Categories
Uncategorized

Stroberi 5000 Rupiah

Pertengahan
tahun 2014, saya berkesempatan berkunjung ke Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sebuah rasa syukur dari menulis.
Sebuah
perjalanan melelahkan bagi saya. Apalagi baru pertama kali melakukan perjalanan
jauh dengan pesawat terbang. Saya berangkat dari Bandara Sultan Iskandar Muda
pukul enam pagi, transit di Kualanamu sekitar setengah jam, lalu kembali
terbang menuju Bandara Soekarno-Hatta lebih kurang 2,5 jam perjalanan. Saya
menghirup udara pengap Jakarta pukul 10 pagi. Kemudian menunggu keberangkatan
selanjutnya pada pukul tiga sore bersama Mas Dian Mulyadi dan Zakaria Dimyati. Kami
sampai di Bandara Praya sekitar pukul delapan malam. Sungguh perjalanan yang
menarik minat saya untuk kembali melakukannya.
Kami
dijemput oleh Mas Hindra, salah satu rekan kerja Mas Dian dan Mas Jan sebagai guide.
Dari Bandara Praya yang malam itu dipenuhi kedatangan TKI dari Malaysia, kami
menuju Sembalun. Saya belum tahu di mana daerah tersebut, katanya dekat gunung
Rinjani. Baiklah. Gunung dengan anak sungai di atasnya itu.
Malam
yang panjang. Saya begitu kurang percaya diri dalam kendaraan roda empat. Alasannya;
saya mabuk perjalanan!
Sesampai
di Sambalun tengah malam, saya dan Zakaria langsung tidur di daerah yang dingin
sekali itu. Paginya kami menjumpai beberapa orang untuk keperluan liputan
selama di sana.
Nah,
pulang dari sana barulah saya merasa sangat tidak nyaman. Perut saya kembali
diaduk tak karuan. Jika sebelumnya, karena terlalu lelah dan malam hari mudah
saja saya tertidur. Pagi ini malah sebaliknya. Saya duduk diapit Mas Dian dan
Zakaria. Pikiran sudah berkunang-kunang. Mau minta berhenti, tidak ada alasan
yang jelas. Mau muntah juga tidak jadi-jadi. Mau bilang pusing pada keempat
orang di dalam mobil itu, mereka malah adem-ayem saja.
Jalanan
semakin menikung. Kepala saya berputar. Jalanan berputar. Kepala saya ikut
berputar-putar. Sesekali Zakaria membuka jendela, hawa dingin menusuk di antara
pengununan dan rumah penduduk dataran Rinjani. Zakaria memotret beberapa
pemandangan indah yang tidak bisa saya lihat dengan jelas.
Bahkan,
di dalam mobil kami tidak ada makanan apa pun. Padahal perut saya sangat tidak
bersahabat lagi. Saya ingin perjalanan ini cepat berakhir. Namun, jalan setapak
menuju puncak Rinjani saja belum terlihat. Kami masih meraba-raba di jalan
berlubang daerah Sembalun dan sekitarnya.
Hei!
Tunggu dulu. Di pinggir jalan berlubang itu, pemandangan maha dahsyat terhampar
luas. Udara semakin dingin saat jendela mobil terbuka. Dan gubuk-gubuk kecil
menawarkan buah segar. Salah satu stroberi.
Photo by Zakaria Dimyati
Saya
melupakan rasa muntah sesaat. Stroberi yang dijual di tepi jalan itu tampak
segar sekali. Mas Jan memarkirkan mobil. Mas Hindra membuka jendala lalu
bertanya berapa sebungkus stroberi yang dijual oleh perempuan berjilbab itu.
Pemandangan yang menyejukkan; Sembalun tak ubah sama dengan Aceh di mana semua
perempuan berjilbab, berbeda dengan Mataram pada hari berikutnya kami sampai di
sana.
“Lima
ribu?” mata saya membulat. Mas Hindra dan Mas Jan malah ngakak. Zakaria diam
saja.
“Nama
juga kita beli di kebunnya, Bai,” ujar Mas Dian kemudian. Sayang sekali kami
tidak sempat mampir ke kebun stroberi.
