Categories
Uncategorized

Buku Usang yang Tak Pernah Berhenti Berdendang

Koleksi Buku yang telah usang – Photo by Bai Ruindra
Warnanya telah lama memudar, sampulnya telah tersobek di beberapa
bagian, lembarnya telah terlipat berulang kali di beberapa halaman, terdapat coretan
di beberapa qoute menarik di tengah bahkan sampai akhir, bahkan batangnya ada
yang patah sehingga lembar-lembar itu putus dari sambungan sebenarnya. Hal ini
terus terjadi ketika dia dibaca berulang kali, dipinjam oleh sanak-famili, oleh
si ini dan si itu, yang kadang tak pernah lagi kembali!

“Pak,
ada novel nggak?” tanya siswi di sekolah.
“Ada,”
jawab saya.
“Kami
pinjam dong, Pak!” seisi kelas ricuh. Kelas cewek memang selalu mengundang
banyak tawa dan keriangan karena begitulah kenyataannya apabila guru pria yang
mengajar. Siang hari yang panas pun tak lagi terasa benar-benar menyengat
karena saya bercerita tentang koleksi buku yang membuat mereka semakin
terkesima.
“Kami
tanya buku karena lihat di Instagram, Bapak…,” aku seorang siswi yang saya
hapal wajahnya karena kerapkali mengupload foto di media sosial berbagi
gambar tersebut.

Nggak
salah lagi. Saya pernah mengupload foto koleksi buku ke Instagram ketika
banjir akhir November 2015. Air yang semakin naik membuat saya khawatir nasib
buku di dalam rak rendah. Saya memindahkan buku-buku tersebut ke tempat yang
menurut saya aman walaupun nggak tertutup kemungkinan akan basah juga apabila
air terus meninggi.

Namun, biasanya banjir di tempat saya tinggal “hanya” akan
masuk ke dalam rumah setinggi mata kaki bahkan sampai selutut – berdoa untuk
kami semoga apabila banjir kembali tidak setinggi ini lagi!.

Saya
meletakkan koleksi buku di atas kursi rotan di bagian rumah yang belum
tergenang air. Iseng saya foto lalu upload ke Instagram, lalu share ke
Facebook dan Twitter. Selain teman-teman penulis – blogger juga – banyak akun
di Facebook merupakan siswa dan siswi yang masih remaja.

Awalnya nggak
terlintas bahwa dengan mengupload foto buku-buku yang sedang sedih itu
akan membawa keinginan orang lain untuk membaca. Toh, di pedalaman
seperti ini susah sekali mencari pustaka dengan koleksi buku terbaru dan
populer. Rata-rata buku di rak Pustaka Wilayah hanya koleksi lama yang enggan
dilirik kembali.

Safira Nabila dan Elvitiana Rosa, dua siswi yang pertama merajuk ingin membaca buku koleksi saya – Photo by Bai Ruindra
Janji
saya kepada siswi yang terus merajuk, saya akan membawakan tiga buku terlebih
dahulu untuk mereka baca secara bergiliran. Suara kur 24 orang siswi itu cukup
menganggu kelas lain yang hening. Mereka mulai berembuk siapa terlebih dahulu
mengambil jadwal baca.

Saya pun mencatat siapa yang kena giliran pertama baca
sampai seterusnya. Saya memberikan waktu tiga hari untuk satu buku yang
kemudian digeleng oleh semua siswi. Akhirnya keputusan seminggu satu buku juga
nggak berjalan mulus. Kebiasaan membaca yang belum “gila sekali” membuat
siswi-siswi ini tak mampu membaca cepat buku setebal 400 halaman lebih.

Saya pun
paham sekali karena aktivitas mereka tidak hanya untuk membaca buku. Pagi sekolah,
sore akan membantu orang tua di rumah – kebiasaan anak perempuan – dan malam
sebagian besar siswi pergi mengaji, baik al-Quran maupun kitab kuning
(pesantren tradisional yang terdapat di daerah kami).

“Jangan dilipat, jangan dipinjam ke orang di luar kelas ini, jangan
dicoret!” wanti-wanti saya dijawab serentak oleh mereka yang berwajah gembira.

“Iya,
Bapak!!!”
Ngomongin buku seperti
sedang membicarakan menu makanan apa hari ini. Susahnya mendapatkan buku di
daerah tempat tinggal membuat saya rela membeli secara online. Namun yang
paling sering adalah membeli buku di salah satu toko langganan di Banda Aceh.

Saya
memang tidak memasukkan budget khusus setiap bulan harus membeli buku
berapa buah. Jika sedang liburan ke Banda Aceh, wajib saya mampir ke toko yang
menawarkan diskon untuk member tersebut untuk membeli satu atau dua
buku.

Dan tahulah apa yang terjadi, niat beli satu buku akhirnya terbeli lima
bahkan lebih sampai akhirnya budget untuk membeli pakaian – baju baru –
tak tersisa lagi.

Jika ditanya apa yang paling sering dibeli antara baju dengan buku,
jawabannya buku.

Apabila dilihat koleksi lemari, bukulah yang paling dominan dibandingkan
baju.

