Teungku Rayeuk[1] sudah menamai putriku. Aku pun tidak bisa membantah dan tidak bisa menolak. Teungku Rayeuk merupakan orang yang sangat dihormati di kampung.
|
Nama anak di Aceh. |
Bahkan reputasi Teungku Rayeuk sudah terdengar sampai ke pulau Jawa. Beberapa kali Teungku Rayeuk diundang ke Jawa, entah silaturahmi dengan pendiri pesantren di sana entah karena di undang oleh pemerintah pusat.
Aku tidak begitu paham hal itu. Aku hanya santriwati[2] yang belajar di pesantren siang dan malam.
Dua tahun lalu aku menikah dengan pujangga pemberian Teungku Rayeuk. Dalam hal jodoh pun aku seperti tidak bisa berkutik, pemberian Teungku Rayeuk sudah seperti perintah, tidak boleh dilanggar maupun dibantah. Kami para santriwati menuruti semua permintaan Teungku Rayeuk.
Jodohku tak lain kemenakan Teungku Rayeuk yang baru pulang belajar kitab kuning[3] dari Aceh Utara. Pesantren di Aceh Utara masih sangat populer di kampungku. Entah karena metode ajar yang bagus entah karena ingin meudagang[4] ke luar Aceh Barat. Aku tidak tahu pasti karena tidak kualami sendiri.
Teungku Rayeuk menjodohkanku bukan tanpa sebab, aku satu-satunya santriwati yang paling tua di antara santriwati lain. Aku pun sudah ditugaskan mengajar beberapa kelas di pagi hari, kitab kuning pun sudah kupahami dengan benar mulai dari cara baca sampai arti dan penafsirannya.
Menikah sudah jadi kewajibanku menunaikan sunnah[5] nabi. Sebagai muslimah, aku tidak mau melanggar anjuran agama dan aku tidak mau sampai tua tidak berjodoh di dunia.
Terkadang aku iri dengan teman-temanku yang sudah menggendong bayi. Pemberian jodoh dari Teungku Rayeuk seakan menjawab semua doa-doaku tiap malam hampa.
Dan, setelah dua tahun lalu aku menikah dengan Teungku[6] Mukhsin, kami dikaruniai seorang putri. Teungku Mukhsin tidak jauh beda denganku, masih memegang teguh aturan pesantren yang tak pernah membantah perintah dan mau Teungku Rayeuk.
Teungku Mukhsin, suamiku, tak pernah berkeluh-kesah akan sikap dan teguran Teungku Rayeuk terhadapnya. Siang malam Teungku Mukhsin mengajar kitab kuning tanpa imbalan apa-apa, paginya Teungku Mukhsin baru mencari rejeki.
Pekerjaan yang Teungku Mukhsin lakukan tidak jauh beda dengan orang kampung lain, bertani dan berkebun. Kadang aku sangat kasihan dengan suamiku, sudah lelah mengajar kitab kuning lantas bekerja lagi.
Entah dari mana sisa tenaga Teungku Mukhsin melakukan itu semua. Mungkin, Tuhan memang sudah menyiapkan sisa tenaga cadangan untuk suamiku, entah di bagian mana yang aku tidak tahu kecuali pemberinya sendiri.
Awal pernikahan kami memang kacau. Berulang kali kulihat Teungku Mukhsin termenung, aku menemaninya juga dalam diam.
Rumah peninggalan keluarga Teungku Mukhsin tak lebih besar dari ruang kelas belajar kitab kuning yang berkeramik dan beratap seng. Rumah kami masih beratap rumbia, dua kamar, satu dapur, kamar mandi diluar rumah dan tidak berkeramik.
Teungku Mukhsin tidak pernah protes dengan hidup kami, rutinitas yang dilakukan setiap hari tidak pernah membuatnya marah-marah begitu pulang ke rumah tidak ada lauk di meja makan.
Aku serba salah, mau menolong Teungku Mukhsin mencari penghasilan lebih aku tidak berdaya. Kampungku tidak menyediakan pekerjaan, kami hanya bertani dan berkebun yang dilakukan sendiri-sendiri tanpa diupahkan.
Senyum Teungku Mukhsin baru terkembang saat putri kami lahir. Suamiku benar-benar sudah mendapatkan pelipur lara, putri kami memberikan kesegaran pada setiap langkah yang dilalui Teungku Mukhsin.
