Categories
Uncategorized

Gadis Aceh yang Layak Dipinang

Gadis Aceh. Selalu saja
istimewa bicara tentang mereka. Karena gadis Aceh tak sembarangan gadis yang gampang-gampang
amat untuk dipinang. Percaya atau tidak, gadis Aceh memiliki “etika”
terlampau tinggu untuk dapat memilikinya.
Dara Baro Aceh.

Budaya
Aceh yang mengakar, membuat gadis Aceh jadi “rebutan” oleh para perjaka. Gadis Aceh
tak hanya dilamar karena telah mencukupi mahar sebanyak 20 mayam emas. Gadis Aceh
bukan dilamar karena cantiknya saja. Gadis Aceh dilamar bukan karena mereka
adalah perempuan yang membutuhkan laki-laki dalam hidup mereka.

Gadis
Aceh tak lain adalah mereka yang punya integritas tinggi sebelum menjadi milik
orang lain (calon suami mereka).

Gadis
Aceh yang layak dipinang merupakan mereka yang menjunjung tinggi adat-istiadat
dalam sebuah lingkungan tempat tinggalnya. Gadis Aceh ini menghormati dirinya
sendiri sebagai perempuan suci yang belum tersentuh laki-laki selain suaminya
kelak.

Gadis Aceh ini menjaga sikap dan perilaku dalam masyarakat karena itulah
kelebihan yang mengantarkannya ke dalam kesucian jiwa dan raga. Gadis Aceh
adalah mereka yang menghargai kedudukan keluarganya sebagai anggota dalam
masyarakat yang tahu malu dan bahagia jika adat tetap dijunjung tinggi.

Gadis Aceh
yang layak dipinang bukanlah mereka yang cuma mengharapkan mahar dalam jumlah
besar maupun laki-laki yang mampu membiayai pesta penikahan. Gadis Aceh
dilahirkan dengan kasih sayang berlimpah dari keluarga dan lingkungan sekitar.

Tidak
mudah mendapatkan hati gadis Aceh. Jika telah mendapat restu darinya, maka
restu orang tuanya adalah pertimbangan selanjutnya. Gadis Aceh adalah mereka
yang mengenalkan calon suaminya kepada keluarganya dengan baik-baik.

Gadis Aceh
bukanlah mereka yang datang membawa kesengsaraan kepada keluarganya, memaksa
calon suami kepada orang tua padahal belum tentu kebahagiaan benar-benar datang
dari cinta. Gadis Aceh adalah mereka yang menikahkan dua keluarga, bukan
pernikahan antara dirinya dengan laki-laki yang sangat dicintai.

Gadis
Aceh cantik rupanya, berbudi pekerja elok dipandang mata. Bukankah gadis Aceh
musti menjaga marwahnya sebelum mengiyakan apapun yang diminta laki-laki (calon
suaminya; jika jadi kelak). Siapkah
Anda meminang Gadis Aceh? 
Categories
Uncategorized

Menapak Sejarah di Kota Tua Ibu Kota

 Ibu KotaJakarta
– selalu menjadi impian sebagian besar orang untuk mengunjunginya. Termasuk saya! 
Selama
ini, saya orang yang belum beruntung menginjakkan kaki di Jakarta. Perjalanan yang
saya tempuh biasanya hanya sekadar
transit atau ganti pesawat di Bandar
Udara Soekarno-Hatta sebelum bertolak ke destinasi tujuan.
Ingin sih
berteduh sesaat
di Ibu Kota namun waktu belum mengizinkan saya ke
arah sana.

Di
antara sekian banyak paket wisata di Ibu Kota, satu saja yang sangat ingin saya
kunjungi, Kota Tua JakartaMungkin,
pemikiran saya terlalu mundur ke belakang. Sejarah tak boleh dilupa. Kota Tua
Jakarta menyimpan sejarah yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. 



Sejarah adalah
pelajaran untuk tidak mengulang kejadian yang serupa di masa mendatang. Sejarah
tak lain kenangan untuk mengenang sebuah kisah pahit dan bahagia di masa
lampau. Dari sejarah pula kita belajar sesuatu yang tidak ada menjadi ada
bahkan sebaliknya. Sejarah musti dipelajari karena jika dilupa ia tak akan
pernah dikenang.
Di
Kota Tua Jakarta adalah Gedung Arsip Nasional yang menyimpan
banyak literatur tentang sejarah Indonesia. Membaca sedikit referensi penting
saja akan membuka cakrawala tentang sejarah. Dokumen-dokumen yang hanya
tersimpan di gedung ini selayaknya dibolak-balik sesaat untuk meneguhkan hati
bahwa sejarah (perjuangan) benar-benar nyata dan abadi.
Langkah
selanjutnya ke Museum Sejarah Kota Tua atau dikenal juga dengan Museum
Fatahillah
. Namanya museum adalah tempat menyimpan “cenderamata”
sejarah yang menjadi saksi bisu kepedihan perjuangan kemerdekaan.