Saya
nggak masalah mengenakan baju yang sama berulangkali asalkan buku baru bisa
dibaca dalam waktu segera setelah diterbitkan. Buku tak hanya memberi aura
positif dalam hidup saya namun sesuatu yang selalu menarik diri untuk menyentuh
buku baru.
Apa
yang menarik setelah membaca buku? Sulit memang menjabarkan hal ini. Tiap orang
mempunyai keinginan masing-masing. Membuka cakrawala. Menambah pengetahuan. Wawasan
bertambah. Biar terkesan pintar…

Lepas
dari semua itu, karena saya penulis maka saya membaca! Manfaatnya tak hanya
menambah kosakata namun juga “mempelajari” bagaimana seorang penulis hebat
menulis sehingga karyanya abadi. Tulisan ringan yang saya hadirkan setelah
membaca akan bermanfaat kepada banyak orang. Artinya, dengan membaca saya juga
berbagi untuk orang lain.
“Bapak
enak kali bisa jalan-jalan gratis!” seru siswi di kelas itu begitu saya pulang
dari Jakarta akhir November tahun lalu. Pulang dari sana banjir menanti dengan
derasnya.

“Jika kalian ingin, membacalah lalu menulis!”

Entah
telah berapakali saya mengucapkan kalimat tersebut. Siswi-siswi itu terus
menagih buku lain setelah tamat membaca yang dipinjam sebelumnya. Saya pun
tidak jadi mengeluh begitu mendapati buku yang patah batangnya, robek di bagian
tengah atau terlipat di halaman tertentu.

Saya mengelus dada. Setidaknya, modal
awal mereka telah ada untuk memulai yang baru di hari-hari cerah ke depan. Bacaan
yang saya pinjamkan kepada mereka menyalakan semangat untuk tahu tentang baca
dan tulis.

Walaupun
saya tidak mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia, ajakan untuk membaca dan
menulis – misalnya puisi – selalu saya lakukan. Nggak ada yang menarik selagi
mata masih terbuka lebar selain membaca. Tak ada yang abadi selagi tangan
sanggup mengetik selain menulis.
Saya
memberikan bukti kepada siswi bahwa dengan membaca dan menulis bisa jalan-jalan
gratis bahkan menerima smartphone cuma-cuma dari hadiah lomba atau mengulas
sebuah produk. Masih
ragu membuka sebuah buku yang terduduk manis di meja itu?
Categories
Uncategorized

Jangan Biarkan Anak Tenggelam Dalam Smartphone

Saya
selalu mengatakan begini kepada anak-anak usia sekolah, apabila kalian
belum mempunyai pekerjaan (penghasilan) jangan paksa orang tua untuk membeli
handphone untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup masa kini!

Anak tenggelam dalam smartphone – vemale.com

Toh, ini bukan saja
soal
handphone atau smartphone yang semakin populer akhir-akhir
ini. Namun banyak proses sehingga seseorang wajib mempunyai sebuah telepon
genggam atau telepon pintar. Seseorang yang telah memiliki
smartphone saja
tidak mungkin bisa ­
ngapa-ngapain apabila pulsa (paket internet) tidak
tersedia, ujung-ujungnya adalah uang lagi. 



Tersedianya cukup pulsa atau paket
internet juga tidak memberikan sebuah jaminan bahwa anak-anak akan bermain aman
dengan
smartphone. Pilihan aman tentu saja bermain game atau mendownload
aplikasi dan
game yang menghabiskan kuota. 


Namun pilihan tidak aman
tentu mengarah kepada tindakan-tindakan di luar batas logika. Contohnya,
seorang anak rela meninggalkan rumah karena bujuk rayu dari kenalan di media
sosial.

Sebagai orang tua, bagaimana caranya menarik
perhatian anak agar tidak tenggelam dalam dunia digital.
– Prof. Dr. Juke Roosjati Siregar, M.Pd. (Pakar
Psikologi Anak & Remaja Universitas Padjadjaran) –

Orang
tua mempunyai peran penting di era digital. Menitipkan sebuah smartphone dengan
berbagai kecanggihannya tidaklah termasuk kategori aman. Anak-anak akan bebas
berekspresi sesuai keinginan diri mereka atau karena bisikan teman yang telah
menggunakan aplikasi yang sama, atau telah menonton video vulgar yang sama.


Share
media sosial bahkan lebih parah dibandingkan sebuah aplikasi game.
Informasi yang masuk ke media sosial seperti facebook atau twitter
tidak semuanya telah disaring oleh editor layaknya media arus utama. Facebook
mempublikasikan nilai-nilai positif dan negatif yang kadang sulit dicerna
oleh anak-anak.

Gambar yang menarik bisa mengibuli anak untuk melakukan klik
yang kemudian mengarahkan kepada website berbau pornografi atau
pornoaksi. Pada pandangan pertama anak bisa saja terkejut, namun setelah
menikmati suguhan yang ditayangkan media online tersebut anak akan
terbuai dan menikmati perannya sebagai penonton yang budiman.

Pendapat
Prof. Juke menguatkan sisi bahwa orang tua sangat berperan penting dalam
menjaga anak agar tidak tenggelam dan lalai dalam dunia digital. Dunia digital
lebih keras daripada dunia nyata.

Dunia digital bahkan menenggelamkan anak-anak
dari waktu bermain bersama teman-teman secara face to face. Dunia
digital menciptakan anak lebih individual sehingga tidak mampu beradaptasi
dengan baik dalam lingkungannya. Dunia digital semakin diselami maka semakin nikmat.
Semakin dicari semakin tumbuh rasa keingintahuan.

