Mak Limah sudah tua, anak tertuanya sudah menjadi sarjana dan mendapat pekerjaan layak. Anak kedua tak lama lagi juga akan meraih gelar sarjana. Anak ketiga dan keempat masih berkutat dengan pelajaran di sekolah menengah atas.
Keseharian Mak Limah masih tetap serupa seperti saat keempat anaknya belia. Mak Limah masih ke sawah seperti kebanyakan warga kampung. Mak Limah masih kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang belum mapan.
Saat musim sawah Mak Limah akan ke sawah. Saat jeda menunggu hasil panen atau tanam Mak Limah menyulam kasab[1] menjadi hiasan menarik khas nanggroe. Berkat sulaman kasab ini pula Mak Limah bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana.
Memang, sulaman kasab dari tangan kasar Mak Limah tidak sebanding dengan lelah sampai mata berkunang. Mak Limah menyulam lukisan-lukisan bekas coretan pensil dengan benang berwarna emas atau putih.
Bukan sekali dua kali pula Mak Limah merasa matanya berkabut, dulu sebelum rumahnya terang dengan kilauan lampu Mak Limah menyulam dibawah pekatnya sinaran lampu teplok. Mak Limah tetap saja bisa menghasilkan sulaman bernilai tinggi untuk dijual ke tauke yang sering datang membeli.
Sulaman Mak Limah sering dipakai di acara-acara pernikahan dan di acara penting lain. Mak Limah sudah sangat terkenal sebagai penyulam ulung, namun lihat pula hidupnya tak pula sejahtera. Hasil jerih payahnya terkuras untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Mak Limah punya firasat yang tak mau anak-anaknya merasa nasib sama.
Semenjak suaminya tiada, saat anak bungsu berumur dua tahun, Mak Limah sudah menjadi penerus tanggung jawab suami. Rasa cinta dan sayang terhadap keempat anak tidak bisa diartikan dengan kata perkata. Mak Limah bekerja, untuk bahagia anak-anaknya.
***
Mata Mak Limah berkaca. Malam semakin larut untuk dirinya menidurkan lelah. Namun hasrat Mak Limah tidak mau dikalahkan kantuk. Dua hari lalu, si sulung memberi pesan pada tetangga yang baru pulang dari Banda. Si sulung yang baru kuliah mungkin terancam dengan nasibnya di perantauan. Singkat saja.
Saya tidak punya lagi uang belanja, Mak! Tolong kirim segera!
Hati Mak Limah teriris. Sebagai ibu dari anak-anaknya Mak Limah tidak bisa mengemis pada keadaan yang terus melaju. Mak Limah selalu bersyukur dengan usaha yang dilakukannya. Mak Limah pun bergegas menyelesaikan sulaman yang sudah menumpuk.
Dua atau tiga sulaman selesai Mak Limah rajut akan berarti bagi dirinya dan si sulung. Walau tidak sebanyak orang lain saat mengirim uang bulanan untuk anak mereka yang sedang kuliah, kiriman Mak Limah cukup untuk si sulung yang selalu tak sabar menunggu.
Mak Limah selalu mengirim tepat waktu, terlambat satu dua hari bukan kuasa Mak Limah. Kadang tauke tidak bisa mengambil sulaman Mak Limah sepanjang malam, terpaksa Mak Limah bersabar.
Begitu hasil capai matanya bergadang tergenggam Mak Limah langsung mengirim ke si sulung. Walau setelah itu dapur Mak Limah bersama ketiga buah hatinya hanya tercium bau sayur kangkung setiap hati, itu pun dipetik dari kebun belakang rumahnya.
***
Bersusah-susah dulu sebelum senang menghalau langkah, benar saja. Mak Limah kembali memikul beban yang semakin berat.
Si sulung belum selesai kuliah, adiknya menyusul ke Banda. Mak Limah tidak melarang, mengatakan bersabar sampai si sulung usai. Karena waktu tidak pernah bisa dilarang berjalan tegak lurus.
Saat kedua anaknya meminta dana tambahan, Mak Limah pun memaksa kerja sampai subuh. Sulaman kasab yang selama ini hanya diselesaikan dua sampai tiga helai, kini sudah sampai sepuluh bahkan lebih dalam sebulan.
Mata Mak Limah sering berkabut menatap hari yang semakin silau. Tetangga sudah membangun rumah mewah, sudah membeli motor baru, membeli televisi berwarna dan menikahi anaknya.
Rumah Mak Limah? Rumah ini masih seperti saat suaminya meninggalkannya. Atap rumbia dan dinding kayu. Semua tabungan Mak Limah yang tidak pernah tersimpan di bawah kasur langsung melayang di udara. Habis ke pangkuan kedua anaknya di bangku kuliah.
Mak Limah memberi semua tenaga untuk kebahagiaan anak-anaknya. Jika orang lain menyekolahkan anak-anak mereka dengan menjual warisan berlimpah, Mak Limah hanya bisa menjual hasil panen dan sulaman pesanan orang.