Satu
bungkus stroberi seberat setengah kilo itu cuma Rp. 5000,- saja. Seriuslah.
Saya takut dikibuli oleh Mas Hindra. Pendengaran saya jadi ikut-ikutan mabuk
perjalanan. Pertanyaan saya terjawab saat Mas Dian mengeluarkan lembaran dua
puluh ribu untuk empat bungkus buah berbentuk hati itu. Seandainya langsung
pulang hari itu juga, saya akan memboyong banyak bungkus stroberi segar untuk
dibawa pulang ke Aceh.
Rasa
stroberi yang asam manis melegakan sedikit kerongkongan saya. Di antara kami
berempat, hanya saya yang makan lebih sebungkus.
Rupanya,
jalanan semakin tak karuan. Menanjak dan berliku. Perut saya kembali diaduk. Saya
mencoba tidur. Susahnya minta ampun. Rasanya waktu berjalan sangat lamban
sekali. Saya tidak tenang. Mau muntah ditahan. Malu yang ada.
Dalam
keadaan tersiksa, saya tertidur juga. Syukurlah.
Sampai
di daerah yang saya tidak tahu benar di mana. Sudah di perkotaan. Kami berhenti
di salah satu rumah makan. Perut saya sangat tidak bersahabat lagi. Saya berlari
ke kamar mandi. Dan muntah!
Oh,
Stroberi lima ribu keluar semua!
Saat
saya kembali ke dalam rumah makan kecil itu, keempat yang lain sudah menyantap
makanan masing-masing.
“Muntah,
Bai?” tanya Mas Dian.
“Iya,
Mas. Sayang sekali stroberi lima ribu terbuang semua!” jawab saya malu-malu.
Mereka
berempat tertawa.
“Di
Aceh berapa sebungkus itu kira-kira,”
“Dua
puluh ribu, Mas!”
Mata
mereka terbelalak. “Mahal sekali, Bai!”
Perut
saya yang baik sekali itu sudah menumpahkan semua. Kami tidak mungkin kembali,
membeli banyak stroberi murah. Tepatnya, kami tidak mungkin membawa pulang stroberi
karena mesti mengejar sunrise di Mandar dan sunset di Senggigi. Setelah
hari menyesakkan hati itu.

Selamat
tinggal, stroberi lima ribu rupiah! 
Photo by Zakaria Dimyati
Categories
Uncategorized

Daun-daun Pembungkus Nasi

Tanah sudah mengering semenjak padi mulai mengandung. Tidak lama lagi perut buncit itu akan berat menanggung beban dan membawa berkah pada petani. Pipit-pipit pun saling berkejaran di langit senja, hinggap ke pucuk padi, mematuk satu persatu lalu membawa terbang tinggi, menjumpai anak keturunan yang kelaparan menunggu penganjal lapar.
Di hamparan sawah yang semakin menguning angin berhembus kencang. Sejauh mata memandang hanyalah batang padi yang menunduk menanggung beban di kepala. Pada waktu yang sama, orang-orangan sawah berkeliaran di tengah pematang sawah. Satu orang-orangan sawah bisa berjarak satu meter lebih. 
Daun pisang pembungkus nasi.
Setiap petak sawah pasti ada orang-orangan dengan berbagai gaya, ada yang mengenakan topi, ada yang berpenutup kepala dengan kain lusuh, ada yang berpakai lengkap, ada yang hanya mengenakan baju saja. Segala rupa ada di tengah sawah milik warga kampungku ini. 
Orang-orangan sawah itu cukup mampu mengusir pipit-pipit kelaparan dalam sesaat. Orang-orangan sawah juga menjadi tempat persembunyian anak-anak yang mencari pipit-pipit di siang menjelang sore.
Pipit-pipit terus berterbangan, orang-orangan sawah masih berdiri tegak, dan anak manusia sedang dilanda sibuk menyambut hasil panen. Di semua rumah sedang mengepul asap putih, sudah dari pagi tadi perempuan-perempuan di rumah tangga kampungku tidak keluar dari dapur. 
