Categories
Uncategorized

Kisah Asrama Jejaka Nomor Sekian

Malam-malam yang lewat selalu sunyi di jalan itu. Pohon-pohon yang rindang di siang hari seperti tak terlihat ditutup gelap malam, padahal lampu-lampu hias di setiap sudut menyala dengan terang.
Ilustrasi.
Suara jengkrik bersahutan di antara jalan setapak menuju rumah gedung di jalan buntu. Rumah itu tampak megah. Mewah. Penuh cahaya. Di pagari tembok besar. 
Berkilauan oleh tubuh-tubuh berkeringat siang dan malam. Sixpack yang menggoda. Tinggi yang menjulang. 
Kulit mulus terawat. Pria perkasa yang akan digilai wanita apabila mereka nyasar di perempatan jalan tempat itu.
Sayangnya, mereka hanya keluar pagar rumah beton itu kala libur musim panas. Puluhan mobil akan berderet, silih berganti di depan pintu pagar besi. 
Bergantian pula mereka meninggalkan rumah gedung itu sesuai nomor antrian yang telah ditetapkan penjaga rumah gedung dengan Asrama Nomor Sekian namanya. 
Gedung itu kembali sepi seperti jalanan di depannya di malam hari apabila mereka yang di sana telah pergi berlibur. Tokoh mengawaki Asrama Nomor Sekian seorang diri saja. 
Ia terbiasa dengan sunyi. Ia tak pernah berinteraksi dengan siapapun di luar pagar rumah besar itu. Biarpun di dua ruas jalan menuju rumah itu kebun teh bersemi hijau dan harum mewangi, tak pernah membuatnya menyentuh bahkan mengecup wanginya. 
Tatapan matanya selalu lurus, garang, tajam, kaku dan tak pernah tersenyum pada siapapun. Termasuk pada mereka yang telah kembali dari liburan musim panas. 
Rumah gedung itu kembali dihiasi oleh denting piring, gelas pecah, sendok berdentang, bola voli dipukul, bola kaki ditendang, napas terengah-engah tiap waktu, tak hanya di malam hari saja namun di siang hari juga demikian. 
Tokoh menjaga mereka yang kembali dengan perasaan tak terdefinisi. Ia senang melihat butir keringat mengucur dari tubuh atletis di depannya. 
Ia meraung-raung mengintip tubuh-tubuh kekar mandi bersama di kamar besar atau bahkan berenang di kolam renang. Ia sangat galau apabila mendapati mereka yang gempal secara terang-terangan telanjang di depannya. 
Bulu kuduknya tak pernah meredup karena napsu di dalam dirinya sulit ia keluarkan begitu saja. Ia masih punya hormat pada tuannya. 
Ia pun masih punya harga diri berlebih kepada mereka yang seringkali meminta bantuan kepadanya, kadang bernyanyi atau berdendang sebuah lagu kenangan atau nyanyian hip-hop anak muda masa kini. 
Tokoh sering meratapi nasibnya yang tidak seberuntung anak-anak orang kaya itu. Walaupun mereka ogah-ogahan berada di Asrama Nomor Sekian namun mereka tetap saja berkelakuan baik, dalam tanda kutip. 
Sebenarnya, mereka adalah pembangkang nomor satu dan sulit diatur sehingga dibuang orang tua ke gedung entah di mana alamat jelas untuk pengiriman surat ini. 
Di antara mereka ada yang diam-diam merokok di loteng. Mabuk-mabukan di salah satu kamar. Bahkan, nonton film porno di siang hari. Pemandangan yang sulit ia lupakan begitu saja. 
Di antara mereka semua, sosok Kurniawan menarik perhatiannya. Dada yang berbulu membuatnya ingin segera berlari ke sana. 
Tak hanya itu, bulu saja tak cukup jika tidak bidang. Kurniawan memiliki pesona yang ia harapkan dari semua pria yang ada di sekitarnya. 