Titik
akhir dari semua itu adalah buat anak bosan bermain dengan smartphone. Langkah
ini akan mengembalikan anak pada sistem belajar manual dan pertemanan
konvensional di dunia nyata. Anak bebas bermain petak umpat. Anak bebas
bersepeda. Anak bebas bermain layang-layang…
Hanya
saja, orang tua mengarahkan anak untuk peka terhadap dunia digital. Karena
semakin ke depan, semua serba instan. Dunia digital seperti apa yang membuat
anak bebas berkreasi?

Digital edukatif.

Adakah
di masa kini? Tentu saja ada. Pembelajaran melalui dunia digital bahkan lebih gampang
dicerna anak karena telah mengandung dua unsur, yaitu audio dan visual. Smartphone
yang lahir saat ini telah menanamkan teknologi canggih yang ramah pada
perkembangan anak.

Orang tua tidak perlu terlalu khawatir dengan kondisi ini
karena smartphone model begini menjaga anak untuk tidak bisa menyentuh
hal-hal yang berbau SARA dan pornografi. Semua aplikasi maupun game yang
ditawarkan adalah cita rasa edukasi.

Salah satu produk yang menawarkan
keunggulan ini adalah Acer Liquid Z320. Acer telah membenamkan
aplikasi khusus anak-anak yang diberi nama Kids Center. Aplikasi pre-install
ini memudahkan orang tua dalam mengontrol aktivitas anak selama berselancar di
dunia maya. Aplikasi ini juga mencegah anak-anak untuk mendownload
konten dewasa tanpa seizin dari spAcer.


spAcer sendiri ibarat
polisi untuk semua produk-produk Acer, terutama smartphone. Pengguna
yang telah memasukkan umur mereka akan terdeteksi oleh polisi ini sehingga
tidak bisa mengakses konten-konten yang dicoret untuk usia mereka.


Kids Center merupakan sebuah aplikasi yang paling menarik. Aplikasi ini bisa
menjadi media untuk pembelajaran yang mengasyikkan. Acer mengisi Kids Center
dengan berbagai konten bermanfaat bagi anak-anak. Ada ribuan aplikasi edukasi
untuk membantu anak belajar sekaligus mengasah kreativitasnya. Ada pula
aplikasi gaming dan video yang dapat dinikmati
si kecil sepulang sekolah. Anak bahkan bisa menikmati konten terbaru karena
tersedia update content
– acerid.com –

Acer Liquid Z320 merupakan salah satu smartphone unggulan dari Acer yang diperuntukkan untuk anak-anak dan orang tua. Orang tua dan anak akan saling mengerti saat menggunakan sebuah smartphone. Anak dan orang tua sama-sama belajar melalui aplikasi yang sarat nilai edukasi.

Seberapa penting Kids Center untuk pengguna smartphone usia anak-anak?

Kondisi anak-anak yang masih labil sangat membutuhkan sebuah penghargaan terhadap diri mereka, khususnya di dunia maya. Penghargaan tersebut berupa perhatian berlebih terhadap keinginan mereka yang terus meningkat dalam menggunakan fasilitas internet.

Pengguna internet – smartphone – saat ini tidak hanya pada kalangan terbatas saja. Maraknya smartphone dengan beragam fitur, seperti Acer Liquid Z320 membuat anak-anak lebih leluasa menggunakan perangkat elektronik ini. Saya mencatat lima poin penting sebuah aplikasi pengontrol aktivitas anak wajib tertanam dalam sebuah smartphone

Pertama, menjaga anak
dari pengaruh dunia digital yang tidak bisa dihambat penetrasinya. Orang tua
yang sibuk dengan beragam aktivitas tentu saja lupa telah memberikan smartphone
kepada anak mereka. Melalui Kids Center anak-anak tidak dapat
membuka aplikasi yang mengandung konten di luar usia mereka.
Kedua, membiasakan anak
bermain di ranah aman. Aplikasi Kids Center mengatur semua pola hidup
anak di dunia maya. Pembiasaan ini akan menciptakan sebuah keharusan mendasar
sehingga anak tidak terpikir untuk beralih ke konten-konten dewasa.
Ketiga, nilai edukasi
tinggi. Aplikasi-aplikasi edukasi sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan
anak. Pembelajaran di sekolah yang masih konvensional tentu berbeda dengan
pembelajaran yang telah menanamkan audio dan visual. Misalnya, apabila
pembelajaran bahasa Inggris di sekolah hanya mendengar guru saja maka melalui
aplikasi dari Kids Center anak akan dibantu oleh suara dan peragaan yang
cocok.
Keempat, semua anak
suka bermain game namun tidak semua game bagus untuk perkembangan
mereka. Game yang terdapat di Kids Center merupakan game-game pilihan
khusus untuk anak-anak sehingga tidak mengubah pola pikir anak setelah bermain game.
Kelima, anak-anak suka
menonton dan tidak semua tontonan bagus untuk mereka. Jutaan video di Youtube
mudah saja ditonton namun aplikasi bawaan Android ini belum tentu cocok untuk
anak-anak karena seringkali Youtube menyarankan video tertentu yang tidak layak
untuk anak-anak. Kids Center menawarkan video-video dengan nilai-nilai
edukasi sehingga anak-anak bermain sesuai dengan usia mereka.
Sudah
saatnya orang tua tidak perlu lagi khawatir mengenai penggunaan smartphone di
usia anak-anak. Orang tua mempunyai hak perogatif terhadap kelangsungan hidup anaknya. Nilai-nilai positif dari menggunakan smartphone sudah selayaknya ditanam sejak dini sebelum semua terlambat. 