Benar atau
tidak, saya akan tahu jika bertandang ke sana suatu saat nanti. Museum ini
setidaknya dapat menjawab keraguan saya bahwa perjuangan melawan penjajah itu
tidak sulit. Penjajah musti “diusir” dengan senjata pikiran (taktik) dan
senjata fisik sebelum sadar bahwa Indonesia memiliki kedaulatan dan berhak
merdeka.

Museum Sejarah Kota Tua – Wikipedia Indonesia 
Ingat
waktu, ada Tugu Jam Kota Tua yang bisa saya abadikan dalam kenangan
dan diperlihatkan kepada anak-cucu kelak. Berdiri sejenak di depan Tugu Jam
Kota Tua ini mengingatkan saya bahwa meraih kemerdekaan tidaklah semudah
membalik telapak tangan. Butuh waktu yang sangat lama sebelum pembangunan dimulai
dan hidup damai dinikmati hingga saat ini.

Istirahat
sejenak sambil menikmati pemandangan Kota Tua Jakarta adalah di Lapangan
Fatahillah
tempatnya. Berada di Lapangan Fatahillah untuk merasakan
aura pengunjung lain yang ingin memaknai sejarah sebagai pelajaran dalam hidup
mereka.

Pasti akan banyak sekali ras dan suku bangsa yang berlalu-lalang di
depan saya. Memotret kesibukan mereka tentu saja menjadi keharusan bahwa
orang-orang belum melupakan jejak sejarah bangsa ini.

Mengulang
kesuksesan perdagangan di masa dulu, Pelabuhan Sunda Kelapa
adalah tempat yang cocok untuk menyelami hiruk pikuk penjual dan pembeli masa
itu. Memang, saya tidak bisa berada di masa lampau namun aura yang tersimpan di
sana pastilah bisa membuka kenangan transaksi masa dulu.

Rasa
syukur telah sampai di Kota Tua Jakarta adalah berteduh sejenak di Masjid
Luar Batang
. Sebagai muslim, sudah menjadi kewajiban untuk menunaikan shalat
dua rakaat
setiap menjumpai masjid selama perjalanan. Masjid adalah rumah Tuhan
kami yang selalu dijaga keagungan dan kemuliaannya. Masjid tempat kami mencari
perlindungan karena tak ada larangan memasukinya bagi seluruh umat Islam di
bumi ini.

Waktu
memang mengizinkan saya berkunjung ke sana. Hanya saja kepala mengerut saat
memikirkan tiket pesawat ke Ibu Kota. Bagi saya,
pesawat yang aman selama penerbangan dari Banda Aceh
ke Jakarta adalah Garuda Indonesia.

Maskapai
penerbangan bintang lima ini termasuk salah satu maskapai yang “menghargai”
penumpangnya. Selain jarang delay juga memberikan kenyamanan lebih
melalui pelayanan dari awak kabin. Selain itu, custumer service maskapai
yang termasuk 10 besar terbaik dunia ini siap melayani kapan pun (offline maupun
online). Saya tidak merasa takut jika terjadi sesuatu selama perjalanan
panjang.

Ah, tak sabar rasanya
mengepak aroma tubuh di sekeliling Kota Tua Jakarta. Distinasi ini wajib masuk
ke dalam buku catatan perjalanan. Anda setuju? 
Categories
Uncategorized

