Categories
Uncategorized

Siap Nggak Siap! Nikah di Aceh Habiskan Puluhan Juta Rupiah

Nikah di Aceh Habiskan Puluhan Juta Rupiah dan nggak mudah mengucapkan will you marry me di Aceh!
Siapa sih yang nggak mau menikah? Jika usia telah matang dari segi fisik, materi maupun mental, penikahan adalah hal wajar untuk dibicarakan. Namun, menikah dengan gadis Aceh tidak segampang omongan lho. Aturan main yang lebih dikenal dengan sebutan budaya sangat erat kaitannya untuk laki-laki maupun perempuan yang ingin menikah. 
Nikah di Aceh mahal – ilustrasi pernikahan di Aceh.
Barangkali, budaya ini pula yang membuat laki-laki Aceh lebih galau selangkah daripada perempuan. Hanya di Aceh saja urusan menikah mesti membayar mahal cukup mahar.

Mahar dalam Islam dan Adat Mahar di Aceh

Dalam Islam mahar adalah kewajiban seorang laki-laki dalam meminang seorang perempuan. Namun Islam tidak membatasi besar mahar yang wajib ditebus tersebut.

– Rasulullah saw. bersabda: “Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk mas kawinnya?” Laki-laki itu menjawab: “Tidak” Rasulullah saw. bersabda kembali: “Carilah sekalipun sebuah cincin dari besi!” (HR. Muslim) –

Aceh memang unik. Syariat Islam telah diterapkan namun urusan pinangan seorang laki-laki kepada seorang gadis, tidak berlaku “aturan” main dalam Islam tersebut. Gadis Aceh tak akan pernah bisa dipinang hanya dengan cincin “besi” yang diibaratkan dalam hadis ini. Gadis Aceh hanya akan menerima pinangan mahar emas, sekalipun hanya 1 mayam saja, jika ada yang setuju. 
Satuan emas dalam mayam adalah 3,3 gram. Harga 1 mayam emas bisa beragam. Emas murni dengan campuran beda harganya. Paling sedikit 1 mayam harga emas antara 1,5 sampai 2 juta rupiah. Goyangan ekonomi sedikit saja, harga emas akan naik atau turun. Beli hari ini mahal, besok bisa murah.

Segini Jumlah Mahar di Aceh

Apakah gadis Aceh – orang tuanya – akan menerima mahar 1 mayam emas?
Tentu tidak. Inilah kebiasaan – budaya – yang tidak pernah dibuang oleh masyarakat Aceh sampai kapanpun. Keunikan budaya ini hanya ada di Aceh saja. Berlangsung di mana-mana. Dilakoni dengan sepenuh hati. Tanpa paksaan. Tanpa protes. Dielu-elukan apabila maharnya tinggi atau rendah. Dicemooh jika maharnya rendah atau tinggi. 
Semua serba salah. Tetapi yang salah ini tetap dibanggakan oleh masyarakat Aceh. Hari ini dikatakan mahar si gadis tetangga terlalu rendah untuknya yang cantik, besok akan terlupa karena mahar si tetangga lain terlalu tinggi untuk seorang gadis dari keluarga biasa-biasa saja – kurang mampu. 
Untuk kamu, siapkan mahar emas minimal 10 mayam untuk dapat menikahi gadis Aceh “baik-baik” yang kamu cintai! 

Marwah Gadis Aceh, Wanita Baik-baik Dilamar dengan Mahar Emas

Gadis Aceh baik-baik adalah mereka yang menjaga marwah Aceh, berasal dari keluarga baik-baik, bagus agamanya, sopan santun perilakunya, memegang teguh adat-istiadat dan lain-lain. Penilaian ini sebenarnya objektif dan tidak hanya tergantung pada faktor yang saya sebutkan. Walau bagaimanapun gadis Aceh adalah perempuan baik-baik karena hanya mau menikah setelah dipinang dengan mahar emas.
10 mayam angka yang tidak sedikit untuk setiap laki-laki yang ingin menikah. Siap batin belum tentu materi siap. 10 mayam adalah angka yang lumrah namun tahukah kamu jika gadis yang dicintai itu seorang sarjana, cantik rupa, atau berasal dari keluarga kaya! Mahar yang wajib kamu tebus bisa sampai 20 mayam ke atas. 
Baiklah. Coba kita kalkulasikan jumlah biaya yang wajib dikeluarkan untuk menikah dengan gadis Aceh ini. 10 mayam saja jika harga 1 mayam emas 1,5 juta, maka kamu akan mengeluarkan biaya paling sedikit 15 juta. Jika 20 mayam maka 30 juta. Jika lebih dari 20 mayam? Jika 25 mayam? Jika 30 mayam? 

Budaya Mahar di Aceh dan Sinkronisasi dengan Islam

Budaya mengajarkan banyak hal kepada kita. Begitu pula budaya Aceh yang satu ini. Satu sisi memang tidak adil untuk laki-laki yang telah siap mental untuk menikah tetapi terkendala mahar. Di sisi lain adalah proses kesabaran yang sebenarnya dalam Islam telah dianjurkan.

– “Wahai para pemuda! Barangsiapa yang sudah memiliki kemampuan (biologis maupun materi), maka menikahlah. Karena hal itu lebih dapat menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah), maka hendaklah dia berpuasa karena hal itu menjadi benteng baginya” HR. Bukhari –

Proses sabar yang cukup panjang, bukan? Siap mahar 10 mayam, belum tentu siap berumah tangga. Budaya Aceh yang unik ini tampaknya sejalan dengan aturan main dalam Islam, jika menelaah lebih lanjut. Kaum laki-laki dianjurkan untuk mapan terlebih dahulu sebelum benar-benar mampu berumah tangga. 
Toh, rumah tangga bukan cuma memberikan 10 atau 20 mayam emas saja sebagai mahar. Janji suci di hari ijab kabul akan berlaku sepanjang masa. Islam dan budaya Aceh setidaknya meminimalkan “perang piring pecah” dalam sebuah rumah tangga karena suami belum mampu membawa pulang sayap ayam tiap hari!