Acer Liquid Z320 merupakan salah satu smartphone unggulan untuk menemani anak-anak dalam aktivitas mereka. Smartphone ini dapat menunjang kreatifitas anak setelah melihat, merasakan, menyelami dan bermain banyak aplikasi dan game bernilai edukasi. 


Satu poin penting untuk orang tua, atur jadwal bermain
anak dengan smartphone
. Dengan demikian, anak punya waktu antara
sekolah, teman-teman dan dunia digital mereka. Bagaimana pendapat Anda?
Categories
Uncategorized

Catatan Seorang Istri yang Tertular HIV/AIDS dari Suami

Saya perempuan baik-baik, paling tidak begitu keluarga dan teman-teman dekat memberi agrumen mereka. Saya beraktivitas seperti layaknya perempuan biasa. Masa-masa sekolah saya jalani dengan prestasi tidak gemilang dan juga tidak begitu terendah. Perkuliahan yang saya jalani juga diikuti berbagai aktivitas organisasi yang padat.
Perempan dan HIV
Saya tergolong perempuan yang super sibuk. Pagi dari rumah dengan beban sistem kredit semester dan beberapa mata kuliah yang harus diulang. Siang menjelang sore saya habiskan bersama teman-teman aktivis kampus. Ikut demo ini itu. Seminar di sana-sini. Bahkan sampai lupa malam beranjak sangat cepat.
Usia kuliah. Aktivitas saya tidak berakhir sampai jadi pengangguran. Saya sempat bekerja di salah satu perusahaan swasta. Tidak puas dengan pekerjaan yang sedang dijalani, saya putuskan untuk berhenti. Niat traveling sejak lama membuat nyali saya tergiur. Saya packing. Siapkan ini itu. Rencana sudah dibulatkan. Saya berangkat!
Perjalanan dimulai dari Bandara Sultan Iskandar Muda menuju Bandara Kualanamu! 

Bertemu Dia

Di ruang tunggu, saya termenung. Memutuskan memulai perjalanan ke Jakarta terlebih dahulu. Rute traveling belum terbayangkan dengan jelas. Rencana awal ke Bali, membuka perjalanan yang romantis di kota penuh warna itu. 
Saya masih dalam diam di ruang tunggu keberangkatan pertama pagi itu. Duduk sambil membolak-balik sebuah buku catatan perjalanan. Lima menit berselang, seorang laki-laki duduk di kursi kosong sebelah kiri. Dia menegur dengan bahasa khas Medan. Saya menjawab seadanya. Rasa was-was. Walau dari penampilan, laki-laki ini tidak memperlihatkan ciri khas perampok. Namun saya perlu hati-hati. 
Ini medan, girl! 
Penampilan necis belum menjamin seorang yang baru kita kenal itu baik atau tidak. Dan ini bandara di mana kasus penipuan banyak sekali terjadi! 
Dia memulai percakapan. Saya ikut alur saja. Dia tanya saya jawab. Sudah seperti sebuah permainan memperebutkan uang milyaran rupiah. Dia tertawa, saya hanya tersenyum simpul. 
Perkenalan yang singkat berlanjut ke dalam pesawat. Rupanya dia sudah terlebih dahulu duduk manis di seat samping, dekat jendela. Obrolan kami berlanjut. Basa-basinya ternyata bukan hanya ingin kenal luarnya saja. Dia banyak tanya. Ingin tahu segala tentang saya. 

Ini baru tahap awal, bung! Jangan terburu-buru!

Saya yang lelah karena menempuh perjalanan jauh dari Banda Aceh, meminta diri untuk rehat sejenak. Dia mengiyakan. Suatu kehormatan bagi saya. Paling tidak laki-laki yang duduk di samping saya ini tidak memaksa saya untuk terus mendengar ocehannya. 
Tak lama saya terlelap, terbangun saat pesawat terguncang. Seperti lima menit lalu saya tertidur, namun ini sudah hampir sampai di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Melirik ke laki-laki yang sebelumnya banyak bicara itu, dia hanya tersenyum. Senyum yang menawan sejak awal saya berkenalan dengannya di ruang tunggu Bandara Kualanamu. 
Pesawat mendarat. Saya juga mendaratkan senyum perpisahan pada laki-laki yang telah menemani melepas jenuh selama perjalanan udara.