Menjala Ikan Sejak Ayunan Sampai Akhir Masa

Tangkaplah ikan sampai ke tengah lautan! Kira-kira, begitulah pelajaran hidup tak tertulis bagi mereka, di pesisir pantai. Pantai telah menjadi keseharian dalam hidup mereka. Laut telah menjadi rumah kedua yang tak pernah bisa ditinggal dan selalu terbayang begitu merapat ke daratan. Ombak telah menjadi goyangan sehari-hari, sehari saja tubuh kekar itu tidak terombang-ambing di lautan, rasanya pegal-pegal seluruh badan. 
Kehidupan pesisir selalu menyisakan kenangan tak terlupa. Dari pesisir ini pula segala jenis makanan laut diracik menjadi satu masakan terlezat di seluruh belahan dunia. Masyarakat pesisir tak lain para penolong perut keroncongan yang ingin segera diisi oleh ikan bernutrisi dan berprotein tinggi seperti salmon, udang maupun kepiting. 
Aktivitas pesisir tak lepas dari pemandangan yang sibuk sepanjang pagi maupun sore. Para nelayan yang baru pulang dengan bangga memamerkan hasil tangkapan mereka. Para pembeli yang sudah menanti, tak sabar ingin segera menggoreng maupun memasak gulai dari ikan segar. 
Semua pemandangan itu nyata, dan mereka ada untuk kita.  Kehidupan pesisir terus berlanjut walaupun bencana besar pernah merenggut masa depan dan cita-cita di tanah Aceh. Sepanjang lepas pantai wilayah barat Aceh tak lain adalah daerah yang dulu rata dengan tanah. 
Masyarakat pesisir yang tersisa kemudian mengungsi ke dataran tinggi untuk waktu yang lama, semasa pemulihan emosional (psikis) maupun ekonomi (pembangunan). Masyarakat pesisir – sebagian – telah membina keluarga dengan masyarakat daratan. 
Sebagian besar lain, anak tsunami itu, kembali ke pesisir dengan harapan hidup di tanah sendiri lebih bahagia dari pada di barak pengungsian yang terus meminta iba. Mereka berbenah dan kembali setelah rumah-rumah bantuan dibangun oleh pemerintah yang bekerjasama dengan lembaga asing. 
Mereka memulai hidup baru yang gersang. Mereka memulai pencaharian baru yang belum tentu memberi pemasukan lebih besar. Hingga akhirnya, melaut kembali menjadi pilihan. Menepis trauma. Melupakan bencana. 
Melaut lagi. Jadi nelayan. Karena mereka telah diajarkan oleh alam untuk mencari ikan. Karena alam memberikan harapan hidup lebih sejahtera jika mereka melaut. Karena ikan-ikan tak akan pernah habis di lautan mahaluas. 
Karena setiap manusia pasti mengonsumsi ikan dalam jumlah banyak. Tiap hari ikan-ikan terus dijual di pasar-pasar. Tiap waktu ikan-ikan itu menjadi kawan nasi wajib hampir seluruh rumah tangga. 
Kapal nelayan (lebih tepatnya perahu) melepas haluan. Didorong ke ombak yang menyentuh bibir pantai. Terombang-ambing menuju lautan lepas tanpa berpaling pada anak-istri yang terus melambaikan tangan. 
Kehidupan pesisir memang demikian adanya. Seakan-akan, mengantar Ayah melaut adalah perpisahan. Tiada yang tahu apa yang terjadi di lautan lepas. Bisa dihempas gelombang pasang ke negeri asing dengan berbeda keyakinan, budaya dan bahasa. 
Bisa ditangkap oleh tentara negara lain karena melanggar perbatasan. Bisa saja ada hiu sebesar raksasa yang terbang tak sengaja lantas mengempaskan diri dengan santai ke atas perahu kecil nelayan. 
Bisa juga perahu itu bocor karena satu dan lain hal, tenggelam tak berbekas tanpa penolong dari perahu lain yang bisa saja tak melaut hari itu. 
Masyarakat pesisir paham betul segala resiko. Mereka terus melaut. Mereka terus menjala ikan di bibir pantai jika tak ada perahu yang membawanya ke lautan lepas. 
Tidak semua nelayan memiliki perahu. Tidak semua dari mereka mampu membeli perahu. Nelayan-nelayan itu membentuk kelompok kemudian baru melaut. Nelayan-nelayan itu melaut dari perahu seorang kaya yang menyewakannya untuk mereka. 
Hasil tangkapan ikan tak selamanya sempurna. Saat ikan itu sedang merayakan kemenangan di tengah lautan, bergerombongan tak tentu arah, nyasarlah ke perahu yang telah dimatikan mesinnya. 
Ketika itu pula, hasil tangkapan para nelayan menambah berat perahu kecil mereka. Dan, di saat lain, ikan-ikan itu kabur entah ke mana, hanya sebagian kecil yang mereka dapat bawa pulang. Jika perahu milik sendiri tak usah dibagi-bagi hasil jerih payah.
