Categories
Uncategorized

Setetes Keringat dalam Satu Kalori Tanda Cinta

“Pak,
selfie dong!” Antara
kamu dan mereka, tak pernah jauh beda. Kamu dan mereka sama-sama membakar bara
yang kian tak terbendung dalam diriku. Selangkah saja aku berjalan, rasanya
jutaan kalori terbakar karena kamu dan mereka menarikku ke pusaran tak
terkendali. Jika mereka menarikku karena pengaruh gravitasi Bumi, kamu
menggaetku seakan-akan sebesar gravitasi Matahari.
Hidup sehat.

Aku terbakar, terkapar, berkeringat, dalam
hangat pelukanmu dan mereka yang tertawa sambil bertepuk tangan dengan meriah!
 

Ajakan
mereka tak pernah tega aku tolak. Mungkin aku telah termasuk ke dalam golongan
manusia candu.

Kedekatanku dengan mereka terbangun begitu saja karena setiap
tetes keringat yang keluar dari tubuhku karena mereka membuatnya ada. Rutinitas
tiap hari yang tak pernah bisa kupungkiri bahwa beban itu sungguhlah berat.

Sebuah teriakan, sebuah bentakan, sebuah
teguran, berbaur menjadi satu saat semua butuh perhatian.

Kamu
tahu soal guru melempar kapur atau penghapus? Kok aku hampir masuk ke
dalam bagian terpenting ini. Mengelilingi kelas tak cukup kuat untuk membuat
mereka diam. Menulis sampai penuh papan tulis belum tentu mereka semua paham.

Keringat
membasahi bajuku sekalipun tak bisa membersihkan memori mereka supaya
benar-benar jernih dari godaan.

Berapa
lelah yang terbakar dari sebuah kenangan dari selfie ini?

Kamu
tak pernah salah. Aku telah menjadi bagian dari mereka yang tiap hari – Senin sampai
Sabtu – berteriak-teriak di depan kelas. Dan mereka yang sedang tersenyum lepas
adalah bagian terpenting untuk memperpanjang sabar dalam diriku.

Perang fisik
dan batin terjadi begitu saja. Degup jantung berdetak cukup kuat. Aku selalu
harap-harap cemas saat bersama mereka. Persekian saja kalori yang terbakar tak
pernah sebanding dengan satu huruf mereka bisa pahami.

Jutaan kalori terbakar
dari tubuhku seakan tak bermakna apabila mereka tak tahu apa-apa selain tertawa
dan pulang memikul pekerjaan rumah puluhan butir soal.


20.49
KCAL hanya angka saja setelah berpindah dari satu kelas ke kelas lain. Beda kelas
beda rasa. Beda pula kalori yang dibakar. Kelas cowok yang mengatasnamakan
dirinya macho, aku tertatih-tatih menepikan sabar.

Kelas cewek yang
memvonis mereka tercantik di seluruh jagad, aku terhempas hampir tak mampu
bernapas. Nasib bujangan di sarang penyamun tak pernah berbeda definisinya. Aku
tetap saja grogi jika mereka yang cantik-cantik bertanya banyak hal.

Mulailah
keringat bercucuran, alasan ini itu barangkali dipercaya oleh mereka namun kamu
tentu ngakak mengetahui berapa besar kalori yang terbakar hanya berdiri
di depan papan tulis saja!

Pulang
sekolah, seperti baru saja bebas dari tahanan perang. Aku bebas berkreasi
sesuka hati, termasuk mengapel kamu yang entah merindu atau telah mendua.

Niat hati
untuk bersenang-senang saja selagi muda namun orang tua tak mungkin kuabaikan
begitu saja. Anak baik tentulah wajib membantu orang tua walaupun telah
memiliki pekerjaan, apapun itu. Kamu nggak perlu mengejek jika tahu aku
memotong padi.

Satu genggam saja kupotong bisa menghidupimu seharian. Berdiri
di tengah sawah, di bawah matahari sore yang panas, adalah hal terbiasa saat
musim panen padi tiba. Kamu juga harus belajar bersawah, jika ingin serius
denganku suatu saat nanti.


Aktivitas
di sawah kuakhiri jika senja telah matang. Ini adalah waktu untuk menjemput
matahari terbenam di bibir pantai.

Kusiapkan sepatu sport, jaket, celana
olahraga dan steps counter untuk mengetahui berapa besar kalori yang
berhasil kubakar nanti.

Senja
sudahlah menguning. Deru ombak sudah besar-besar. Kebiasaan laut yang selalu
garang menjelang malam hari sampai ke paginya lagi.