Baca Juga Kehidupan Gelap Sales Promotion Girl

Ke Kota Penuh Candi

Saya dan beberapa teman sudah berkumpul di Bandara Soekarno-Hatta. Kami berlima sudah setuju memulai perjalanan panjang dari kota penuh candi, penamaan kami untuk Bali. Kemudian berlanjut ke Lombok. Pulau Komodo. Pulang ke Kota Gudeg. Baru finish di Ibu Kota. Tidak banyak memang rute yang ingin kami tempuh. Tapi itu sudah cukup sebagai pengalaman pertama.
Kami sudah berada di dalam pesawat. Saya lenggak-lenggok melihat tempat saya mengistirahatkan badan. Begitu dapat saya langsung duduk manis. Tidak melihat kiri kanan. Hanya terpaku pada peta perjalanan yang sudah kami buat semalam. 
Saya mendengar seorang laki-laki menegur dengan suara berat. Saya terhenyak. Tidak menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki yang belum saya ketahui namanya. Bahkan asal-usulnya. Saya bingung bersambung surprise. Bingung karena tidak menyangka. Senang karena bisa ketemu lagi.
Akhirnya secara resmi dia memperkenalkan diri. Wadi dia menyebut namanya. Cerita punya cerita, dia juga mau liburan ke Bali. Tanpa saya tanya, dia sendiri yang memberitahu alasan liburan sendiri. Katanya ingin melepas duka setelah istrinya meninggal. 
Dia bercerita banyak tentang Aceh. Orang-orang Aceh yang dia kenal. Makanan khas Aceh. Tempat pariwisata di Aceh. Sampai adat perkawinan di Aceh. 
Wow! Saya kikuk. Laki-laki ini sampai membuat saya terpesona.
Dalam hati. Maaf sekali, tuan! Saya sudah berprasangka tidak baik di awal sapaan Anda kemarin!
Kami terus bercerita, sesekali saya melirik teman-teman yang lain. Ada yang sudah tertidur. Ada juga yang sedang mengobrol dengan teman duduknya. Kami sama-sama terhanyut dalam berbagai tema yang menarik. Lucunya, kami bisa terpisah seat padahal check in berbarengan!
Pintu kedatangan Bandara Ngurah Rai mempertemukan kami kembali. Dengan sedikit berbasa-basi saya mengajak dia ikut rombongan kami. Gayung tersambut. Dia mau ikut!
Perjalanan di Bali terasa indah. Saya banyak habiskan waktu bersama laki-laki itu. Walau teman-teman saya ikut di belakang kami. Ujung-ujungnya satu dua di antara mereka menghilang dengan rencana masing-masing. Terkesan, mereka menjodohkan saya dengan Wadi! 
Saya tak ambil pusing. Wadi juga tidak mengeluh. Bali terlewati dalam memori saya. Lombok menanti dengan tingginya puncak Rinjani!

Pulang

Perjalanan saya dengan Wadi hanya berakhir di Bali saja. Kota Lombok dan Pulang Komodo tidak bisa dia susuri karena urusan pekerjaan menunggu. Dia harus pulang dengan segera dan berjanji akan menjalin komunikasi. 
Saya lanjutkan perjalanan bersama teman-teman. Setelah puas melihat Komodo kami putuskan pulang ke Kota Gudeg, Yogyakarta. Menghabiskan malam di Malioboro sebelum besoknya kembali ke Jakarta, transit di Medan lalu ke Aceh. 
Jalan pulang rasanya terasa hampa. Saya jadi teringat Wadi. Kata-katanya pernah memotivasi saya. Memberi saya tawa. Memotret senja Pulau Dewata. Ke candi-candi peribadatan umat Hindu. Kami banyak lalui bersama. Kadang diskusi, membandingkan Medan dengan Bali. Bahkan Aceh dengan Bali. Malah sebaliknya Aceh dengan Medan! 
Pesawat kami transit di Medan selama tiga puluh menit. Seseorang menepuk pundak saya saat penumpang dari Medan naik ke pesawat yang menuju Aceh. 
Hei! Dia lagi? 
Saya benar-benar terkejut. Tanpa memberi aba-aba dia menukar tempat duduk dengan orang lain. Ingin duduk berdampingan dengan saya katanya. Dia beralasan ada perjalanan bisnis ke Banda Aceh. Benar atau tidak saya tidak mau mempersoalkan masalah itu. Kami banyak diam selama perjalanan kali ini. Mungkin karena saya terlalu lelah. Atau karena tidak tahu apa yang ingin diceritakan lagi. 

Menikah Dengan Wadi

Dia melamar saya tiga bulan setelah perkenalan kami. Karena keseriusannya, saya menerima dia sebagai pasangan hidup yang saya ingin bahagia. Kami menikah dan saya diboyong ke Medan. Kami tinggal di rumahnya yang tidak sederhana. Hari-hari yang kami lalui begitu indah. Pasangan baru. Sama-sama ingin bahagia. 
Sebulan menikah saya positif mengandung. Rasa senang berlimpah ruah. Saya. Dia. Keluarga saya. Keluarga dia. Teman-teman. Semua bergembira. 
Hari-hari berikut bagai pelangi bagi saya. Warna-warnanya membuat saya lebih semangat menjalani hidup. Dia selalu memberikan semua yang saya mau. Kasih sayangnya. Perhatiannya. Saya dapatkan dengan ikhlas dari tatapan matanya. 
Hingga masuk usia kandungan lima bulan, kabar itu mengiris hati saya. Dia kecelakaan. Terburu-buru saya ke rumah sakit terbesar di Medan. Sesampai saya di sana, pihak rumah sakit belum mengizinkan saya menjenguk suami tercinta. Keadaannya masih kritis. 
Dokter memanggil saya. Saya duduk bagai pesakitan di ruangan putih bersih itu. Omongan dokter seperti tidak saya dengar lagi. Omongannya bagaikan suara jengkrik yang tiap malam menganggu malam saya. 

Suami Ibu terinfeksi HIV!