Mereka sedang membuat makanan-makanan enak. Daging. Ikan. Udang. Segala rupa lauk dimasak enak. Tak ketinggalan nasi dibungkus daun pisang muda. 
Nasi dibungkus daun pisang muda? Aku cukup bangga dengan pembungkus nasi ini. Paling tidak ibuku tidak perlu repot membeli pembungkus berwarna cokelat. 
Ibuku tinggal melangkah beberapa meter ke belakang rumah, mengambil daun pisang, melayukan di dekat api beberapa menit agar tidak pecah, menyobek persegi empat seukuran dua kelapak tangan, daun pisang ini siap membungkus nasi. 
Ibu sudah membungkus nasi dalam daun pisang sebelum aku ada, sudah lama sekali tradisi ini menjalar di daerahku. Pada acara-acara besar, kami masih membungkus nasi dengan daun pisang, membentuk piramida dan nasi dalam daun pisang ini rasanya berbeda dengan nasi dalam rantangan. Ada aroma daun pisang, wangi alami menambah selera makan bagi yang suka. 
Tangan telaten Ibu membungkus nasi dalam daun pisang cepat sekali. Ibu mengambil dua lembar daun pisang yang sudah disobek, menabur garam sedikit, menaruh nasi lebih kurang tiga sendok nasi. 
Ibu melipat ujung kanan dan kiri ke atas secara beriringan, lalu ujung depan dan belakang, lipatan yang diketatkan dilekatkan dengan lidi di ujung paling atas berbentuk segitiga. Satu bungkus siap, Ibu melanjutkan ke bungkus berikutnya. Bungkus lain lagi. Sampai sepuluh bungkus. 
Pagi sudah sangat memburu waktu. Di depan rumahku, di hamparan sawah, di jarak satu kilometer, di dalam Saung Nyak Ali beratap rumbia, orang-orang sudah duduk bersila. 
Di matahari terus merangkak naik mencapai pusat tertinggi, orang-orang terus berdatangan, menenteng bungkusan dalam plastik berwarna hitam atau putih. Berarak diikuti orang-orang lain dari segala penjuru dengan beragam warna pakaian. 
Kebanyakan perempuan mengenakan sarung dan kerudung sampai menutupi dada. Kebanyakan laki-laki juga mengenakan sarung dan kopiah. Mereka duduk melingkar. Menundukkan kepala. Lambat laun dari rumahku terdengar aungan panjang. Suara serentak membacakan Surat Yasin. 
Aku masih di rumah. Entah apa yang kunanti. Ibuku sudah siap dengan bungkusan dalam plastik hitam. Kutaksir di dalamnya berisi sepuluh bungkus nasi yang dibungkus dengan daun pisang serta lauk yang juga dibungkus dengan daun pisang. 
“Belum berangkat juga kau, Agam[1]?” tegur Ibu. Aku tidak menyahut. Tidak juga mengeleng. Aku masih duduk di teras rumah memandang padi yang sedang menguning, di seberang jalan teraspal licin, setelah parit buntu tak tahu mengaliri air ke daerah lebih dangkal. 
“Orang-orang sudah mulai baca Yasin, tak lama lagi akan mulai berdoa, cepatlah kau berkemas!” perintah Ibu. Aku masih terdiam. Belum tahu akan mengerjakan apa. Belum tahu pula rencanaku setelah berpakaian rapi. Belum kupastikan pula kakiku akan ke Saung Nyak Ali, berdoa bersama orang lain di sana. 
“Apa pula kau diam saja, Agam?” tanya Ibu lagi. 
Aku masih tetap tidak bergeming. Dari kejauhan irama lantunan Yasin serentak, ditambah suara tangis balita dan teriakan-teriakan anak-anak kecil. Di pematang sawah sebelah kiri dan kananku, orang-orang masih berdatangan. 
Ada yang tergopoh. Ada yang santai saja menggerakkan kaki. Ada yang sangat pelan sekali, seakan kakinya baru saja tercelup ke pematang sawah berlumpur padahal tanah di sawah sudah sangat mengering. 