Jika perahu bersama orang lain, semua hasil tangkapan mesti dibagi sama rata. Jika perahu milik si kaya, sudah wajib pula membayar uang sewa. 
Apa yang dibawa pulang kepada anak-istri? Sebuah senyum dan setangkai ikan teri. Anak-istri berlari mengejar Ayah dan suami. Mencium tangan bau amis. Memeluk badan mengelap seharian di bawah terik matahari. Mengambil setangkai ikan teri, digoreng maupun dimasak asam pedas khas Aceh. 
Lalu, dihidangkan untuk seluruh anggota keluarga. Hari itu makan nasi dengan ikan teri. Besok bisa makan nasi dengan ikan tongkol. Lusa bisa makan nasi dengan udang maupun kepiting. Dan lusanya lagi bisa tak ada buah tangan yang dibawa pulang karena hasil tangkapan habis terjual. Mereka tetap tersenyum. 
Mereka tetap menebar bahagia. Karena mereka tak perlu mengeluh. Tak ada pula yang mendengar dan mengasihani kehidupan mereka sehingga dapat tinggal di rumah bertingkat maupun mobil mewah. Mereka tidak pula berputus asa, melaut tiap hari untuk dapat membuat asap mengepul tiap hari dari dapur mereka. 
Begitu seterusnya, kehidupan mereka di pesisir! Sebuah kondisi yang tidak kritis namun begitu adanya. Di saat sebagian menyantap ikan besar hasil tangkapan mereka, di saat itu pula mereka yang menangkap ikan hanya menyantap ikan teri saja.
Lihatlah mereka berbahagia. Namun masa depan mereka tidak hanya sebatas laut dan daratan saja. Anak-anak mereka butuh pendidikan yang layak sehingga tak jadi nelayan seperti Ayahnya. Anak-anak mereka butuh makanan sehat demi meningkatkan daya ingat terhadap pelajaran di sekolah. Istri mereka sesekali bolehlah memasak salmon maupun lobster yang lezat dan kaya protein. 
Mereka yang selalu berpeluh butuh. Uluran tangan lebih sering dari pada sesekali. Lelah mereka melaut tak lantas dibayar dengan membeli ikan di bawah harga atau harga murah. Ikan yang mereka jual tetap sama di mana-mana. 
Perjuangan mereka mencapai daratan setelah seharian di lautan sungguh sulit disamakan dengan bekerja di daratan; ruangan sejuk dan bergaji bulanan. 
Perhatian dari pemerintah maupun lembaga amal lainnya. Alokasi dana khusus untuk para nelayan agar bisa membeli maupun memperbaiki perahu yang rusak. Perahu rusak atau tak ada perahu yang mau menumpangi mereka, sama dengan tak ada ikan yang bisa dibeli. 
Pemerintah punya wewenang lebih sigap untuk menyelesaikan masalah ini. Menunggu proposal dari para nelayan yang mungkin hanya bisa membaca, bahkan buta aksara, sama saja permohonan mereka dilempar ke meja pejabat ini dan itu. Memperhatikan mereka di pesisir akan mensejahterakan kita di daratan yang selalu membeli ikan!
Dukungan untuk terus melaut. Mata pencaharian masyarakat pesisir adalah di laut. Mereka hapal arah mata angin. Mereka paham gejala yang muncul sehingga tidak dibenarkan melaut. 
Mereka mengetahui teori pasang-surut. Memberi dukungan kepada mereka adalah salah satu bentuk motivasi untuk mereka bersabar dan selalu menebar senyum. Dukungan di daratan telah diberikan pemerintah – jika ada. 
Pendidikan layak. Memang, secara tak tertulis para nelayan telah mewarisi ilmu melaut dari turun-temurun. Pendidikan yang diperlukan adalah kesiapsiagaan bencana. Apa yang harus dilakukan saat musibah datang ditengah lautan. 
Sikap apa yang mesti diambil ketika nelayan dari negara lain datang dengan kapal besar. Bagaimana tindakan yang harus dilakukan saat tentara negara lain terlihat masuk ke perairan Indonesia. 
Hajat hidup masyarakat pesisir adalah melaut. Memberi kebebasan kepada mereka sama dengan membuat mereka bahagia. Tanpa melaut mereka akan muram. 
Mereka tak mampu bercocok-tanam karena sejak kecil hanya memegang jala. Mereka tak mampu berdagang karena semenjak remaja telah diajak Ayahnya melaut. 
Keselamatan kehidupan pesisir terletak pada keberlangsungan masyarakatnya dalam melaut. Kebiasaan mereka melaut bukan diubah menjadi bertani. Dari kebiasaan lahirlah ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam kehidupan nyata. 
Kehidupan pesisir memang gersang, namun masyarakatnya adalah mereka yang memberi kasih sayang; dari ikan yang kita santap tiap waktu makan!
Categories
Uncategorized