Berdiri di tepi pantai
selalu menyisakan suasana haru-biru. Lari-lari kecil di sini pun terasa lebih
indah.


Jogging termasuk salah satu olahraga yang ringan dan bisa
dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja. Aku memilih bibir pantai karena
alam di sini lebih syahdu dibandingkan tempat lain.

Kebiasaanku
sebelum olahraga adalah mengonsumsi sesuatu agar perut tidak kosong. Sepotong Fitbar
dari Kalbe Nutritionals adalah pilihan cemilan rendah kalori
menjelang jogging.

Kenapa aku makan Fitbar? Kamu tahu asupan makanan
sangat penting sebelum dibakar kembali melalui olahraga.

Makanan rendah kalori
adalah pilihan yang tepat karena kandungan lemaknya tidak menggila seperti yang
dikhawatirkan banyak orang.


Matahari
telah pamit dengan sempurna. Keringat membasahi kaos oblong yang kukenakan di
dalam jaket parasut. Napas mencari keseimbangan sebelum benar-benar teratur
kembali. Berapa banyak kalori yang terbakar?
Run for your life – Bai Ruindra 
Aku
tak pernah memaksa diri untuk mencapai batas tertentu. Asalkan ada gerak sudah
lebih dari cukup untuk membakar kalori dalam tubuh.

Seperti aku yang tak pernah
memaksamu menerima kondisi real bahwa aku begini adanya. Aku pun tak
pernah bosan menuliskan kisah tentang kita dalam segala rasa.


Kamu
pernah bertanya untuk apa semua kisah kutulis? Karena kenangan hari ini tak
pernah ada di hari esok.


Ngeblog tak hanya melepas sebagian rinduku
padamu namun juga mengunjungimu di dunia yang aku tak tahu di mana. Melalui tulisan
aku bebas mendeskripsikan elok wajahmu, baik budimu, halus tata suaramu, maupun
santun sikapmu.
Aku
tak pernah bosan menulis tentangmu. Karena dari kamu, semua bermuara pada
bahagia!
***
Sebenarnya,
ngapain sih bakar kalori?

Siapa
yang nggak mau punya tubuh atletis seperti ini? Aku sampai termimpi-mimpi bisa
diidolakan banyak cewek gara-gara tubuh “bagus” dalam sekali pandang. Mau tubuh
seperti ini tentu harus dilatih, proses latihan adalah bakar kalori.

Aku
nggak benar-benar yakin kamu tidak malu saat bersama cowok cungkring. Kesannya tuh,
cowok cungkring nggak boleh bakar kelori berlebih karena takut nggak ada
sisa. Padahal dari bakar kalori inilah kemudian kita butuh makanan lebih banyak
lagi.

Makanan yang diperlukan oleh tubuh yang rutin latihan tentu bukan asal ngemil
saja. Makanan yang dipilih cocok untuk pembentukan otot sehingga
benar-benar sedap dipandang.

Kebiasaan
memang, ke mana-mana suka mampir ke rumah makan. Kayaknya hampir semua menu
patut dicoba sebelum nyesal kemudian.

Padahal kalori yang terhidang dari
menu tersebut cukup banyak dan tidak mudah dibakar dalam sekali latihan di sore
hari. Nggak ada salahnya berpaling ke Fitbar karena makanan ringan ini
rendah kalori.

Tertarik
ngemil Fitbar? Aku sih YES. Kamu nggak cuma ngemil saja
namun dapat membantu pendidikan Indonesia melalui Fitbar Donor Kalori. Kampanye
ini melibatkan banyak orang untuk mendonosikan jumlah kalori yang dibakar
melalui www.fitbardonorkalori.com.

Kamu cukup daftar melalui email atau media sosial kemudian donorkan jumlah
kalori yang berhasil dibakar seperti yang tertera pada steps counter.



Kalori
yang didonorkan akan dimoderasi terlebih dahulu. Apabila telah disetujui maka
kamu telah mendonasikan “dana” untuk pendidikan Indonesia. Gampang bukan?
Nah,
mumpung kamu nyiapin diri buat ikutan Fitbar Donor Kalori cobain
deh tiga rasa Fitbar ini. Cemilan rendah kalori ini disiapkan
khusus untuk kamu yang butuh makanan ringan tanpa khawatir berat badan naik.

