Categories
Uncategorized

Ramadan di Aceh; Sejuta Cinta yang Tak Terganti

Selalu ingin pulang ke rumah jika bicara Ramadan. Bulan
penuh berkah ini pesonanya tak pernah tertandingi di negeri kami. Ramadan
di Aceh
tidak hanya sebatas berpuasa sebulan penuh semata,
tetapi lebih dari itu. Aroma bulan puasa sudah jauh hari tercium dan barangkali
enggan untuk kembali jika melihat ini.
Ramadan di Aceh
Ramadan di Aceh – instagram @wisataaceh
Ramadan di Aceh menjadi sorotan yang mematikan. Masa-masa
kuliah dulu, meskipun jadwal padat selalu ada rasa untuk berkumpul bersama
keluarga menjelang bulan puasa. Mungkin, kebersamaan ini hanya akan kau dapatkan jika lahir di Aceh atau menikah dengan orang Aceh.
Ibu atau Nenek saya seringkali berujar, “Tidak enak kau puasa di negeri orang,” atau dengan ujaran lain, “Meugang kau pulanglah dulu!
Indera penciuman kami orang Aceh seolah-olah telah mencium
bau Ramadan. Meugang menjadi tradisi
yang tak terlupa bagi masyarakat Aceh. Tua dan muda. Anak-anak sampai dewasa.
Suami dan istri. Orang tua dan anaknya. Kerabat saling bersilaturahmi. Hanya di Aceh pemandangan ini terlihat
kentara sekali.
Begitu terus dan melekat sampai kini. Saya memang tidak tahu
dari masa asal tradisi meugang jelang
puasa Ramadan di Aceh. Orang Aceh, siapapun
itu
, belum ‘sah’ puasa esok hari jikalau belum makan daging meugang. Nggak cukup daging ayam, wajib
daging sapi atau kerbau!
Ramadan di Aceh adalah indah dalam segala rupa. Kau akan terpesona dengan segenap rasa
dan gempita yang lahir begitu saja. Meugang
cuma pertanda bahwa esok kita akan
berpuasa
. Meski kau berkelana ke
mana-mana, tradisi ini tetaplah di rindu. Karena, hanya di Aceh kau bisa menikmati makan besar, bersama
keluarga, sanak famili dan kawan-kawan sebelum berpuasa.
Cukupkah meugang berlalu
begitu saja? Makan-makan daging? Kunjung-mengunjungi kerabat? Tidak. Makanya,
saya sebut, pesona Ramadan di Aceh tiada tara jika kau mau membandingkan dengan daerah lain di Indonesia.

Meugang; Makan Daging yang Banyak

Orang kurang mampu di Aceh berubah menjadi mampu saat meugang
tiba. Dulu, saya masih kanak-kanak yang tidak mengetahui apa yang dirasa oleh
orang tua, terutama Ayah. Orang tua akan melakukan segala cara agar bisa
membeli daging meugang. Meugang itu
adalah makan daging. Daging itu ‘bukan’ ayam tetapi kerbau atau sapi.
Dua hari atau sehari sebelum bulan puasa, orang Aceh akan
beramai-ramai membeli daging kerbau atau sapi. Di seluruh kampung akan tercium
bau masakan dengan rempah pilihan untuk memasak daging.
Ibu pernah berkata kepada saya, “Setengah kilo saja kau beli nggak apa, asalkan ada daging meugang kali
ini!
Dan, saya baru benar-benar merasa perputaran waktu itu
terjadi begitu saja. Orang-orang yang telah dewasa, terutama mereka yang sudah
berkeluarga, akan mencari ‘upah’ di
mana rezeki bisa digais, untuk membawa pulang setengah kilo daging saja – tak apa.
Bau kuah daging saat di atas kompor luar biasa menyengat. Kau tahu hal itu. Orang tua di Aceh
punya prinsip yang demikian; dapur
tetangga ada asap daging meugang, dapur rumah sendiri juga demikian!
Nggak
peduli berapa berat timbangan saat membeli daging meugang ini, dan tidak ada yang tanya berapa banyak kau beli daging meugang?
Tradisi meugang di Aceh – suara,com
Tiap rumah di Aceh akan mengepul asap daging meugang. Meskipun atap rumbia dengan
dinding papan yang sudah lapuk, daging meugang
dengan harga Rp 180.000 perkilo – harga tahun ini – tetap dibeli.
Saya sendiri bisa merinding membayangkan bagaimana orang tua di Aceh mendapatkan
daging meugang. Begitulah perjuangan
orang tua saya dulu, orang tua kita, untuk membuat anak-anak mereka makan enak sebelum berpuasa Ramadan.
Makan daging meugang tentu
makan enak di Aceh. Saya tahu, saya juga yakin, kerabat di kampung ‘hanya’ mau membeli daging saat meugang saja. Jika mereka makan daging
lain kali adalah di rumah orang pesta atau tidak sama sekali.
Itulah nikmatnya daging meugang
yang tidak bisa diganti dengan apapun, “Setahun
bekerja untuk ibadah satu bulan!”
Ibu saya sering berkata demikian.
Mungkin benar, sekilo daging meugang tidak ada apa-apa dibanding setahun lewat. Entah bagaimana
dan apa yang terjadi, orang-orang Aceh menjadikan tradisi meugang sebagai sarana untuk makan
besar
atau makan enak bersama keluarga
tercinta. Mau tidak mau!

Meugang Penganti Baru

Menikah
dengan gadis Aceh
tidak cuma soal mahar
yang mahal
. Tradisi tidak bisa ditebang dengan pedang setajam
apapun. Aceh tetap Aceh dengan cita rasa dan beda yang bangga. Perbedaan ini
yang menjadikan orang suka dengan gairah di Aceh.
Demikian pula soal meugang
bagi penganti baru di Aceh. Tradisi ini menarik dan unik bagi saya. Jelang
Ramadan adalah waktu yang sibuk sekali bagi pengantin baru. Pria maupun wanita.
Keduanya sama-sama memberi dan menerima.
Pengantin wanita akan mengantarkan kue khas Aceh untuk meugang – dan juga kue lebaran nantinya.
Kue ini tidak cukup satu atau dua talam saja. Kue khas Aceh berupa karah,
kue pret dan lain-lain ini disusun rapi dalam idang
yang kemudian dihias indah.
Kue dalam idang ini
kemudian diantar oleh orang tua pengantin wanita ke rumah pengantin pria. Kue-kue
ini menjadi sebuah tradisi yang ‘wajib’ dipenuhi oleh pengantin wanita di Aceh.
Entah siapa yang menikah nantinya, tradisi ini tidak bisa dilewatkan begitu
saja.
Idang untuk mertua.
Ada memberi, ada pula menerima. Pengantin pria akan membawa
pulang daging dalam jumlah banyak ke rumah mertua. Daging itu bisa berupa
kepala maupun sebelah kaki kerbau. Tradisi ini juga sudah terjadi sejak dulu
dan menjadi fenomena yang sulit dihapus di Aceh.
Pengantin pria mau tidak mau, sanggup ataupun tidak, ‘wajib’
mengantar daging meugang ke rumah
mertua. Tandanya, puasa akan jadi esok
hari!
Kesibukan pengantin baru di Aceh tidak berhenti di antara
kue dan daging meugang semata. Pengantin
baru ini akan bersilaturahmi ke rumah saudara kedua belah pihak, sekadar untuk
‘mengenalkan’ kembali pasangan masing-masing kepada saudara.
Bisa dibayangkan betapa repotnya pengantin baru di Aceh dengan
makan tape ketan, lemang sampai daging meugang
di banyak rumah saudara. Namun, ini hanya terjadi sekali seumur hidup. Dilalui
membawa kebahagiaan tersendiri, tidak dilewati mungkin akan ‘diminta’ suatu saat nanti yang tidak mungkin
terealisasikan kembali.

Meugang Orang-orang Aceh

Meugang orang-orang
Aceh tidak hanya sebatas makan daging semata. Tape ketan maupun lemang
adalah menu lain yang tidak boleh dilewatkan. Biasanya, dua hari sebelum puasa,
perempuan Aceh akan sibuk membuat tape ketan dan juga lemang.
Daging, tape ketan, dan lemang tak lain perpaduan yang
benar-benar ‘menggoda’ rasa untuk orang yang mencicipinya. Namun, kata orang
Aceh, “Setahun sekali,” adalah waktu
untuk makan enak ini.
Di rumah mana saja kau
singgah untuk silaturahmi sebelum bulan puasa, kau akan dihidangkan tiga menu itu. Kau tak boleh menawar. Tidak pula merasa iba dan kasihan karena
kerabat yang dikunjungi kurang mampu. Tuan rumah sungguh akan senang jika kau mencicipi hidangan yang diberikan.
Ramadan di Aceh artinya kau
harus melewati meugang. Tradisi
ini hampir mirip dengan lebaran. Silaturahmi ke rumah kerabat. Mengunjungi
orang tua dengan menenteng tiga menu tadi. Ketuk rumah tetangga sekadar makan
satu bungkus tape. Semua itu dilakukan oleh orang-orang
Aceh
.
Nggak ada orang Aceh yang tidak menikmati momen ini. Orang
tua akan bersedih bila anaknya tidak pulang di hari meugang. Mertua akan mencemooh menantu laki-laki jika tidak membawa
pulang daging meugang. Mulut terasa
hambar sebelum mengunyah tape ketan atau lemang.
Semuanya itu berlalu begitu saja. Sejak saya lahir sampai
merasakan degup jantung pasar di hari meugang,
momentum itu dirayakan oleh orang-orang Aceh. Jika kau tanya lagi kenapa, saya tidak tahu. Bahkan, orang-orang Aceh
akan menitikkan airmata bila tidak membeli daging meugang!
puasa di Aceh
Lemang – ayooberita.com
Kita lepaskan meugang yang
berlalu. Ramadan di Aceh pesonanya sangat berbeda. Semarak yang saya sebutkan
di atas adalah keacehan yang sampai kapan pun tidak mudah dilupa. Saya berdiri
di tengah-tengah masyarakat Aceh yang benar mencintai Ramadan dengan caranya
tersendiri.
Serambi Mekkah memang julukan untuk Aceh. Syariat Islam
adalah dasar hukum di negeri ini. Ragam pendapat yang membenarkan, bahkan
menjatuhkan nama Aceh tidak lantas membuat negeri Teuku Umar ini terkucilkan.
Aceh tetap kuat dengan keislamannya. Kau tak akan tahu seperti apa Ramadan di Aceh sebelum sehari saja
bersama kami. Bau Ramadan telah tercium sejak hari meugang pertama. Tak lama setelah itu adalah berpuasa dengan
sukacita.
Adalah malam pertama salat tarawih di bulan Ramadan menjadi
sebuah momen yang tak terlupakan. Lepas pulang dari rumah saudara; makan tape
ketan dan lemang, serta kenyang dengan daging, akan terburu-buru ke masjid
kampung untuk ‘mengucapkan salam’ kepada Ramadan.

Tarawih 20 Rakaat atau 8 Rakaat

Kau mungkin
sedikit merasa aneh dengan tabiat beberapa anak muda. Tidak hanya di Aceh.
Mungkin di tempat lain juga, yang saya tidak ketahui.
Salat tarawih adalah pesona Ramadan yang tak pernah
terabaikan. Tarawih dan puasa sebulan penuh hanya ada di bulan Ramadan dan itu
keberkahan untuk umat Islam.
Demikian pula soal salat tarawih yang memicu perdebatan
panjang. Namun, bagi kaum muda di Aceh ini adalah
di mana waktu salat paling cepat, di sanalah kaki akan melangkah. Fenomena
ini menjadi kebiasaan yang terus terjadi begitu saja dan masjid yang cepat
waktu salat tarawihnya akan ‘penuh’ hampir tiap malam.
Itu kebiasaan mutlak yang menjadi kerinduan tersendiri. Perdebatan
yang sebenarnya alot adalah soal rakaat tarawih antara 20 rakaat atau 8 rakaat.
salat tarawih di aceh
Salat tarawih di Aceh – instagram @wisataaceh
Beberapa masjid di Aceh terkenal memilah rakaat salat
tarawih ini. Jadi, ada imam yang salat 8 rakaat dilanjutkan dengan 3 rakaat
witir, lalu dilanjutkan oleh imam lain dengan 20 rakaat dengan 3 rakaat witir.
Meskipun perbedaan kentara sekali di Aceh soal rakaat salat
tarawih ini, tidak pula menimbulkan perdebatan panjang sampai ‘tawuran’ untuk
mempertahankan ide. Ulama di Aceh membenahi sistem, memberikan solusi sehingga
masyarakat Aceh menerima perbedaan ini dengan mudah.
Jadi, kau akan
mudah sekali menemui orang-orang Aceh salat tarawih 8 rakaat sampai 20 rakaat,
walaupun di masjid yang sama.

