Kukenal dia waktu SMA. Awal bertemu tidak begitu simpatik dan cenderung mencueki gerak-geriknya. Karena masih dianggap tidak perlu dan belum berhubungan dengannya sehingga alasan itu ada. Seiring berjalan waktu, mataku menjurus pada langkahnya yang berbeda dengan orang lain. Bila kuperhatikan, jalannya berat sebelah, tepatnya pincang sebelah.
Perkenalan lebih dekat saat menginjak kelas dua. Dia sudah masuk kelas kami dan duduk dengan manis di meja guru. Pandangannya yang tajam sering menusuk dan menghembuskan aroma tegas dalam setiap kata-katanya.
Dia mengajar pelajaran agama, bagi kami anak laki-laki sangat malas berhadapan dengan pelajaran satu ini. Bertambah lagi dengan guru yang tak kenal ampun jika kedapatan siswanya tidak bisa hapal hadits atau ayat Alquran yang disuruh. Sikap tegas dan bijaksana yang dimilikinya menutupi segala kekurangan yang dia rasakan.
Dia adalah Rosmala, guru agama sekolahku. Dulu dia guruku dan sekarang sebagai teman sesama guru, karena aku juga sudah menjadi guru setelah enam tahun melanglang buana di Banda. Dia tak pernah berubah.
Semangat yang dulu ditanamkan padaku dan teman-teman, kurasakan hingga menjelang usia pensiunnya dari sekolah. Sudah lewat dua puluh tahun beliau mengajar di sekolah ini dan tak dipindah ke sekolah lain. Kecintaan beliau akan sekolah tak bisa didefinisikan dengan berbagai kata manis.
Rosmala memang guru yang tegas. Punya pendirian dalam mengajar dan selalu jadi panutan. Bukan dituakan karena usianya yang sudah tua. Dia berhak dijadikan orang tua hebat disebabkan hal lain.
Di umur yang hampir senja, beliau masih mengajar dengan mata menyala-nyala dan semangat menggebu-gebu. Suara lantang dan berkarakter. Hukuman tetap diterapkan jika ada siswa yang tak mampu menghapal dengan benar.
Aku belum menemukan guru seperti beliau. Dengan kekurangan yang beliau punya, anak didik yang sudah diberikan bekal olehnya menjadi tokoh dan panutan dalam masyarakat.
Dulu kekurangan itu masih tertutupi sebab beliau masih kuat menopang tubuh beratnya, sekarang ke mana saja langkah kaki kruk selalu memapah kakinya.
Benar. Beliau cacat dari kecil. Kaki sebelah kiri tidak tumbuh sesuai perkembangan semestinya. Di masa-masa menjelang pensiun, setelah mengajar lebih dari dua puluh tahun, aku melihat beban yang sangat berat.
Dengan menggunakan kruk beliau masuk kelas, kadang berkeringat, kadang terengah, kadang pula lelah menghadapi anak-anak yang tidak mendengar omongannya. Beliau tak pernah mengeluh akan kekurangan yang dimiliki. Itulah salah satu kekuatan yang kurasakan dalam menyemangati diriku sendiri.
Bagiku, Rosmala adalah kartini setelah Kartini. Perjuangannya mungkin berbeda dengan Kartini, namun dalam menjalani hari-hari sebagai guru dengan cacat fisik tak lantas jiwa Kartini kuabaikan dalam dirinya.
Ketidaksempurnaan fisik tak membuat perempuan tua ini meregang kesedihan tanpa berbuat apa-apa. Suatu masa dulu beliau kuliah di Banda, lalu pulang ke kampung mengabdi sebagai guru. Dilahirkan dalam keluarga yang sadar akan pendidikan menjadikan Rosmala sebagai perempuan tekun dalam belajar.
Rosmala tetap dirinya dan Kartini tetap perempuan Indonesia yang dikenal seluruh khatulistiwa. Mungkin di berbagai pelosok, di tempat yang aku tidak tahu, sosok Rosmala tetap menghadirkan tawa, sedih, cerita suka duka, dalam mengajar generasi bangsa.
Semangat Kartini, kesabaran Rosmala, kujadikan bekal memaknai arti kekurangan!