Laki-laki Aceh sanggup kok menikahi gadis Aceh biarpun mahar itu mahal!

Aturan mahar yang berlaku secara tidak tertulis adalah cambuk bagi laki-laki Aceh yang ingin segera meminang gadisnya. Patokan mahar dari calon mertua tidak membuat laki-laki Aceh mundur teratur karena terkendala biaya. Laki-laki Aceh mengumpulkan segenap keberanian untuk meminang karena mahar tersebut tidak lantas dibayar sekaligus. 
Nah, satu lagi sisi menarik dari sebuah pernikahan di Aceh.

Mahar boleh dicicil? Emang pernikahan itu barang kredit?

Permainannya bukanlah demikian. Step by step membuat pernikahan dengan mahar “besar” di Aceh ini justru menjadi sesuatu yang tidak biasa. Seorang laki-laki yang telah meminang gadisnya akan memberikan mayar 10 atau 20 mayam secara berkala. Waktu lamaran dikasih seperempat, menjelang pernikahan dikasih setengahnya, dan di hari ijab kabul dilunasi semuanya! 
Tepat sekali! Walaupun mahar gadis Aceh itu mahal tetapi tidaklah mahal karena proses ini berlangsung sedemikian manisnya. Hukum mahar yang berlaku di Aceh terasa ringan bagi siapa saja karena emas itu bisa diberikan kapan saja. Asalkan, di hari pernikahan mahar tersebut telah tunai! 
Sudah siap bersanding di pelaminan seperti ini? Gadis Aceh siap kok dipinang oleh kamu. Kamu siap nggak melunasi mahar yang dimintanya?
Categories
Uncategorized

10 Alasan Mengapa Kamu Wajib ke Aceh

Aceh selalu memiliki pesona berlebih di mata saya. Bukan saja karena lahir dan besar di nanggroe yang pernah konflik dan tsunami, Aceh adalah “sesuatu” yang sulit saya jabarkan identitasnya. 
Mulai dari perang melawan penjajah, Aceh telah dikenal sebagai bangsa yang perkasa. Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Hasan Tiro, Cut Mutia, Laksamana Malahayati, adalah segelintir pejuang kemerdekaan Aceh, yang berimbas cukup besar terhadap kemerdekaan Indonesia.
Sejarah memang dikenang untuk dijadikan pelajaran. Namun suatu daerah patut dikunjungi karena menyimpan tak sediki pesona! 

Syariat Islam di Aceh sangat Toleransi

Bicara Aceh dewasa ini, tentu saja bicara mengenai syariat Islam. Namun tahukah Anda bahwa syariat Islam di Aceh merupakan satu-satunya aturan dan perundang-undangan Islam di Indonesia yang kokoh sekali penerapannya, bahkan di Asia Tenggara. 
Penerapan syariat Islam di Aceh menyentuh banyak kalangan, walaupun dalam langkahnya tersandung di sana-sini. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh menjadi acuan tersendiri karena pemerintah daerah tidak seenaknya menerapkan aturan. 
Benar banyak qanun yang kemudian ditentang karena tidak sesuai atau menyudutkan golongan tertentu – khususnya perempuan – namun hukum Islam ini tak pernah berhenti. Ia terus melaju dan mengepakkan sayap sampai ke langit tertinggi. Dan seperti yang terlihat saat ini, masyarakat Aceh merasa aman dan nyaman di bawah naungan hukum Islam. 
Syariat Islam di Aceh.

Masjid Raya Baiturrahman Jadi Ikon Syariat Islam di Aceh

Mengapa saya memasukkan Masjid Raya Baiturrahman ke dalam list daftar kunjungan kamu jika ke Aceh? Karena inilah ruang publik yang wajib dikunjungi jika ke Banda Aceh. Toh, tak berfoto di depan masjid ini kamu dianggap belum pernah menginjakkan kaki di Aceh – Banda Aceh khususnya. 
Di perkarangan masjid yang luas kamu bisa ngapain saja asalkan sesuai aturan Islam. Misalnya berpakaian sopan – tidak ketat, tidak berduaan dengan nonmuhrim, bersenang-senang di luar batas kewajaran atau hal-hal lain yang menimbulkan prasangka tidak bagus terhadap Islam. 
Di dalam masjid yang adem, kamu bisa beribadah sepuasnya dan meminta pertolongan dari petaka yang tak kunjung usai. Percaya deh, saat berada di dalam masjid ini rasanya enggan pulang! 
Masjid Raya Baiturrahman.

Museum Tsunami Aceh Ikon Tsunami Aceh

Alasan terkuat kamu wajib ke Aceh karena terdapat museum yang dirancang oleh Ridwan Kamil. Museum ini menawarkan informasi dengan jumlah banyak mengenai musibah yang telah menimpa Aceh dan sebagian Sumatera Utara akhir 2004. 
Kenangan demi kenangan bisa kamu jadikan pelajaran kedahsyatan musibah terbesar abad ini. Pentingnya kamu menyelusuri lorong demi lorong di dalam museum karena kamu bisa melihat betapa getirnya musibah itu. Dengan itu, kamu bisa bersyukur terhadap hidup yang damai dan sejahtera saat ini. 
Museum Tsunami Aceh.