Pinggir Jalan Milik Penjual Takjil

Ramainya di Aceh saat bulan puasa tidak sama dengan bulan
lain. Penjual takjil atau menu berbuka puasa hampir di seluruh Aceh adalah
sama. Boleh saya sebut ini pedagang musiman; selain dari mereka yang
benar-benar menjual kue harian di bulan lain.
Entah siapa menjual kelapa muda atau es campur di pinggir
jalan di Aceh, adalah pemandangan yang wajar. Kau akan menemui mereka di mana-mana dengan berbagai rasa dan
aroma.
Sepanjang jalan adalah kenikmatan tersendiri menyaksikan
orang-orang berjualan takjil. Mungkin, kita berpikir bahwa nggak mungkin ada yang beli sebanyak itu. Tetapi, nama juga rezeki yang
diatur untuk mereka yang berusaha, selalu saja ‘laku’ takjil tersebut.
Jalanan yang biasanya sepi di sore hari dari sehabis Ashar sampai
jelang berbuka, padat oleh mereka yang mencari takjil. Semua dibiarkan begitu
saja. Tidak ada orang yang menyebut telah merusak tatanan kota, karena itu
adalah pemandangan ‘indah’ sementara waktu.
Lepas Ramadan, semua itu sirna. Orang-orang Aceh yang
berpuasa juga menikmati pemandangan tersebut. Meskipun cuma melewati saja tanpa
membeli, penjual takjil yang memberi senyum menjadi pelepas lelah seharian
menahan haus dan lapar.
Penjual takjil di Aceh – tagar.id
Istilah ngabuburit mungkin
saja tidak populer di Aceh. Masyarakat Aceh yang sudah melakukan aktivitas itu
menyebut ‘ajak main puasa’ sampai
waktu berbuka. Ibu saya sering berujar demikian.
Sewaktu kecil kita sering mengeluh lama sekali waktu
berbuka. Biasanya, Ayah mengajak ‘ngabuburit’
dan melihat orang berjualan takjil. Ada yang dibeli dan ada pula yang tidak. Orang
yang jualan juga tidak dikenal seperti penjual biasanya.
Sampai sekarang, saya masih penasaran dengan orang yang
berjualan di pinggir jalan selama bulan Ramadan. Namun, saya juga tidak tahu
jawaban apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk itu. Kemudian, saya mengikuti
irama, menikmati pemandangan itu selama bulan puasa, dan berujar, “Begitulah pintu rezeki dibuka
selebar-lebarnya di bulan Ramadan!

Kue Lebaran Buatan Sendiri

Di Aceh, kebiasaan makan opor ayam dan lontong barangkali
belum seperti di daerah lain. Orang tua di Aceh terbiasa membuat kue khas Aceh
saat lebaran; walaupun tidak lagi ‘laku’ saat disuguhkan ke hadapan orang
berlebaran.
Saya masih melihat perempuan Aceh membuat kue karah maupun
lainnya beberapa hari menjelang idulfitri. Saya pernah berujar ke Ibu, “Buat apa kue karah? Nggak ada yang makan
juga!
Ibu saya melotot, “Kau
seharusnya bangga dengan kue karah!
” – maksud Ibu kue khas Aceh. Jika saya
pertimbangkan lagi, kue karah dan jenis kue khas Aceh lain memang dibuat saat
lebaran begini.
Mulailah sibuk perempuan-perempuan Aceh membuat kue khas
Aceh. Pergeseran mungkin telah terjadi beberapa tahun ke belakang. Orang
membeli kue kering atau jenis kacang-kacangan yang lebih enak dimakan. Namun,
orang tua kami di kampung tetap ngotot untuk
membuat kue karah dan kerabatnya.
Kembali ke pengantin wanita. Setelah kue meugang, dikenal pula kue lebaran yang
diantar paling telat di malam takbiran. Kue-kue kering khas Aceh ini menjadi
‘cinderamata’ pengantin wanita kepada mertuanya. Idang berisi kue ini hanya sekali seumur hidup diantarkan ke rumah
mertua yaitu idulfitri di tahun pertama pernikahan.
Kue lebaran buatan sendiri yang ketinggalan zaman memang
tidak ‘enak’ jika dibandingkan dengan kue modern. Tradisi yang enggan
ditinggal, kekayaan daerah yang tidak mau dilupa, membuat nenek-nenek di
kampung berani ‘mengebiri’ anak muda yang memprotesnya.
Anak perempuan yang tidak bisa membuat kue karah bisa disebut
telah menanggal keacehannya. Orang tua kita memang begitu kuat dalam memegang
tradisi sehingga tumbuh sampai kini, dan dikenal orang banyak sebagai pembeda
antara satu suku dengan suku lain.
Kebiasaan membuat kue khas Aceh jelang idulfitri membuat
saya bersyukur bahwa cita rasa dan ciri khas Aceh masih melekat di masyarakat
kita.
Ramadan yang berlalu di Aceh akan meninggalkan serpihan
kenangan. Maka, saya bilang Aceh
berbeda dari berbagai cara memandangnya. Segenap rindu di perantauan akan tercipta
begitu saja jika mengenai puasa di Aceh.
karah kue khas Aceh
Karah kue khas Aceh – meutiarahmah.com
Puasa sebulan penuh adalah kewajiban dalam Islam. Salat
tarawih 20 atau 8 rakaat adalah tergantung orang yang mengerjakannya. Tadarrus dianjurkan
selama bulan Ramadan. Beli baju lebaran adalah umum bagi umat muslim berpuasa
atau tidak. Takbir keliling tak lain kebiasaan masyarakat Indonesia sejak dulu.
Di mana-mana adalah sama. Cuma di sini, suatu yang beda menjadi catatan sejarah
manisnya Ramadan di Aceh sepanjang masa!
Categories
Uncategorized

Tradisi di Aceh yang Tak Boleh Ditinggalkan Jelang Bulan Puasa

Tradisi di Aceh yang Tak Boleh Ditinggalkan Jelang Bulan Puasa – Ini nggak boleh lagi. Itu nggak boleh lagi. Yang ini haram. Yang itu mubazir. Doa itu nggak dianjurkan. Doa ini nggak nyampe ke orang dimaksud…
Sering, masyarakat Aceh modern berkilah bahwa sesuatu yang telah dilakukan oleh nenek moyang sejak turun-temurun banyak yang tidak berfaedah. 
Alasannya berbagai macam, ada yang mengacu dengan dalil kuat agama, ada yang beragumentasi semata, ada yang berpegangan pada aktivitas sosial, ada pula yang ikut-ikutan sehingga tradisi yang sejak lama ditanam itu “hilang” sama sekali dan nggak lagi mengakar pada kebiasaan masyarakat Aceh.
Tradisi adalah pembeda. Tradisi adalah identitas suatu daerah sehingga ia mempunyai nama di daerah lain, atau dikenal dengan cara khusus oleh orang lain. 
Tradisi sama dengan nama yang melekat dalam diri kamu. Tradisi lebih tepatnya adalah karakter seperti yang tertanam di dalam watak kamu. 
Kamu dapat membedakan seseorang karena nama dan karakternya. Jika nama sama maka karakternya tentu berbeda. 
Si kembar saja yang memiliki telepati cukup kuat akan mempunyai perbedaan karakter jika diamati dengan teliti. 
Setiap daerah mempunyai tradisi masing-masing. Karena tradisi ini – yang unik – maka daerah tersebut layak untuk dikunjungi, jika berbicara atas nama wisata. 
Orang-orang tahu rasa mi Aceh itu nikmat, maka saat ke Aceh mereka wajib mencicipi mi yang dibuat di Aceh oleh orang Aceh. 
Kamu ke Palembang tentu sangat ingin merasakan empek-empek. Kamu ke Bali ingin melihat orang beribadah sesuai ajaran Hindu atau dupa yang memancarkan aroma kemenyan. 
Kamu ke Papua ingin melihat orang-orang yang masih memakai koteka. 
Tradisi apa yang hilang di masyarakat modern bisa kita lihat sendiri. Alih-alih ingin memperbaiki dengan menanamkan pemahaman agama, tradisi ini malah dibuang jauh-jauh karena berbau musyrik atau mubazir atau tidak sesuai kaidah Islam atau karena nggak mau melakukannya sama sekali. 
Padahal tradisi yag dijalankan sesuai dan searah dengan kekuatan agama jauh lebih bagus dibandingkan membangun debat yang nggak ada tahu benar atau abu-abu. 
Imbasnya generasi muda saat ini malah lebih hapal nama aktor dan aktris yang main sinetron penuh kekerasan dibandingkan jenis tradisi apa saja yang ada dan berkembang di masyarakatnya. 
Tradisi itu unik dan menarik. Walaupun sebagian besar menghabiskan uang namun sepatutnya disesuaikan dengan kadar kemampuan. 
Dari tradisi ini pula masyarakat kemudian mengenal daerah dengan lebih baik dan menjadikannya pelajaran apabila mendapatkan ilmu pengetahuan di dalam sebuah tradisi. 
Aceh memiliki banyak tradisi. Namun perlahan-lahan pudar karena intelektual seseorang semakin maju dan berkembang. 
Jika terus-menerus tradisi ini ditinggalkan maka generasi akan datang hanya tinggal generasi modern. 
Padahal, kehidupan modern seperti ini yang berlaku di dunia barat sangat dicecar oleh masyarakat Aceh itu sendiri. 

Daging Meugang

Meugang itu sangat identik dengan masyarakat Aceh. 
Jika biasanya pengantin baru akan membawa pulang kepala kerbau/sapi atau paha ke rumah mertuanya, sekarang ada yang tidak melakukannya lagi. 
Pengantin pria yang baru menikah ini seakan-akan telah dihasut untuk menuruti gaya hidup modern. Masih syukur jika ia membawa pulang sekilo atau dua kilo daging untuk merayakan kebersamaan bersama istri dan mertuanya. 
Daging meugang dianggap mubazir karena hanya menguras isi dompet seorang pria. Masyarakat Aceh bukan juga orang yang nggak pernah makan daging. 
Namun daging di hari meugang sangat berbeda dengan daging di hari biasanya. Meugang adalah pesta pora, bersenang-senang sebelum berpuasa. 
Nggak ada yang benar dan salah dalam persepsi pengantin pria tidak membawa pulang daging dalam jumlah besar ke rumah mertua. 
Tetapi jangan lupa bahwa sekali saja selama pernikahannya, di meugang pertama ia harus melakukan hal tersebut. Soal mubazir atau tidak, apakah daging itu dibuang? Nggak juga. 
Kepala atau paha kerbau yang dibawa pulang pengantin pria ke rumah istrinya tak hanya disantap oleh mertuanya semata. Sanak famili dari pengantin wanita akan diundang untuk memotong daging di kepala atau paha kerbau. 
Sebagian di masak bersama, sebagian di simpan dan sebagian lagi dibagi-bagikan untuk keluarga pengantin wanita sebagai “cendera mata” di hari meugang. Keanehan ini yang kemudian menjadi unik dan menarik karena hanya di Aceh keadaan ini berlaku! 
Potong daging di Aceh.