Kurniawan tampaknya sering menyendiri. Berbeda dengan mereka yang lain, Kurniawan sama sekali tidak pernah akrab denganya. Berulangkali ia mengajak ngobrol, Kurniawan cuek bahkan membatu. Padahal, dalam malam-malam sunyi ia selalu berdoa agar Kurniawan menjadi jodohnya. 
Lirikan mata Kurniawan pun tak pernah bersahabat kepadanya. Lirikan mata itu begitu jijik melihat kedatangannya. Jika mereka yang lain tak malu-malu telanjang di depannya, Kurniawan menutup seluruh tubuh untuk dapat ia nikmati. 
Padahal, apa malunya Kurniawan memberikan kesempatan kepadanya sekali saja. Mereka berdua sama-sama pria dewasa. Ia sendiri sering sekali melihat di tengah malam mereka yang lain tidur berpelukan di dalam satu tempat tidur. 
Kurniawan sama sekali tak paham dengan dirinya yang terus mengejar. 
Ke mana Kurniawan berada, di sanalah ia ada. Tokoh mematung di pinggir lapangan voli menunggu Kurniawan usai smash. 
Jangan harap Kurniawan menerima botol minum darinya. Dengan senyum sinis, Kurniawan akan keluar lapangan dan menuju ke paviliun menghadap ke kebun teh. 
Ia mengejar langkah Kurniawan ke sana, namun pria itu berpaling sejauh mungkin sebelum meninggalkan paviliun. 
Apa salahnya jika mencintai Kurniawan? Sejak pertama Kurniawan datang ke Asrama Nomor Sekian, ia telah mendapat firasat tak baik. 
Ia langsung merasa bahwa Kurniawan adalah jodohnya di dunia ini. Penantian yang cukup panjang karena ia hanya menanti seseorang yang ingin ia cintai sepenuh hati. 
Lima tahun sudah ia menjaga Asrama Nomor Sekian dengan sukacita. Tiap tahun pula akan datang mereka yang baru, manja, putih, bersih, belum atletis namun sedap dipandang. 
Namun baru Kurniawan yang membuat detak jantungnya tak keruan. Ia memandang jauh tiap kali Kurniawan jauh dari jangkauannya. 
Teman-teman Kurniawan sering menganggu dengan senggolan tangan, atau secara terang-terangan mengatakan bahwa ia sedang memperhatikan dia. 
Seperti biasa, dengan wajah masam Kurniawan sinis kepadanya yang sabar menanti kepastian. 
Tokoh sadar diri dengan menepi dan tak kembali ke hadapan Kurniawan. Ia menjalankan tugas sebaik mungkin di Asrama Nomor Sekian. 
Ia tak punya nyali untuk menyatakan cinta kepada Kurniawan yang kerap datang dalam mimpinya. Ia bahkan sering tidak tidur karena dibayangnya hanya Kurniawan seorang yang muncul. 
Secara diam-diam ia mengamati tidur Kurniawan dari jauh dan berharap pria itu mengubah pendiriannya. Paling tidak, ada sisa sedikit waktu Kurniawan untuk bersamanya. 
Ia akan mendekap erat pelukan Kurniawan apabila kesempatan itu tiba. Tentu saja ia tak akan meminta berhubungan badan seperti orang lain di asrama ini. Ia hanya ingin dibelai dan dimanja saja. Kasih sayang berlimpah lebih dari cukup untuknya bersama Kurniawan. 
Ia tahu, bahkan Kurniawan juga tahu mereka yang sering nonton film porno mempraktikkan perbuatan dari film di kamar, di kamar mandi bahkan di lorong-lorong sepi. 
Tak ada yang protes. Tak ada yang menolak karena mereka hanya melihat tubuh atletis saja tiap waktu. Mungkin tak ada cinta, tetapi napsu telah mengalahkan cinta. 
Tokoh berani bertaruh untuk itu. Ia mencintai Kurniawan. Sakit hatinya. Perih jiwanya begitu melihat Kurniawan dipeluk orang lain tanpa perlawanan. 
Ia tak pernah bisa menghalau tangan-tangan itu menarik Kurniawan ke dalam pelukan mereka. Ia tahu tak ada cinta. Ia tahu itu hanya pelampiasan belaka karena di sini tak ada wanita. 
Ia paham hanya liburan musim panas mereka baru terbebas. Itupun jika mereka ingin bebas, ataukah hanya mengulang kisah terenak selama di asrama. 