Masih
belum yakin dengan Fitbar? Cek deh kandungan yang ada dalam sepotong
makanan ringan ini. Fitbar; snacking
with no worry!
Categories
Uncategorized

Kisah Pengemis yang Tak Tahu Malu

“Kasihlah,
Bang!” paksa dia. Langkahnya tidak ringkih, tidak pula tampak cacat dari
fisiknya yang sempurna. Usianya sekitar sepuluh tahun. Bajunya berdebu dan
robek di bagian ketiak sebelah kiri, lengan kiri, dan bagian bawah kanan. Wajahnya
kusam seakan-akan hanya dia saja yang “bekerja” di bawah terik matahari sampai
malam.
pengemis kaya raya
Ilustrasi Pengemis – harisyuliana.com

Sebentar
lagi azan magrib berkumandang di kota kami. Walaupun aturan main negeri syariat
ini setiap warung kopi tutup saat azan berkumandang, hal ini tidak
sepenuhnya berlaku.

Denting piring, gelas, pelayan menabur pandang
ke pelanggan yang datang, penikmat warung kopi tua muda bercengkrama tanpa
beban, hampir semua sibuk dengan gadget milik mereka.

Dia
hanya segelintir dari mereka yang jujur saya katakan pengemis
yang keluar masuk warung kopi terbuka ini.

Bukan cuma dia seorang saja yang
nekad memaksa orang memberikan uang kepadanya. Dia memelas tanpa henti di depan
orang-orang yang sebagian besar mengabaikan kehadirannya.

Namun adapula yang
kasihan, menitipkan selembar seribuan untuk didoakan kemaslahatan hidupnya oleh
si pengemis itu.

Padahal belum tentu doa pengemis lebih mudah diterima apabila
kondisi mereka lebih beruntung. Saya tidak mau berspekulasi lebih tinggi, namun
banyak kok pengemis itu kaya raya!

Saya
terus memerhatikan gelagat si dia yang memaksa orang-orang memberikan “sedekah”
untuknya. Sesekali tangannya dibuat gemetaran di meja yang lain.

Bahkan, saat
sebagian orang di warung kopi ini bergegas ke kamar mandi untuk wudu’ dan
menunaikan salat magrib di salah satu ruang khusus yang dijadikan musalla,
dia masih sibuk mengejar-ngejar uang “halal”untuk kesejahteraan kehidupannya.

“Sikit
kali abang ni kasih!” pekik dia dengan suara lebih keras. Orang-orang
yang belum beranjak ke musalla ada yang tercengang, ada juga yang menganggap
biasa, mungkin sudah pernah menemukan kisah yang sama.
Dia
masih berdiri di dekat orang yang barusan memberikan sedekah. Orang itu awalnya
tampak ikhlas, namun berbalik kesal menerima umpan dari si pengemis.

Dia kelihatan
frustasi karena semua orang yang sedang bersenang-senang di warung kopi
ini tak merasa penderitaan darinya.

Sorot mata dia penuh dendam. Badannya bergetar
menahan gejolak asmara yang tak tahu dialamatkan kepada siapa. Jari-jemarinya
seperti ingin menggapai-gapai sesuatu namun tak pernah terulur karena ratusan
mata sedang tertuju kepadanya.

“Kau
mau dapat banyak, kerjalah!” ujar seseorang di meja itu. Keributan tiba-tiba
mendera. Orang-orang mulai mencibir. Air muka dia tidak lagi jernih. Wajah kecil
itu ingin menangis. Saya tidak tahu siapa yang salah dalam kondisi ini. Satu
sisi, kami benar bukan?

Memberi sedikit tetapi ikhlas daripada memberi banyak
tetapi tidak ikhlas. Apalagi jika menemukan kondisi dia dijemput sepeda motor
atau mobil.

Bukan perkara manis lagi untuk urusan ini. Tetapi telah masuk ke
urusan manja. Siapa yang tidak mau meminta-minta apabila sehari bisa dapat
sepuluh juta?

Suasana
yang memungkinkan terjadi sudah. Dia dipaksa keluar warung kopi di magrib yang
ricuh itu. Karyawan warung kopi tentu tidak mau tempatnya bekerja terjadi
keributan karena hal sepele.
Tak
berselang lima menit dia menghilang. Seorang wanita dengan anak digendong di
sebelah kiri masuk tertatih. Saya menghela napas. Wanita itu usia muda, langkah
masih tegap, kulit masih kencang, wajah belum kerutan. Apa yang membuatnya
meminta-minta?

“Jok seudekah bacut…,”
ujarnya lirih – beri sedekat sedikit –

Ironinya
beberapa wanita yang baru selesai salat magrib mengeluarkan isi dompet mereka. Mungkin
memahami kondisi karena sama-sama wanita.