Kapal Apung Sejarah Tsunami di Aceh

Benarlah. Hanya di Aceh saja kapal besar berada di tengah-tengah penduduk. Kapal Apung atau PLTD Apung merupakan kapal yang diangkut tsunami ke Punge, Banda Aceh. 
Letaknya yang tak jauh dari Museum Tsunami maupun Masjid Raya Baiturrahman menjadikan Kapal Apung sebagai alternatif wisata untuk kamu. Semakin hari Kapal Apung semakin diperbaharui sehingga saat ini telah disulap sebagai museum yang menarik. 
Pernak-pernik mengenai perkapalan bisa dinikmati dengan gratis di Kapal Apung ini. Berminat mengunjunginya? 
PLTD Apung Aceh.

Orangnya Aceh Ramah-ramah 

Oh, ayolah! Saya seperti enggan menulis ini. Tapi betul demikian adanya. Orang Aceh itu sangat memuliakan tamu. Jika ada tamu datang ke rumah, gula atau kopi pun bisa ngutang dulu ke tetangga. 
Makan pun didahulukan untuk tamu walaupun sendiri hanya makan dengan garam saja nantinya. Tak apa-apa. Tak apa-apa. Begitulah orang-orang Aceh memberikan penghargaan kepada tamu-tamu mereka. 
Keramahan orang Aceh itu tak hanya dari sikap melayani tamu tetapi hampir semua perilakunya ramah-tamah. Sudikah kamu berkenalan dengan kami? 

Sunset di Aceh Indah Sekali

Musibah besar tak mampu menyulap panorama alam di Aceh menjadi buram. Baik matahari terbit maupun matahari terbenam masih menjadi pemandangan nomor satu yang sulit dilewatkan di sepanjang pantai di Aceh. 
Menunggu sunset menjadi pilihan kamu selama di Aceh. Luas wilayah Aceh yang rata-rata di kelilingi laut bisa dengan mudah menunggu matahari terbenam. 
Tak hanya saat di Banda Aceh saja, di Aceh Besar, di Aceh Barat, di Aceh Selatan, di Nagan Raya, adalah tempat terasyik menanti sang surya tenggelam. Siapkan kamera kamu supaya tak terlewatkan momen berharga ini! 
Sunset di Aceh.

Warung Kopi Tak Pernah Mati di Aceh

Aceh sejuta warung kopi! Benar sekali. Di mana-mana adalah warung kopi dengan fasilitas internet gratis atau warung kopi konvensional. Walaupun warung kopi semakin hari semakin meningkat pertumbuhannya, para penikmatnya pun entah datang dari mana. 
Warung kopi itu selalu penuh. Contoh saja di Banda Aceh yang telah disulap oleh berbagai nama warung kopi. Tahukah kamu jika warung kopi tak hanya sebagai tempat nongkrong semata? Dari warung kopi lahir ide-ide brilian memajukan Aceh. 
Dari warung kopi puluhan bahkan ratusan artikel blog dari blogger Aceh gentayangan di dunia maya. Dari warung kopi mahasiswa-mahasiswi menyelesaikan tugas mereka atau meeting kegiatan sosial. Rasa kopi yang candu membuat penikmatnya tak mau terburu-buru berlalu darinya. Kamu yakin tak tergoda dengan rasa kopi Aceh? 
Sanger di Aceh.

Mencicipi Mi Aceh yang Lezat

Mi Aceh telah sangat terkenal ke seluruh negeri ini. Tetapi mi yang dibuat di Aceh tentu berbeda dengan mi Aceh yang dijual di luar Aceh. Kamu bebas memilih pilihan mi Aceh selama di negeri kami. 
Mau mi kepiting? Mau mi udang? Mau mi campur telur? Bebas memilih dengan harga lumayan murah untuk kantong kamu sebagai pelancong. 
Mie Aceh yang Lezat.

Perempuan Aceh Itu Berjilbab 

Siapa bilang ke Aceh harus berjilbab? Katanya Aceh syariat Islam. Itu benar. Perempuan di Aceh tidak memakai jilbab karena tuntutan aturan saja. 
Jilbab telah menjadi “nyawa” bagi perempuan Aceh. Biarpun masih ada yang membangkang, itu adalah urusan dirinya dengan Tuhan. 
Namun, perempuan Aceh yang bermarwah selalu menjaga dirinya sebagai wanita, istri, dan anak perempuan dalam keluarga dan lingkungannya. 

Sabang Begitu Indah

Sabang adalah Bali Aceh? Saya tidak setuju. Sabang ya Sabang. Bali ya Bali. Pesona Sabang mudah saja kamu dapati melalui blog atau website pemerintah daerah. 
Saya pun tak mau muluk-muluk, Sabag tetap wajib masih ke dalam list tujuan wisata kamu selama di Aceh. Apalagi kapal ke Sabang bisa pergi pagi dan pulang sore. Tak ada halangan untuk kamu menikmati Sabang selagi masih ada kesempatan. 
Sabang yang Indah.
Acehku, Acehmu juga. Sudahkah kamu masukkan Aceh ke dalam daftar perjalanan akhir tahun ini?
Categories
Uncategorized

Mahasiswa PascaSarjana Ini Peduli Songket Aceh yang Hampir Punah

Warisan
budaya tanpa sengaja telah punah dengan sendirinya. Percaya atau tidak,
kenyataan yang terjadi demikian. Pergeseran makna konsumtif menjadikan brand
kedaerahan terkikis dengan sendirinya.