“Tahun lalu kau pun tak ikut berdoa di sawah kita, Agam!” Ibu mulai dengan petuahnya. Aku sudah risih jika demikian. Ibu tidak main-main dengan amanah seorang Ibu terhadap anak-anaknya. “Jangan kau buat-buat tingkah macam-macam! Sudah sekolah tinggi-tinggi, kenduri[2] pade[3] tak lagi mau kau ikuti. Apa kau lupa dari padi itulah kita bisa hidup?” 
Lantas? Kenapa harus ada kenduri?
Seakan tahu isi kepalaku, Ibu buru-buru memberi jawaban kalut pikiranku. “Kita bersyukur pada rezeki yang Tuhan limpahkan. Jangan pernah kau ingkar pada terima kasih kepada Tuhan. Kenduri pade sama dengan meminta keselamatan jerih payah kita selama ini, sudah diberikan waktu agar padi bisa menguning, sudah dijauhkan dari hama, sudah dibiarkan padi bercabang banyak, sudah diturunkan hujan menghapus dahaga batang pagi, sudah menerikkan matahari agar padi terhindar dari banjir yang membuat batangnya busuk. Tuhan sudah menyiapkan semua sesuai aturan dan posisi yang cocok, dan kau jangan sekali-kali lupa pada pemberian Tuhan!” 
Titah Ibu membuatku membisu. 
“Kita bisa saja kenduri setelah panen, bukan?” imbuhku. Tampak Ibu tidak menyukai perkataanku. 
“Kau pikir kenduri pade sama dengan kenduri setelah panen?” kuyakin Ibu tidak perlu jawabanku. “Kenduri pade menegaskan permohonan selamat kepada Tuhan akan nasib padi yang sedang menguning, doa-doa yang kita panjatkan hanya kepada Tuhan!” 
Kuakui, lantunan ayat suci serta puji-pujian hanya tertuju kepada Tuhan semata. Tidak ada bantahan dalam doa-doa ini, hanya penerapannya yang masih membuatku berkerut kening. 
Kami mendoakan padi yang sedang menguning, di tengah sawah, di pagi yang sedang mengejar siang, dengan menyantap nasi dalam daun pisang, lalu pulang dengan menyebar daun pisang bekas bungkus nasi di petak demi petak sawah. 
Daun-daun pisang bekas bungkus nasi dipercaya sangat berkat untuk padi yang sedang menguning. Daun-daun pisang bekas bungkus nasi disobek kecil-kecil, disebar ke hampir seluruh petak sawah sampai merata. 
“Kita akan kenduri setelah panen, sebagai syukur yang lain akan hasil panen yang Tuhan berikan atas hasil kerja keras kita!” tegas Ibu kembali. Lamunanku membuyar, aku masih membayangkan sobekan-sobekan daun pisang bekas bungkus nasi disebar ke petak demi petak sawah di depan rumahku. 
“Tuhan yang memberikan hasil panen kita berlimpah, bukan kenduri hari ini! Hari ini adalah bentuk syukur kita kepada Tuhan yang sudah memberikan harapan kita menjadi nyata. Kau juga tahu, tidak hanya kenduri ini, tidak hanya kenduri panen, jika pun sampai nisab[4] kita akan mengeluarkan zakat sebagai pembersih rezeki dan amal kita di akhirat kelak!” 
Aku benar-benar terdiam. Habis sudah kata-kataku membela diri. Aku gagap berdebat dengan Ibu, alasan-alasan mubazir akibat kenduri rasanya sudah tidak masuk akal, alasan-alasan sobekan daun pisang bekas bungkus nasi disebar ke petak sawah juga tidak bisa menguatkan argumentasiku memenangkan diri dari adu kata dengan Ibu. 
Daun-daun pisang itu lama-kelamaan akan membusuk, lalu menjadi pupuk alami. Begitulah, perputaran yang terjadi sampai-sampai jika kukatakan daun-daun pisang sudah didoakan kemudian disebar ke seluruh sawah, aku tetap kalah. Daun-daun pisang itu tidak akan berubah jadi petaka, tidak pula menjadikan sawah belukar malah menjadi obat mujarab kelangsungan hidup batang padi. 
