Aceh, sebentar saya merapat ke bibir pantai Alue Naga. Deru ombak yang cadas
dan romantis di sisi lain membuat saya tak gentar. Saya memang tidak lupa
musibah lalu, saya juga tidak mau terlena dan melupakan keindahan laut dengan
penuh cinta dan rezeki di dalamnya. Roda perekonomian di bibir pantai ini juga
telah normal meskipun belum berdiri kafe atau restoran besar seperti yang
orang-orang inginkan. Namun, siluet senja yang sebentar lagi tiba, Pulau Sabang
yang meredup dalam balutan awan serta pesawat terbang yang sedang take-off atau landing begitu menyempurnakan rehat sejenak di sini.
kami. Tiap Desember adalah luka yang menganak airmata. Sampai usia tertutup
sekalipun saya akan ingat tentang kepasrahan, rasa putus asa maupun kesedihan
teramat dalam, di pagi itu saat berlari dikejar ombak besar. Gemuruh yang entah
berwujud apa, kepanikan di mana-mana adalah panorama yang kemudian melarutkan
isak tangis dalam kehilangan panjang; sampai
kini.
mana ‘kami’ di bibir pantai bukanlah pegawai negeri atau pegawai perusahaan besar
yang mendapat sokongan dengan mudah. Semua kembali dari awal. Berangkat dari
keterpurukan dan dari tidak ada. Bala bantuan yang datang namun tak pernah
menggenapkan kehilangan mata pencaharian seperti semula. Cukup lama – saya
pikir – saudara kami di Alue Naga untuk berbenah, bahkan sampai saat ini masih
terasa asing di negeri sendiri.
![]() |
Kampung Alue Naga dengan laut indahnya. |
dalam tak terucap kata. Mau tidak mau, tiap orang memiliki kisah yang berbeda.
Dan tentu, di bibir pantai ini hanyalah nyalak pilu berkepanjangan. Kampung yang
dulu pernah permai kini seperti gersang dalam kubangan ombak yang sesekali
ganas. Saat masuk ke perkampungan penduduk, pohon rimbun dengan daun luruh
menyapa dengan mesranya. Tiap lorong adalah sepi yang terasa. Mungkin, padatnya
penduduk dahulu telah terganti dengan riak duka di mana-mana.
bergumpal hari itu seharusnya mengabarkan berita baik. Namun, entah kenapa,
kesunyiaan yang semula ada kian menjadi-jadi. Saya bertanya tentang asa, soal
harapan dan juga mengapa bertahan di tanah yang tak lagi bersahabat ini.
berdiri. Penegasan dalam kalimat ini menjabarkan banyak hal tentang mengapa
mereka tidak pindah atau alasan lain yang bisa diterima akal sehat sebagian
orang.
lelah diwajahnya menggambarkan segala daya tentang gaharnya ombak di tengah
lautan.
saya temui di depan perahu kecil di sungai itu, di dalam kios miliknya yang
sempit, di samping jalan yang tak ramai lalu-lalang, mengumbar senyum hambar. Baginya,
kehidupan yang berwajah bahagia selalu datang tanpa perlu mengumbar soal susah dan
senang. Wanita 42 tahun ini tak menguratkan sedih tetapi di dalam hatinya
mengisyaratkan luka mendalam.
lagi soal luka lama itu. Kios miliknya yang sepi pembeli memberikan ‘gurauan’ panjang
pada hari itu. Kak Mar, begitu orang memanggilnya. Tak ada yang istimewa dari
wanita yang baru saja meletakkan mi instan rebus di atas meja sebelah kiri
kami. Dirinya bersama suami dan dua orang anak tampak biasa-biasa saja; sama
halnya dengan kebanyakan warga Alue Naga. “Kami harus bekerja seperti biasa,
mencari nafkah untuk kehidupan lebih baik!”
