Tiada hari tanpa bercinta dengannya! Tepat
sekali. Aku yakin, kamu juga demikian. Tiap hari kerjanya pelototin layar
sepuluh atau dua belas inci. Ada kebanggaan tersendiri jika sudah berinteraksi
dengan perangkat elektronik ini. Gayanya nggak gagap teknologi!
Ke
mana-mana, laptop dibawa. Apalagi, di Aceh, warung kopi dengan fasilitas
internet gratis itu bagai kita mencari makanan ringan.
Gampang sekali. Asalkan
ada uang lima ribu rupiah untuk menebus secangkir kopi. Terserah kamu mau ngapain,
kamu menghabiskan waktu dari pagi sampai sore pun nggak masalah, kamu
mau download film terbaru silakan saja. Asyik sekali pokoknya!
Dunia terasa milikku!
Orang
lain
mah lewat. Mau dianggap pengangguran, terserah. Mau dianggap tak
ada penghasilan
rapopo – kata Julia Perez. Mau dibilang cuma
nongkrong
saja,
no problem. Nyatanya?
Nggak demikian.
Facebook cukup
jarang kubuka pakai laptop.
Twitter pun jarang-jarang. Paling sering
update
status dengan
link tulisan terbaru. Dan ini,
blogger adalah
laman
website satu-satunya yang selalu kukunjungi, selain Kompasiana.
Aku
termasuk pembaca yang jarang komentar di blog orang lain. Mungkin ini
pula alasan orang jarang komentar di blog aku – hapus kalimat terakhir!
Duniaku hancur…
Bukan
putus cinta, toh aku jomblo budiman. Bukan karena kehilangan ide
menulis. Bukan karena nggak ada lagi internet gratis.
Sedih
itu karena laptopku tiba-tiba tidak mau menyala!
Aku
kayak kembali ke masa purbakala. Kurang paham apa yang terjadi dengan kekasih
berukuran sepuluh inci ini. Jika dikata tiak paham teknologi sama sekali,
mungkin kurang tepat, aku masih bisa membedakan laptop
blank total dan
tak bisa disembuhkan dengan
blank setengah total yang datanya masih bisa
diselamatkan.
Laptopku masih hidup. Sesekali aku masih bisa masuk ke Windows.
Di lain kali malah lebih sering menampilkan barisan kalimat yang tak
kumenegrti. Di layar itu tertulis ada perangkat hardware yang mengalami
masalah.
Kepalaku
pusing. Kalimat mujarab itu, hindari kerusakan hardware! Tiba-tiba
menjadi kenyataan. Hardware. Kata kunci itu. Perangkat penting sebuah
laptop/komputer. Jika rusak artinya harus ganti baru. Aku selalu nggak masalah
jika software yang mati total karena cukup instal ulang.
Saatnya
mengejar tukang service. Mana tahu laptop tua ini salah menulis notifikasi.
Ya kan? Nama juga perangkat tua. Salah-salah wajar dong!
Laptopku
ini termasuk kategori laptop tahan banting. Sangat bisa kuandalkan. Dan aku
sangat percaya dengan produk keluaran IBM ini. Jika kusandingkan dengan produk
laptop terbaru sekarang, kecepatan laptopku dua kali lebih cepat dalam
mengakses data maupun konektivitas internet.
Walaupun laptop dengan slogan ThinkPad
ini hanya mendukung Windows XP namun hasil kerjanya lebih menjamin
dibandingkan laptop yang sudah support Windows 7 maupun Windows 8.
Aku
duduk santai di sebuah toko service komputer. Tak perlu kukatupkan kedua
tangan untuk mendoakan semoga si laptop yang tak kuberi nama itu baik-baik
saja.
“Ada
perangkat yang rusak,”
“Apa
itu, Bang?” mataku melotot.
“Kita
bongkar dulu,”
Aku
mendengus. Bongkar?
“Boleh?”
Aku
mengiyakan. Laptop tua itu dibongkar. Aku juga penasaran dengan perangkat mana
yang rusak.
“Kemungkinan
perangkat untuk Wi-Fi, Bang?” ujarnya sambil membuka bagian belakang laptop
itu.
Aku
menunggu. Menghitung berapa banyak nada yang tersimpan dalam lagu Ku menunggu,
Rossa Roslaina. Mana tahu sebuah keajaiban bisa datang. Aku tak perlu
mengganti perangkat keras yang dimaksud.
“Kita
coba copot yang ini,” tangannya langsung melepas kabel yang tersambung ke
perangkat keras sebesar tiga jari itu. “Kemungkinan memang ini yang tidak
mendukung lagi,”
Selesai
memisahkan perangkat kecil itu dengan badan laptop, ia menekan tombol Power.
Laptop menyala dengan mulus.
“Ini
tidak bisa lagi, Bang!”
Selesai.
Perangkat
sebesar tiga jari itu tak lain perangkat dukungan untuk konektivitas internet
melalui Wi-Fi. Perangkat itu dicopot, otomatis internet melalui Wi-Fi tidak
bisa disambung lagi.
Malapetaka!
Sehari-hari
aku bekerja dengan internet!
“Apa
penyebabnya, Bang?” tanyaku lugu. Padahal, aku sudah memprediksi alasan
rusaknya perangkat keras itu.
“Bisa
jadi karena tersambar petir!”
Benarkan?
“Masih
untung tidak terbakar semua, Bang,”
“Memang
bisa terbakar semua?”
“Bisa!”
ujarnya mantap. “Jika terbakar semua, laptop bisa meledak!”
Aku
membayangkan kemungkinan terburuk itu. Meledak? Habislah semua
data-dataku di hardisk.
Aku
pulang dengan lesu. Laptopku memang tidak kenapa-kenapa. Namun dicopotnya
perangkat keras untuk mendukung Wi-Fi sama saja aku bekerja tak terkoneksi
internet.
Perangkat keras serupa – seperti bawaan – tidak dijual terpisah,
katanya satu-satunya pendukung Wi-Fi adalah perangkat berbentuk flashdisk
yang harganya mendekati dua ratus ribu.
Jelas
saja aku jadi pelit. Entah kenapa aku menjadi sangat sensitif. Aku pun memutar
otak ke mana suka.
Aku punya smartphone Android, akan kucoba mengoneksinya
dengan itu.
Memang, Android sudah mendukung Portable Hostspot,
fungsinya sama dengan Wi-Fi kebanyakan. Namun laptopku sudah tidak bisa
tersambung lagi dengan Wi-Fi jika tak ada kabel pendukung.
Aku
duduk lemas di warung kopi. Mengutak-atik
smartphone Android andalan,
yang sewajarnya tidak boleh dihidupkan dukungan Wi-Fi secara berlebihan.
Aku
berharap tidak lagi keluar biaya tambahan. Mataku terbelalak. Wi-Fi dari
Android bisa dikoneksikan dengan kabel. Dan, yang lebih semarak lagi, aku bisa
mencangkok jaringan Wi-Fi dari warung kopi itu, tak payah menggunakan jaringan
seluler.
Oh, Android…
Tapi,
aku jadi sangat sensitif terhadap cuaca. Nggak lagi-lagi aku
menghidupkan laptop saat petir. Aku tidak tahu apakah tersambar saat online atau
offline. Kemungkinan bisa banyak hal. Laptop ini pun sudah tersambar
sekali. Jika kedua kali? Separuh nyawaku pergi, seperti kata Anang Hermansyah! Pengalaman ini cukup “menggiurkan” diulang kembali!