Ibu berdiri dari duduk di sampingku. Mata Ibu menatapku dengan arti yang tidak bisa kutafsirkan. Ibu tidak mau aku membantah lagi setiap perkataannya. Ibu mensyaratkan agar aku berpakaian rapi dan menyusul ke tengah sawah. Sayup-sayup di angin pagi, aku tidak lagi mendengar suara dari keramaian itu. Mungkin pembacaan Yasin sudah selesai, sebentar lagi doa-doa akan dimulai. 
“Ibu tidak mau terima alasan ini itu, Ibu tunggu kau di sana!” perintah Ibu sambil lalu. 
Kuperhatikan tubuh ringkih Ibuku yang semakin menua. Perempuan kampung ini sudah lama mengecap asam garam kehidupan di nanggroe[5] penuh lika-liku. Ibu pun sudah jenuh mendapatkan serangan bertubi-tubi dariku semenjak kuselesaikan kuliah dua tahun lalu. 
Kedua abangku, yang tidak pernah sekolah, yang sudah berkeluarga, menerima saja alur kehidupan di kampungku yang sempit. Hanya aku saja yang sudah punya pemikiran tersendiri, lebih kebarat-baratan kata orang kampung. 
Entah benar. Entah salah. Aku selalu memulai debat dengan Ibu. Ayah lebih banyak diam. Ibu yang lebih agresif menanggapi ucapanku. Ibu yang selalu memasukkan paham agama kepadaku semenjak kecil. 
Aku tidak menyalahkan Ibu, aku pun tidak menyalahkan pemahaman Ibu, aku hanya masih belum menemukan makna dan anjuran agama akan kenduri macam rupa di kampungku. Kenduri pade saja aku masih ragu, tidak ada yang membuatku nyaman berada dalam lingkaran orang-orang yang sedang berdoa. 
“Kenduri untuk anak yatim maupun piatu ada pada tempatnya, Agam!” bantah Ibu tahun lalu. Saat aku menanyakan perkara kenduri pade. Lagi-lagi aku memulai debat dengan Ibu dari masalah kecil, dan aku tetap kalah. 
“Kita sudah sedekah, Agam! Bahkan kita akan mengeluarkan zakat begitu hasil panen sampai nibab!” jawab Ibu begitu kutanyakan masalah sedekah. Aku benar-benar tidak tahu akan membantah dengan alasan apalagi. Semua kataku terjawab tanpa cela oleh Ibu. 
Tidak ada gunanya aku mempertahankan ego dalam diam. Bergegas aku menarik sarung, mengambil kopiah yang tersangkut di jendela arah kiblat, berlari kecil di pematang sawah. Sesekali aku tersandung, hampir saja kakiku terpeleset jika tidak berpegangan pada orang-orangan sawah yang berdiri dengan seragam merah putih. 
Semakin kudekati, semakin keras suara orang-orang memanjatkan doa. Kukencangkan pendengaranku, surat al-Ikhlas dibaca berulang-ulang biasanya sampai tiga puluh kali sebelum membaca surat al-Falaq, an-Nas lalu ditutup dengan al-Fatihah. 
Setelah itu teungku[6] akan memimpin lafal la ilaha illallah sebanyak seratus kali. Teungku kemudian memanjatkan doa-doa kepada Tuhan pemberi semesta, baru kemudian ditutup dengan shalawat kepada Nabi Muhammad dan ahli familinya. 
Saat langkahku sampai di tepi orang-orang yang duduk melingkar, Teungku Akmal baru saja memulai lafal la ilaha illallah. Aku ikut melafalkan puji-pujian atas keagungan Tuhan kepada kami. 
Suara serentak membunyikan kalimat yang sama menggetarkan hatiku. Sudah lama sekali aku tidak melafalkan rasa syukurku kepada Tuhan. 
Biasanya, aku hanya berdoa seadanya seusai sembahyang, doa-doa untuk keselamatan diriku sendiri, doa-doa untuk kesejahteraan harga diriku sebagai manusia bermartabat, doa-doa kehidupan bahagia dunia akhirat. 