Teungku Mukhsin sudah sangat bersemangat mencari sisa-sisa rejeki yang berserak di jalanan kampung kami. Semenjak putri kami ada, setiap hari ada saja buah tangan yang dibawa pulang Teungku Mukhsin. Suamiku ini benar-benar sangat penyayang, terlihat dari tatapan mata dan suaranya terhadap putri kami.
Kupikir, ikut campur Teungku Rayeuk dalam keluarga kami sudah berakhir. Namun aku salah, Teungku Mukhsin secara tidak langsung sudah meminta nama untuk putri kami dari Teungku Rayeuk.
Aku sedikit kecewa, jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan nama tersendiri untuk anak kami kelak. Setiap jenis kelamin sudah kusimpan rapat-rapat namanya.
Teungku Mukhsin sudah melewatkan momen bahagia milikku, tanpa kuketahui Teungku Mukhsin sudah memiliki nama juga. Pemberian Teungku Rayeuk.
“Beliau punya maksud tersendiri memberi nama putri kita,” kata Teungku Mukhsin di malam hari sebelum kami beranjak tidur.
“Setiap nama itu punya makna masing-masing, dan setiap anak punya nama tersendiri yang sanggup mereka pikul,” suara Teungku Mukhsin tenang seadanya.
Aku masih menerka-nerka arah pembicaraan kami, walau aku hanya lulusan pesantren tradisional[7] namun masalah nama ini aku harus benar-benar paham, jangan sampai putri kami besar nanti aku tidak bisa menjelaskan maksud namanya.
Kucoba buka suara, “Bukankah nama putri kita sama dengan putri Teungku Iman?”
Benar. Teungku Iman juga mempunyai putri, baru berumur empat tahun, namanya pun sama dengan nama putri kami.
Teungku Mukhsin masih bersikap seperti biasa, tidak mengisyaratkan keberatan akan keputusan Teungku Rayeuk soal nama ini, tidak juga tersinggung dengan pernyataanku.
Aku berharap Teungku Mukhsin sependapat denganku dan kembali ke Teungku Rayeuk besok mengubah nama putri kami.
“Nama tak masalah sama, putri kita tetap jadi putri kita. Teungku Rayeuk tahu bahwa putri kita sanggup memikul nama itu,” Teungku Mukhsin mengerutkan kening.
Mencari-cari pernyataan yang tepat sebelum memberi penjelasan akan tanyaku. Teungku Mukhsin memang selalu mencari kata-kata yang tidak melukai perasaanku setiap akan bersuara.
Tidak hanya denganku, dengan siapapun Teungku Mukhsin akan bersikap sama.
“Nama putri kita sangat bermakna, nama itu akan sanggup diemban putri kita sampai kapanpun. Nama yang berat akan membuat putri kita tidak sanggup menerimanya. Arti nama sangat berpengaruh terhadap kesehatan putri kita. Jika putri kita tidak sanggup memikul nama, maka putri kita akan sakit-sakitan, lemah fisik dan mentalnya, tidak pandai bergaul, tidak diterima masyarakat, tidak pintar dalam bertutur kata, tidak….,” Teungku Mukhsin masih terus menjelaskan makna dibalik nama. Kepalaku tiba-tiba terasa sangat berat, lagi-lagi masalah yang tidak diterima logikaku.
Aku mulai berbaring. Sekilas kulihat putri kami sudah terlelap. Kasihan sekali jika putri kami menerima ego orang dewasa. Aku tak habis pikir, orang dewasa masih percaya hal demikian.
Putri pertama Teungku Iman sudah berulang kali ganti nama, dan nama itu juga berasal dari Teungku Rayeuk. Putri kesayangan Teungku Iman tetap lemah fisiknya.
Bulan lalu putri tertua Teungku Iman baru dibawa ke rumah sakit, dua bulan lalu jauh ditangga rumahnya dan luka dipergelangan kakinya, tiga bulan lalu dirawat sampai seminggu di rumah sakit.
Aku pun belum mengerti jalan pikiran Teungku Mukhsin. Mauku Teungku Mukhsin bisa mencerna semua pemberian Teungku Rayeuk padanya, tidak langsung menerima dengan lapang dada.
Aku memang wanita kampung, aku pun tidak mau dikategorikan wanita kampungan. Aku memang belajar di pesantren, aku juga tidak mau dibilang kurang pergaulan.