Tentu sering mendengar nggak level
pakai produk daerah
, atau kuno ah pakai pakaian daerah. Alasan-alasan
yang serupa menjadikan warisan budaya ini semakin tak kondusif dan terlupa
begitu saja. Termasuk anak-anak muda Aceh yang cenderung menyukai fashion kebarat-baratan
di bawah bayang syariat Islam sekalipun.

songket aceh
Azhar Ilyas, Penggagas Komunitas Songket Aceh – portalsatu.com
Memang,
tidak semua laki-laki ingin menjadi pacarmu eh maksudnya tidak semua
anak muda Aceh lupa pada warisan budaya. Azhar Ilyas, seorang mahasiswa
pascasarjana di Universitas Syiah Kuala menjadi bagian terpenting dalam
melestarikan warisan budaya di Aceh,
Songket Aceh


Tahu dong
bagaimana sibuknya mahasiswa S2. Diktat-diktat, kebut tesis eh kebut jodoh juga
bagi yang belum kawin. Pemuda yang satu ini malah sibuk
ngurusin Songket
Aceh.

“Songket Aceh memiliki kekhasan sebagai
mahakarya kerajinan budaya Aceh yang telah diwariskan secara turun-temurun
sejak ratusan tahun silam. Di masa lampau, Songket Aceh dipakai oleh para
bangsawan atau orang tertentu saja karena proses pembuatannya yang sangat
panjang. Selain itu, Songket Aceh juga bagus-bagus dan beragam warna dan
motifnya.” Azhar Ilyas. 

Azhar
membagi waktu antara kuliah dengan promosi Songket Aceh, baik melalui media
sosial maupun blog miliknya. Azhar begitu mencintai warisan budaya yang telah
ada di Aceh sejak abad ke 17.

Salah satu daerah yang masih menenun Songket Aceh
adalah di desa Siem, Aceh Besar. Di sana juga terdapat selembat Songket Aceh
yang usianya ditaksir 170 tahun lebih. Luar biasa bukan?


Salah
satu motif Songket Aceh yang dipercaya pernah dipakai oleh pejuang Aceh adalah Bungong
Kalimah
. Motif ini berisikan kalimah tauhid di mana mengisyaratkan bahwa
sejak dulu masyarakat Aceh telah percaya kepada Tuhan yang Esa yaitu Allah.

Motif
Aceh memang sebuah simbol dari sekian bentuk kepercayaan dalam rangka mencintai
pencipta. Namun hal ini tentu sangat berimbas kepada akidah seseorang karena
Songket Aceh dipakai, membaca kalimat yang tertera di sana akan mengingatkan
kepada Tuhan dalam setiap hela napas.

Azhar
sangat percaya bahwa warisan budaya Aceh ini akan semakin dikenal apabila anak
muda yang gagap teknologi mengenalkannya ke dunia. Bersama blogger Aceh, Azhar
menggagas Komunitas I Love Songket Aceh (ILSA) yang kemudian menjadi sarana
mempromosikan Songket Aceh ke dunia luas.

Promosi dilakukan melalui media
sosial seperti blog, facebook, twitter, instagram maupun kegiatan-kegiatan
offair yang menghadirkan pakar dalam bidannya guna mengupas lebih tajam
mengenai songket ini.

Songket
Aceh memang hampir punah, namun di Dekranasda Kota Banda Aceh terdapat galeri
Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang merupakan tempat untuk belajar menenun
songket ini. Dalam bahasa Aceh kegiatan menenun disebut pok teupeun
sedangkan alat tenun disebut teupeun.
Tidak
mudah bagi seorang anak muda yang supersibuk menjalankan kegiatan ini. Apalagi
kegiatan promosi Songket Aceh murni panggilan jiwa. Tak ada istilah pekerjaan part
time
bahkan full time dalam menggalakkan Songket Aceh semakin
dikenal luas.

Jiwa Azhar tak dapat dipisahkan lagi dari warisan budaya ini. Ia
mempunyai sebuah impian tentang adanya galeri besar yang memuat songket khas
ini. Bahkan, ia ingin kain tenun Songket Aceh dihargai sebagaimana kain tenun
lain di pasaran. Sehingga kekhasan Aceh tak hanya berupa pelaksanaan Syariat
Islam maupun maupun meugang.

Ini lho kain tenun khas Aceh yang patut
diapresiasikan!

Semangat
Azhar dalam menerobos “pasar” yang semakin gagah patut diberi penghargaan
lebih. Waktu Azhar cukup terbuang untuk kegiatan Songket Aceh maupun tesis yang
katanya hampir terbengkalai.

Keduanya sangat penting. Keduanya bermanfaat bagi
dirinya dan banyak orang. Keduanya berada pada lingkaran yang wajib ia
perhatikan tapa terkecuali.

Usaha
Azhar yang gigih ini saya berikan tepuk tangan yang meriah. Bagaimana dengan
Anda? Adakah sedikit waktu untuk menyemangatinya? 
Categories
Uncategorized