Mereka tak akan rugi apa-apa. Pria dan pria yang saling tatap saja.
Tokoh tak membawa napsu untuk memiliki Kurniawan. Ia membawa cinta. Kurniawan tak pernah mau melihat itu darinya. Kurniawan terlanjur melihat dengki dari dalam dirinya. 
Ia tak pernah sudi Kurniawan direngkuh keperjakaannya oleh orang lain yang terlampau sering berbuat itu dengan yang lain. 
Bahkan, si penjaga Asrama Nomor Sekian sering mengiring yang ganteng-ganteng ke kamarnya. 
Ia meraung sejadi-jadinya. Tak pernah ikhlas jika Kurniawan direnggut oleh orang lain dari sisinya. Ia mengejar ke mana Kurniawan pergi. Ia mencari-cari wangi tubuh Kurniawan. 
Ia mengendus-endus sosok Kurniawan di mana-mana. Dan langkahnya terhenti pada satu lorong sepi. Gelap malam telah tiba. Hanya lampur temaram. 
Di sana, Kurniawan dan seorang pria atletis berdiri saling berhadapan. 
“Kamu tahu isi hatiku, Kur?” 
“Soal apa?” jawaban Kurniawan selalu sinis. Tokoh cukup senang. Ternyata Kurniawan tidak hanya cuek kepadanya saja. 
Si pria atletis itu menatap buas pada Kurniawan. Kurniawan malah sebaliknya, menunduk saja. 
Pria atletis itu lebih tinggi sepuluh centi dari Kurniawan sehingga mudah menekuk apabila Kurniawan menolak ajakan itu. 
“Ayolah, Kur. Kamu tahu kita sangat terluka di sini. Have fun saja. Anggap ini sebagai pemanis kisah asrama kita!” 
“Aku tak suka itu,” 
“Kamu terima saja yang kuberikan, nanti kamu akan suka…,” pria atletis itu mengerling dengan jalang ke arah Kurniawan. 
Tampaknya Kurniawan akan luluh pada pria atletis itu. Tokoh tak mungkin bertahan dalam persembunyiannya terus-menerus. 
Ia harus bertindak sebelum kejantanan pria atletis itu menghujam halusnya bulu di tubuh Kurniawan. 
“Sabar saja, sayang…,” bisik pria atletis itu. Napasnya mengendus-endus di bagian leher Kurniawan. Kurniawan memejamkan mata. 
Tangan kanan pria atletis itu membelai wajah Kurniawan yang menengadah ke atas. 
Tangan kiri pria atletis itu membelai-belai dan meremas-remas paha Kurniawan. Bibir mereka hampir bertemu. 
Tokoh berlari sekuat tenaga. Ia tak akan membiarkan Kurniawan jatuh dalam permainan pria atletis itu. Ia mencintai Kurniawan karena ia cinta. 
Tak ada kata lain selain itu. Tak ada pengorbanan lain selain menghalangi orang lain berbuat jahat kepada orang yang dicintai. 
Tokoh melompat. Tinggi sekali. Menurutnya sendiri. Kedua tangannya berusaha meremas. 
Mulutnya terbuka lebar. Sekali hentakan, pria atletis itu berteriak histeris. 
“Kucing gilaaa!!!” pria atletis itu kesakitan. Zakarnya telah dicakar dan digigit si Tokoh, seekor kucing berbulu lebat, berbadan besar, penjaga lain di Asrama Nomor Sekian. 
Wajah Kurniawan pias. Ia seperti baru sadar dari sesuatu yang mengerikan. Dengan langkah terburu-buru ia meninggalkan lorong gelap itu. 
Ia merasa telah terhipnotis oleh temannya sendiri. 
“Kur…, tunggu,” pria atletis itu mengejar Kurniawan dengan tertatih-tatih. Kurniawan berlari sekuat tenaga. “Kurrrr….,” 
Jerit pria atletis itu menganga. 
“Lagi-lagi kamu yang menghalangiku!” bentak pria atletis itu pada si Tokoh. “Kamu tahu, pria tampan seperti itu susah diajak kencan!” 
Rasain! Teriak Tokoh dalam hati. 
Waktu itu adalah kesempatan berharga untuk Tokoh. Ia yakin sekali, mulai besok, atau kapan hati Kurniawan melunak, pria itu pasti akan sayang kepadanya!
Categories
Uncategorized

