saat kata itu
dimulai, penyesalan yang muncul menyesak hati.
penting dari kisah ini, nggak salah memulai dengan saling terbuka sebelum
menggunung di kepala. Baik istri maupun suami punya kesempatan yang sama. Mau
memulia dari mana, itu adalah hak masing-masing. Penyesalan di kemudian hari
cuma bisa dikutuk tetapi tidak bisa dikembalikan menjadi sebuah kesempurnaan.