Mengejar Sunrise, Menanti Sunset di Kepulauan Lombok

Sebuah keberuntungan
bisa datang dari mana saja. Belum lama ini saya berkunjung ke salah satu pulau
yang sedang dipamerkan menjadi salah satu alternatif wisata bahari di bagian
timur Indonesia. Kepulauan Lombok memang belum sefenomenal Bali yang sudah dikenal
secara global, namun para wisatawan domestik maupun mancanegara sudah berpaling
ke Nusa Tenggara Barat ini, terutama pada puncak Rinjani, tepi pantai Senggigi
maupun anak pulau Gili Terawangan. Sayangnya, saya hanya sampai ke Rinjani dan
Senggigi.
Perjalanan dalam jarak
sangat jauh bagi saya secara pribadi. Jarak Banda Aceh menuju Jakarta saja
ditempuh dalam waktu 2 jam. Jarak dari Jakarta ke Lombok juga ditempuh dalam
waktu 2 jam perjalanan udara. Karena saya “dibawa” orang dan tidak ada
keterangan secara gamblang berapa biaya perjalanan ini, saya memutuskan mencari
tahu harga tiket pulang pergi seandainya saya berangkat dengan biaya sendiri
dari Bandara Sultan Iskandar Muda menuju Bandara Praya setelah transit dua kali
di Bandara Kualanamu dan Bandara Soekarno-Hatta. Secara kasar, biaya perjalanan
ini mencapai lebih kurang 5 juta dengan menggunakan pesawat kelas ekonomi yang
sering dikomplain keprofesionalannya ini. Saya membenarkan anggapan tersebut, selain
transit juga mengalami delay yang
memakan waktu lama.
Puncak Rinjani
merupakan salah satu gunung yang diidam-idamkan para pendaki. Karena dalam
agenda kami tidak mendaki gunung tersebut, saya cukup berpuas diri dengan
menikmati lembah Rinjani saja di dataran dingin Sembalun. Daerah Sembalun ini
merupakan salah satu daerah di kepulauan yang dikenal dengan ribuan masjid ini
sebagai daerah basis kekuatan Islam. Benar saja, di mana-mana saya mendapatkan
perempuan mengenakan penutup kepala, sama halnya dengan di Aceh.
Berangkat dari lembah
Rinjani yang dingin, kami menuju ke daerah Mandar, masih di daerah Lombok
Timur. Menikmati Mandar yang berada di pesisir membuat saya terasa sedang
berada di daerah sendiri. Mandar menyisakan perpaduan antara kehidupan modern
dan tradisional. Di satu sisi masyarakat masih mengamalkan Islam dengan
sebenarnya, dalam arti hanya penampilan luarnya saja, di sisi lain mereka
bahkan mengabaikan panggilan ibadah lima waktu padahal rumahnya sangat dekat
sekali dengan masjid.
Pagi hari di Mandar
tidak sedingin di Sembalun. Mungkin saja, karena cuaca sedang memihak, kami
bergegas menuju Pelabuhan Balohan untuk mengejar matahari terbit. Pelabuhan di
Mandar ini merupakan salah satu pelabuhan besar bagi nelayan setempat. Matahari
yang merangkak cepat di antara peluh pekerja keras yang baru pulang melaut
dengan hasil tanggapan harga jutaan rupiah. Pemandangan yang biasa barangkali
bagi saya yang hidup dilingkungan seperti ini. Namun perbedaan yang mencolok,
para perempuan ikut menanti nelayan pulang melaut untuk mendapatkan ikan-ikan
kecil yang kemudian akan dijadikan ikan asin. Para nelayan memang menjaring
ikan-ikan kecil untuk dijual kepada perempuan Mandar ini.
Sunrise di Mandar tetap sama ya? Saya pikir beda tempat akan berbeda penampilan
matahari terbit ini. Matahari bulat naik perlahan menuju puncak tertinggi. Hiruk-pikuk
aktivitas di Mandar tetap meriah. Mereka sudah terbiasa dengan matahari yang
mengintip kegiatan melaut ini. Sendainya bisa saya gambarkan, barangkali saya
akan membuat bulatan besar lantas menggaris senyum pada bulatan tersebut. Begitulah.
Matahari yang sama dengan matahari yang membuat kulit saya gelap di Aceh.

Dari Mandar,
meninggalkan sunrise yang terlebih
dahulu meninggalkan jejaknya, kami berangkat ke daerah Lombok Barat, menuju
Mataram, lalu ke Senggigi yang megah. Perjalanan ini memakan waktu lebih kurang
2 jam lebih.
Senggigi, salah satu
tujuan wisata di kepulauan ini. Senggigi terletak dalam jarak yang cukup dekat
dengan ibu kota provinsi NTB. Sepanjang jalan menuju Senggigi sudah berdiri
penginapan, diskotik maupun café-café dengan tata hias yang menarik. Pemandangan
ini akan kita temui sampai ke bibir pantai Senggigi. Kelihatannya, pemerintah
daerah setempat sudah mensiasati daerah ini sebagai tujuan wisata. Karena saya
berangkat dalam rombongan yang sudah dibiayai, biaya penginapan pun tidak saya
ketahui dengan jelas. Paling tidak akan terjangkau dengan kantong pelancong.
Menanti sunset di Senggigi menjadi topik yang
menarik. Sebenarnya, matahari terbenam di mana-mana tetap sama. Kami sampai di
Senggigi sekitar pukul 5 lebih beberapa menit. Perbedaan waktu yang cukup
signifikan bagi saya sendiri. Saya masih tetap ngotot menggunakan waktu Aceh
padahal selang waktu dengan Lombok kurang lebih 2 jam. Menanti matahari
terbenam selalu menyisakan kenangan tak terhingga bagi saya.
Senggigi yang
menghadap ke laut lepas tidak hanya menampilkan lukisan alam lautan lepas saja.
Di depan mata memandang, Pulau Bali membentuk segitiga. Inilah yang membuat
menarik pandangan mata. Matahari menukik di atas pulau yang digandrungi banyak
wisatawan. Perlahan-lahan matahari membawa harapan bahagia dan duka pada sebuah
harapan. Di atas pulau Bali – entah apa yang sedang terjadi di sana – matahari membawa
serta bongkahan keemasan. Walaupun di hari saya ke sana sedikit mendung, tetapi
tidak tertutup keinginan kami untuk menikmati terbenamnya matahari di Pulau
Lombok ini. Para wisatawan mancanegara dengan gagahnya berjemur hanya dengan
mengenakan underwear saja, sambil
membaca sebuah buku. Tentu saja, pemandangan seperti itu tidak akan pernah saya
dapatkan di Aceh yang memberlakukan Syariat Islam.