Namun bapak-bapak yang mungkin
mempunyai anak juga melakukan hal yang sama. Anak-anak muda yang mempunyai
saudara wanita juga memberikan sedekah kepada pengemis ini.

Tiba
dia menengadahkan tangan ke meja kami, saya langsung memberikan isyarat tidak
ada.

Ureung
krit reujang mate!”
ujarnya kasar – orang pelit cepat mati! –

Ka
lom!”
teman saya emosi – maksudnya terulang kembali kisah yang sama dengan
anak yang barusan diusir oleh karyawan warung kopi ini.
“Di
mana urat malu pengemis itu?” tanya teman saya yang lain begitu wanita pengemis
itu keluar warung kopi yang kembali penuh seusai magrib. Saat itu kami telah
bergantian salat magrib.
Kami
semua saling pandang. Masihkah pengemis itu punya rasa malu?
Catatan
dari saya; bekerjalah selagi kuat, pekerjaan halal hasilnya juga akan
membawa berkah walaupun cuma selembar rupiah!
Categories
Uncategorized

Penyemir Sepatu dan Sepiring Nasi Goreng

Malam itu,
seperti biasa
, bersama tiga
sahabat saya duduk di sebuah warung kopi berfasilitas internet gratis. Cuaca
Banda Aceh yang panas membuat kami memesan minuman dingin.
Hiruk-pikuk di sekitar semakin terasa. 


Kebanyakan sibuk dengan smartphone mereka. Pengemis
yang meminta-minta
, datang dan
pergi
begitu saja. Soal
pengemis, kami telah sepakat untuk tidak memberi
walau mereka memelas. Jika harus memberi, semua
harus dikasih. Sudah tidak terhitung pengemis yang datang silih berganti.

Ilustrasi.

Tiba pada
seorang anak usia
sekitar sepuluh
tahun.
Tangannya
menenteng kotak persegi panjang. Badannya sedikit membungkuk karena beban yang
dipikul. Matanya celingak-celinguk ke bawah meja. Kepalanya tunduk hormat pada
siapa saja yang disapa. Tampaknya, anak itu sedang menawarkan sesuatu.

Langkah kaki
anak itu
terhenti
di samping saya
. Wajah yang kusut, pakaian yang lusuh, dan sandal jepit usang, menyapa dengan suara yang terdengar
lebih berat dari usianya.
“Mau semir
sepatu, Bang?”  
“Maaf,
saya tidak memakai sepatu kulit, Dek,” jawab saya sambil memperlihatkan
sepatu sport warna putih kepadanya. Dua sahabat saya adalah wanita dan
seorang
pria juga tidak mengenakan sepatu kulit.
“Oh,
tidak apa-apa, Bang,” anak itu tersenyum.
“Kamu
sudah makan, Dek?”
tenya Erni.
“Belum,
Kak,” jawab anak itu polos.
“Kamu mau
makan apa?” lanjut Erni.
Anak itu
tampak bingung.
“Duduk
saja,” saya menarik kursi
untuknya lalu memanggil pelayan.
“Kamu
boleh pesan apa saja,” kata Lia yang duduk
berhadapan dengan anak itu.
“Makan
sampai kamu kenyang ya,” ujar Topan tak mau ketinggalan.
Anak itu tidak
berani memesan sesuatu. Kami sepakat untuk
memesan sepiring nasi goreng dan segelas juice alpokat.
Kami mulai
mengobrol sambil menunggu pesanan dat
ang. Anak itu menceritakan kesehariannya. Tinggal di panti asuhan
membuatnya berpikir keras untuk tidak manja. 



Sekolah memang gratis tetapi untuk
hidup mandiri – Ahmad, sebut saja namanya demikian karena saya lupa nama
aslinya – harus bekerja. Ia mengatakan tidak mempunyai keahlian khusus. Seorang
yang tidak ia kenal memberikan sekotak peralatan semir sepatu kepadanya dua
tahun lalu. Orang itu berpesan untuk menjauhi sifat meminta-minta.
Ahmad cukup senang diajak bicara. Katanya, baru malam itu ia
mendapat tawaran makan enak. Biasanya Ahmad hanya menyemir dengan imbalan tak
lebih dari sepuluh ribu untuk sepasang sepatu. 



Selesai menyemir dan menerima
upah, ia akan berkeliling lagi ke tempat yang lain. Tak pernah sekalipun ia
berpikir untuk membeli makanan enak. Ia ingin menabung untuk masa depan. Ia
berpikir bahwa tidak selamanya berada di panti asuhan. 