Aku lupa kapan terakhir berdoa untuk makhluk hidup lain, begitu teriris hatiku mengingat padi yang sedang menguning juga makhluk hidup. Sama sepertiku, bahkan lebih tinggi derajatnya di mata Tuhan. Bahkan lebih sering berdoa untuk kenyamanan hidup manusia. 
Bahkan lebih pandai bersyukur akan kelayakan hidup di panas dingin alam. Bahkan tidak pernah mengeluh karena cuaca tak tentu dan hama yang menerjang setiap saat. 
Bahkan sebagai pemberi kekuatan untuk manusia agar bisa berperang dengan hawa nafsu. Begitu naifnya aku, yang lupa pada kehadiran makhluk lain! 
Kucari-cari sosok tua Ibuku di antara perempuan-perempuan berkerudung. Mataku tidak menemukan perempuan yang sudah melahirkanku. Mataku jadi sangat perih. 
Selama ini aku sangat bernafsu pada pendapat angkuh yang kurengkuh tanpa sebab. Kupikir, doa-doa hanya untuk manusia, makhluk hidup lain tidak butuh karena mereka tidak bernyawa. 
Tidak bernyawa?
Tidak bernyawa artinya tidak akan tumbuh. Semua orang juga tahu hanya manusia yang punya nyawa dan diberikan akal untuk berpikir. Baru sekarang, aku membayangkan, bagaimana jika aku hidup dan orang-orang hidup hanya berinteraksi dengan manusia saja. 
Bagaimana jika padi tidak menguning, bagaimana jika padi tidak bisa dipanen, bagaimana jika padi tidak mengeyangkan perut lapar, dan bagaimana jika semua tidak ada? 
Kubuka-kubuka tata bahasa dalam pikiranku, tidak bisa kutemukan kata lain. Aku, dan siapa pun, membutuhkan makhluk lain. Betapa aku tidak bisa berterima kasih, kepada padi yang menunduk! 
Sebentar lagi, kami menebas nyawa batang padi, mengambil gabah, untuk menyambung hidup sebelum Tuhan mengambil kembali nyawa kami! 
Nikmat mana lagi yang harus kudustakan?
***
[1]Kata Agam selain digunakan sebagai panggilan sehari-hari yang mempunyai arti laki-laki (anak laki-laki), Agam juga digunakan untuk sebuah nama. 
[2]Perjamuan makan untuk memperingati suatu peristiwa, minta berkat, syafaat, keselamatan dan lain-lain. 
[3]Padi 
[4]Jumlah harta benda minimum yg dikenakan zakat 
[5]Negeri 
[6]Ustad.
Categories
Uncategorized

Menikmati Kopi Terbalik di Meulaboh

Sebentar
lagi akan senja di Minggu menyengat. Langkah lunglai tak tentu arah ingin
segera dimanjakan. Tubuh lelah membutuhkan formalin secepatnya agar mampu
bergerak melakukan hal-hal lain. Kota Meulaboh yang kecil membuat pikiran
buntu. Warung kopi ini. Warung kopi itu. Hampir semua warung kopi berinternet
gratis sudah dijajaki di Ibu Kota Kabupaten Aceh Barat. Perlu rasanya duduk
santai tanpa memandangi laptop. Perlu senang-senang bersama teman-teman yang
terlampau penat mengejar udara hampa di sana-sini. Penat perlu dibumbui dengan
canda tawa. Tak ada laptop. Tak ada debat bahan bakar minyak yang naik kian
meresahkan. Tak ada jari kebas di atas
keyboard maupun keypad
smartphone
lima inci. Hanya senang-senang saja.