Jejak Dayak, Wisata Bahari dan Cekikikan Flora Fauna di Borneo

Negeri Borneo, sejuta
rasa dan pesona di sana. Borne mengingatkan tentang film
Anaconda (The
Hunt for the Blood Orchid)
yang pernah mengambil lokasi pengambil
gambar di hutan belantara Kalimantan. 
Film yang rilis tahun 2004 ini diproduksi
oleh Columbia Picture dengan deretan bintang Hollywood seperti Kadde
Strickland, Matthew Marsden, Jhonny Messner, Morris Chestnut dan Sally
Richardson. Film yang mengambil lokasi di Kalimantan Timur ini sukses di Box
Office dunia dengan total penghasilan sekitar 70,9 juta dolar Amerika. 


Dunia
telah melihat. Dunia telah merasa begitu gagahnya belantara negeri kita. Dan
dunia juga telah menyusuri ketakutan demi ketakutan yang muncul seketika dalam
film ular raksasa itu. Alasan film Anaconda seri ini syuting di Kalimantan
karena mitos yang masih dipercaya di hutan Borneo. 



Tahun 2007, di daerah
Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, benar menemukan seekor ular
besar yang pernah digambarkan dalam film para ilmuwan sedang melakukan
penelitian di hutan tropis tersebut. 



Ular besar yang terlihat dalam film memang
tidak sebenarnya namun perkara benar atau tidak hutan Kalimantan menyimpan ular
besar tidak ada yang tahu. Pesona Kalimantan tak lain adalah pesona “mengerikan”
untuk dijamah karena alam liar membuat kita musti hati-hati dalam bertindak.
Dunia
fiksi boleh saja berbohong. Tetapi panorama alam di hutan dan lautan tak pernah
bisa dimanipulasi. Inilah Borneo. Negeri impian para pencari
kekayaan di laut dan di darat. Hutan dengan kayu berlimpah. Laut bersemak
ikan-ikan. Tak ada yang diragukan lagi.

Borneo
akan berbicara tentang banyak persoalan. Karena budaya tentang sebuah sisi
kehidupan manusia bermula di sana.

Suku Dayak

Sungguh
jauh perjalanan yang bisa saya tempuh untuk mencapai dataran Kalimantan. Ini
bukan soal perjalanan memindahkan fisik saja. Ini adalah perjalanan lebih dari
itu. Sebuah perjalanan mengenai kedekatan batin antara saya dengan Kalimantan,
orang-orang yang menghuni pulau terbesar di Indonesia.
Dari
Aceh ke Kalimantan. Perbaduan budaya yang tak biasa. Beda adat-istiadat. Beda
bahasa. Beda gaya tubuh. Beda suku. Aceh terlahir sebagai salah satu daerah
dengan kekayaan sejarah pejuang kemerdekaan dari Teuku Umar, Cut Nyak Dien dan
lain-lain.

Aceh juga daerah dengan populasi pemeluk Islam terbesar di
Indonesia. Saya tidak risau tinggal di Aceh karena semua yang “halal” ada di
sini. Kalimantan tidak demikian. Ada jejak Dayak di sana.

Sebuah
perbedaan yang mengharuskan saya menelusuri sebuah peradaban. Dayak tentu tak
sama dengan suku Aceh yang mayoritas memeluk Islam. Dayak memiliki tata krama
yang saya tak tahu seperti apa.

Dayak menyimpan rahasia yang mengubah peradaban
manusia menjadi lebih beradab dengan tata cara kehidupa mereka di dasar hutan. Membaca
tentang Dayak tentu tak bisa saya banggakan sebelum bertemu dengan orang Dayak
sebenarnya.

Orang Dayak memiliki cerita dari nenek moyang mereka. Saksi
keberadaan mereka tersimpan di pedalaman Kalimantan. Orang Dayak menato
tubuhnya karena persoalan suku, derajat dan kelamin.

Bahkan, seorang penyanyi
dari Amerika Serikat, yang tergabung dalam grup musik Red Hot Chilli Peppers,
Anthony Kiedis, datang langsung ke Kalimantan untuk dapat menato tubuhnya,
ditato oleh orang Dayak, dengan tato Dayak asli. Mana mungkin vokalis ini bisa
mendapatkan ciri khas dan ukiran yang sama di negeri Paman Sam.

Tentu
saya ingin tahu tentang tato, walaupun saya tidak bisa menato tubuh karena
keyakinan saya tidak membenarkannya. Proses tato yang tradisional tentu berbeda
dengan proses tato yang dilakukan secara modern.

Tradisi tato ini saya harap
masih menjadi peninggalan berjalan sehingga orang-orang bisa melihat dan
mengabadikannya dalam ingatan. Tak hanya tato, saya ingin melihat bagaimana
bentuk rumah masyarakat Dayak. Saya ingin merasakan bagaimana sebuah peradaban
lahir di antara perbedaan suku dan agama.


Toh, kisah seperti ini sulit
saya dapatkan karena Aceh memiliki banyak kesamaan satu sama lain. Suku Dayak
yang beragam Islam tentu memiliki tata cara sama dengan saya. 



Suku Dayak yang
berbeda keyakinan, mereka yang masih teguh pada kepercayaan leluhur tentu saja
berbeda dalam menjalani kehidupan. 



Dayak tak lain tuan rumah yang akan
menyambut kedatangan pendatang di Kalimantan. Mengenal mereka adalah untuk
menerima perbedaan.