Ketika dewasa ia harus
berjuang seorang diri dalam mencari nafkah. Tabungan yang telah dikumpulkannya
akan dijadikan bekal untuk masuk perguruan tinggi nanti.
Pesanan untuk Ahmad datang lima belas menit kemudian. Ahmad
menyantap nasi goreng dan juice alpokat dengan lahap. Matanya
seakan-akan bercerita tentang sesuatu. Saya, Erni, Lia dan Topan menikmati saja
pemandangan asing di depan kami. 



Kenapa saya katakan asing? Karena Ahmad
berbeda dengan kami. Kami tidak mengusik kehidupan pribadi Ahmad. Tinggal di
panti asuhan dan bekerja di malam hari di usianya yang masih belia, lebih dari cukup
mendefinisikan segala sesuatu dari kehidupan keras anak ini.
Ahmad bekerja. Itulah porsi lebih dari anak kecil ini. Alasan
ini pula yang mendasari kami memberinya makan dan minum. Walau tidak ada
seorang pun dari kami berempat yang menyemir sepatu. Usaha Ahmad patut
diapresiasi dibandingkan usaha orang lain yang masih meminta-minta.
Setengah jam lebih Ahmad duduk bersama kami, dalam waktu itu
pula mata-mata di sekitar mengamatinya. Ketika Ahmad beranjak pergi, seorang pria
memanggilnya. Pria itu tidak memberi makanan enak melainkan memintanya menyemir
sepatu. Lepas dari pria itu, beberapa pria lain turut meminta Ahmad menyemir
sepatu mereka.
Tatapan Ahmad begitu dalam kepada kami berempat sebelum ia
meninggalkan tempat itu. Saya mencerna tatapannya sebagai ucapan terima kasih kepada
kami. Saya tidak tahu berapa upahnya malam itu. 



Kemuliaan hatinya tanpa meminta-minta
mendatangkan rejeki tidak sedikit. Saya melihat pria pertama yang meminta
sepatunya disemir, memberi Ahmad upah sebesar lima puluh ribu rupiah.
Siapapun anak kecil itu, jika membaca tulisan ini, saya berterima
kasihnya. Hidup ini tidak perlu meminta-minta, bukan?
Categories
Uncategorized

Perahu Terdampar, Bule dan Sebuah Senja di Senggigi

Lelah
mendaki Rinjani di Sembalun terbayar sudah ketika menatap pantai Senggigi yang
ramai dan panas. Saya berdiri di antara banyak langkah dan pandangan lain. Proses
matahari terbenam di mana-mana tetaplah sama. Namun sebuah senja selalu menghadirkan
rindu terparah. Jika ditanya rindu untuk siapa? Saya tidak tahu. Rindu saja.

perahu nelayan terdampar di pantai
Perahu terdampar – Photo by Bai Ruindra
Matahari
sedang mengayuh dayungnya lebih kencang. Sebentar lagi hari akan gelap. Keramaian
semakin terasa di pantai terdekat dengan kota Mataram ini. Saya mengarahkan
kamera smartphone ke segala sisi. 

Ada perahu terdampar dan bule
berjemur dengan kancut!

Sesuatu
yang tidak wajar karena saya orang Aceh. Kok Aceh dijadikan
kambinghitam? Kenyataannya memang demikian. Di umur yang tak lagi muda, baru
kali ini saya melihat orang-orang begitu bebas hanya mengenakan underware
di bibir pantai.

Berbaur dengan orang-orang seperti kami yang bersegaram
lengkap. Mereka – bule itu – santai dan nyaman saja membaca buku di tengah hari
yang panas. Mereka juga bercengkrama dengan pasangannya, dengan anak-anaknya,
dengan kamera yang membidik ke sana-kemari.

Alangkah indahnya hidup di sini
untuk saya yang perawan. Mata saya melotot namun tak terarah lagi ke
pemandangan bule berjemur karena orang-orang di sekitar menganggapnya hal yang
wajar. Tentu saya mempunyai malu untuk itu.

Apabila bule-bule itu berjemur
dengan cara yang sama di pantai Aceh, tak lama kemudian mereka akan ditegur dan
paling parah akan diboyong polisi syariat Islam menuju tempat khusus
untuk diberikan arahan.  


Di pantai ini,
para bule dan wisatawan lokal bergerilya dengan glamornya. Padahal di lembah
Sembalun, di kaki Gunung Rinjani, Islam sangat kental sekali.