Mata saya terbelalak. Dia cuma kecelakaan! Saya berontak. Dokter muda itu memberikan alasan ini itu. Dia mengatakan suami saya pernah berobat di klinik temannya. Dia kenal dengan suami saya. Bahkan dia yang memberikan obat anti retroviral virus (ARV) pada suami saya. Saya tidak terima. 
“Suami saya kecelakaan, dok,” pekik saya. 
Dokter itu membenarkan. Suami saya memang kecelakaan. Tapi sebelumnya suami saya sudah terinfeksi virus HIV. Saya marah pada dokter muda itu. Saya sedang berduka, kenapa dia menambah duka lagi?
Saya mengenal Wadi sebagai laki-laki baik-baik. Saya tidak menemukan “cacat” dari kehidupannya. Dokter itu terlalu mengada-ada. Wadi terlalu baik untuk menjadi suami dan anak kami. Mana mungkin Wadi terinfeksi HIV? Bagaimana? Dia main perempuan lain? 
Dunia seakan telah punah. Saya tidak sangguh membayangkan rahasia yang disimpan Wadi seorang diri. Mengapa Wadi tidak terterus terang kepada saya? Mengapa Wadi menyeret saya ke dalam pusara kehidupan tak bernapas lagi ini? Mengapa Wadi menyakiti saya? 
“Anda bohong! Suami saya laki-laki baik-baik!” ujar saya dengan mata menyala. Dokter itu menyodorkan secarik kertas yang menunjukkan laporan tes kesehatan Wadi. 
“Kami tidak mengetahui kehidupan suami Ibu, tetapi ini adalah hasil tes dari teman saya. Saya kasih tahu ini karena kasihan kepada Ibu. Perjalanan Ibu masih panjang…,” 
“Anda tidak tahu apa-apa, dok!” 
Dokter itu tidak memedulikan emosi saya yang meledak-ledak. Masa depan apa? Dia memaksa saya untuk melakukan tes HIV. Saya tidak terima. Saya tidak akan kena penyakit itu. Saya tetap sehat. Suami saya sehat!
Saya berlari ke koridor rumah sakit. Saya tidak akan melakukan anjuran dokter itu. Saya sangat kuat. Dia juga sangat kuat. Sama sekali saya tidak melihat dia minum obat atau lemah. Dia sangat gagah! 

Dia Pergi

Saya mondar-mandir ke rumah sakit dan klinik tempat suami saya pernah berobat. Saya meminta data yang lebih akurat. Saya tidak percaya begitu saja pada dokter muda itu. Dokter itu menambah masalah bagi saya. 
Walau saya tidak suka dengan dokter muda itu, ternyata dia benar. Wadi meninggal satu jam setelah dokter itu bicara panjang lebar dengan saya. Tubuh Wadi sudah sangat lemah semenjak kecelakaan. Dia butuh darah. Tapi darahnya tidak bisa menerima darah lain dengan tepat karena daya tahan tubuhnya begitu cepat menurun. 
Saya menerima data akurat Wadi dari dokter di klinik yang telah memvonis penyakit itu kepadanya. Wadi sudah menipu saya. Sikap manisnya. Ucapan lembutnya. Semua darinya membuat saya jijik. Dia tidak berterus terang. Dia sudah tahu penyakit itu ada dalam tubuhnya. Dia menginginkan saya tapi tidak memperhitungkan keselamatan saya!

Sudah terlanjur. Saya telah terjerumus ke dalam pusara yang sama! 

Semua berakhir. Saya ingin mati saja. Saya hanya perempuan biasa. Tidak berbuat salah. Tidak menyakiti orang lain. Tidak juga membuat Wadi kecewa pada saya! 
Marah saya sampai ke ubun-ubun. Pada Wadi. Pada waktu yang membawa saya kenal dengannya. Pada rahasia yang disimpan rapat oleh Wadi. Pada kehidupan gelapnya yang saya tidak tahu seperti apa. 
Seandainya saya memilih penerbangan langsung ke Jakarta waktu itu…
Derita ini punya hanya milik saya. Wadi “aman” saja telah pergi jauh. Saya dan janin yang semakin membesar ini menerima petaka tak sebentar. 
Wadi benar-benar jahat. Dia mencintai saya tapi malah mengecewakan saya. Cintanya. Kasih sayangnya. Perhatiannya. Pada saya. Pada hidup kami yang penuh warna. Sirnalah sudah! 
Batin dan fisik saya lelah. Janin saya juga tidak bisa diselamatkan. Fisik saya semakin melemah karena virus itu menyerang entah sampai ke titik mana. Saya diwajibkan minum obat tepat waktu. Pantangan ini dan itu. Saya benar-benar lelah. Saya tertipu! 
Berbekal sedih, saya diboyong tubuh lelah kembali pulang ke Aceh. Berbulan-bulan saya mengurungkan diri di rumah. Tidak ada interaksi dengan orang lain. Saya menghakimi diri sendiri. Saya menyesali hidup. Saya merasa sudah berakhir sampai di sini!