Cerita Pagi Ditodong Sales Asuransi

Pagi yang selalu menyenangkan. Oh, ayolah. Pagi itu hepi-hepi, belum mau terbeban dengan kesibukan yang berat.

Call center.

Pagi itu suka-suka mau ngapain, apalagi anak muda nggak punya kesibukan kayak kamu-kamu yang ngejar absen kantor. Mau bangun kesiangan boleh, mau nggak mandi seharian pun nggak apa – anjuran ini jangan ditiru ya! 

Pagi yang hepi ini dikejutkan oleh panggilan telepon dari area Jakarta. Pas tahu nomor 021, si anak muda ini girang bukan kepalang. Sebelum diangkat, pikirannya sudah melang-lang menjemput ilalang berembun.

Sejuk saja gitu. Dada sudah dag dig dug kira-kira siapa ni yang bakal nawarin kerjasama, atau telepon dari spondor mau ngundang lagi ke Jakarta, atau orang kaya nggak tahu kemanain uang lagi coba bersedekah, atau apalah.

Anak muda benar-benar berharap yang manis-manis saja. Giliran jari menggeser ikon tanda menerima panggian, suara manis itu langsung menyambar!

“Halo,” sapaku girang.
“Halo, selamat pagi. Betul dengan Bapak Bai Ruindra?” Suara cewek di seberang sana renyah. Aku tambah senang lagi. Pasti hasilnya akan baik banget. 
“Benar. Dengan siapa saya bicara?” 
“Saya… dari Asuransi… Kami sedang ada program baru yang cocok untuk Bapak…,” panjang kali lebar kali tinggi entah apa-apa entah ngomong apa entah penting nggak aku dengerin si cewek itu. Ngomongnya cepat sampai aku nggak bisa memotong pembicaraan.

Anak muda lagi pakai baju jadi terganggu dengan suaranya yang unyu-unyu. Dari mana cewek ini tahu program mereka cocok untukku, kenal pun kagak. Sampailah anak muda jadi pendengar terbaik di dunia. Mau diputusin begitu saja, kasihan.

Mau dicincang-cincang jadi sate menu sarapan dia itu manusia bersuara. Mau diapain juga banyak kasihannya. Luluh deh hati anak muda dirayu begitu saja. 

Tibalah pada pertanyaan yang menggereget, tentu setelah dia nyerocos program itu baik untuk pendidikan, hari tua dan sebagainya menurut asuransi itu.

Menurutku tidak. Aku jawab pekerja freelance, dia malah belum nyerah juga untuk meyakinkan bahwa program mereka mudah kok, bisa disetor minimal 5000 rupiah. Ogah! 

Aku balik tanya sama si cewek yang ngakunya paham betul kepribadian calon nasabah mereka itu. “Mbak tahu blogger nggak?” 
“Enggak, Pak!” 
Amit-amit keselek telor asin ni cewek. Hari gini nggak tahu blogger? Sibuk rayu nasabah sih! 
Rupanya masih belum nyerah juga si cewek entah cantik entah kagak itu. Tetap kekeh kalau aku bisa jadi bagian dari hidup menyenangkan mereka. Dia ngasih beberapa alternatif sampai akhirnya mentok soal Kartu Kredit. 
“Saya cuma pakai Kartu ATM, mbak!” 
Eh masih ngotot “Kenapa nggak pakai Kartu Kredit, Pak! Kan lebih mudah, lebih… haha hihi!” 
Anak muda ngantuk lagi di pagi hari. Si cewek itu telah berubah jadi sales Kartu Kredit. “Bapak cukup setor melalui Kartu Kredit, bisa belanja juga…”
Pagi ku telah tersihir. Sudah pula dijelaskan alasan nggak pakai Kartu Kredit.

Si cewek masih meraung-raung bahwa dengan asuransi dari mereka hidupku akan aman, nyaman, terlindungi. Dari Hongkong? Anak muda ke luar negeri saja belum pernah. 