Kue Hari Raya 

Jika pengantin pria wajib membawa pulang daging meugang, maka jauh sebelum itu pengantin wanita wajib mengantar kue meugang dan Hari Raya ke rumah mertua. 
Nggak main-main, kue yang diantar dalam jumlah besar. Ada yang memasukkan ke dalam idang – sejenis tempat yang dihias khas Aceh. Ada yang memasukkannya ke dalam kotak kayu besar. 
Tradisi ini masih berlaku namun pada masyarakat modern tradisi ini dianggap nggak begitu penting. Mereka yang cukup pintar ini menganggap bahwa kue meugang dan Hari Raya itu hanya menghambur-hamburkan uang. 
Pengantin wanita setidaknya membuat dua tempat kuat untuk meugang dan Hari Raya walaupun diantar bersamaan sebelum puasa. 
Kue-kue ini terdiri dari kue tradisional yang dibuat oleh pengantin wanita bersama kerabatnya. 
Memang, jika semua dikalkulasikan dengan uang pasti akan mahal. Apapun itu. Namun waktu tak akan pernah memihak kepada kita. 
Pengantin baru nggak wajar lagi melakukan tradisi ini di Ramadhan kedua. Lebih tepatnya dianggap telah melanggar tradisi. 
Tradisi ini hanya berlaku pada Ramadhan pertama dan mau tidak mau harus dilakoni. 
Pengantin wanita yang lelah membuat kue tak akan menerima tempat kosong begitu pengantin pria mengembalikannya. 
Semua ada imbalannya. Idang atau kotak kue yang dikembalikan oleh pengantin pria biasanya telah diisi oleh emas, pakaian, kain dan lain-lain semampunya. 
Bagaimana jika masyarakat modern kemudian bela-belain diri nggak menunaikan hajatan ini? Tentu nggak ada pembeda dengan daerah lain. 
Saya akui, masyarakat modern memiliki pemikiran yang sangat kuat dibandingkan sebuah artikel ini. Namun, bagi saya dua hal di atas cukup menggambarkan identitas Aceh secara keseluruhan. 
Aceh tak pernah berhenti dengan keunikan. Beda tempat, beda cerita. Pembeda inilah yang membuat mata dunia tertuju kepada kami!
Categories
Uncategorized

Jangan Berpaling! 3 Hal Ini Hanya Dimiliki oleh Gadis Aceh Saja

Dara Aceh cukup terkenal karena pesona yang dimilikinya. Dara Aceh tak lain mereka yang lahir dan besar di Aceh, maupun mereka yang merupakan keturunan Aceh.
Pernikahan di Aceh.
Dara Aceh bukanlah mereka saja yang tersematkan gelar cut atau syarifah. Dara Aceh adalah dara yang hapal lagu bungoeng jeumpa bahkan bisa menarikan tarian ranup lampuan dengan indah sekali. Karena dua hal ini pula yang menjadi identitas dara di Aceh ke mana pun langkahnya tertuju.
Mengenal dara Aceh tak cukup tahu nama atau menyebutnya sebagai inong – sebutan jenis kelamin perempuan. Tahu benar dara Aceh saat mengetahui kedudukannya sebagai perempuan yang…

Dara Aceh Itu Menanti Dipinang bukan Meminang

Tepat sekali. Sebaik-baiknya dara di Aceh adalah mereka yang menunggu pinangan. Dara Aceh dipinang karena keelokan wajah maupun kepribadiannya. Dara Aceh dipinang setelah dua keluarga menyetujui untuk mengawinkan pasangan mencintai. 
Proses meminang yang tidak mudah membuat kedudukan dara Aceh ke posisi tertinggi. Dara Aceh dipinang dengan mahar berupa emas. Tanpa emas dara Aceh tak bisa di peristri. Keistimewaan ini telah diturunkan dari nenek moyang Aceh yang menjunjung tinggi harkat dan martabat dara Aceh. 
Terkadang, karena menunggu pinangan ini pula dara Aceh tidak berani meminta laki-laki yang dicintainya untuk melamar. 
Dara Aceh masih memegang teguh rasa &malu& diri dan keluarga jika mengutarakan keinginan menikah kepada laki-laki. Dipinang adalah jalan keluar dari kegalauan ini karena dara Aceh tidak pernah meminang laki-laki secara langsung.

Sebagian Dara Aceh Itu Bermata Biru

Dara Aceh dikenal cantik. Kata cantik memang mengandung makna bias tetapi karena cantik identik sekali dengan perempuan maka saya berani menyebutkannya untuk dara Aceh. Dara Aceh tak hanya cantik saja namun juga bermata biru. 
Memang tidak semua dara Aceh bermata biru, hanya mereka yang tinggal di Lamno, Aceh Jaya, saja yang memilikinya. Konon, nenek moyang dari orang Lamno pada masa lalu dinikahi oleh orang Portugis. Dara bermata biru di sana masih dipercaya sebagai titisan keturunan barat itu. 
Cukup mudah menemukan dara bermata biru di Lamno. Jika Anda melintasi wilayah barat Aceh, singgah saja di Lamno dan berinteraksi sebentar dengan masyarakat setempat. Di antara dara Lamno yang ditemui pasti ada yang bermata biru. Tak perlu jauh-jauh ke Eropa (Portugis) untuk melihat dara bermata biru, bukan?

Dara Aceh Itu Wanita Berkerudung

Dara Aceh itu menutup kepala mereka dengan kain. Awalnya karena penerapan syariat Islam semenjak tahun 2001. Perlahan namun pasti semua dara di Aceh berkerudung rapi. Di mana-mana adalah lautan perempuan berkerudung.
Dara Aceh ini pun tidak terpaksa untuk mengenakan kerudung lantaran perintah hukum yang berlaku saja. Dara Aceh selalu mengenakan kerudung mereka jika keluar rumah. 
Tak ada yang memaksa namun telah menjadi kewajiban dalam masyarakat Aceh, walaupun sebenarnya Islam secara terang-terangan mewajibkan dalam al-Quran surat al-Ahzab maupun surat an-Nur. Susah sekali menemukan dara Aceh yang tidak berkerudung. Kerudung telah mendarah daging dan menjadi pakaian sehari-hari.
Pesona dara Aceh sulit sekali dibuang percuma. Dara Aceh lahir dan berbaur dengan lingkungan tanpa mengubah paradigma menjadi moderat. Dara Aceh selalu menjaga diri, keluarga, dan agama sebagai landasan kuat bermasyarakat. Akankah dara Aceh memesona Anda mengenalinya lebih jauh?
Categories
Uncategorized

Aceh Terkenal Karena Ganja, Dihujat Karena Hukum Cambuk

Aceh Terkenal Karena Ganja, Dihujat Karena Hukum Cambuk – Masyarakat Aceh sangat menjungjung tinggi identitas dirinya, jika saja ada yang menyinggung sedikit saja tentang hal sensitif, parang pun siap melayang. Contoh saja begini, &Kau bukan orang Islam!
Ilustrasi.

Tanggapan yang muncul lebih besar dari itu, orang Aceh sangat marah sekali jika disebut bukan orang Islam. Diajak bertarung pun berani demi mempertahankan keimanan ini. Islam telah menjadi sebuah &kebiasaan& yang mengakar dan tak bisa dipisahkan dari masyarakat Aceh. 


Namun apabila kalimat yang keluar bernada beda walaupun maknanya sama, masyarakat Aceh bisa nyengir saja. Sebutan ini bisa berupa, Kau ini Islam KTP saja!
Tirai Aceh tidak hanya persoalan ringan seperti di atas saja yang musti disibak. Aceh dikenal sebagai sebuah negeri dengan penuh pesona. Bahkan, semua model rasa dalam hidup bahagia ini bisa dipastikan ada di Aceh. Membicarakan Aceh, sedikitnya inilah yang akan terngiang di telinga…

Negeri Ganja

Aceh dan ganja adalah perpaduan yang begitu sempurna. Aceh identik dengan ganja karena tanaman liar jenis ini begitu mudah &tumbuh& di tanah Aceh. Bahkan, di kamar mandi pun bisa terdapat satu pot berisi ganja hidup yang dipanen saat ingin mengisapnya saja. 
Fenomena ganja Aceh menjadi semakin semarak saat media massa meliput aksi pihak berwajib dalam rangka membersihkan ladang ganja yangn – katanya – tumbuh liar. Keuntungan dari ganja ini pun tak bisa menipu kantong, sungguh menyilaukan mata. Tak ayal banyak pihak ingin menjajah hutan Aceh, berharap menemukan tanaman ganja liar yang akan memperkaya dirinya. 
Ganja di Aceh menjadi sebuah aset yang cukup menggiurkan. Bicara Aceh, sebagian orang akan menyebutkan negeri ganja, selain konflik berkepanjangan. Ganja juga menjadi sebuah pemanis makanan yang menjadi rahasia umum di Aceh. 
Bahkan, bisa dikatakan daun ganja kering ini dimasukkan sedikit ke dalam gulai kambing atau mie Aceh supaya rasanya tambah makyus. Memang tidak secara terang-terangan mengenai ini, tapi begitulah rahasia yang terungkap seadanya. 
Jika Anda tidak percaya, barangkali bisa mencoba menelusuri kuliner di Aceh. Tandanya, jika merasa pusing atau sejenisnya sehabis menyantap makanan, buktinya tanaman kering ini telah merasuk ke tubuh.

Ranah Konflik

Derita konflik memang telah lewat. Namun sisa-sisa konflik di Aceh tak pernah bisa dibuang begitu saja. Konflik yang terjadi puluhan tahun menjadi sebuah mementum menakutkan bagi masyarakat Aceh. Konflik yang terjadi menyisakan airmata, janda, yatim piatu, kehilangan harta benda bahkan kehilangan kepercayaan. 
Aroma konflik ini pula yang membuat sebagian orang nyaris ketakutan untuk dapat menginjak tanah Aceh. Sebagian orang lainnya, sangat ingin berlabuh ke Aceh karena di sini ladang uang bisa bermekaran dari berbagai sektor. 
Bahkan, sampai kini aroma konflik masih merebak karena alasan ini dan itu. Sehingga alasan perang senjata ini pula yang membuat orang luar ragu-ragu bertandang ke Aceh. Padahal, Aceh itu sungguhlah aman. Canda tawa di mana-mana. 
Kesibukan semerbak harum kesturi. Orang-orang Aceh sangat mencintai kedamaian. Jika ada tamu yang datang maka akan sangat dimuliakan. Apapun akan dihidangkan untuk menjamu tamu walaupun diri sendiri makan nasi dengan garam. Amannya Aceh bisa ditandai dengan lahirnya warung kopi.

Surga Warung Kopi 

Tempat nongkrong di Aceh tak lain warung kopi dengan fasilitas internet gratis. Di mana-mana dengan mudah didapatkan warung kopi jenis ini, terlebih di Banda Aceh. Beragam pilihan warung kopi dengan mudah didapatkan dan menyuguhkan aneka menu. 
Menariknya, walaupun penikmat kopi duduk manis di warung kopi dengan laptop menyala, smartphone maupun tablet terus terkoneksi internet, pelanggan ini cukup membayar minuman saja walaupun duduk dari pagi sampai malam, bahkan sampai pagi lagi. 
Contoh saja memesan kopi seharga lima ribu rupiah. Anda tertarik duduk di warung kopi di Aceh? Jangan khawatir, Anda bebas melakukan apapun, sampai siap pekerjaan sekalipun, Anda tidak akan diusir bahkan diminta bayaran lebih jika pun menggunakan internet berlebih maupun mengisi daya perangkat elektronik.

Bekas Tsunami

Tsunami akhir 2004 sungguh pilu yang tak terperi. Walau bagaimanapun, kisah pilu ini akan selalu dikenang dan akan diceritakan kepada anak-cucu di kemudian hari. Ada anggapan yang mengatasnamakan musibah sebagai penghalang untuk berkunjung ke Aceh. 
Musibah besar itu telah lewat, banyak cerita lain yang bisa dilihat dari musibah. Tengoklah ketegaran masyarakat Aceh, mereka tetap melaut dan kembali ke pinggir pantai karena di sanalah penghidupan sebenarnya. 
Dari tsunami sejarah mencetak banyak kenangan berharga. Anda bisa mengunjungi Museum Tsunami, PLTD Apung, bahkan Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi saksi bisu musibah besar ini.

Syariat Islam

Hanya orang-orang Islam yang boleh datang ke Aceh! Belum tentu. Syariat Islam di Aceh tidaklah mengekang melainkan memberi kenyamanan. Islam menjaga muslim dan nonmuslim untuk bertahan dalam damai. 
Syariat Islam yang berlaku di Aceh justru menjadi benteng untuk menjaga keimanan. Walaupun ada hukuman yang tegas, itu semata-mata karena kesalahan. Mana mungkin orang baik-baik dihukum juga. Jika tidak mau dihukum jangan berbuat kesalahan. 
Syariat Islam bukan alasan untuk menjauhi Aceh. Percaya atau tidak, syariat ini memberi ketenangan lahir dan batin. 
Hal yang tabu memang sulit dibuang, dari yang tabu ini pula keingintahuan merebak ke permukaan. Sudah siapkah Anda menjenguk kami di Aceh?
Categories
Uncategorized

Mie Aceh dengan Bumbu dan Cara Masak Terbaik yang Tak Boleh Dilewatkan

Mie Aceh tak lain makanan khas dari Aceh. Dibuat dengan
rempah pilihan menjadikan mie Aceh sebagai salah satu kuliner terkenal di
Indonesia. Mie Aceh bisa dibeli dengan mudah jika di Aceh. Tempat kuliner Mie
Aceh terkenal antara lain Mie Razali maupun Mie Midi yang cukup ramai tiap
waktu. Cara membuat Mie Aceh yang lezat dan enak sebenarnya banyak sekali. Cita
rasa Mie Aceh cukup menggoyang lidah sehingga banyak orang ingin kembali
mencicipinya.