Lombok, pulau yang
sedang menanjak masa remaja ini akan berbenah dalam rangka menciptakan harmoni
terstruktur akan ranah pariwisata yang mendatangkan devisa tidak sedikit. Anda
tertarik? Silahkan berkunjung dan dinikmati suguhan menarik selama sana! 
Categories
Uncategorized

18 Menit Bersama Air Kehidupan

Di
mana pun itu, setiap kehidupan membutuhkan air!

Anggapan di atas tidak saya kutip dari ahli
manapun. Saya sendiri merupakan manusia yang tidak akan pernah bisa menahan
dehidrasi dalam semenit saja, kecuali saat berpuasa. Tidak bisa dibayangkan
jika suatu tempat mengalami curah hujan sangat minim sehingga penghijauan
berkurang dan kekeringan tidak bisa dielakkan. Selama ini, saya hanya melihat
dan membaca berita di belahan dunia Arab yang menjalani kehidupan mereka dalam
kekeringan teramat sangat. Ternyata, di pedalaman Indonesia juga masih terdapat
masyarakat yang memikul bergalon-galon air dari mata air di dataran tinggi
untuk penghidupan lebih berseri.
Belum lama ini, bersama Dompet Dhuafa – salah
satu lembaga independen yang bekerja dalam rangka kesejahteraan masyarakat menengah
ke bawah – saya berkesempatan mengunjungi Semoyong, pedalaman Lombok yang
mengalami masa-masa kritis kekurangan air sampai saat ini. Sebelumnya, daerah
kering di Desa Kidang, Kecamatan Praya Timur, Lombok Tengah ini bertahun-tahun
tidak merasakan nikmatnya kehidupan mereka bersama air. Jauh sebelum 22 Juni 2011,
saat Dompet Dhuafa memberikan bantuan, masyarakat dataran rendah Semoyong ini
mencari air di daerah-daerah lain di mana mata air masih mengalir. Jarak yang
ditempuh berkilo meter sehingga mereka lupa mengukur jalan karena memikul air
begitu berat mencapai rumah mereka.
Dompet Dhuafa berdedikasi memberikan bantuan
kepada masyarakat Desa Kidang, Nusa Tenggara Barat ini dengan melakukan
pengeboran mata air. Di bantu masyarakat setempat pengeboran ini dilakukan
sehingga mencapai mata air di kedalaman 75 meter. Bagi saya yang tinggal di
daerah dengan curah hujan sangat merata angka tersebut sangatlah besar sekali.
Jauh meninggalkan 2011, masyarakat Kidang
seakan melupakan kehidupan mereka yang kering. Air bor yang difasilitasi
dananya oleh Dompet Dhuafa tersebut diberi nama Air Untuk Kehidupan. Setidaknya
masyarakat setempat sudah bisa bernafas lega dalam menghilangkan dahaga maupun
kulit kering akibat tidak tersentuh air.
Ceritanya jauh berbeda ketika Burhanuddin,
salah seorang warga yang dipercaya sebagai ketua kelompok mengatakan bahwa Air
Untuk Kehidupan tersebut tidak selamanya bisa menyala. Pengeboran mencari air di kedalaman hampir mencapai perut
bumi tersebut tidak lantas membuat keluarga bahagia di daerah ini. Mereka
kembali diajarkan sabar, saling berbagi, menahan dahaga saat air tidak keluar
sebagaimana harapan, dan tentu saja mereka sudah sangat terbiasa dengan itu.
Menurut Burhanuddin, air bor tersebut dinikmati
setidaknya 100 kepala keluarga. Menyiasati kekurangan air mereka membagi
kelompok-kelompok kecil supaya kehidupan benar-benar layak. Air Untuk Kehidupan
tersebut dihidupkan dalam jarak waktu 4 jam sekali dengan durasi 18 menit
sebelum berhenti mengalir. Pagi hari dihidupkan sekitar jam 6 untuk satu
kelompok, kemudian jam 10 untuk kelompok lainnya, dan seterusnya selama rentang
waktu sehari. Satu keluarga juga dibatasi hanya bisa menerima air sebanyak 6
wadah plastik berukuran besar seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Air
tersebut digunakan secukupnya dalam waktu seharian penuh. Dan jika listrik
padam maka masyarakat setempat tidak bisa menikmati air di setiap sendi
kehidupan mereka. Sebagian mereka yang memiliki kemampuan ekonomi berlebih
sudah membeli penampungan air dengan harga di atas 1 juta rupiah. Sedangkan mereka
yang memiliki kehidupan kurang beruntung cukup menahan haus berkepanjangan
dalam waktu tak menentu.
Selama 18 menit tersebut pula mereka sudah
diajarkan cara berhemat. Kehidupan mereka sangatlah timpang. Di saat air
berkurang dari hari ke hari mayoritas masyarakat Kidang tidak mendapatkan
pekerjaan layak. Kaum laki-laki lebih banyak mengurus ternak sedangkan kaum
perempuan bekerja sebagai penenun. Ternak sapi kadang tidak terurus, bahkan
kandangnya terletak di dekat mata air kehidupan yang diambil warga. Hasil
tenunan pun tidak kalah pilunya di saat tidak ada pembeli yang berminat
mengambil hasil kerja keras mereka.
Masyarakat Kidang, umumnya di pedalaman Semoyong,
mereka membutuhkan air untuk kehidupan layak. Anak-anak tumbuh dalam kekeringan
dan tidak tercukupi kebutuhan dahaga mereka. Saya hanya berharap, barangkali
ada jiwa lain yang terketuk pintu hati mereka selain Dompet Dhuafa. Tidak bisa
dipungkiri dengan air sebanyak itu, dengan tata cara pelaksanaannya, dengan
durasi hidup mati air tergantung pada listrik, kehidupan mereka benar-benar
jauh dari makmur.
Dengan kata lain, mereka juga butuh air bersih
untuk diminum. Air Untuk Kehidupan tersebut belum tentu mampu memenuhi air
minum jika dilihat dari ketergantungan kebutuhan lain. Air Untuk Kehidupan
tersebut juga sangat jauh dari kata sehat jika dilihat sumber air mengalir
berdiri di antara kandang sapi dan durasi 18 menit. Mereka yang menerima air di
kesempatan pertama tentu saja sangat berbeda dengan mereka yang menerima air di
kesempatan terakhir. Air yang mengalir tanpa penyaringan lantas diminum sudah
bisa dibayangkan bagaimana kehidupan generasi penerus di dataran kering ini.
Saya merasa, mereka, di Kidang, Nusa Tenggara
Barat ini, sangat butuh perhatian lebih dari berbagai pihak. Pemerintah yang
abai kita lupakan saja karena masyarakat ini sudah sangat sabar menghadapinya. Mereka
tidak manja, hanya kehidupan mereka tidak seberuntung kehidupan kita. Saat
ladang mereka mengering, penghasilan tidak ada, air kehidupan berhenti mengalir,
entah apa yang mereka rasa.