Jika orang lain mengirim uang makan bulanan berjuta-juta, Mak Limah hanya mampu seperempatnya lagi. Jika orang lain sudah sering berbicara dengan anak mereka melalui pesawat telepon, Mak Limah masih menerima surat sebulan sekali mengetahui kabar kedua anaknya di Banda.
Mak Limah mengajarkan sabar, untuk dirinya. Banyak mata memandang sendu. Sebagian malah mengejek. Sebagian lagi menaruh ibu. Sebagian lainnya mencemooh kemampuan Mak Limah menyekolahkan anak-anaknya.
Orang kampung selalu punya kekuatan tersendiri untuk menjatuhkan orang lain. Di mata Mak Limah, mereka tidak pernah mengetahui usaha Mak Limah selama ini. Mereka hanya menilai Mak Limah terlalu tamak menyekolahkan anak-anaknya.
Di mata mereka Mak Limah sudah tidak menyuap sesendok nasi pun dalam sehari karena tabungan terkuras untuk kebutuhan anak-anaknya.
Mereka tidak mengetahui, saya sehat-sehat saja!
***
Mak Limah tidak pernah membantah cemooh banyak suara. Mak Limah terus ke sawah. Mak Limah tetap menyulam hingga lelah. Mata-mata iba terhadap usahanya dibiarkan terus bersuara dengan ketidakmampuan mereka akan semua yang dilakukan Mak Limah.
Hasilnya?
Si sulung sudah pulang; sudah sarjana!
Senyum si sulung menyentak-nyentak tawa orang sekampung. Si sulung sudah membawa pulang gelar sarjana untuk disimpan dalam-dalam di kebahagiaan Mak Limah. Dan tidak hanya itu, si sulung juga mengabarkan bahwa pekerjaannya sudah ada. Bahagia milik siapa ini?
Mak Limah menghela nafas lega. Suara-suara bising yang selalu membuat kupingnya tuli tak pernah terdengar lagi. Berangsur kehidupan Mak Limah berubah, sekolah ketiga anaknya sudah ditanggung si sulung. Perlahan pula rumah kayunya dipermak menjadi lebih sedap dipandang.
Mak Limah tetap seperti sedia kala, malam harinya menyulam, walau kebutuhan hidupnya sudah tercukupi namun Mak Limah tidak bisa bersenang-senang. Si sulung memang sudah mapan, tetapi tidak semua harus ditanggung anak tertuanya.
Tiga orang tanggungan untuk laki-laki lajang tidaklah elok dipandang. Umur si sulung semakin meninggalkan muda, sudah bisa mencari jawaban Tuhan akan jodohnya.
***
Terkadang, Mak Limah sering merantau dalam lamunan panjang. Hari-hari berlalu begitu cepat, masa lelah sudah pernah dirasa hingga tak mampu diartikan lagi.
Keempat anak-anaknya sudah meraih jalan masing-masing. Walau dua dari mereka masih dalam pendidikan, dua lainnya sudah meringankan beban Mak Limah yang semakin senja.
Ada waktunya untuk istirahat, bukan sekarang!
Mak Limah menatap rumahnya yang sudah gemerlap. Lampu benderang di mana-mana. Sudah ada motor. Sudah ada televisi. Sudah ada kulkas. Sudah ada kamar tidur dengan kasur empuk. Sudah ada meja makan dengan aneka hidangan. Sudah ada semua harapan!
Dan lagi-lagi, Mak Limah tetap ke sawah, tetap menyulam kasab.
Saya tidak terbiasa duduk diam menanti rezeki datang!
Mak Limah – dari kampung dengan hamparan sawah menguning ini, memakai kerudung menutup rambut berubannya. Membungkuk. Memotong padi mereka yang sudah menguning.
Kedua anaknya sudah bekerja di pekerjaan masing-masing. Dua lainnya sekolah dan tak pernah ke sawah. Mak Limah bekerja sendiri, semua dilakukan dengan langkah dan tenaga sendiri.
Mata Mak Limah semakin berkabut. Si sulung sudah berulang kali melarang Mak Limah bekerja. Namun Mak Limah tidak bisa duduk diam.
Tenaganya masih kuat mencari sisa nafkah di bumi berserak nyawa ini. Mak Limah percaya Tuhan selalu sayang pada dirinya dan akan memberikan rezeki atas usahanya.
Tangan saya belum lelah, seperti tangan Tuhan yang selalu menyentuh doa-doa saya!
***
|
Cerpen Majalah Ummi Edisi Juni 2015. |
[1]Kasab atau kerajinan benang emas dikenal secara luas sebagai sulaman khas tradisional dari Aceh yang dibuat diatas kain beludru. Sulaman dengan benang emas ini bisa berupa lukisan tradisional Aceh hingga Ka’bah di Mekkah, dan kaligrafi Arab.