Suku Dayak yang asli masihkah tersisa di Kalimantan?
Jika
masih mari kita berbagi cerita. Banyak persoalan yang bisa kita bagi bersama.
Tentang hidup di Aceh yang tentram di bawah Syariat Islam. Tentang kehidupan
damai setelah konflik (perang saudara) dan tsunami. Tentang apa saja yang bisa
saya bagikan.

Juga tentang Dayak yang ingin saya selami, rasakan dan nikmati
suguhan yang bisa saya tonton dan kecapi. Jejak Dayak adalah peradaban yang
berkembang menuju perubahan modern. Namun saya yakin sekali di tengah rimba
Kalimantan masih tersisa keturunan Dayak yang bisa dijumpai untuk ditanyai
mengenai mereka, mengenai Dayak yang seakan-akan telah dilupa.



Wisata Bahari

Lautan
telah menjadi makanan saya sehari-hari. Dari lautan pula saya berbenah menjadi
lebih baik setelah musibah besar di akhir 2004. Lautan di Aceh, apakah sama
dengan lautan di Kalimantan?
Wisata
bahari tentu tak ubah di mana-mana. Ikan yang mengelilingi dunia akan tetap
sama jenisnya di Aceh dengan di Kalimantan, kecuali ikan jenis tertentu. Saya
pun ingin bertanya pada laut di sana, apakah mereka pernah menangis ketika Aceh
luluh-lantak dilanda tsunami?

Apakah ombak di lautan lepas Kalimantan sebesar
ombak di Aceh? Apakah pasirnya sama putih atau kecoklatan? Apakah masih ada
nelayan yang melaut?

Menyelam
lautan Kalimantan untuk dapat membedakan pelukannya dengan lautan di Aceh. Lautan
selalu mengantarkan rindu untuk dapat melihat matahari terbit maupun tenggelam.

Apakah di Kalimantan ada pantai yang menunggu matahari terbit dari timur?

Apakah di Kalimantan ada pantai yang menjadi arena penantian matahari terbenam
di barat? Masih asinkah air laut di sana? Bisakah kami memanggang ikan di tepi
pantai?

Cekikikan Flora dan Fauna

Katanya,
di hutan Kalimantan terdapat kera abu-abu. Benarkah itu? Di Aceh ada salah satu
daerah dengan penduduk bermata biru, katanya mereka keturunan Portugis. Kera
abu-abu di Kalimantan ini keturunan dari manakah dia?
Pesona
flora dan fauna tentu beragam. Binatang liar di hutan tak akan sama denga
binatang jinak yang dekat dengan perkampungan penduduk. Eksotisnya hutan
Kalimantan membuat para pelancong ingin segera meleburkan diri dalam suara
alam.

Bisingnya kota besar, polusinya kota besar, akan segera lenyap begitu
angin sepoi-sepoi, suara cicit burung, daun-daun bergesekan, menerpa aura
perasa dan penciuman manusia.

Ketakutan
apa yang mendera saya? Entahlah.
Hutan
Kalimantan sekonyong-konyong memunculkan aura mistis yang enggan saya kunjungi,
tapi ingin saya ke sana. Keraguan yang mencekam karena saya takut pada beberapa
binatang buas. Namun alam tak pernah berbohong untuk dikunjungi.

Sabda alam
selalu benar pada sesuatu yang diragukan manusia. Hutan Kalimantan memesona
manusia karena mereka punya banyak selera.

Saya tidak dapat menyebutkan flora
dan fauna yang tersembunyi di sana, karena saya belum melihat sendiri
keadaannya. Kata orang bijak; jika ingin tahu isi dalam sebuah rumah,
masuklah ke dalam rumah tersebut!

Hutan
Kalimantan adalah rumah alam terbuka. Petaka dan bahagia bisa saja terjadi. Binatang
buas bisa menerkam kapan saja. Binatang jinak bisa datang bermanja kapan saja. Saya
tidak tahu, karena saya belum memberikan sesisir pisang pada monyet yang
berloncatan di antara pohon-pohon di sana.

Kalimantan
– Borneo – dialah sebentuk rupa yang tersembunyi bagi saya. Kisahnya hanya
sebuah angan-angan yang belum tercapai. Tentangnya hanya sepintas keingin-tahuan
karena mata dan raga belum pernah menginjak dan menatap rupanya. Tulisan ini
hanya sebuah khayalan tingkat tinggi karena Borneo lebih berarti dari ini!
Categories
Uncategorized