Semoyong jadi sepenggal kisah yang terlupa, karena
mereka ada kita pun bisa menyelami hidup lebih bermakna! 
Categories
Uncategorized

Prahara Perkawinan di Aceh

Di Aceh, bicara
mengenai perkawinan menjadi perkara yang sensitif. Sebelum meminang wanita
idaman, pria Aceh harus menyiapkan mahar yang lumanyan besar untuk takaran
masyakarat berkehidupan seadanya. Tetapi karena untuk dapat hidup bahagia
bersama wanita idaman tak apalah mengeluarkan emas sebanyak 10 sampai 20 mayam
bahkan lebih.
Ternyata, selain mahar
yang besar itu, pria Aceh juga harus menyiapkan “uang hangus” untuk segala
keperluan mempelai wanita. Uang hangus ini biasanya sudah ditentukan oleh pihak
keluarga wanita dengan jumlah menurut kesepakatan. Dengan uang hangus ini pula
mempelai wanita bisa membeli perlengkapan kamar dan sejenisnya supaya menunjang
keindahan pernikahan kelak.
Selain masalah rumit
di atas, ternyata masalah perwakinan di Aceh lumanyan panjang dan butuh
kesabaran. Kita lupakan masalah mahar karena saya sudah menulisnya di salah
satu cerpen yang dimuat di Majalah Femina. Mari kita lihat beberapa prosesi pernikahan
di Aceh yang menurut adat-istiadat merupakan hal yang sangat istimewa.
Malam Pacar
Kita mengenal malam
pengantin atau malam pertama, di Aceh ada yang namanya malam membubuhkan pacar
(inai) di jari tangan dan kaki, telapak tangan dan kaki. Pengantin wanita akan dirias
bagaikan penari India yang penuh warna merah tua di tangan dan telapak kaki.
Malam pertama
membubuhkan pacar tersebut punya tradisi tersendiri, di mana orang tua, sanak
famili dan kerabat dekat lainnya beramai-ramai ke rumah mempelai. Di malam itu
akan dilakukan peusijuk gaca, di mana
akan dilakukan tradisi khusus semacam meminta berkat melalui tradisi yang konon
diakui sebagai ajaran Hindu. Karena ini di Aceh, peusijuk udah dianggap sebagai budaya sendiri dan dilakukan sesuai
kaidah Islam yang berlaku. Biarpun masih banyak yang menyangsikan dan enggan
melakukan peusijuk tetapi ulama di
Aceh seakan diam saja dan ikut melakukan tradisi ini, karena itu pula masyarkat
yang melakukan peusijuk tidak
serta-merta disalahkan sepenuhnya.
Peusijuk gaca dimulai dengan melakukan ritual mempeusijuk
wadah menghaluskan pacar tersebut. Setelah itu, mempelai wanita juga dipeusijuk oleh minimal tiga orang yang
dianggap layak melakukannya. Peusijuk ini
pertama sekali dilakukan oleh orang yang dituakan seperti imam masjid atau
ulama terdekat.
Setelah prosesi peusijuk ini kemudian mempelai wanita
bersiap-siap untuk dihiasi telapak tangan dan kaki dengan pacar. Dalam membubuhkan
pacar pada mempelai wanita biasanya dilakukan oleh orang yang lumanyan telaten
dalam melukis sehingga hasilnya akan lebih bagus pula.
Pacar ini akan
dibubuhkan pada pengantin wanita minimal tiga malam berturut-turut. Bisa ktia
bayangkan bagaimana kreatifnya pelukis pacar ini, sanggup melukis bekas goresan
malam sebelumnya sehingga tetap terlukis model yang sama.
Pacar/inai ini menjadi
suatu keharusan dan ciri khas penting dalam perkawinan di Aceh. Dengan telapak
tangan dan telapak kaki berwarna merah menjadi pertanda bahwa seorang wanita
baru saja dipinang pria idamannya, dan akan melangsungkan akad nikah sampai
peresmian pernikahan mereka. Pacar ini pun merupakan suatu penghargaan kepada
wanita Aceh dalam mempercantik dirinya sendiri secara alami. Terlepas dari
simpang-siur boleh atau tidak, toh agama tidak mengharamkan pacar yang pohonnya
bisa kita temukan di belakang rumah.
Akad Nikah
Janji suci sehidup
semati yang diucapkan oleh pria di depan penghulu saya rasa tidak jauh berbeda
dengan daerah lain. Dan di Aceh pelaksanaannya bisa menjelang peresmian
pernikahan atau pun bisa sebulan sebelumnya.
Intat Linto dan Tueng Dara Baro
Ini merupakan dua hal
berbeda, Intat Linto merupakan prosesi di mana rombongan mempelai pria
mengantai pengantin pria ke rumah wanita. Intat Linto dilakukan pada hari
pelaksanaan pesta di rumah pengantin wanita. Sedangkan Tueng Dara Baro
merupakan prosesi kebalikan dari Intat Linto, di mana pengantin wanita diantar
secara berombongan ke rumah mempelai pria.
Pada intinya, kedua
prosesi ini memiliki kesamaan, sama-sama melakukan peresmian pernikahan. Perbedaannya
hanya pelaksanaan di tempat berbeda dan beberapa adat yang tidak sama. Pada saat
Intat Linto, para rombongan banyak membawa seserahan yang akan diberikan kepada
pengantin wanita, atau keluarga wanita. Seserahan ini dikenal sebagai peunuwo bisa dalam beragam bentuknya,
hal ini tentu tidak jauh beda dengan daerah lain, barangkali hanya disesuaikan
dengan kebutuhan dan penamaan.
Nah, pada saat Tueng
Dara Baro, pihak pengantin wanita juga melakukan prosesi yang sama disebut peunulang. Di mana memberikan seserahan
kepada pihak mempelai pria, seserahan ini pun saya pikir merupakan hal yang
wajar dan sesuai kemampuan ekonomi dalam membelinya.
Biasanya, saat Intat
Linto maupun Tueng Dara Baro, rombongan akan disambut oleh kemeriahan
penari-penari cilik yang menarikan tarian khas Aceh, seperti Ranup Lampuan. Hal ini tentu saja
membahagiakan raja dan ratu sehari yang baru tiba di rumah kediaman mereka
dengan penuh senyum tawa. Penari-penari cilik ini sudah dipersiapkan secara
khusus dan memang memiliki tempat tersendiri dalam menghibur dibandingkan
hiburan lain. Gaya-gaya kecil mereka mampu menghipnotis rombongan untuk melepas
lelah sejenak selama perjalanan.