Saya berani
menjamin keislaman mereka di sana bisa melebihi kadar Islam orang Aceh. Contohnya
saja, di desa Sembalun kebanyakan wanitanya menggunakan penutup wajah (cadar)
dan itu sangat tumpang tindih begitu saya merayap ke Mataram yang telah
moderat.

Lombok dan Aceh sangat jauh berbeda walaupun sama-sama memiliki pemahaman Islam yang kuat!

Apa
yang menarik bagi saya? Aceh dikenal dengan kekentalan Islam. Lombok juga
demikian. Namun di Aceh semua wanita mengenakan jilbab karena hukum Islam telah
menuntut demikian.

Di Lombok kehidupan mereka masih sama dengan kehidupan di
kota lain, belum ada aturan untuk menjalankan Islam secara keseluruhan. Jika
Aceh digelari Serambi Mekkah, Lombok diberi gelar Negeri Seribu Masjid. Di
mana-mana masjid. Jalan beberapa langkah ada masjid lagi.

Saya
melepas pandangan ke perahu-perahu terdampar. Saya ambil gambar perahu-perahu
tanpa nelayan yang diparkir sembarangan. Perahu-perahu di Senggigi tak lain
adalah milik pelaut yang terparkir tanpa nahkoda.

Perahu-perahu ini juga
menjadi tempat para wisatawan mengabadikan foto. Perahu-perahu ini menyimpan
banyak harapan, banyak kenangan, dan banyak rejeki bagi pemiliknya.

Senja
selalu menepati janji tepat pada waktunya. Orang-orang mulai berkerumun ke
bibir pantai. Momen paling indah adalah saat matahari terbenam. Bidikan kamera
terlihat di mana-mana. Saya ikut ambil bagian dari fenomena alam tersebut.

Kamera
smartphone saya menangkap langkah gagah seorang lelaki di bawah matahari
yang mulai terbenam ke langit Bali. Langkahnya penuh harapan, itu sudah pasti. Langkah
saya pun semestinya lebih lebar dari orang itu.

Di mana kesempatan tak pernah
datang kedua kali. Begitu pun langkah saya di Senggigi. Tidak ada yang menjamin
bahwa kehidupan saya akan terulang kembali di sini!

Categories
Uncategorized

Begini Tipe Wanita yang Mencampakkan Harga Diri Pria

Sabtu
selalu menarik untuk kongkow-kongkow. Tempat mangkal paling asyik
dan menguras isi dompet adalah warung bakso. Siapa sih yang nggak suka
bakso? Biar dikata banyak inilah, itulah, bakso tetap saja langganan mereka
yang kenyang dan lapar beneran!
Ilustrasi.

Kami
duduk manis menanti bakso disajikan. Aroma kuah bakso lumayan sedap. Para pembeli
datang tak keruan. Beragam usia menikmati sebongkah bakso dengan lahap
diselingi gelak tawa. 



Di kelompok kami pun tawa itu tak padam. Entah karena
suara perut atau memang suara isi hati yang ingin melepas lara. Celutuk-celutuk
kian menjadi-jadi sampai si Cantik kembali mengeluarkan “fatwa”nya yang
aduhai.

“Aku
males banget ke gym lagi, cowok-cowok itu pasti lihatin
aku terus pas pulang!”
Kawan-kawan
si Cantik yang merasa diri cantik pun menimpali seadanya. Saya mengetuk-ngetuk
meja sambil menunggu semangkuk mi ayam, berhubung rasa bakso tidak begitu
diterima dengan baik oleh perut.
“Pacarku
pun ngelarang,” sambung si Cantik. Cerocosnya kian panjang. Maksud si
Cantik komporin hal-hal begitupun entah untuk apa. Si Cantik terdengar
cukup bangga dengan kondisi apapun yang dimilikinya. Saya tak mau menilai
sebatas fisik karena itu sangat relatif. Cantik menurut saya belum tentu cantik
menurut orang lain.
“Bagaimana
pendapatmu, Bang?” tanya si Cantik.
“Apa
cowok itu kerjaannya cuma melototin cewek cantik?” geram juga saya
dengan anggapan-anggapan si Cantik. Wajar dong saya membela kaum
sendiri. Toh, nggak cuma kali ini saja si Cantik buat tingkah.

Berulangkali
si Cantik merasa bahwa dirinya sangat didiam-diamkan oleh semua pria. Poin cowok-cowok
yang lihat dia terus sepulang gym
itu nggak masuk akal bagi saya. Saya
balik bertanya karena saya merasa bahwa tempat gym bukan untuk
pamer-pamer  diri bermake-up
tebal. Lagian pria yang dimaksud si Cantik berapa orang sih?