“Saya di kampung mbak, nggak belanja pakai Kartu Kredit!” 
Skakmat. Cewek itu diam. 
Sebelum sambungan telepon terputus, aku tanya “Dari mana mbak dapat nomor saya?”
Eh jawabannya sangat memuaskan. “Itu rahasia kami, Pak. Kami hanya menawarkan program kepada nomor kontak yang terekomendasi!” 
Ya ela. Sudah lebih tiga puluh menit telepon masih tetap omongan sales itu sejahtera baginya. Pasti ni ada hubungan dengan hantu di kolong mbak Google yang nyongkel nomor teleponku sehingga sampai ke sales itu. 
Pagi ku jadi gundah-gulana. Ada kek yang benar-benar serius ajakin “kencan” beneran yang menghasilkan uang atau semangat.

Eh sales lagi. Dia lagi. Di mana-mana. Termasuk di warung kopi ini. Di depanku itu. Si cewek lagi rayu calon nasabah sampai berbuih-buih. Nggak cuma seorang, berganti-ganti sudah. 

Oh, jangan dekat-dekat deh walaupun kamu bermake-up tebal. Aku nggak mau dirayu kamu. Kamu gombal banget. Rayuanmu lama. Aku takut tergoda. Olehmu. Bukan program asuransi itu!

Baca Juga Gagal Move On dari Big Boss Descendants off the Sun

Categories
Uncategorized

Gagal Move On dari Big Boss Descendants of the Sun

ending Descendants of the Sun
Big Boss Descendants of the Sun – thejakartapost.com
Big
Boss
memanggil! Over!”

Dongeng
drama KBS 2, Descendants of the Sun yang diperankan oleh Song Jong Ki,
Song Hye Kye, Jin Goo, Kim Ji Won dan pemeran kenamaan lain, masih terus
berlanjut walaupun semalam drama ini telah usai tayang.


Spoiler yang
beredar bahwa sang kapten, Yoo Shi Jin, mati tidak terbukti. Drama ini berakhir
happy ending seperti yang diharapkan oleh penggemarnya.
Kapten
imut, Big Boss, sangat membekas dalam diri penggemar karena memang sangat
diakui bahwa drama prarecorder ini mampu mencapai puncak di 2016.


Descendants
of the Sun
satu-satunya drama yang mampu mempertahankan rating “naik tangga”
sampai episode terakhir.

Big Boss. Dia cerdas, lucu, misterius, tapi dia
memiliki banyak rahasia, dia akan menghilang, sulit dihubungi, dan kemudian
suatu hari, dia tak akan kembali! – Argus diperankan oleh David Mclnnis.

Ngomongin gagal move
on
dari Kapten Big Boss, tak hanya di dunia nyata yang unyu-unyu
oleh teriakan penggemar kepada idola mereka.

Kesuksesan drama Korea Selatan ini
menjalar ke dunia maya, salah satunya Twitter yang benar-benar lebih parah
gagal move on.

Tiba-tiba tersadari bahwa Twitter membubuhkan “tanda
cinta” kepada Kapten Big Boss pada setiap #DescendantsoftheSun. Ikon
khas Big Boss langung keluar otomatis begitu menggunakan tagar ini.

Biasanya, Twitter bermain aman dengan ikon-ikon tertentu seperti hari-hari besar keagamaan, kemerdekaan maupun tokoh penting.

Booming Kapten Big Boss yang terus-menerus menghajar microblogging ini setidaknya membuat Twitter down sesaat.

Rabu dan Kamis pukul 22.00 waktu Korea Selatan merupakan ajang terbaik untuk mencuit mengenai Kapten Big Boss yang memanggil Beauty melalui Handy Talky (HT).

Descendants of the Sun
akan terus menjadi trackrecord dalam pencapaian luar biasa sebuah drama.
Memang, di beberapa bagian, adegan dalam drama ini tidak bisa diterima oleh
logika.

Namun sekali lagi ini adalah drama, karya fiksi yang suka-suka penulis
mau mengarahkan ke mana. Secara garis besar, drama yang bergenre komedi
romantis ini cukup berhasil membuat penggemarnya luluh.