kenangan pahit dahulu. Ia pikir, mata pencahariannya telah menghilang seiring
kios miliknya dibawa tsunami. Kios kecil di Kampung Alue Naga yang dulu padat
tak berbekas. Kak Mar memulai dari awal, menanjak ke tangga yang licin demi
anak dan suami yang kini sudah tidak sanggup lagi bekerja. Sebelum tsunami –
mungkin – kios Kak Mar berjalan seadanya namun usai musibah itu kiosnya tak ada
perubahan berarti. Dengan kehidupan di Alue Naga yang demikian adanya, tak
mudah untuk menarik modal kembali dengan cepat. Kak Mar berpikir lagi, tak
mungkin ia bertahan dengan kios kecil itu. Setidaknya, ada usaha lain yang bisa
membuat dapurnya mengepul asap tiga kali sehari.
menyimpan rahasia sejak dulu. Ombak yang datang menggulung bekas jembatan di
sana. Pagi hari air laut selalu penuh, siang akan surut dan di sore sungai ini
akan kering yang meninggalkan perahu di atas tanah bercampur pasir. Di belakang
rumah warga, tanaman liar tumbuh di tanah bekas tsunami yang membentuk kubangan
besar. Di sana, batang bakau ditanam membentuk formasi pertahanan yang cukup
kuat. Airnya yang keruh dan tanah berlumpur adalah tempat yang nyaman untuk
tiram bertahan hidup.
![]() |
Di sinilah warga mencari tiram. |
sudah biasa. Jual-beli tiram di kios miliknya tidak mungkin membawa penghasilan
besar karena warga Alue Naga bisa mencarinya sendiri. Ide kreatif itu datang.
Inilah rezeki yang bermula untuk bertahan hidup. Kak Mar mencoba peruntungan
lain, membuat kerupuk tiram khas Aceh.
sedih, duduk menunggu pembeli di kios sempitnya, bukanlah perkara terbaik untuk
mendapatkan uang lebih. Kar Mar memblender tiram, mencampurnya dengan tepung
gandum dan terigu, menambah bahan dapur, tak lupa garam dan jeruk nipis untuk
menghilangkan bau amis dari tiram. Kompisisinya sudah dicatat dengan baik oleh
Kak Mar yang menjadi ‘rahasia’ dapur kerupuk gurih miliknya ini. Adonan kerupuk
tiram lalu ia kukus, didinginkan dan dipotong kecil-keci kemudian dijemur
minimal sehari di bawah panas matahari yang terik.
membuatnya sering diundang untuk mengikuti kegiatan UMKM. Puncaknya di tahun
2015, Kak Mar mendapat perhatian lebih soal merek dagang agar kerupuk tiram
miliknya menjadi brand yang kuat. Kak
Mar kemudian mencetuskan ide memakai nama dirinya, KAK MAR, di kemasan
kerupuk tiram. Lantas, membubuhkan Sinar Naga sebagai ‘pabrik’ atau nama usaha dari
kerupuk khas ini.
![]() |
Kerupuk Tiram Khas Aceh, Kak Mar, di Alue Naga, Banda Aceh. |
di Alue Naga, jadi gitu, saya pakai
Sinar Naga yang artinya suatu saat Alue Naga ini akan bersinar!” dengan brand kerupuk tiram – tambah saya dalam
hati. Senyum Kak Mar menguratkan harapan dan cita-cita jauh ke depan. Usahanya
yang telah mapan, merek dagang telah dimiliki dan banyak sekali sertifikat yang
ia pamerkan, soal keseriusan dan pembenaran atas apa yang dilakukannya selama
ini.
![]() |
Kak Mar dengan sertifikat izin usaha dari Pemerintah Kota Banda Aceh dan sertifikat dari Dinas Kesehatan. |
Kak Mar. Perjalanan yang melelahkan di mana semua dilakukan sendiri dan secara
mandiri membuahkan izin usaha dari Pemerintah Kota Banda Aceh. Kak Mar juga tak
lagi khawatir soal kelayakan kerupuk tiram miliknya karena Dinas Kesehatan
telah membubuhkan tanda tangan bahwa kerupuk Kak Mar layak untuk dikonsumsi. Ada
bagian yang saya tidak bisa menjabarkannya dengan baik. Namun, sisi ini yang jadi
sebuah keharusan untuk membuat saya lebih merinding. Usaha kecil yang mendapat
perhatian namun di segi pemasaran belum seperti usaha orang lain; sehingga saya pikir perlu pendampingan lebih
serius lagi. Maka, Kak Mar akan mendapatkan hasil yang setimpal atas apa
yang dicita-citakannya selama ini.