Sulaman Kasab Mak Limah

Mak Limah sudah tua, anak tertuanya sudah menjadi sarjana dan mendapat pekerjaan layak. Anak kedua tak lama lagi juga akan meraih gelar sarjana. Anak ketiga dan keempat masih berkutat dengan pelajaran di sekolah menengah atas. 
Keseharian Mak Limah masih tetap serupa seperti saat keempat anaknya belia. Mak Limah masih ke sawah seperti kebanyakan warga kampung. Mak Limah masih kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang belum mapan. 
Saat musim sawah Mak Limah akan ke sawah. Saat jeda menunggu hasil panen atau tanam Mak Limah menyulam kasab[1] menjadi hiasan menarik khas nanggroe. Berkat sulaman kasab ini pula Mak Limah bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana. 
Memang, sulaman kasab dari tangan kasar Mak Limah tidak sebanding dengan lelah sampai mata berkunang. Mak Limah menyulam lukisan-lukisan bekas coretan pensil dengan benang berwarna emas atau putih. 
Bukan sekali dua kali pula Mak Limah merasa matanya berkabut, dulu sebelum rumahnya terang dengan kilauan lampu Mak Limah menyulam dibawah pekatnya sinaran lampu teplok. Mak Limah tetap saja bisa menghasilkan sulaman bernilai tinggi untuk dijual ke tauke yang sering datang membeli. 
Sulaman Mak Limah sering dipakai di acara-acara pernikahan dan di acara penting lain. Mak Limah sudah sangat terkenal sebagai penyulam ulung, namun lihat pula hidupnya tak pula sejahtera. Hasil jerih payahnya terkuras untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Mak Limah punya firasat yang tak mau anak-anaknya merasa nasib sama. 
Semenjak suaminya tiada, saat anak bungsu berumur dua tahun, Mak Limah sudah menjadi penerus tanggung jawab suami. Rasa cinta dan sayang terhadap keempat anak tidak bisa diartikan dengan kata perkata. Mak Limah bekerja, untuk bahagia anak-anaknya. 
***
Mata Mak Limah berkaca. Malam semakin larut untuk dirinya menidurkan lelah. Namun hasrat Mak Limah tidak mau dikalahkan kantuk. Dua hari lalu, si sulung memberi pesan pada tetangga yang baru pulang dari Banda. Si sulung yang baru kuliah mungkin terancam dengan nasibnya di perantauan. Singkat saja. 
Saya tidak punya lagi uang belanja, Mak! Tolong kirim segera!
Hati Mak Limah teriris. Sebagai ibu dari anak-anaknya Mak Limah tidak bisa mengemis pada keadaan yang terus melaju. Mak Limah selalu bersyukur dengan usaha yang dilakukannya. Mak Limah pun bergegas menyelesaikan sulaman yang sudah menumpuk. 
Dua atau tiga sulaman selesai Mak Limah rajut akan berarti bagi dirinya dan si sulung. Walau tidak sebanyak orang lain saat mengirim uang bulanan untuk anak mereka yang sedang kuliah, kiriman Mak Limah cukup untuk si sulung yang selalu tak sabar menunggu. 
Mak Limah selalu mengirim tepat waktu, terlambat satu dua hari bukan kuasa Mak Limah. Kadang tauke tidak bisa mengambil sulaman Mak Limah sepanjang malam, terpaksa Mak Limah bersabar. 
Begitu hasil capai matanya bergadang tergenggam Mak Limah langsung mengirim ke si sulung. Walau setelah itu dapur Mak Limah bersama ketiga buah hatinya hanya tercium bau sayur kangkung setiap hati, itu pun dipetik dari kebun belakang rumahnya. 
***
Bersusah-susah dulu sebelum senang menghalau langkah, benar saja. Mak Limah kembali memikul beban yang semakin berat. 
Si sulung belum selesai kuliah, adiknya menyusul ke Banda. Mak Limah tidak melarang, mengatakan bersabar sampai si sulung usai. Karena waktu tidak pernah bisa dilarang berjalan tegak lurus. 
Saat kedua anaknya meminta dana tambahan, Mak Limah pun memaksa kerja sampai subuh. Sulaman kasab yang selama ini hanya diselesaikan dua sampai tiga helai, kini sudah sampai sepuluh bahkan lebih dalam sebulan. 
Mata Mak Limah sering berkabut menatap hari yang semakin silau. Tetangga sudah membangun rumah mewah, sudah membeli motor baru, membeli televisi berwarna dan menikahi anaknya. 
Rumah Mak Limah? Rumah ini masih seperti saat suaminya meninggalkannya. Atap rumbia dan dinding kayu. Semua tabungan Mak Limah yang tidak pernah tersimpan di bawah kasur langsung melayang di udara. Habis ke pangkuan kedua anaknya di bangku kuliah. 