Apakah semuanya
ganjen? Apakah semuanya nggak setia? Apakah semuanya mata keranjang? Apakah
semuanya jomblo? Apakah semuanya sudah menikah? Ingin saya utarakan rentetan
pertanyaan tersebut namun urang saya lakukan.

Bahkan, pertanyaan berikutnya
muncul. Apakah cuma dia saja yang “cewek” di tampat gym itu? Apakah
hanya dia saja yang merasa diperhatikan? Bagaimana dengan cewek lain?

Selera orang – pria – beda-beda lho Cantik!

Salah
besar jika si Cantik berhenti gym karena diperhatikan pria-pria yang dia
maksud.
Ocehan
si Cantik di warung bakso itu tidak bisa saya percaya seutuhnya juga didukung
dengan perkara lain. Pada kesempatan sebelum ini, si Cantik dengan tegas
menjelaskan bahwa rata-rata pria ganteng itu mantan dia!

Hampir semua pria yang
ada di akun facebook si Cantik adalah mantan pacar yang telah dia buang,
walaupun pria ganteng tersebut sedang menggendong bayi. Manipulasi data si
Cantik ini terkuat saat seorang cantik lain sengaja memancing di air bening.

Temannya
si Cantik ini, juga teman saya, berteman dengan pria yang lumayan ganteng di
facebook dan “mantannya” si Cantik. Saking kesalnya teman saya dengan
cerita-cerita si Cantik yang mengaku kencan di tempat-tempat romantis dengan
pria ganteng tersebut, teman ini dengan tegas bertanya kepada si pria. Jawabannya?

Siapa dia?

Waktu
itu, kami tidak mempersoalkan kejadian ini. Tidak pula menganggap angin lalu. Pengakuan
pria ganteng yang tidak mengenal si Cantik menjadi cambuk untuk kami menilai
dirinya lebih dekat. Kejadian demi kejadian lain pun menyusul. Si Cantik dengan
bangga memaksa kami mendengar ucapannya.
“Oh,
dia. Mantan aku tuh!
“Dia
cemburuan makanya kami putus,” ucap si Cantik seminggu sebelum pacaran dengan
pria lain.
“Ego
kali dia, kuputusin saja!”kata si Cantik sebulan putus dengan si
cemburuan.
Seakan-akan
tak ada hari baginya untuk sendiri. Si Cantik seperti dikangkangi oleh pria
manapun yang dikenalnya, padahal belum tentu pria itu mau dengannya. Seolah-olah
hanya dia wanita yang layak dilirik pria, sedangkan wanita lain ke laut
aja!
Kembali
ke warung bakso di mana meja kami telah penuh terisi mangkuk. Suara si Cantik
cukup dominan di antara kami. Tiba-tiba seorang pria tegap, dada bidang, kulit
mulus dan wajah putih bersih berdiri di meja kasir. Pria itu sedang memesan
bakso rupanya.
“Aduh…,
aku pernah dekat sama abang itu!!!” pekik si Cantik tertahan.
“Siapa
sih yang nggak pernah dekat sama kamu,” ujar teman kami yang tinggi
semampai.
Samperin
terus,” ujar yang lain.
“Perlu
bantuan? Aku siap kok!” tawar teman kami yang ceria.
“Apa
perlu kutanya dia kenal atau nggak sama kamu!” kata teman yang mengetahui si
Cantik sering berbohong.
“Jika
semua pria dekat sama kamu, berapa banyak sperma mereka di rahim kamu sekarang?”
tanyaku. Semua diam. Si Cantik merah padam. Sekonyong-konyong pertanyaan saya
menggariskan fakta teramat perih. Pria punya harga diri kok Cantik! Nggak asal
wanita kami caplok!
Categories
Uncategorized

Mahasiswa PascaSarjana Ini Peduli Songket Aceh yang Hampir Punah

Warisan
budaya tanpa sengaja telah punah dengan sendirinya. Percaya atau tidak,
kenyataan yang terjadi demikian. Pergeseran makna konsumtif menjadikan brand
kedaerahan terkikis dengan sendirinya.