warna orange itu. Saya berulangkali
mengambil dan meletakkan kembali kerupuk tiram yang belum digoreng itu. Saya
juga bertanya, bagaimana rasanya kerupuk itu. Mungkin, karena Kak Mar kasihan
kepada saya yang penasaran, tangannya mengambil segenggam kerupuk itu lalu
digorengnya.
setelah merasakan sepotong yang telah digoreng, rasanya gurih.
orang bisa makan tiram karena kesehatan, jadi saya buatnya nggak banyak tiram,
dibanyakin tepung saja, tapi tiramnya masih terasa,”
![]() |
Kerupuk Tiram Kak Mar rasanya gurih. |
kesehatan konsumen menjadi hal yang melebihi kewajaran dari produk itu sendiri.
Namun, Kak Mar juga tidak menghilangkan identitas dari produk ini. Tiram yang
mudah didapat, diolah dengan baik sehingga menjadi makanan aman dikonsumsi. Semula,
Kak Mar mencari tiram sendiri namun seiring waktu karena tidak ada yang jaga
kios dan produksi kerupuk yang memakan waktu lama, ia memutuskan untuk membeli
tiram kepada warga lain. Tiram yang dipungut di dalam rawa-rawa berlumpur itu
memang tidak selamanya laris manis, setidaknya Kak Mar telah membantu mereka
yang kesulitan menjual tiram. Belum lagi bicara dalam keseharian, ibu-ibu di
desa Alue Naga dengan suka cita menjadikan tiram sebagai mata pencaharian
utama.
tidak ada pembeli dan pelanggan tetap. Dalam sebulan, biasanya Kak Mar mampu
menjual 10 kilogram kerupuk tiram dengan perhitungan penghasilan antara Rp
800.000 sampai dengan Rp 1.500.000. Kerupuk yang telah dibungkus dalam kemasan akan
dijual Rp 10.000, sedangkan 1 kilogram dijual Rp 80.000.
Naga menjadi binaan Kampung Berseri Astra. Perkampungan yang cukup panas di
siang hari karena hawa laut itu memang tidak seindah kampung lain. Aroma nelayan
begitu kental. Perahu kecil diparkir sendirinya sebelum kembali melaut. Namun, tiram
dan bakau mudah sekali ditemui di sini. Sejak Astra dan Universitas Syiah Kuala
– kemudian disingkat Unsyiah – memberikan bantuan, Alue Naga seolah-olah
kembali bersinar.
sampai ke Medan, Jawa sampai Malaysia. Kak Mar berujar, salah seorang Dosen Unsyiah
– yang tidak saya sebutkan namaya di sini – yang selalu mendampingi tiap acara
Astra selalu memesan dalam jumlah banyak untuk oleh-oleh jika keluar kota. Demikian
pula dengan salah seorang staf dari lembaga pemerintah yang juga mendukung
industri kecil Kak Mar, di mana selalu memesan kerupuk tiram untuk berbagai kebutuhan.
dari mulut ke mulut. Inisiatif untuk menjualnya ke toko lebih besar sudah ada
tetapi masih terkendala produksi dan kemasan yang belum maksimal.
![]() |
Alue Naga, Kampung Berseri Astra di Aceh. |
patut menjadi inspirasi di kampung-kampung binaan Astra – Kampung Berseri Astra.