Mie Aceh yang lezat.

Mie Aceh biasa atau Mie Aceh luar biasa, sangat populer di
kalangan pecinta mie. Mie Aceh pada dasarnya dibuat dengan rempah atau bahan
dan bumbu yang beragam. Mie Aceh juga enak disantap dengan tambahan daging
kambing, daging sapi, udang maupun kepiting. Mie Aceh juga dibuat sesuai selera
seperti Mie Aceh rebus, goreng basah maupun mie goreng.

Populernya Mie Aceh karena bumbu yang kental sekali atau
rasa pedasnya. Mie Aceh bisa disebut sebagai kuliner utama yang paling dicari
oleh banyak orang. Perbedaan Mie Aceh dengan mie pada umumnya, selain bumbu,
juga terletak pada cara membuatnya. Mie Aceh selain membeli di tempat khusus
juga bisa dibuat sendiri dengan mudah.
Cara membuat Mie Aceh sebenarnya gampang sekali. Jika di
Aceh, beli saja Mie Aceh yang sudah digiling di pasar beserta bumbunya. Penjual
di pasar sudah tahu takaran 1 kilogram mie dengan bungkusan bumbu siap masak. Harga
mie kiloan ini bervariasi, mulai dari Rp 5.000 sampai dengan Rp 10.000, sudah
dengan bumbu.
Bumbu Mie Aceh yang sudah digiling atau siap masak itu
memudahkan kita yang ingin membuat sendiri Mie Aceh. Agar tidak ribet saya
menyarankan untuk membeli saja di pasar tradisional mie yang sudah digiling
ini. Namun, jika tidak menemukan penjual yang menjual mie kiloan, kita bisa
menyiapkan bahan dan bumbu sendiri.
Cara membuat mie tepung khas Aceh adalah dengan menyiapkan
bahan seperti tepung terigu, tepung tapioka, telur ayam, kaldu ayam bubuk,
minyang bawang, garam dan air. Aduk adonan tepung ini sehingga dapat dibentuk.
Nah, jika kamu sering membuat kue bawang, maka adonan ini mirip
demikian. Tepung yang sudah jadi ini tinggal digiling menggunakan gilingan kue
bawang atau gilingan mie. Mesin penggiling mie ini mudah didapatkan, atau bisa
juga adonan jadi ini dibawa ke penjual mie tepung kiloan untuk digiling dengan
mesin yang lebih besar di sana.
Apabila adonan tadi telah berbentuk mie, maka langkah
selanjutnya adalah membuat Mie Aceh sesuai selera. Apakah Mie Aceh goreng,
goreng basah atau pakai kuah. Adonan yang telah jadi mie tersebut kemudian
direbus dan ditiriskan agar airnya kering.
Mie goreng Aceh sangat spesial bagi sebagian orang. Cara
membuat mie goreng Aceh juga tidak terlalu sulit. Mie basah yang telah dibuat
tadi atau dibeli dapat langsung dimasak. Memang, rasanya akan berbeda antara
Mie Aceh yang dibuat sendiri sama dengan Mie Aceh yang kita makan di tempat
kuliner terpopuler di Aceh.
Bahan yang perlu disiapkan antara lain mie basah, bumbu yang
sudah dibeli beserta mie, tomat, bawang merah, bawang putih, daun seledri, kol
putih, toge, daun bawang, kecap manis, kecap asin, dan minyak goreng. Untuk
takarannya disesuaikan dengan berapa kilo Mie Aceh yang akan dibuat.
Apabila membeli mie tepung yang sudah jadi maka bumbu halus
tidak perlu lagi karena sudah satu paket dengan mie yang dibeli tadi. Namun,
apabila tidak membeli satu paket dengan bumbu, bumbu halus itu terdiri dari
cabai merah, bawang putih, jahe, kemiri, teh ketumbar, teh jinten, adas manis,
kapulaga, kunyit dan merica bubuk. Bumbu-bumbu ini dihaluskan yang akan menjadi
bumbu dasar dalam membuat Mie Aceh.
Cara membuat Mie Aceh sangatlah mudah. Pertama, panaskan
minyak dalam wajan yang bersih, kemudian masukkan bawang merah, bawang putih
dan bumbu yang sudah dihaluskan atau bumbu yang dibeli sepaket dengan mie
tepung tadi. Kemudian masukkan kaldu dan biarkan sampai mendidih. Selanjutnya
adalah menambahkan garam, daun bawang, daun seledri dan kol yang tadi telah
dipotong kecil-kecil.
Dalam membuat Mie Aceh memang harus sabar dengan aroma bumbu
halus ini. Bumbu halus Mie Aceh bisa sangat sensitif terhadap indera penciuman.
Saat mau mendidih, bumbu halus ini akan membuat kita mudah bersin-bersih. Efek
dari bumbu Mie Aceh memang demikian, mungkin karena rempah yang bikin lezatnya
Mie Aceh.
Jangan lupa untuk memasukkan toge dan tomak yang sudah
dicincang. Aduk sampai rata untuk kemudian menambahkan kecap manis dan asin
secukupnya. Jika ingin membuat Mie Goreng Aceh, maka air tidak perlu
ditambahkan dalam jumlah banyak. Apabila sudah mendidih maka masukkan mie
tepung tadi lalu aduk sampai rata.
Mie Aceh siap dihidangkan dengan mie goreng basah atau mie
goreng. Mie goreng basah di mana kuahnya masih tersisa sedangkan mie goreng
adalah jenis mie yang kering. Mie Aceh siap disajikan dengan aroma yang lezat
berkat bumbu dengan rempah pilihan di Indonesia.
Banyak cara untuk mendapatkan Mie Aceh terbaik dan terlezat.
Salah satu tips untuk yang ingin membuat Mie Aceh sendiri adalah memastikan
bumbu dan bahan telah matang sempurna. Dengan demikian, mie tepung yang akan
dimasukkan tidak membutuhkan waktu lama sampai matang. Jika terlalu lama di
atas api, Mie Aceh ini akan terlalu lembek dan tidak enak lagi dimakan.
Kecap asin jangan terlalu banyak dimasukkan ke dalam Mie
Aceh karena telah ditambahkan garam dalam bumbu dan adonan mie. Apabila ingin
menambakan udang maupun kepiting, keduanya dimasak terlebih dahulu baru
kemudian ditambahkan setelah bumbu mendidih. Jadi, mengaduk di bagian akhir
hanya akan membuat bumbu diserap dengan baik oleh udang maupun kepiting.
Mie Aceh adalah kuliner wajib dari orang Aceh yang telah
terkenal di Indonesia. Mie Aceh dibuat dengan bahan pilihan dan bumbu dari
rempah terbaik. Siapa yang menyantap Mie Aceh pasti akan teringat untuk
mendapatkannya kembali suatu saat nanti.
Categories
Uncategorized

Nama Anak di Aceh dari Persetujuan Ulama

Teungku Rayeuk[1] sudah menamai putriku. Aku pun tidak bisa membantah dan tidak bisa menolak. Teungku Rayeuk merupakan orang yang sangat dihormati di kampung. 

Nama Anak di Aceh
Nama anak di Aceh.

Bahkan reputasi Teungku Rayeuk sudah terdengar sampai ke pulau Jawa. Beberapa kali Teungku Rayeuk diundang ke Jawa, entah silaturahmi dengan pendiri pesantren di sana entah karena di undang oleh pemerintah pusat.

Aku tidak begitu paham hal itu. Aku hanya santriwati[2] yang belajar di pesantren siang dan malam.
Dua tahun lalu aku menikah dengan pujangga pemberian Teungku Rayeuk. Dalam hal jodoh pun aku seperti tidak bisa berkutik, pemberian Teungku Rayeuk sudah seperti perintah, tidak boleh dilanggar maupun dibantah. Kami para santriwati menuruti semua permintaan Teungku Rayeuk. 
Jodohku tak lain kemenakan Teungku Rayeuk yang baru pulang belajar kitab kuning[3] dari Aceh Utara. Pesantren di Aceh Utara masih sangat populer di kampungku. Entah karena metode ajar yang bagus entah karena ingin meudagang[4] ke luar Aceh Barat. Aku tidak tahu pasti karena tidak kualami sendiri. 
Teungku Rayeuk menjodohkanku bukan tanpa sebab, aku satu-satunya santriwati yang paling tua di antara santriwati lain. Aku pun sudah ditugaskan mengajar beberapa kelas di pagi hari, kitab kuning pun sudah kupahami dengan benar mulai dari cara baca sampai arti dan penafsirannya.