Duek Dara
Kedua memperla
dipertemukan maka prosesi selanjutkan adalah duduk di pelaminan, namanya Duek Dara. Kedua mempelai duduk di atas
pelaminan mewah dalam suasana panas dan ribut tamu-tamu diundang.
Saat Duek Dara (baik di rumah pengantin pria
dan wanita) mereka sama-sama menjalani prosesi yang lumanyan lama. Dimulai dengan
peusijuk dari orang yang dituakan hingga
saling menyulam makanan maupun sesi foto bersama. Selama Duek Dara ini pula pengantin pria dan wanita harus benar-benar
sabar melawan panas dahaga dan sanak-saudara yang minta foto bersama.
Peusijuk
Seperti yang sudah
saya sebutkan di atas, peusijuk
merupakan prosesi yang merngandung kontroversi di Aceh. Sebagian berpendapat
bahwa peusijuk merupakan prosesi yang
sama dilakukan oleh umat Hindu. Namun dilihat dari pelaksanaannya, peusijuk di Aceh sudah mengalami
perubahan sesuai kebutuhan aturan dalam Islam.
Memang, peusijuk dianggap membuang-buang rejeki
dengan menaburkan padi maupun beras dari ujung rambut hingga ujung kaki
pengantin. Atau pun karena peusijuk
dianggap sebagai kepercayaan menolak bala. Pada dasarnya, bahan untuk melakukan
peusijuk ini terdiri dari beras, biji
padi, tepung tawar, air, ketan, dan dedaunan khas Aceh.


Peusijuk dilakukan dengan “melempar” beras dan padi yang sudah
dicampur antar kepala dan kaki pengantin yang duduk bersila, kemudian tepung
tawar yang sudah dicampur dengan air akan diteteskan pada kedua telapak tangan
dan kaki melalui setangkai daun khas Aceh tersebut,lalu orang yang mempeusijuk akan menyuapi ketan ke mulut
kedua mempelai dan diakhiri dengan salaman.
Proses ini dianggap
tidak sama dengan proses yang dimaui Islam. Saya sendiri tidak menemukan aturan
baku yang melarang peusijuk, bahkan
sampai menanyakan kepada ulama di daerah masih membolehkan peusijuk ini. Karena, budaya tidak bisa dihilangkan hanya saja
dikombinasikan dengan Islam. Pada peusijuk
sendiri – selain masih dianggap pemberkatan – selama prosesnya dibacakan basmalah dan doa-doa keselamatan dunia
akhirat.
Peusijuk tidak hanya dilakukan pada pasangan pengantin saja, pada kegiatan lain
pun kerap dilakukan prosesi ini.

Akhirnya, sebuah
pernikahan tetap akan bahagia sesuai kemauan
suami istri bukan dari faktor luar. Bagus tidaknya watak suami dan istri akan
menentukan kokohnya pernikahan. Bagus atau tidaknya proses menuju rumah tangga
bahagia, semua karena budaya adalah kebiasaan yang tidak bisa dibuang selama
kita hidup bermasyarakat!