Dunia sekarang sudah berubah, banyak hal yang bisa dipelajari dari berbagai media. Televisi sudah sejak dua puluh tahun lalu masuk kampung ku.
Listrik bahkan lebih awal dari itu. Orang-orang sudah banyak berinteraksi dengan perangkat telekomunikasi, informasi pun kerap didengar di mana-mana. Pernyataan suamiku patut mendapat pertanyaan lebih lanjut.
Aku percaya, nama seorang anak adalah doa. Aku tidak percaya dengan pernyataan yang mengatakan nama mempengaruhi fisik seorang anak.
Bagiku, informasi yang sering kudengar dan kulihat di televisi sudah cukup menegaskan bukan nama saja yang berpengaruh pada kesehatan anak.
Anak sakit karena alasan tertentu, kurang perhatian orang tua, kurang asupan makanan bergizi, kurang interaksi dengan sesama, kurang dalam tata cara ajaran dari rumah. Semua berpengaruh!
Putri Teungku Iman yang sering sakit, sudah berulang kali pula ganti nama itu. Kulihat, Teungku Iman tak begitu peduli kebutuhan gizi anaknya.
Bahkan, ASI yang seharusnya diberikan hanya bertahan sampai dua bulan dengan alasan istrinya mengandung lagi. Soal susu tambahan jangan tanya lagi, Teungku Iman sangat membuang jauh-jauh makanan dalam kemasan, katanya tidak halal walau sudah bersertifikat halal dari MUI.
Aku pun tidak menyalahkan Teungku Rayeuk, aku yakin ada pertimbangan tersendiri dalam memberi setiap nama seorang anak. Teungku Iman juga punya alasan tersendiri dalam menelaah semua ilmu yang dimilikinya.
Aku tak perlu heran. Bahkan, untuk kami yang sudah belajar agama di pesantren. Orang kampung yang tidak belajar akan menuruti semua perkataan Teungku Rayeuk tanpa memilah benar salah. Aku tidak bisa menerima begitu saja. Teungku Rayeuk tetap seorang manusia biasa yang kadang khilaf.
Soal nama, putri kami dinamai sama dengan nama putri Teungku Iman. Nama yang kuno untuk zaman sekarang. Nama yang tidak ada kesan apa-apa bagi orang yang memanggil. Sebuah nama teramat sangat tua untuk putri kami yang belum berusia dua tahun pun.
Nama putri kami jauh tertinggal entah di ribuan tahun lalu. Lihat saja nama-nama putri Teungku Rayeuk, ada Najwa, Zakir. Putriku?
‘Abidah!
Tidak salah dengar. ‘Abidah nama putri kami. Nama dari bahasa Arab, nama yang sangat tidak kusukai. Seharusnya Teungku Rayeuk tidak menyimpan nama-nama bagus khusus untuk putri-putrinya saja.
Aku jadi wanita tamak? Yang ingin dapat lebih bagus dari ini? Entahlah. Di zaman sekarang, dengan nama-nama anak beragam elok, nama putriku hanya ‘Abidah. Bukankah nama itu sangat tua?
Tidakkah Teungku Rayeuk membayangkan bagaimana interaksi putri kami nanti dengan teman-temannya yang memiliki nama bagus. Aku butuh suatu kesegaran pada nama putri kami.
Aku bahkan jadi kesal pada Teungku Mukhsin yang diam saja menerima ‘Abidah sebagai nama putri kami.
Teungku Mukhsin bisa saja saling tukar pendapat dengan Teungku Rayeuk soal nama. Lagi pula, kedekatan mereka sudah sebagai anak dengan ayah. Aku sungguh kecewa!
‘Abidah. Putri kami, semoga benar menjadi wanita yang taat, yang beribadah kepada Tuhan. Karena itu arti nama putri kami!
***
[1]Ulama, sebutan lain dari Kyai.
[2]Sebutan untuk siswi di pesantren.
[3]Dikenal juga dengan kitab Arab gundul.
[4]Merantau
[5]Dikerjakan mendapat pahala, tidak dikerjakan tak berdosa.
[6]Ustad, di Aceh dipanggil dengan sebutan Teungku.
[7]Pesantren yang hanya mengajarkan kitab kuning saja tanpa pelajaran umum.