Tak mudah menemukan sosok dengan semangat seperti Kak Mar, di mana mampu
bangkit dan menghadirkan ide kreatif setelah terpuruk sekian lama; kehilangan anggota keluarga dan harta benda.
menjadi makanan berbeda dilirik Astra dan bahkan menjadi ciri khas di Kampung
Berseri Astra, di Alue Naga, Banda Aceh. Kontribusi Kak Mar untuk program Astra
cukup menonjol daripada yang lain. Kak Mar tak segan berbagi pengalaman dan
juga ilmu meracik kerupuk tiram kepada banyak orang. Di kios Kak Mar yang
sempit ini pula, wanita tersebut ‘melatih’ keterampilan membuat kerupuk tiram
yang didukung oleh Astra dan Unsyiah pertengahan tahun 2018.
yang diberdayakan adalah petani tiram dan juga penanaman bakau. Cerita Kak Mar tak
lain bukti sukses dari program kewirausahaan dari Kampung
Berseri Astra itu sendiri selain program pendidikan, kesehatan dan lingkungan (sudah
termasuk di dalamnya penanaman bakau untuk ternak tiram lebih baik dan juga
untuk menghalau air pasang lebih tinggi).
karena sosok begini telah lahir dari program Astra. Tak mudah menemukan sosok
demikian saat ‘bantuan’ usaha datang. Namun Kak Mar berangkat dari usaha yang
telah ada, izin yang telah dimiliki sehingga dalam waktu lama akan menjadi
kisah inspiratif lain dari cerita di Kampung Berseri Astra. Hanya saja, saya
merasa bahwa sosok begini haruslah diberdayakan lebih layak dan mendapatkan modal
yang besar.
untuknya mencari dana lebih untuk modal usaha. Tak mengerti pula dirinya mendapatkan
suntikan modal dari lembaga lain. Kemudian, Alue Naga menjadi pilihan yang
tepat sebagai Kampung Berseri Astra, meski panas, gersang di sisi lain, seakan-akan
hilang mata pencaharian tetapi warga di sini masih tetap bertahan.
Astra yang selama ini menyokong aktivitasnya. Ia ‘hanya’ membutuhkan alat bantu
jemur kerupuk, penggiling dan pemotong saja. Namun, saya yakin sekali di lubuk
hati Kak Mar terdalam, ia memiliki cita dan harapan yang akan terwujud jika
program Kampung Berseri Astra memperhatikannya dengan baik. Suksesnya usaha Kak
Mar memberikan kontribusi – sekali lagi – lebih besar kepada Kampung Berseri
Astra. Kerupuk tiram Kak Mar telah memiliki brand
tersendiri sehingga melekat di benak pembeli. Kak Mar hadirkan cerita ini untuk
kita yang mungkin saja terlupa akan jerit hati mereka di bibir pantai bekas
tsunami.
Berseri Astra di Aceh dengan caranya sendiri. Tak mudah namun pasti. Tidak cepat
tetapi perlahan. Tentu, saya tidak ingin usaha Kak Mar kemudian membawa nama
besar kepada orang lain. Saya bahkan ingin sekali Kak Mar menjadi contoh
terbaik dari pengusaha sukses di Kampung Berseri Astra.
Mar di pinggir jalan itu. Coba rasa kerupuk tiram miliknya, mungkin akan kembali
kapan-kapan untuk membelinya lagi.
menutup jalan. Kiri dan kanan sungai adalah Kampung Alue Naga. Sebuah monumen
menceritakan pedih kisah mereka di 2004, juga tentang bantuan yang pernah
mereka dapatkan pada masa kontruksi dan rehabilitasi. Jalan lurus itu akan
membawa kita ke kios Kak Mar, juga ke batang bakau dengan tiram bersembunyi di semak-semaknya.
![]() |
Jalan masuk ke Alue Naga, Banda Aceh. |
mereka, semangat Kak Mar adalah cerita terindah soal rasa bangkit dari
keterpurukan. Kak Mar seolah ada dan tiada, maka dari sini saya ingin tegaskan
bahwa Kak Mar memberikan pelajaran penting untuk kita. Kampung Berseri Astra –
melaluinya – Kak Mar menjadi tokoh penting dari calon pengusaha sukses. Saya yakin
sekali dengan binaan yang tepat dari Astra, Kak Mar akan demikian suatu saat
nanti!
![]() |
Kak Mar dan Kerupuk Tiram miliknya. |
Sinar Naga – Desa Alue Naga