Baca Juga:
Zenfone 3 dan Cita Rasa Bali dalam Zenvolution

Menikah sudah jadi kewajibanku menunaikan sunnah[5] nabi. Sebagai muslimah, aku tidak mau melanggar anjuran agama dan aku tidak mau sampai tua tidak berjodoh di dunia. 
Terkadang aku iri dengan teman-temanku yang sudah menggendong bayi. Pemberian jodoh dari Teungku Rayeuk seakan menjawab semua doa-doaku tiap malam hampa. 
Dan, setelah dua tahun lalu aku menikah dengan Teungku[6] Mukhsin, kami dikaruniai seorang putri. Teungku Mukhsin tidak jauh beda denganku, masih memegang teguh aturan pesantren yang tak pernah membantah perintah dan mau Teungku Rayeuk. 
Teungku Mukhsin, suamiku, tak pernah berkeluh-kesah akan sikap dan teguran Teungku Rayeuk terhadapnya. Siang malam Teungku Mukhsin mengajar kitab kuning tanpa imbalan apa-apa, paginya Teungku Mukhsin baru mencari rejeki. 
Pekerjaan yang Teungku Mukhsin lakukan tidak jauh beda dengan orang kampung lain, bertani dan berkebun. Kadang aku sangat kasihan dengan suamiku, sudah lelah mengajar kitab kuning lantas bekerja lagi. 
Entah dari mana sisa tenaga Teungku Mukhsin melakukan itu semua. Mungkin, Tuhan memang sudah menyiapkan sisa tenaga cadangan untuk suamiku, entah di bagian mana yang aku tidak tahu kecuali pemberinya sendiri. 
Awal pernikahan kami memang kacau. Berulang kali kulihat Teungku Mukhsin termenung, aku menemaninya juga dalam diam. 
Rumah peninggalan keluarga Teungku Mukhsin tak lebih besar dari ruang kelas belajar kitab kuning yang berkeramik dan beratap seng. Rumah kami masih beratap rumbia, dua kamar, satu dapur, kamar mandi diluar rumah dan tidak berkeramik. 
Teungku Mukhsin tidak pernah protes dengan hidup kami, rutinitas yang dilakukan setiap hari tidak pernah membuatnya marah-marah begitu pulang ke rumah tidak ada lauk di meja makan. 
Aku serba salah, mau menolong Teungku Mukhsin mencari penghasilan lebih aku tidak berdaya. Kampungku tidak menyediakan pekerjaan, kami hanya bertani dan berkebun yang dilakukan sendiri-sendiri tanpa diupahkan. 
Senyum Teungku Mukhsin baru terkembang saat putri kami lahir. Suamiku benar-benar sudah mendapatkan pelipur lara, putri kami memberikan kesegaran pada setiap langkah yang dilalui Teungku Mukhsin. 
Teungku Mukhsin sudah sangat bersemangat mencari sisa-sisa rejeki yang berserak di jalanan kampung kami. Semenjak putri kami ada, setiap hari ada saja buah tangan yang dibawa pulang Teungku Mukhsin. Suamiku ini benar-benar sangat penyayang, terlihat dari tatapan mata dan suaranya terhadap putri kami. 
Kupikir, ikut campur Teungku Rayeuk dalam keluarga kami sudah berakhir. Namun aku salah, Teungku Mukhsin secara tidak langsung sudah meminta nama untuk putri kami dari Teungku Rayeuk. 
Aku sedikit kecewa, jauh-jauh hari aku sudah menyiapkan nama tersendiri untuk anak kami kelak. Setiap jenis kelamin sudah kusimpan rapat-rapat namanya. 
Teungku Mukhsin sudah melewatkan momen bahagia milikku, tanpa kuketahui Teungku Mukhsin sudah memiliki nama juga. Pemberian Teungku Rayeuk. 
“Beliau punya maksud tersendiri memberi nama putri kita,” kata Teungku Mukhsin di malam hari sebelum kami beranjak tidur. 
“Setiap nama itu punya makna masing-masing, dan setiap anak punya nama tersendiri yang sanggup mereka pikul,” suara Teungku Mukhsin tenang seadanya. 
Aku masih menerka-nerka arah pembicaraan kami, walau aku hanya lulusan pesantren tradisional[7] namun masalah nama ini aku harus benar-benar paham, jangan sampai putri kami besar nanti aku tidak bisa menjelaskan maksud namanya. 
Kucoba buka suara, “Bukankah nama putri kita sama dengan putri Teungku Iman?” 
Benar. Teungku Iman juga mempunyai putri, baru berumur empat tahun, namanya pun sama dengan nama putri kami. 
Teungku Mukhsin masih bersikap seperti biasa, tidak mengisyaratkan keberatan akan keputusan Teungku Rayeuk soal nama ini, tidak juga tersinggung dengan pernyataanku. 
Aku berharap Teungku Mukhsin sependapat denganku dan kembali ke Teungku Rayeuk besok mengubah nama putri kami. 
“Nama tak masalah sama, putri kita tetap jadi putri kita. Teungku Rayeuk tahu bahwa putri kita sanggup memikul nama itu,” Teungku Mukhsin mengerutkan kening. 
Mencari-cari pernyataan yang tepat sebelum memberi penjelasan akan tanyaku. Teungku Mukhsin memang selalu mencari kata-kata yang tidak melukai perasaanku setiap akan bersuara. 
Tidak hanya denganku, dengan siapapun Teungku Mukhsin akan bersikap sama. 
“Nama putri kita sangat bermakna, nama itu akan sanggup diemban putri kita sampai kapanpun. Nama yang berat akan membuat putri kita tidak sanggup menerimanya. Arti nama sangat berpengaruh terhadap kesehatan putri kita. Jika putri kita tidak sanggup memikul nama, maka putri kita akan sakit-sakitan, lemah fisik dan mentalnya, tidak pandai bergaul, tidak diterima masyarakat, tidak pintar dalam bertutur kata, tidak….,” Teungku Mukhsin masih terus menjelaskan makna dibalik nama. Kepalaku tiba-tiba terasa sangat berat, lagi-lagi masalah yang tidak diterima logikaku. 
Aku mulai berbaring. Sekilas kulihat putri kami sudah terlelap. Kasihan sekali jika putri kami menerima ego orang dewasa. Aku tak habis pikir, orang dewasa masih percaya hal demikian. 
Putri pertama Teungku Iman sudah berulang kali ganti nama, dan nama itu juga berasal dari Teungku Rayeuk. Putri kesayangan Teungku Iman tetap lemah fisiknya. 
Bulan lalu putri tertua Teungku Iman baru dibawa ke rumah sakit, dua bulan lalu jauh ditangga rumahnya dan luka dipergelangan kakinya, tiga bulan lalu dirawat sampai seminggu di rumah sakit. 
Aku pun belum mengerti jalan pikiran Teungku Mukhsin. Mauku Teungku Mukhsin bisa mencerna semua pemberian Teungku Rayeuk padanya, tidak langsung menerima dengan lapang dada. 
Aku memang wanita kampung, aku pun tidak mau dikategorikan wanita kampungan. Aku memang belajar di pesantren, aku juga tidak mau dibilang kurang pergaulan. 
Dunia sekarang sudah berubah, banyak hal yang bisa dipelajari dari berbagai media. Televisi sudah sejak dua puluh tahun lalu masuk kampung ku. 
Listrik bahkan lebih awal dari itu. Orang-orang sudah banyak berinteraksi dengan perangkat telekomunikasi, informasi pun kerap didengar di mana-mana. Pernyataan suamiku patut mendapat pertanyaan lebih lanjut. 
Aku percaya, nama seorang anak adalah doa. Aku tidak percaya dengan pernyataan yang mengatakan nama mempengaruhi fisik seorang anak. 
Bagiku, informasi yang sering kudengar dan kulihat di televisi sudah cukup menegaskan bukan nama saja yang berpengaruh pada kesehatan anak. 
Anak sakit karena alasan tertentu, kurang perhatian orang tua, kurang asupan makanan bergizi, kurang interaksi dengan sesama, kurang dalam tata cara ajaran dari rumah. Semua berpengaruh!
Putri Teungku Iman yang sering sakit, sudah berulang kali pula ganti nama itu. Kulihat, Teungku Iman tak begitu peduli kebutuhan gizi anaknya. 
Bahkan, ASI yang seharusnya diberikan hanya bertahan sampai dua bulan dengan alasan istrinya mengandung lagi. Soal susu tambahan jangan tanya lagi, Teungku Iman sangat membuang jauh-jauh makanan dalam kemasan, katanya tidak halal walau sudah bersertifikat halal dari MUI. 
Aku pun tidak menyalahkan Teungku Rayeuk, aku yakin ada pertimbangan tersendiri dalam memberi setiap nama seorang anak. Teungku Iman juga punya alasan tersendiri dalam menelaah semua ilmu yang dimilikinya. 

Baca Juga:
Eksplore Bali dengan Kamera Zenfone 3

Aku tak perlu heran. Bahkan, untuk kami yang sudah belajar agama di pesantren. Orang kampung yang tidak belajar akan menuruti semua perkataan Teungku Rayeuk tanpa memilah benar salah. Aku tidak bisa menerima begitu saja. Teungku Rayeuk tetap seorang manusia biasa yang kadang khilaf. 
Soal nama, putri kami dinamai sama dengan nama putri Teungku Iman. Nama yang kuno untuk zaman sekarang. Nama yang tidak ada kesan apa-apa bagi orang yang memanggil. Sebuah nama teramat sangat tua untuk putri kami yang belum berusia dua tahun pun. 
Nama putri kami jauh tertinggal entah di ribuan tahun lalu. Lihat saja nama-nama putri Teungku Rayeuk, ada Najwa, Zakir. Putriku? 
‘Abidah! 
Tidak salah dengar. ‘Abidah nama putri kami. Nama dari bahasa Arab, nama yang sangat tidak kusukai. Seharusnya Teungku Rayeuk tidak menyimpan nama-nama bagus khusus untuk putri-putrinya saja. 
Aku jadi wanita tamak? Yang ingin dapat lebih bagus dari ini? Entahlah. Di zaman sekarang, dengan nama-nama anak beragam elok, nama putriku hanya ‘Abidah. Bukankah nama itu sangat tua? 
Tidakkah Teungku Rayeuk membayangkan bagaimana interaksi putri kami nanti dengan teman-temannya yang memiliki nama bagus. Aku butuh suatu kesegaran pada nama putri kami. 
Aku bahkan jadi kesal pada Teungku Mukhsin yang diam saja menerima ‘Abidah sebagai nama putri kami. 
Teungku Mukhsin bisa saja saling tukar pendapat dengan Teungku Rayeuk soal nama. Lagi pula, kedekatan mereka sudah sebagai anak dengan ayah. Aku sungguh kecewa! 
‘Abidah. Putri kami, semoga benar menjadi wanita yang taat, yang beribadah kepada Tuhan. Karena itu arti nama putri kami!
*** 
[1]Ulama, sebutan lain dari Kyai. 
[2]Sebutan untuk siswi di pesantren. 
[3]Dikenal juga dengan kitab Arab gundul. 
[4]Merantau 
[5]Dikerjakan mendapat pahala, tidak dikerjakan tak berdosa. 
[6]Ustad, di Aceh dipanggil dengan sebutan Teungku. 
[7]Pesantren yang hanya mengajarkan kitab kuning saja tanpa pelajaran umum.
Categories
Uncategorized

Lamaran Ditolak Orang Tua, Wanita Cantik Ini Rela Berzina dengan Pacarnya

Lamaran ditolak. Lamaran ditolak orang tua pacar bertindak. Lamaran ditolak orang tua gadis hilang keperawanan. Kisah cinta lamaran ditolak lalu berzina. 

Setiap wanita ingin punya suami, bukan? Wanita mana yang tidak ingin berpasangan. Wanita mana yang tidak ingin hidupnya terlindungi.
Wanita mana yang tak ingin hidupnya ada pegangan. Wanita mana yang selalu ingin sendiri. Wanita mana yang tidak ingin mengandung lalu punya anak. Sebagai wanita normal saya ingin mendapatkan semua itu! 
wanita cantik berzina
Ilustrasi – tribunnews.com
Saya hidup di pelosok, kehidupan yang biasa-biasa saja sebagai seorang kampung. Pagi hari saya ke kebun karet, pulangnya ke sawah. 
Begitu terus rutinitas yang saya lakukan bersama kedua orang tua. Malam hari saya mengaji kitab kuning di pesantren kampung yang namanya sudah melambung sampai ke hampir seluruh kota. 
Semua berawal ketika saya sadar bahwa umur sudah terus beranjak naik. Teman-teman sepermainan, adik-adik di bawah saya, sudah banyak yang menikah dan mempunyai anak. 
Saya pun ingin mengalami hal yang sama. Saya punya rahim untuk melahirkan, dan saya ingin punya suami!

Petaka Zina Itu Datang Tiba-tiba

Saya menjalani hidup tak ubah sebagai bidadari kesepian. Beberapa kumbang hinggap namun tak satu pun yang mengajak saya menikah. 
Saya sadar kelemahan itu datang dari dalam diri saya yang tidak bisa memberikan lebih kepada para kumbang.
Ada yang cocok di hati saya ternyata tidak dengan Ibu. Cocok dengan Ibu hati saya menolak. Kepala tiga sudah saya lewati satu, artinya umur saya sudah sangat sesuai jika punya pasangan. 
Wajah saya pun tidak jelek-jelek amat, standar gadis kampung yang bisa menggaet pria. Paling tidak sebagian pria yang mengajak pacaran aman nyaman saja dengan saya, hanya belum ada yang mengajak menikah! 
Semenjak saya terlibat dalam kegiatan pertanian di kampung saya mengenal seorang pria. Lebih muda enam tahun dengan saya. 
Kegiatan ini melibatkan kami, sebagai orang yang ditunjuk kampung saya kerap menghabiskan waktu bersamanya. Kegiatan kami adalah mendampingi warga membuat pupuk alami dan menanam padi secara alami. 
Kami dekat, mungkin sebagai sahabat, baginya. Sebut saja namanya Wadi. Orangnya tinggi berotot, wajahnya babyface dan warna kulitnya lebih terang dariku. 
Kedekatan kami memuncak mulai Februari, waktu kami sama-sama mendapat undangan ke pulang Jawa. Mulai Jakarta sampai Jawa Tengah kami melintasi pertanian melihat bagaimana masyarkat sana bercocok tanam. 
Selama sebulan – bersama lima teman lain – kami mendapat pelatihan di kantor pusat Jakarta dan terjung lapangan. 
Aktivitas yang kami lalui pun semakin padat, kami sering bersama dan mengabaikan teman-teman lain. Rupanya, Wadi pun merasa nyaman dengan kehadiran saya dalam hidupnya. 
Bahkan, Wadi yang sudah beberapa kali ke Jakarta mengajak saya ke mall, nonton film dan makan bersama saat waktu senggang. Tentu saja tanpa mengajak teman-teman lain, karena kami hanya ingin berdua saja. 
Wadi berkata jujur, bahwa dia punya kekasih. Saya pun tak memaksa dia memutuskan kekasihnya. Wadi yang entah apa yang dia rasakan, mengatakan bahwa dia akan memutuskan kekasihnya jika saat ingin menjalin kasih bersamanya. 
Dalam pesawat pulang dari Jakarta ke Aceh, saya menerima tawarannya. Kami tertawa saat orang lain terlelap, kusandarkan lelah di pundaknya, dibelainya tangan saya mesra. Semua dilakukan Wadi atas dasar sayang, katanya. 