Tentu sering mendengar nggak level
pakai produk daerah
, atau kuno ah pakai pakaian daerah. Alasan-alasan
yang serupa menjadikan warisan budaya ini semakin tak kondusif dan terlupa
begitu saja. Termasuk anak-anak muda Aceh yang cenderung menyukai fashion kebarat-baratan
di bawah bayang syariat Islam sekalipun.

songket aceh
Azhar Ilyas, Penggagas Komunitas Songket Aceh – portalsatu.com
Memang,
tidak semua laki-laki ingin menjadi pacarmu eh maksudnya tidak semua
anak muda Aceh lupa pada warisan budaya. Azhar Ilyas, seorang mahasiswa
pascasarjana di Universitas Syiah Kuala menjadi bagian terpenting dalam
melestarikan warisan budaya di Aceh,
Songket Aceh


Tahu dong
bagaimana sibuknya mahasiswa S2. Diktat-diktat, kebut tesis eh kebut jodoh juga
bagi yang belum kawin. Pemuda yang satu ini malah sibuk
ngurusin Songket
Aceh.

“Songket Aceh memiliki kekhasan sebagai
mahakarya kerajinan budaya Aceh yang telah diwariskan secara turun-temurun
sejak ratusan tahun silam. Di masa lampau, Songket Aceh dipakai oleh para
bangsawan atau orang tertentu saja karena proses pembuatannya yang sangat
panjang. Selain itu, Songket Aceh juga bagus-bagus dan beragam warna dan
motifnya.” Azhar Ilyas. 

Azhar
membagi waktu antara kuliah dengan promosi Songket Aceh, baik melalui media
sosial maupun blog miliknya. Azhar begitu mencintai warisan budaya yang telah
ada di Aceh sejak abad ke 17.

Salah satu daerah yang masih menenun Songket Aceh
adalah di desa Siem, Aceh Besar. Di sana juga terdapat selembat Songket Aceh
yang usianya ditaksir 170 tahun lebih. Luar biasa bukan?


Salah
satu motif Songket Aceh yang dipercaya pernah dipakai oleh pejuang Aceh adalah Bungong
Kalimah
. Motif ini berisikan kalimah tauhid di mana mengisyaratkan bahwa
sejak dulu masyarakat Aceh telah percaya kepada Tuhan yang Esa yaitu Allah.

Motif
Aceh memang sebuah simbol dari sekian bentuk kepercayaan dalam rangka mencintai
pencipta. Namun hal ini tentu sangat berimbas kepada akidah seseorang karena
Songket Aceh dipakai, membaca kalimat yang tertera di sana akan mengingatkan
kepada Tuhan dalam setiap hela napas.

Azhar
sangat percaya bahwa warisan budaya Aceh ini akan semakin dikenal apabila anak
muda yang gagap teknologi mengenalkannya ke dunia. Bersama blogger Aceh, Azhar
menggagas Komunitas I Love Songket Aceh (ILSA) yang kemudian menjadi sarana
mempromosikan Songket Aceh ke dunia luas.

Promosi dilakukan melalui media
sosial seperti blog, facebook, twitter, instagram maupun kegiatan-kegiatan
offair yang menghadirkan pakar dalam bidannya guna mengupas lebih tajam
mengenai songket ini.

Songket
Aceh memang hampir punah, namun di Dekranasda Kota Banda Aceh terdapat galeri
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang merupakan tempat untuk belajar menenun
songket ini. Dalam bahasa Aceh kegiatan menenun disebut pok teupeun
sedangkan alat tenun disebut teupeun.
Tidak
mudah bagi seorang anak muda yang supersibuk menjalankan kegiatan ini. Apalagi
kegiatan promosi Songket Aceh murni panggilan jiwa. Tak ada istilah pekerjaan part
time
bahkan full time dalam menggalakkan Songket Aceh semakin
dikenal luas.

Jiwa Azhar tak dapat dipisahkan lagi dari warisan budaya ini. Ia
mempunyai sebuah impian tentang adanya galeri besar yang memuat songket khas
ini. Bahkan, ia ingin kain tenun Songket Aceh dihargai sebagaimana kain tenun
lain di pasaran. Sehingga kekhasan Aceh tak hanya berupa pelaksanaan Syariat
Islam maupun maupun meugang.

Ini lho kain tenun khas Aceh yang patut
diapresiasikan!

Semangat
Azhar dalam menerobos “pasar” yang semakin gagah patut diberi penghargaan
lebih. Waktu Azhar cukup terbuang untuk kegiatan Songket Aceh maupun tesis yang
katanya hampir terbengkalai.

Keduanya sangat penting. Keduanya bermanfaat bagi
dirinya dan banyak orang. Keduanya berada pada lingkaran yang wajib ia
perhatikan tapa terkecuali.

Usaha
Azhar yang gigih ini saya berikan tepuk tangan yang meriah. Bagaimana dengan
Anda? Adakah sedikit waktu untuk menyemangatinya?