Mak Limah memberi semua tenaga untuk kebahagiaan anak-anaknya. Jika orang lain menyekolahkan anak-anak mereka dengan menjual warisan berlimpah, Mak Limah hanya bisa menjual hasil panen dan sulaman pesanan orang. 
Jika orang lain mengirim uang makan bulanan berjuta-juta, Mak Limah hanya mampu seperempatnya lagi. Jika orang lain sudah sering berbicara dengan anak mereka melalui pesawat telepon, Mak Limah masih menerima surat sebulan sekali mengetahui kabar kedua anaknya di Banda. 
Mak Limah mengajarkan sabar, untuk dirinya. Banyak mata memandang sendu. Sebagian malah mengejek. Sebagian lagi menaruh ibu. Sebagian lainnya mencemooh kemampuan Mak Limah menyekolahkan anak-anaknya. 
Orang kampung selalu punya kekuatan tersendiri untuk menjatuhkan orang lain. Di mata Mak Limah, mereka tidak pernah mengetahui usaha Mak Limah selama ini. Mereka hanya menilai Mak Limah terlalu tamak menyekolahkan anak-anaknya. 
Di mata mereka Mak Limah sudah tidak menyuap sesendok nasi pun dalam sehari karena tabungan terkuras untuk kebutuhan anak-anaknya. 
Mereka tidak mengetahui, saya sehat-sehat saja!
***
Mak Limah tidak pernah membantah cemooh banyak suara. Mak Limah terus ke sawah. Mak Limah tetap menyulam hingga lelah. Mata-mata iba terhadap usahanya dibiarkan terus bersuara dengan ketidakmampuan mereka akan semua yang dilakukan Mak Limah. 
Hasilnya? 
Si sulung sudah pulang; sudah sarjana!
Senyum si sulung menyentak-nyentak tawa orang sekampung. Si sulung sudah membawa pulang gelar sarjana untuk disimpan dalam-dalam di kebahagiaan Mak Limah. Dan tidak hanya itu, si sulung juga mengabarkan bahwa pekerjaannya sudah ada. Bahagia milik siapa ini? 
Mak Limah menghela nafas lega. Suara-suara bising yang selalu membuat kupingnya tuli tak pernah terdengar lagi. Berangsur kehidupan Mak Limah berubah, sekolah ketiga anaknya sudah ditanggung si sulung. Perlahan pula rumah kayunya dipermak menjadi lebih sedap dipandang. 
Mak Limah tetap seperti sedia kala, malam harinya menyulam, walau kebutuhan hidupnya sudah tercukupi namun Mak Limah tidak bisa bersenang-senang. Si sulung memang sudah mapan, tetapi tidak semua harus ditanggung anak tertuanya. 
Tiga orang tanggungan untuk laki-laki lajang tidaklah elok dipandang. Umur si sulung semakin meninggalkan muda, sudah bisa mencari jawaban Tuhan akan jodohnya. 
***
Terkadang, Mak Limah sering merantau dalam lamunan panjang. Hari-hari berlalu begitu cepat, masa lelah sudah pernah dirasa hingga tak mampu diartikan lagi. 
Keempat anak-anaknya sudah meraih jalan masing-masing. Walau dua dari mereka masih dalam pendidikan, dua lainnya sudah meringankan beban Mak Limah yang semakin senja. 
Ada waktunya untuk istirahat, bukan sekarang!
Mak Limah menatap rumahnya yang sudah gemerlap. Lampu benderang di mana-mana. Sudah ada motor. Sudah ada televisi. Sudah ada kulkas. Sudah ada kamar tidur dengan kasur empuk. Sudah ada meja makan dengan aneka hidangan. Sudah ada semua harapan!
Dan lagi-lagi, Mak Limah tetap ke sawah, tetap menyulam kasab.
Saya tidak terbiasa duduk diam menanti rezeki datang!
Mak Limah – dari kampung dengan hamparan sawah menguning ini, memakai kerudung menutup rambut berubannya. Membungkuk. Memotong padi mereka yang sudah menguning. 
Kedua anaknya sudah bekerja di pekerjaan masing-masing. Dua lainnya sekolah dan tak pernah ke sawah. Mak Limah bekerja sendiri, semua dilakukan dengan langkah dan tenaga sendiri. 
Mata Mak Limah semakin berkabut. Si sulung sudah berulang kali melarang Mak Limah bekerja. Namun Mak Limah tidak bisa duduk diam. 
Tenaganya masih kuat mencari sisa nafkah di bumi berserak nyawa ini. Mak Limah percaya Tuhan selalu sayang pada dirinya dan akan memberikan rezeki atas usahanya. 
Tangan saya belum lelah, seperti tangan Tuhan yang selalu menyentuh doa-doa saya!
*** 
Cerpen Majalah Ummi Edisi Juni 2015.
[1]Kasab atau kerajinan benang emas dikenal secara luas sebagai sulaman khas tradisional dari Aceh yang dibuat diatas kain beludru. Sulaman dengan benang emas ini bisa berupa lukisan tradisional Aceh hingga Ka’bah di Mekkah, dan kaligrafi Arab.