Hamil Sendiri Setelah Berzina dengan Pacar Semalam

Hubungan kami berlangsung sangat cepat. Wadi sering datang ke rumah saya. Saya pun beberapa kali diajak main ke rumahnya. Keluarga kami sudah mengenal dekat, Ibu suka dengan Wadi dan Ibu Wadi ternyata tidak senang. 
Kedekatan yang saya artikan bukanlah sebagai kedekatan khusus bagi Ibu Wadi. Ibu Wadi tetap menganggap saya sebagai rekan kerja dan tidak mau lebih dari itu. 
Wadi yang sudah gelap mata dan saya yang sudah terlena, mengabaikan restu Ibu Wadi. Apalagi saat di rumah saya, Wadi diperlukan bagai raja oleh Ibu dan saya pun memperlakukannya sebagai orang yang sangat istimewa. 
Di malam yang tak pernah terlintas akan ada pria lain di rumah saya, selain Ayah. Wadi pun menginap. Sekali dua kali bahwa berkali-kali. Sebagai pemuda wajar saja Wadi tidak pulang ke rumahnya karena orang tua sudah lepas tanggung jawab terhadapnya. 
Kejadian itu terjadilah. Saya dan Wadi melakukan yang tidak seharusnya kami lakukan. Waktu berjalan tanpa berdampak apapun. 
Sampai di Juni saya merasa keraguan mendalam. Sudah tiga bulan saya merasa janggal dengan siklus bulanan wanita. Saya tak pernah merasa ada darah yang berkucuran dari bawah sana. 
Saya ke puskesmas di temani Ibu, positiflah saya mengandung tiga bulan. Wajah saya pias dan Ibu mendadak hampir pingsan. 
Ke depan saya akan menerima petaka yang selama ingin selalu ingin dihindari wanita. Hamil diluar nikah! Bukan pilihan tepat! 
Sebelum saya sampaikan pada Wadi, berbagai cara saya lakukan sesuai anjuran Ibu guna melunturkan kandungan. 
Berobat obat-obatan kampung. Hasilnya, tidak berdampak apa-apa. Apalah luntur setetes darah pun, mual saja tidak saya rasakan. 
Dua minggu sebelum bulan puasa saya menikah dengan Wadi. Nikah yang tidak diketahui oleh semua orang. Dibantu paman saya yang bekerja di KUA saya menikah dengan Wadi. Raut wajah Wadi tidak seperti biasanya. 
Dia terlihat tertekan. Kami menikah bukan di KUA kecamatan saya dan Wadi berdomisili, paman saya merekomendasikan ke kecamatan lain. Kami menikah di bawah tangan. Rasanya tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saya lihat Wadi melafalkan akad nikah dengan terpaksa. 

Pacar Lari Setelah Menghamili

Hari-hari setelah itu kami tak pernah tegur sapa. Wadi pun punya alasan sendiri tidak menjumpai saya. Entah siapa yang mengabarkan berita itu, pernikahan kami menyeruak sampai ke seluruh kecamatan. 
Wadi yang sebelumnya sebagai penanggungjawab fasilitator pertanian di kecamatan, menerima keputusan pahit. Wadi dipecat dan mendadak menghilang. 
Keputusan ini bukan dari kecamatan langsung, namun dari pihak lembaga yang berpusat di Jakarta. 
Menghilangnya Wadi berimbas pada saya yang semakin hari semakin membuncit. Dua hari sebelum puasa, orang tua kampung Wadi datang ke rumah kepala desa saya. 
Meminta pertanggungjawaban karena sudah mengambil Wadi tanpa diketahui oleh warga sana. Apalagi orang tua Wadi tidak tahu-menahu pernikahan kami. 
Kurasa dunia mendadak semakin gemerlap dengan cemoohan. Kepala desa kami memang tidak tahu bahwa kami akan menikah. Kepala desa lepas tangan dan tidak mau terlibat dalam perkara ini. Tinggallah saya dan keluarga yang dirong-rong keluarga 
Wadi. Ibu Wadi yang semula sudah berkhutbah bahwa Wadi tidak berbuat apapun dengan saya, datang ke rumah, mengatakan bahwa Wadi tidak akan diberikan kepada saya! 
Wadi benar-benar pergi. Entah atas desakan Ibunya entah karena keinginannya sendiri. Berulang kali saya hubungan ke nomor ponsel Wadi selalu mailbox. 
Saya tidak mengerti apa yang terjadi. Tidak ada penjelasan Wadi akan masalah besar dan perut saya yang semakin membesar. 
Mencari ke kampung Wadi bukan keputusan tepat, kabar yang kutahu dari teman-teman lain Wadi pun tak pernah melintas lagi di kampungnya. 

Hujatan dan Makian untuk Wanita Hamil di Luar Nikah

Wadi sudah menghilang. Sebulan puasa, seminggu Idu Fitri. Wadi tak pernah menampakkan kehidupannya dalam kehidupanku. Orang-orang terus berkata; 
“Sudah ngaji di pesantren masih berbuat zina!”
“Alumni pesantren dan santri kesayangan ustad hamil diluar nikah!” 
“Panutan kampung kok jadi hama di kampung!” 
Dan lain-lain. 
Kuterima dalam sendiri, tanpa Wadi. Bukan hanya Wadi yang menerima perlakuan tidak enak, saya sebagai wanita lebih parah dari itu. Wadi tidak berbentuk fisik atas nafsu yang sudah kita perbuat, saya membuah hasil yang akan dibuahi setelah sembilan bulan. 
Wadi bisa lari ke mana saja tanpa dianggap cacat, saya yang menerima cacat setelah melahirkan dan punya anak. Wadi bebas bisa menikah dengan wanita lain. 
Saya? Menikah dengan siapa lagi? Wadi tidak sadar, bahwa kita melakukan perbuatan dosa itu lantaran kita sama-sama ingin melakukannya. 
Bukan karena saya paksa, bukan karena saya mau. Wadi nginap di rumah saya pun karena Wadi ingin, jika tak mau dengan hubungan kami kenapa Wadi tidak menolak semua permintaan saya? 
Hidup tanpa suami – ditinggal suami – setelah hamil rasanya tidak bisa dikatakan dengan kata-kata. Saya ingin bahagia bukan menderita sendiri. Saya ingin punya suami dan anak. Saya ingin anak saya punya ayah. 
Wadi, dia menjadi pengecut! Saya baru sadar dia lebih lemah dari fisiknya. Begitu indahnya bagi pria, setelah menabur benih bisa bebas melayap keliling dunia! 
***

Seperti yang diceritakan wanita itu kepada penulis.

Categories
Uncategorized

Siap Nggak Siap! Nikah di Aceh Habiskan Puluhan Juta Rupiah

Nikah di Aceh Habiskan Puluhan Juta Rupiah dan nggak mudah mengucapkan will you marry me di Aceh!
Siapa sih yang nggak mau menikah? Jika usia telah matang dari segi fisik, materi maupun mental, penikahan adalah hal wajar untuk dibicarakan. Namun, menikah dengan gadis Aceh tidak segampang omongan lho. Aturan main yang lebih dikenal dengan sebutan budaya sangat erat kaitannya untuk laki-laki maupun perempuan yang ingin menikah. 
Nikah di Aceh mahal – ilustrasi pernikahan di Aceh.
Barangkali, budaya ini pula yang membuat laki-laki Aceh lebih galau selangkah daripada perempuan. Hanya di Aceh saja urusan menikah mesti membayar mahal cukup mahar.

Mahar dalam Islam dan Adat Mahar di Aceh

Dalam Islam mahar adalah kewajiban seorang laki-laki dalam meminang seorang perempuan. Namun Islam tidak membatasi besar mahar yang wajib ditebus tersebut.

– Rasulullah saw. bersabda: “Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk mas kawinnya?” Laki-laki itu menjawab: “Tidak” Rasulullah saw. bersabda kembali: “Carilah sekalipun sebuah cincin dari besi!” (HR. Muslim) –

Aceh memang unik. Syariat Islam telah diterapkan namun urusan pinangan seorang laki-laki kepada seorang gadis, tidak berlaku “aturan” main dalam Islam tersebut. Gadis Aceh tak akan pernah bisa dipinang hanya dengan cincin “besi” yang diibaratkan dalam hadis ini. Gadis Aceh hanya akan menerima pinangan mahar emas, sekalipun hanya 1 mayam saja, jika ada yang setuju. 
Satuan emas dalam mayam adalah 3,3 gram. Harga 1 mayam emas bisa beragam. Emas murni dengan campuran beda harganya. Paling sedikit 1 mayam harga emas antara 1,5 sampai 2 juta rupiah. Goyangan ekonomi sedikit saja, harga emas akan naik atau turun. Beli hari ini mahal, besok bisa murah.

Segini Jumlah Mahar di Aceh

Apakah gadis Aceh – orang tuanya – akan menerima mahar 1 mayam emas?
Tentu tidak. Inilah kebiasaan – budaya – yang tidak pernah dibuang oleh masyarakat Aceh sampai kapanpun. Keunikan budaya ini hanya ada di Aceh saja. Berlangsung di mana-mana. Dilakoni dengan sepenuh hati. Tanpa paksaan. Tanpa protes. Dielu-elukan apabila maharnya tinggi atau rendah. Dicemooh jika maharnya rendah atau tinggi. 
Semua serba salah. Tetapi yang salah ini tetap dibanggakan oleh masyarakat Aceh. Hari ini dikatakan mahar si gadis tetangga terlalu rendah untuknya yang cantik, besok akan terlupa karena mahar si tetangga lain terlalu tinggi untuk seorang gadis dari keluarga biasa-biasa saja – kurang mampu. 
Untuk kamu, siapkan mahar emas minimal 10 mayam untuk dapat menikahi gadis Aceh “baik-baik” yang kamu cintai! 

Marwah Gadis Aceh, Wanita Baik-baik Dilamar dengan Mahar Emas

Gadis Aceh baik-baik adalah mereka yang menjaga marwah Aceh, berasal dari keluarga baik-baik, bagus agamanya, sopan santun perilakunya, memegang teguh adat-istiadat dan lain-lain. Penilaian ini sebenarnya objektif dan tidak hanya tergantung pada faktor yang saya sebutkan. Walau bagaimanapun gadis Aceh adalah perempuan baik-baik karena hanya mau menikah setelah dipinang dengan mahar emas.
10 mayam angka yang tidak sedikit untuk setiap laki-laki yang ingin menikah. Siap batin belum tentu materi siap. 10 mayam adalah angka yang lumrah namun tahukah kamu jika gadis yang dicintai itu seorang sarjana, cantik rupa, atau berasal dari keluarga kaya! Mahar yang wajib kamu tebus bisa sampai 20 mayam ke atas. 
Baiklah. Coba kita kalkulasikan jumlah biaya yang wajib dikeluarkan untuk menikah dengan gadis Aceh ini. 10 mayam saja jika harga 1 mayam emas 1,5 juta, maka kamu akan mengeluarkan biaya paling sedikit 15 juta. Jika 20 mayam maka 30 juta. Jika lebih dari 20 mayam? Jika 25 mayam? Jika 30 mayam? 

Budaya Mahar di Aceh dan Sinkronisasi dengan Islam

Budaya mengajarkan banyak hal kepada kita. Begitu pula budaya Aceh yang satu ini. Satu sisi memang tidak adil untuk laki-laki yang telah siap mental untuk menikah tetapi terkendala mahar. Di sisi lain adalah proses kesabaran yang sebenarnya dalam Islam telah dianjurkan.

– “Wahai para pemuda! Barangsiapa yang sudah memiliki kemampuan (biologis maupun materi), maka menikahlah. Karena hal itu lebih dapat menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah), maka hendaklah dia berpuasa karena hal itu menjadi benteng baginya” HR. Bukhari –

Proses sabar yang cukup panjang, bukan? Siap mahar 10 mayam, belum tentu siap berumah tangga. Budaya Aceh yang unik ini tampaknya sejalan dengan aturan main dalam Islam, jika menelaah lebih lanjut. Kaum laki-laki dianjurkan untuk mapan terlebih dahulu sebelum benar-benar mampu berumah tangga. 
Toh, rumah tangga bukan cuma memberikan 10 atau 20 mayam emas saja sebagai mahar. Janji suci di hari ijab kabul akan berlaku sepanjang masa. Islam dan budaya Aceh setidaknya meminimalkan “perang piring pecah” dalam sebuah rumah tangga karena suami belum mampu membawa pulang sayap ayam tiap hari!

Laki-laki Aceh sanggup kok menikahi gadis Aceh biarpun mahar itu mahal!

Aturan mahar yang berlaku secara tidak tertulis adalah cambuk bagi laki-laki Aceh yang ingin segera meminang gadisnya. Patokan mahar dari calon mertua tidak membuat laki-laki Aceh mundur teratur karena terkendala biaya. Laki-laki Aceh mengumpulkan segenap keberanian untuk meminang karena mahar tersebut tidak lantas dibayar sekaligus. 
Nah, satu lagi sisi menarik dari sebuah pernikahan di Aceh.

Mahar boleh dicicil? Emang pernikahan itu barang kredit?