Support

Saya dikunjungi oleh orang yang tidak dikenal. Mereka mengatasnamakan aktivis penyakit yang saya tidak mau sebutkan namanya itu. Mereka memotivasi saya. Memberikan semangat. Saya tidak terlena. Saya butuh waktu untuk melupakan duka ini. 
Mereka terus datang. Mereka berbagai kisah. 
“Saya adalah korban!”
Mereka memaksa saya minum obat yang telah lama saya buang. Mereka membantu saya untuk bangkit seperti orang lain yang telah lama menderita karena penyakit ini. 
Wadi telah tiada dan saya tidak akan pernah bisa menumpahkan kecewa kepadanya. Jika saya terus-terusan mengutuk rahasia yang tak pernah terungkap ini, saya akan segera menemui ajal. Sesuatu yang sangat saya tunggu-tunggu. 
“Kita masih punya Tuhan, Nak!” ujar Bapak lirih. 
Berbekal sisa semangat, saya bangkit dari duduk panjang. Saya bergabung dengan mereka yang sering datang menjenguk. Saya memperjuangkan hak-hak perempuan tertindas. Saya melupakan kecewa pada Wadi. 
Hari lalu memang milik Wadi. Hari ini adalah milik saya sendiri! 
***
Seperti cerita seorang teman, nama disamarkan.
Categories
Uncategorized

Lebih Baik Bertanya Daripada Ditinggal Pesawat

Kepak sayap yang gagah di langit Sumatra menuju Jawa dalam sinaran sinar matahari yang mulai tenggelam dan gumpalan awan putih seperti permandani – Photo by Bai Ruindra

Bagaimana rasanya ditinggal pesawat?

Saya
selalu khawatir tiap kali bepergian dengan pesawat terbang. Kekhawatiran ini
wajar karena saya tidak mau “rugi” dan harus membeli tiket baru apabila pesawat
dengan nomor penerbangan di tiket sebelumnya telah berangkat. Manusiawi
ketakutan ini mendera saya – mungkin juga Anda – karena banyak alasan sehingga
tidak mau mengeluarkan biaya lain. Dan saya, kebanyakan naik pesawat itu karena
berkah dari menulis. Artinya, lebih sering “kantong kosong” selama perjalanan.
Bisa dibayangkan nasib saya apabila tiket pesawat hangus dan saya nggak ada
biaya lain untuk membeli tiket baru!
Bahkan,
untuk orang berada – kaya – sekalipun tidak mau mengeluarkan biaya lain untuk
membeli tiket baru karena biaya yang harus dikeluarkan lumayan besar. Harga
tiket pesawat tak sama dengan angkot dalam kota. Satu tiket pesawat kelas
ekonomi minimal – rata-rata – satu jutaan. Dengan biaya segitu besar, saya bisa
hidup selama sebulan di kampung. Efek hidup penuh perhitungan beginilah
jadinya. Namun perhitungan itu penting banget dari pada nyesal
dan merugi di kemudian hari.
Akhir
November 2015, saya kembali menuai berkah dari menulis dengan diundang ke
Jakarta oleh salah satu perusahaan teknologi asal Taiwan. Keberuntungan ini
bagaikan undian yang telah lama saya idam-idamkan. Keseringan menulis review
produk mereka akhirnya undangan tersebut nyasar juga ke alamat email
saya. Acara sehari semalam itu penuh dengan launching produk smartphone
terbaru, mulai dari kelas menengah sampai premium. Gemerlap acara
begitu menggugah hati anak kampung ini yang baru sekali duduk manis menyaksikan
penyanyi terkenal mendendangkan lagu indah di panggung utama.
Lepas
dari acara tersebut, saya tidak langsung pulang karena ingin menikmati suasana
Ibu Kota. Dua hari jalan-jalan di Jakarta membuat saya senang bukan kepalang. Rasanya
ingin teriak sekencang-kencangnya biar semua orang tahu saya telah sampai di
Jakarta. Agak norak memang episode ini. Namun yang lebih noraknya lagi saat
saya mengabarkan berita maha penting kepada saudara tempat saya numpang makan
dan tidur.

“Kamu
sih berlagak orang kaya, naik pesawat yang nggak pernah kami pesan!” ujar
Yus begitu saya kasih tahu nama pesawat yang menerbangkan saya kembali ke Aceh.

Saya
terkekeh sambil berujar, “Tiket gratis!”
Malam
sebelum keberangkatan, saya mencari jalan keluar untuk sampai ke Terminal 2,
Bandara Soekarno-Hatta, tepat waktu. Yus yang tidak pernah mengantar penumpang
bahkan jika pulang ke Aceh pun belum pernah menggunakan pesawat “plat merah”
ini, mengatakan dengan jujur tidak tahu jalan masuk ke terminal tersebut.
Kemudahan internet saya pergunakan dengan baik.
Pertanyaan pertama saya ajukan kepada Google Maps!
Saya
membuka aplikasi Peta milik Google yang telah terinstal otomatis di smartphone
dengan penuh semangat. Saya cukup yakin bahwa Maps tidak akan membuat saya nyasar,
apalagi di kota besar dan ke tempat yang tiap saat dikunjungi orang. Maps
secara otomatis langsung membaca keberadaan saya dan cukup memasukkan tujuan
untuk diarahkan melalui peta online ini. Tahap pertama, Maps
cukup membantu kami dalam mengejar pesawat yang selalu on time tersebut.
Pagi
Senin yang cerah, kami bergegas menuju bandara. Kami memilih berangkat sekitar pukul
9 pagi untuk mengejar jadwal keberangkatan pukul 12 siang. Perjalanan di dalam
kota aman karena Yus paham betul jalan tikus. Tetapi saya tetap mengaktifkan
Maps supaya kami benar-benar terarah. Masuk ke dalam tol menuju bandara,
barulah Yus melirik Maps karena jalan tersebut memang “awam” baginya. Walaupun
sesekali Yus nyelutuk, “Itu jalan ke terminal kita kok,
maksudnya ke Terminal 1 B.