Sosok Big Boss
yang katanya nggak mungkin muncul dalam kehidupan nyata kemiliteran Korea
Selatan, bagi penggemarnya whatever dengan itu semua.

Big Boss Yoo Shi Jin
akan terus dikenang sebagai “pahlawan” oleh negeri ginseng. Song Jong Ki
kemudian menjadi “model” anak muda Korea Selatan yang bekerja mempromosikan
negaranya.

Gagal move on pada Big Boss tak cuma dirasa oleh
penggemar dunia hiburan semata. Pemerintah Korea Selatan bahkan menganakemaskan
drama ini sebagai bagian penting mempromosikan negara maju itu.

Whenever wherever you are – kutipan lagu Always
dinyanyikan oleh Yoon Me Rae
 

Lirik
soundtrack dari Yoon Me Rae terbukti benar. Di manapun dan kapanpun, sang
Big Boss melekat di hati penggemarnya.

Anda yang ngatain
penggemar drama Korea Selatan hidupnya mellow, colek deh drama
ini. Ini James Bond versi drama. Penuh taktik. Kemelut. Tahanan perang. Penculikan.
Perdagangan manusia. Perang. Obat-obatan. Perang saudara. Tahta dan kekuasaan. Harta
dan pengorbanan. Pangkat dan jabatan. Dan juga percintaan!