Permainannya bukanlah demikian. Step by step membuat pernikahan dengan mahar “besar” di Aceh ini justru menjadi sesuatu yang tidak biasa. Seorang laki-laki yang telah meminang gadisnya akan memberikan mayar 10 atau 20 mayam secara berkala. Waktu lamaran dikasih seperempat, menjelang pernikahan dikasih setengahnya, dan di hari ijab kabul dilunasi semuanya! 
Tepat sekali! Walaupun mahar gadis Aceh itu mahal tetapi tidaklah mahal karena proses ini berlangsung sedemikian manisnya. Hukum mahar yang berlaku di Aceh terasa ringan bagi siapa saja karena emas itu bisa diberikan kapan saja. Asalkan, di hari pernikahan mahar tersebut telah tunai! 
Sudah siap bersanding di pelaminan seperti ini? Gadis Aceh siap kok dipinang oleh kamu. Kamu siap nggak melunasi mahar yang dimintanya?
Categories
Uncategorized

Mahar untuk Menikah Gadis Aceh Itu Mahal, Kawan!

Persoalan yang tak gampang di manapun berada; terutama di Indonesia, ditanya kapan kawin? Padahal urusan kawin ini tentu sangat sensitif sekali, terlebih pada mereka yang telah berumur dan belum menemukan pasangan hidupnya. Namun, urusan kawin di Aceh justru memiliki ketertarikan tersendiri, baik bagi kaum perempuan maupun laki-laki. Menikahi gadis Aceh tidak mudah jika pernikahan itu baik-baik; melibatkan dua keluarga, bukan pernikahan karena &sebab-akibat& yang kemudian mendatangkan malu dan resepsi pernikahan tidak megah.

Mahar gadis Aceh mahal – ilustrasi pernikahan di Aceh.
Sebelum menjadi linto baro dan dara baro atau raja dan ratu sehari, perempuan yang menunggu dilamar memang tidak khawatir jika orang tuanya telah setuju menikahinya. Bagi laki-laki dihadang oleh masalah cukup pelik terutama menyiapkan mahar. 

Mahar Gadis Aceh Mahal

Mahar menjadi takaran sebuah pernikahan disetujui oleh kedua keluarga. Mahar untuk mendapatkan gadis Aceh tidak cukup dengan seperangkat alat salat; walaupun Islam membenarkan hal demikian. Mahar gadis Aceh adalah emas. Meminang gadis Aceh siapkan emas paling kurang 10 mayam. Jika tak ada kerja dulu sebelum mengetuk pintu rumah perempuan yang dicintai dengan segenap cinta dan berharap bahagia dalam rumah tangga. 
Gadis Aceh dipinang dengan mahar emas bukan karena emas itu mahal. Kebiasaan yang jatuh bebas dari turun-temurun menjadi ukuran bahwa emas adalah mahar terbaik. Tak ada emas sama dengan tak ada perkawinan dengan gadis Aceh. Ada tata cara sebelum mahar emas itu jatuh pada patokan wajib dipenuhi oleh seorang laki-laki. Salah satu faktor adalah mahar ibu kandung di mana penentuan mahar mengacu pada mahar ibu gadis yang sedang dilamar, boleh sama tapi tak boleh kurang. 


Selain mahar ibu kandung juga dilihat dari penentuan mahar di lingkungan sekitar. Status sosial ini penting karena omongan lebih tajam dari pada pisau. Mahar yang berlaku di lingkungan sekitar adalah sebuah kewajaran. Jika pun dilihat dari besarnya, tak bisa dikatakan mahal atau tidak. Contoh saja, seorang gadis dilamar dengan mahar sebesar mahar ibunya. 
Jika gadis itu berusia 25 tahun, dan katakanlah anak pertama dengan ibunya langsung hamil setelah menikah, mahar yang ditetapkan kadarnya adalah sama jika berada di 10 mayam emas walaupun harga emas berbeda. Masyarakat Aceh tidak melihat harga emas namun besar emas itulah penentu segala.

Peunuwoe dalam Pernikahan di Aceh Mahal

Seorang laki-laki yang sudah siap menikahi gadis Aceh tidak hanya mempunyai kewajiban menuaikan mahar saja. Laki-laki itu wajib memenuhi atau membeli perlengkapan pakaian kepada perempuan yang dinamai peunuwoe. 
Peunuwoe ini biasanya terdiri dari satu set bakal kain (pakaian belum jadi), perlengkapan make up, perlengkapan mandi, sepatu dan sendal, perlengkapan dapur (makan) seperti piring, cangkir, ceret, serta kebutuhan lain yang dianggap perlu. 
Peunuwoe ini biasanya diberikan saat intat linto (antar mempelai laki-laki) ke rumah mempelai perempuan setelah ijab kabul. Estimasi biaya untuk peunuwoe memang tidak ditetapkan oleh pihak mempelai perempuan saat pertemuan dua keluarga. Dana atau perlengkapan penting ini dibeli sesuai dengan kesanggupan mempelai laki-laki dan keluarganya. 
Walaupun tidak ditetapkan, peunuwoe ini wajib. Selain perlengkapan mati tadi, juga dibawa perlengkapan hidup seperti hewan ternak (ayam atau kambing), padi atau beras, buah-buahan dan sayuran. Serah terima dilakukan di rumah mempelai perempuan yang sedang menggelar pesta preh linto (tunggu mempelai laki-laki). 

Uang Hangus dalam Pernikahan di Aceh

Di sebagian daerah Aceh memberlakukan peng angoeh (uang hangus). Uang hangus ini wajib diberikan kepada calon mempelai perempuan atau keluarganya sebelum ijab kabul (resepsi pernikahan). Uang hangus ini biasanya telah ditetapkan saat penentuan mahar atau saat rapat penentuan hari ijab kabul. 
Besar uang hangus biasanya diestimasikan sebesar isi kamar pengantin di rumah mempelai perempuan, ada pula yang mematok langsung nominalnya, misalnya 2 juta rupiah. Jika ada perjanjian uang hangus maka mempelai laki-laki wajib melunasinya, jika belum dilunasi maka tidak dibenarkan masuk (pulang) ke rumah mempelai perempuan walaupun sudah terjadi ijab kabul. 

Daging Meugang Pengantin Baru Wajib di Aceh

Tradisi meugang di Aceh menjelang bulan puasa – Ramadhan – barangkali cukup berat untuk mempelai laki-laki. Pengantin baru ini wajib membawa pulang daging kerbau (sapi) ke rumah mertuanya. Seandainya satu atau dua kilo mudah sekali, namun tidak demikian. Daging yang wajib dibawa pulang berupa kepala kerbau atau pahanya. Tak hanya sampai di situ, mempelai laki-laki juga harus membawa pulang bumbu beserta beras. 
Terkadang, memang rumit sekali menikahi Gadis Aceh. Tapi tradisi ini telah dikerjakan entah dari tahun kapan. Masyarakat Aceh tidak menolak bahkan melawan, karena ini adalah tradisi, hanya ada di Aceh saja. Siapkah menikahi gadis Aceh?
Categories
Uncategorized

Laut dan Sebuah Janji Rezeki di Kampung Berseri Astra Aceh

Kemarin sore, sehari sebelum peringatan 14 tahun tsunami
Aceh, sebentar saya merapat ke bibir pantai Alue Naga. Deru ombak yang cadas
dan romantis di sisi lain membuat saya tak gentar. Saya memang tidak lupa
musibah lalu, saya juga tidak mau terlena dan melupakan keindahan laut dengan
penuh cinta dan rezeki di dalamnya. Roda perekonomian di bibir pantai ini juga
telah normal meskipun belum berdiri kafe atau restoran besar seperti yang
orang-orang inginkan. Namun, siluet senja yang sebentar lagi tiba, Pulau Sabang
yang meredup dalam balutan awan serta pesawat terbang yang sedang take-off atau landing begitu menyempurnakan rehat sejenak di sini.