Berdua
dengan seorang teman yang baru saja lelah meliput berita banjir. Kami mendaki
jembatan di atas sungai tak terurus. Terjun bebas dari jalan menanjak ke sebuah
warung kopi terisolir. Katanya terisolir, karena di sini tidak ada fasiliti
Wi-Fi. Hanya ada gubuk-gubuk kecil dan minuman serta makanan. Area khusus penikmat
hari tanpa dibebani masalah ini itu. Tujuan kami berdua juga sama. Melepas
masalah. Berhubung teman lain tidak bisa ikut, kami brdua saja di bawah gubuk
yang terbuat dari kayu hampir usang dan atap rumbia. Eksotisme di pinggir kota
Meulaboh yang dihiasi warung kopi modern, di mana hampir semua orang sibuk online
walaupun hanya memesan segelas kopi.
Nah,
kopi. Itu dia daya magis mengapa kami melancong ke Waroeng Kenangan. Warung
kopi tradisional ini termasuk salah satu warung kopi populer di Meulaboh. Selain
tempat nongkrongnya yang terdiri dari gubuk-gubuk secara terpisah, juga menu
yang ditawarkan beragam. Para pengunjung terdiri dari muda-mudi serta keluarga.
Kita bisa memilih tempat sesuai selera, menghadap ke sungai, ke pinggir laut,
selama masih kosong. Jangan salah, warung kopi ini sering kali penuh setiap
akhir pekan.
Daya
tarik pertama adalah kupie khoep. Anda belum pernah dengar? Jika tinggal
di Aceh tentu saja sangat paham dan tahu artinya. Kopi Terbalik. Bukan kopinya
yang dibalik. Bukan pula aroma kopinya yang diubah. Bukan pula pahit. Bukan pula
sangat manis. Kopi terbalik ini terletak pada penyajiannya saja. Jika gelas
kopi biasanya terbuka ke atas, maka kopi terbalik permukaan terbuka itu
diarahkan ke bawah, menyatu dengan piring. Untuk menikmati kopi terbalik,
sederhana saja, Anda cukup meniup di setiap sisi piring, maka kopi akan keluar
dari persembunyiaannya. Kopi yang keluar dari gelas terbalik itu sudah hangat diminum
dengan pipa plastik kecil.
Photo by Bai Ruindra
Photo by Bai Ruindra
Seorang
pelayan muda menghampiri kami di gubuk paling sudut. Pelayan itu menawarkan dua
rasa Kupie Khoep. Biasa atau nenen. Biasa artinya kopi campur
gula. Nenen mempunyai arti yang vulgar dalam budaya Aceh. Secara kasar,
kopi terbalik rasa nenen itu adalah kopi susu. Jangan heran jika Anda
mampi ke warung ini. Pelayannya tetap akan bertanya demikian. Kami memesan si nenen
karena rasanya akan lebih nikmat dicampur susu. Namun, jangan khawatir, untuk
Anda yang tidak bisa minum kopi dengan alasan pencernaan (sakit lambung
misalnya), Anda bisa memesan minuman lain. Kelapa muda bisa jadi alternatif. Atau
aneka juice. Atau teh panas, teh dingin, boleh-boleh saja.Selain ciri khas yang kental ini, kopi terbalik merupakan kopi yang dibuat dengan bubuk kopi terbaik Aceh. Kental dan pahit. Anda bisa bergadang sampai pagi jika tidak sanggup menahan pengaruh kafein ini. 
Kami
juga memesan tahu goreng. Tahu ini juga merupakan makanan khas warung kopi
pinggir sungai ini. Tahu goreng ini merupakan campuran tahu, telur rebus dan
timun, lalu dicampur dengan kuah kacang dan kecap. Selain tahu goreng, Anda
juga bisa memesan rujak Aceh maupun mie Aceh.
Pesanan
kami datang. Saatnya menikmati senja bersama kopi terbalik, kelapa muda, dan
dua piring tahu goreng. Tentu saja kami berbagi sesuai pesanan masing-masing.

Akhir
pekan yang menyenangkan. Tidak perlu mahal. Anda cukup mengeluarkan empat
ribuan untuk kopi terbalik biasa, lima ribuan untuk kopi nenen, lima
ribuan untuk kelapa dan delapan ribuan untuk sepiring tahu goreng. Anda
tertarik? Kami tunggu di Meulaboh! 
Photo by Bai Ruindra
Photo by Bai Ruindra
Photo by Bai Ruindra
Photo by Bai Ruindra