Yus
memutar kendaraan menuju Terminal 2 sambil sesekali bertanya sudah benar arah
yang ditunjukkan oleh Maps. Kendaraan silih berganti berhenti di depan terminal
keberangkatan. Dari papan nama tertulis bahwa kami telah memasuki Terminal 2
Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Perasaan cemas selama perjalanan
telah terobati karena kami tidak terlambat. Sayangnya, Yus memarkirkan
kendaraan di depan Terimal 2 D yang ternyata bukan terminal untuk penerbangan dalam
negeri. 
Pertanyaan kedua adalah pada orang di dekat tempat tujuan.
Maps
saja tidak cukup. Begitu sampai ke dekat lokasi tujuan, sebaiknya bertanya pada
orang yang berlalu-lalang. Apabila ada petugas keamanan misalnya, dia adalah
sosok terhebat dalam menunjukkan arah.
Saya
turun di depan Terminal 2 D dan tergopoh-gopoh menghampiri petugas bandara. Yus
memaksa saya bertanya, katanya saya lebih bagus berbicara dengan orang asing
dibandingkan dengannya. Padahal, baru kali ini saya ke Jakarta dan Yus telah
puluhan tahun menetap di sini.  

“Maaf,
Pak. Penerbangan domestik terminal berapa ya?”

“2
F, Mas,” ujar petugas muda itu sambil menunjuk ke depan. Di sana tampak papan
nama Terminal 2 F dan kendaraan parkir silih berganti.
Seakan
waktu cepat sekali berlari. Orang-orang di bandara terlihat tak ada yang jalan
santai. Semua tergesa-gesa. Semua nggak peduli dengan sekitar. Semua
sibuk membereskan barang bawaan. Semua memegang selembar kertas sebelum masuk
ke dalam terminal keberangkatan.
Saya
kembali duduk di samping Yus yang sepertinya lelah menyetir akibat kemacetan
sepanjang jalan. Saya menunjuk ke Terminal 2 F dan dengan tersendat-sendat
kendaraan kami melewati kendaraan lain yang sedang menurunkan penumpang.
Kendaraan
kami terparkir. Saya turun. Yus juga turun. Takut salah langkah, saya kembali
bertanya pada petugas yang berdiri di depan terminal keberangkatan itu.

“Maaf,
Pak. Benar terminal ini untuk penerbangan domestik?”

“Benar.
Silakan check in!” ujar petugas itu sambil mengarahkan tangan ke dalam. Dengan
cepat Yus menurunkan bagasi dan kami pun berjabat tangan seadanya. Lambaian
tangan saya pun telah sirna karena Yus bergegas meninggalkan bandara dan saya
telah berhadapan dengan “robot” pendeteksi barang bawaan penumpang.
Saya
bernapas lega setelah check in dan menerima boarding pass. Sisa
waktu setengah jam lagi saya pergunakan untuk beli roti dan ke cuci mata ke toko
buku.
Menikmati suasana Terminal Keberangkatan 2 F yang tidak begitu sesak; membeli sepotong roti dan cuci mata di toko buku – Photo by Bai Ruindra
Menatap jalan menuju ruang tunggu di ruangan yang sejuk dan sepi – Photo by Bai Ruindra
Pulang ke Aceh lewat sini, jelas dan nggak perlu tanya-tanya lagi – Photo by Bai Ruindra
Saran
saya, apapun jenis smartphone milik Anda saat ini, peta online seperti
Google Maps wajib terpasang. Pada orang yang lalu-lalang mungkin masih malu
bertanya, tetapi pada Maps yang hanya kita sendiri yang tahu jangan ragu
untuk bertanya
. Bertanya pada Maps bahkan lebih akurat dengan penunjuk
jalannya. Teknologi yang mudah ada baiknya dipergunakan dengan tepat dan
efisien. Anda bisa bertanya kepada orang begitu sampai ke titik tujuan saat
Maps telah berhenti menunjuk jalan. Apakah itu nomor rumah, nama tempat yang
ingin disinggah dan lain-lain. Maps hanya memberikan gambaran umum saja namun
sangat membantu mereka yang tidak ingin nyasar.
Screenshot Google Maps for Android. Penunjuk jalan menuju Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Tidak begitu detail karena dicaption baru-baru ini bukan saat melakukan perjalanan di November lalu – Caption by Bai Ruindra
Lebih
baik bertanya dari pada kehilangan tiket pesawat. Saat seperti ini bukan saja
soal waktu namun materi yang harus dipertaruhkan. Sebuah tanya – sesederhana apapun
– tetap bermanfaat. Tak hanya orang saja, internet pun bisa menjawab semua
pertanyaan selama Anda dalam perjalanan. Masih malu bertanya? Atau
lebih memilih mutar-mutar dulu sampai budget terkuras baru mulai
mencari celah. Stop! Bertanya tak hanya menghemat waktu namun tenaga
dan biaya.

Malu
bertanya jalan-jalan dulu deh nggak apa-apa, siapa tahu ketemu yang
bening-bening! #gubrak. 

***