Tsunami 26 Desember 2004 tak akan pernah pudar dalam benak
kami. Tiap Desember adalah luka yang menganak airmata. Sampai usia tertutup
sekalipun saya akan ingat tentang kepasrahan, rasa putus asa maupun kesedihan
teramat dalam, di pagi itu saat berlari dikejar ombak besar. Gemuruh yang entah
berwujud apa, kepanikan di mana-mana adalah panorama yang kemudian melarutkan
isak tangis dalam kehilangan panjang; sampai
kini
.
Soal anak istri. Kekasih hati. Dan juga harga benda. Yang
mana ‘kami’ di bibir pantai bukanlah pegawai negeri atau pegawai perusahaan besar
yang mendapat sokongan dengan mudah. Semua kembali dari awal. Berangkat dari
keterpurukan dan dari tidak ada. Bala bantuan yang datang namun tak pernah
menggenapkan kehilangan mata pencaharian seperti semula. Cukup lama – saya
pikir – saudara kami di Alue Naga untuk berbenah, bahkan sampai saat ini masih
terasa asing di negeri sendiri.  
Kampung Alue Naga dengan laut indahnya.
Termenung di sini, hari ini, adalah luka yang masih tersisa
dalam tak terucap kata. Mau tidak mau, tiap orang memiliki kisah yang berbeda.
Dan tentu, di bibir pantai ini hanyalah nyalak pilu berkepanjangan. Kampung yang
dulu pernah permai kini seperti gersang dalam kubangan ombak yang sesekali
ganas. Saat masuk ke perkampungan penduduk, pohon rimbun dengan daun luruh
menyapa dengan mesranya. Tiap lorong adalah sepi yang terasa. Mungkin, padatnya
penduduk dahulu telah terganti dengan riak duka di mana-mana.
Ombak yang memecah pantai semestinya selalu indah. Awan
bergumpal hari itu seharusnya mengabarkan berita baik. Namun, entah kenapa,
kesunyiaan yang semula ada kian menjadi-jadi. Saya bertanya tentang asa, soal
harapan dan juga mengapa bertahan di tanah yang tak lagi bersahabat ini.
“Inilah rumah kami!” begitu jawab mereka. Bulu kuduk saya
berdiri. Penegasan dalam kalimat ini menjabarkan banyak hal tentang mengapa
mereka tidak pindah atau alasan lain yang bisa diterima akal sehat sebagian
orang.
“Jiwa kami adalah pelaut,” tegas yang lain di mana raut
lelah diwajahnya menggambarkan segala daya tentang gaharnya ombak di tengah
lautan.
“Di sinilah kehidupan kami sebenarnya,” Maryati, S, yang
saya temui di depan perahu kecil di sungai itu, di dalam kios miliknya yang
sempit, di samping jalan yang tak ramai lalu-lalang, mengumbar senyum hambar. Baginya,
kehidupan yang berwajah bahagia selalu datang tanpa perlu mengumbar soal susah dan
senang. Wanita 42 tahun ini tak menguratkan sedih tetapi di dalam hatinya
mengisyaratkan luka mendalam.
“Kehidupan kami terus berjalan,” dan saya tak mau bertanya
lagi soal luka lama itu. Kios miliknya yang sepi pembeli memberikan ‘gurauan’ panjang
pada hari itu. Kak Mar, begitu orang memanggilnya. Tak ada yang istimewa dari
wanita yang baru saja meletakkan mi instan rebus di atas meja sebelah kiri
kami. Dirinya bersama suami dan dua orang anak tampak biasa-biasa saja; sama
halnya dengan kebanyakan warga Alue Naga. “Kami harus bekerja seperti biasa,
mencari nafkah untuk kehidupan lebih baik!”
Kak Mar dalam tatapan mata kosong – sesekali – menyelipkan
kenangan pahit dahulu. Ia pikir, mata pencahariannya telah menghilang seiring
kios miliknya dibawa tsunami. Kios kecil di Kampung Alue Naga yang dulu padat
tak berbekas. Kak Mar memulai dari awal, menanjak ke tangga yang licin demi
anak dan suami yang kini sudah tidak sanggup lagi bekerja. Sebelum tsunami –
mungkin – kios Kak Mar berjalan seadanya namun usai musibah itu kiosnya tak ada
perubahan berarti. Dengan kehidupan di Alue Naga yang demikian adanya, tak
mudah untuk menarik modal kembali dengan cepat. Kak Mar berpikir lagi, tak
mungkin ia bertahan dengan kios kecil itu. Setidaknya, ada usaha lain yang bisa
membuat dapurnya mengepul asap tiga kali sehari.
Bibir sungai yang selalu penuh air laut pasang saat purnama
menyimpan rahasia sejak dulu. Ombak yang datang menggulung bekas jembatan di
sana. Pagi hari air laut selalu penuh, siang akan surut dan di sore sungai ini
akan kering yang meninggalkan perahu di atas tanah bercampur pasir. Di belakang
rumah warga, tanaman liar tumbuh di tanah bekas tsunami yang membentuk kubangan
besar. Di sana, batang bakau ditanam membentuk formasi pertahanan yang cukup
kuat. Airnya yang keruh dan tanah berlumpur adalah tempat yang nyaman untuk
tiram bertahan hidup.
Di sinilah warga mencari tiram.
Kak Mar memulai dari sana. Ambil tiram di rawa-rawa itu,
sudah biasa. Jual-beli tiram di kios miliknya tidak mungkin membawa penghasilan
besar karena warga Alue Naga bisa mencarinya sendiri. Ide kreatif itu datang.
Inilah rezeki yang bermula untuk bertahan hidup. Kak Mar mencoba peruntungan
lain, membuat kerupuk tiram khas Aceh.
Perjalanan panjang dimulai sejak tahun 2014. Larut dalam
sedih, duduk menunggu pembeli di kios sempitnya, bukanlah perkara terbaik untuk
mendapatkan uang lebih. Kar Mar memblender tiram, mencampurnya dengan tepung
gandum dan terigu, menambah bahan dapur, tak lupa garam dan jeruk nipis untuk
menghilangkan bau amis dari tiram. Kompisisinya sudah dicatat dengan baik oleh
Kak Mar yang menjadi ‘rahasia’ dapur kerupuk gurih miliknya ini. Adonan kerupuk
tiram lalu ia kukus, didinginkan dan dipotong kecil-keci kemudian dijemur
minimal sehari di bawah panas matahari yang terik.
Usaha kecil Kak Mar membuahkan hasil. Ide kreatif dan unik
membuatnya sering diundang untuk mengikuti kegiatan UMKM. Puncaknya di tahun
2015, Kak Mar mendapat perhatian lebih soal merek dagang agar kerupuk tiram
miliknya menjadi brand yang kuat. Kak
Mar kemudian mencetuskan ide memakai nama dirinya, KAK MAR, di kemasan
kerupuk tiram. Lantas, membubuhkan Sinar Naga sebagai ‘pabrik’ atau nama usaha dari
kerupuk khas ini.
Kerupuk Tiram Khas Aceh, Kak Mar, di Alue Naga, Banda Aceh.
“Saya kan tinggal
di Alue Naga, jadi gitu, saya pakai
Sinar Naga yang artinya suatu saat Alue Naga ini akan bersinar!” dengan brand kerupuk tiram – tambah saya dalam
hati. Senyum Kak Mar menguratkan harapan dan cita-cita jauh ke depan. Usahanya
yang telah mapan, merek dagang telah dimiliki dan banyak sekali sertifikat yang
ia pamerkan, soal keseriusan dan pembenaran atas apa yang dilakukannya selama
ini.
Kak Mar dengan sertifikat izin usaha dari Pemerintah Kota Banda Aceh dan sertifikat dari Dinas Kesehatan.
Usaha tak pernah memanipulasi hasil. Demikian juga dengan
Kak Mar. Perjalanan yang melelahkan di mana semua dilakukan sendiri dan secara
mandiri membuahkan izin usaha dari Pemerintah Kota Banda Aceh. Kak Mar juga tak
lagi khawatir soal kelayakan kerupuk tiram miliknya karena Dinas Kesehatan
telah membubuhkan tanda tangan bahwa kerupuk Kak Mar layak untuk dikonsumsi. Ada
bagian yang saya tidak bisa menjabarkannya dengan baik. Namun, sisi ini yang jadi
sebuah keharusan untuk membuat saya lebih merinding. Usaha kecil yang mendapat
perhatian namun di segi pemasaran belum seperti usaha orang lain; sehingga saya pikir perlu pendampingan lebih
serius lagi
. Maka, Kak Mar akan mendapatkan hasil yang setimpal atas apa
yang dicita-citakannya selama ini.
Tak terasa, hampir siang saya duduk di kios dengan kursi
warna orange itu. Saya berulangkali
mengambil dan meletakkan kembali kerupuk tiram yang belum digoreng itu. Saya
juga bertanya, bagaimana rasanya kerupuk itu. Mungkin, karena Kak Mar kasihan
kepada saya yang penasaran, tangannya mengambil segenggam kerupuk itu lalu
digorengnya.
“Benar kata Kak Mar, nggak seperti rasa tiram,” ujar saya
setelah merasakan sepotong yang telah digoreng, rasanya gurih.
Kan, nggak semua
orang bisa makan tiram karena kesehatan, jadi saya buatnya nggak banyak tiram,
dibanyakin tepung saja, tapi tiramnya masih terasa,”
Kerupuk Tiram Kak Mar rasanya gurih.
Jujur saja, saya merasa pertimbangan Kak Mar terhadap
kesehatan konsumen menjadi hal yang melebihi kewajaran dari produk itu sendiri.
Namun, Kak Mar juga tidak menghilangkan identitas dari produk ini. Tiram yang
mudah didapat, diolah dengan baik sehingga menjadi makanan aman dikonsumsi. Semula,
Kak Mar mencari tiram sendiri namun seiring waktu karena tidak ada yang jaga
kios dan produksi kerupuk yang memakan waktu lama, ia memutuskan untuk membeli
tiram kepada warga lain. Tiram yang dipungut di dalam rawa-rawa berlumpur itu
memang tidak selamanya laris manis, setidaknya Kak Mar telah membantu mereka
yang kesulitan menjual tiram. Belum lagi bicara dalam keseharian, ibu-ibu di
desa Alue Naga dengan suka cita menjadikan tiram sebagai mata pencaharian
utama.
Tiap bulan, Kak Mar memproduksi kerupuk tiram, ada atau
tidak ada pembeli dan pelanggan tetap. Dalam sebulan, biasanya Kak Mar mampu
menjual 10 kilogram kerupuk tiram dengan perhitungan penghasilan antara Rp
800.000 sampai dengan Rp 1.500.000. Kerupuk yang telah dibungkus dalam kemasan akan
dijual Rp 10.000, sedangkan 1 kilogram dijual Rp 80.000.
Belakangan, usaha Kak Mar menjadi lebih baik semenjak Alue
Naga menjadi binaan Kampung Berseri Astra. Perkampungan yang cukup panas di
siang hari karena hawa laut itu memang tidak seindah kampung lain. Aroma nelayan
begitu kental. Perahu kecil diparkir sendirinya sebelum kembali melaut. Namun, tiram
dan bakau mudah sekali ditemui di sini. Sejak Astra dan Universitas Syiah Kuala
– kemudian disingkat Unsyiah – memberikan bantuan, Alue Naga seolah-olah
kembali bersinar.
Kerupuk tiram Kak Mar menjadi makin mandiri bahkan telah dibawa
sampai ke Medan, Jawa sampai Malaysia. Kak Mar berujar, salah seorang Dosen Unsyiah
– yang tidak saya sebutkan namaya di sini – yang selalu mendampingi tiap acara
Astra selalu memesan dalam jumlah banyak untuk oleh-oleh jika keluar kota. Demikian
pula dengan salah seorang staf dari lembaga pemerintah yang juga mendukung
industri kecil Kak Mar, di mana selalu memesan kerupuk tiram untuk berbagai kebutuhan.
Selebihnya, Kak Mar menjualnya di kios miliknya dan juga
dari mulut ke mulut. Inisiatif untuk menjualnya ke toko lebih besar sudah ada
tetapi masih terkendala produksi dan kemasan yang belum maksimal.
Alue Naga, Kampung Berseri Astra di Aceh.
Sampai di sini, saya merasa bahwa perjuangan panjang Kak Mar
patut menjadi inspirasi di kampung-kampung binaan Astra – Kampung Berseri Astra.
Tak mudah menemukan sosok dengan semangat seperti Kak Mar, di mana mampu
bangkit dan menghadirkan ide kreatif setelah terpuruk sekian lama; kehilangan anggota keluarga dan harta benda.
Nyali Kak Mar telah teruji. Kemampuannya mengolah tiram
menjadi makanan berbeda dilirik Astra dan bahkan menjadi ciri khas di Kampung
Berseri Astra, di Alue Naga, Banda Aceh. Kontribusi Kak Mar untuk program Astra
cukup menonjol daripada yang lain. Kak Mar tak segan berbagi pengalaman dan
juga ilmu meracik kerupuk tiram kepada banyak orang. Di kios Kak Mar yang
sempit ini pula, wanita tersebut ‘melatih’ keterampilan membuat kerupuk tiram
yang didukung oleh Astra dan Unsyiah pertengahan tahun 2018.
Kampung Berseri Astra di Alue Naga tergolong baru. Masyarakat
yang diberdayakan adalah petani tiram dan juga penanaman bakau. Cerita Kak Mar tak
lain bukti sukses dari program kewirausahaan dari Kampung
Berseri Astra itu sendiri selain program pendidikan, kesehatan dan lingkungan (sudah
termasuk di dalamnya penanaman bakau untuk ternak tiram lebih baik dan juga
untuk menghalau air pasang lebih tinggi).
Saya ceritakan tentang Kak Mar dari Kampung Berseri Astra
karena sosok begini telah lahir dari program Astra. Tak mudah menemukan sosok
demikian saat ‘bantuan’ usaha datang. Namun Kak Mar berangkat dari usaha yang
telah ada, izin yang telah dimiliki sehingga dalam waktu lama akan menjadi
kisah inspiratif lain dari cerita di Kampung Berseri Astra. Hanya saja, saya
merasa bahwa sosok begini haruslah diberdayakan lebih layak dan mendapatkan modal
yang besar.
Kak Mar hanya duduk di kios miliknya. Tak ada kesempatan
untuknya mencari dana lebih untuk modal usaha. Tak mengerti pula dirinya mendapatkan
suntikan modal dari lembaga lain. Kemudian, Alue Naga menjadi pilihan yang
tepat sebagai Kampung Berseri Astra, meski panas, gersang di sisi lain, seakan-akan
hilang mata pencaharian tetapi warga di sini masih tetap bertahan.
Pesan Kak Mar kepada saya, mungkin lebih tepatnya kepada
Astra yang selama ini menyokong aktivitasnya. Ia ‘hanya’ membutuhkan alat bantu
jemur kerupuk, penggiling dan pemotong saja. Namun, saya yakin sekali di lubuk
hati Kak Mar terdalam, ia memiliki cita dan harapan yang akan terwujud jika
program Kampung Berseri Astra memperhatikannya dengan baik. Suksesnya usaha Kak
Mar memberikan kontribusi – sekali lagi – lebih besar kepada Kampung Berseri
Astra. Kerupuk tiram Kak Mar telah memiliki brand
tersendiri sehingga melekat di benak pembeli. Kak Mar hadirkan cerita ini untuk
kita yang mungkin saja terlupa akan jerit hati mereka di bibir pantai bekas
tsunami.
Bagi saya, Kak Mar di Alue Naga telah ‘menghidupkan’ Kampung
Berseri Astra di Aceh dengan caranya sendiri. Tak mudah namun pasti. Tidak cepat
tetapi perlahan. Tentu, saya tidak ingin usaha Kak Mar kemudian membawa nama
besar kepada orang lain. Saya bahkan ingin sekali Kak Mar menjadi contoh
terbaik dari pengusaha sukses di Kampung Berseri Astra.
Jika ke Alue Naga suatu ketika, jangan cuma terlena dengan sunset yang indah. Tengoklah kios Kak
Mar di pinggir jalan itu. Coba rasa kerupuk tiram miliknya, mungkin akan kembali
kapan-kapan untuk membelinya lagi.
Jalan masuk ke Kampung Berseri Astra yang permai. Pohon rindang
menutup jalan. Kiri dan kanan sungai adalah Kampung Alue Naga. Sebuah monumen
menceritakan pedih kisah mereka di 2004, juga tentang bantuan yang pernah
mereka dapatkan pada masa kontruksi dan rehabilitasi. Jalan lurus itu akan
membawa kita ke kios Kak Mar, juga ke batang bakau dengan tiram bersembunyi di semak-semaknya.
Jalan masuk ke Alue Naga, Banda Aceh.
Sekilas, tak ada keindahan di kampung ini. Namun, semangat
mereka, semangat Kak Mar adalah cerita terindah soal rasa bangkit dari
keterpurukan. Kak Mar seolah ada dan tiada, maka dari sini saya ingin tegaskan
bahwa Kak Mar memberikan pelajaran penting untuk kita. Kampung Berseri Astra –
melaluinya – Kak Mar menjadi tokoh penting dari calon pengusaha sukses. Saya yakin
sekali dengan binaan yang tepat dari Astra, Kak Mar akan demikian suatu saat
nanti!
Kak Mar dan Kerupuk Tiram miliknya.
Alamat Lengkap Kerupuk Tiram Kak Mar
Sinar Naga – Desa Alue Naga
Dusun Kutaran Banda Aceh, 23111
HP. 085296102252