This
is Beauty! Over!
Categories
Uncategorized

Karena Masakan Ibumu Harga Diriku Tercabik

Begitu? Kau pikir setelah seharian menghabiskan banyak waktu di luar rumah aku tidak merasa lelah. Aku juga manusia, butuh istirahat lebih lama saat ragaku tak sanggup lagi menapaki kerasnya hidup kita. 
Ilustrasi.
Bukan hanya kau saja menguras keringat dalam mengumpulkan harta berlimpah keluarga kita. Aku termasuk salah satu manusia penting dalam hidupmu. Gelar dokter spesialis belum menjamin hidup kita bahagia tanpa campur tanganku. 
Klinik bersalin di depan rumah terbangun karena hasil keringatku seorang diri, waktu itu kau belum apa-apa. Kau masih pria ingusan, masih mendambakan kasih sayang ibumu, masih berani di bawah bayang ibumu.
Kusadari, kau telah lahir dari keluarga kaya raya. Semenjak kuliah kau sudah mengendarai kendaraan roda empat sedangkan aku masih jalan kaki mengelilingi kampus kita. 
Bersama teman-teman berwibawamu, kau tampakkan bahwa dirimu juga sangat gagah. Kalian bahkan tidak mengubris sekelompok gadis kampungan duduk di samping meja kalian, di kantin kampus kita waktu itu. 
Apalah untuk sekadar berhubungan, melirik kami saja kau tak sudi! 
Kini? 
Kau berdiri dan lebih gagah dari teman-teman sesama dokter karena wanita yang dulu tak kau sadari kehadirannya. Pertemuan kita memang sudah lama, wajah tampanmu tersohor sampai ke seluruh kampus. 
Banyak temanku memujimu dan ingin berkenalan denganmu waktu itu, tetapi kasta kita berbeda. Antara mobil mewah dan jalan kaki. Antara calon dokter dan calon guru. 
Aku sama sekali tidak menaruh hati padamu semasa kita satu atap di kampus yang sama. Selesai kuliah, wanita tidak dengan kulit lebih gelap darimu ini mendapat beasiswa ke luar negeri. 
Aku pun tidak mengingat rupamu lagi jika saja kita tidak pernah bertemu di bandara suatu sore. Kau menyapa, aku membalas. 
Setelah itu, hubungan kita terjalin saatku sudah selesai mendapat gelar doktor bidang psikologi pendidikan dan kau masih belum selesai pendidikan spesialis. 
Waktu tidak pernah menipu. Dibalik semua mahakarya indah yang terpancar dari tubuh dan auramu, kau menyimpan misteri yang sulit kupecahkan. 
Kau lihat sendiri penatnya tubuhku melayanimu setiap waktu. Pagi sampai sore hari menghadapi mahasiwa di kampus, malam hari aku harus merampungkan beragam jurnal ilmiah. 
Kau melayani pasien di waktu tak tentu, dan perjalananmu hanya menyeberang jalan tanpa perlu menyetir sampai menghadapi kemacetan. 
Dan begitulah, hampir setiap malam kau tidak pernah puas menerima pelayananku. Kau bahkan hafal jam berapa aku baru sampai di rumah. Menyiapkan makanan enak untuk menu makan malam dalam waktu singkat tidak mudah bagiku. 
Mungkin hanya perasaanku saja sebagai wanita menerima sifatmu yang semakin menjadi-jadi. Namun kau melakukannya berulang kali. 
Selalu, kau sisakan setengah makanan di piring lantas kau duduk manis di depan televisi atau memilih berkendara meninggalkanku seorang diri. 
Aku tidak pernah tahu ke mana langkah, karena aku tidak mau tahu. Pekerjaanmu seharusnya kembali ke klinik bukan membiarkan pasien diatasi perawat-perawat muda itu saja. 
Kau punya kontrol besar dalam kesembuhan pasien, dan aku pun juga mau peduli tanggung jawabmu itu. 
Di sarapan pagi pun kau ciptakan ulah yang sama. Padahal, hanya telor dadar maupun nasi goreng. Sarapan standar di pagi hari, mungkin orang lain bahkan restaurant juga demikian. 
Kau sisakan pula di meja makan, tanpa bicara, tanpa menunjukkan sikap menolak, kau langsung meninggalkanku seorang diri. 
Beda rasanya ketika kau undang teman-teman rupawan ke rumah. Kau mendikte untuk masak makanan kesukaan mereka. 
Kulakukan maumu tanpa protes walaupun kepalaku sudah tidak bersahabat. 
Dan lihat sifatmu? Kau makan semua hidangan bersama teman-temanmu sambil tertawa lepas. Padahal itu, masakanku juga. Tangan wanita ini juga yang meracik bumbu, menunggu matang, sampai teman-temanmu merasakan rasa enaknya.
Aku tidak habis pikir dengan sikapmu padaku. Saat ibumu berkunjung ke rumah kau malah memintanya memasak di dapur. Harga diriku sebagai istri seakan telah sirna. 
Mata sinis ibumu membuatku ingin lari ke kamar mandi, menyiram seluruh emosiku dengan air dingin. 
Dan ibumu akan mengatakan padaku, sebaiknya aku memanjakan dirimu sebagaimana dirinya mengistimewakanmu. 
Begitukah? 
Apa semua pria tampan di dunia ini seperti suamiku? 
Sebagian besar waktuku telah habis mengerjakan tugas yang teramat banyak. Sesekali aku harus membeli makanan karena aku tidak sempat memasak. 
Kadang, kau tidak pernah mengerti etika orang lelah bekerja. Meminta ini itu terkadang membawa emosi teramat parah. 
Pulang dalam lelah, aku malah menerima tatapan protes dari dirimu. Dalam diam kau letakkan makanan yang kubawa pulang, lantas kau pergi dengan mobilmu. 
Seperti biasa, besoknya ibumu datang ke rumah. Kau senang bukan kepalang saat ibumu masak makanan kesukaan kamu. 
“Makananmu tidak seenak ibuku!” katamu malam itu. Kepalaku mendadak berputar-putar. “Kau tidak bisa memasak seperti ibuku!” 
Sudah cukup aku bersabar. 
“Jangan pernah banding-bandingkan aku dengan ibumu! Kau mau makan masakan ibumu silahkan pulang ke rumahmu. Aku tidak peduli lagi dengan hidupmu. Mau kau lakukan apa terserah, kau mau bawa semua barangmu ke rumah ibumu silahkan, kau tidak mau pulang lagi ke rumah ini juga tidak masalah, kau mau cari wanita lain pergilah!” 
Sudah lama aku menahan emosi. Lihatlah, kau melongo di depanku. 
“Sayang, aku tidak bermaksud menyakitimu,” 
“Tidak kau sakiti? Berulang kali kau mencampakkan harga diriku, kau sisakan setengah makanan, kau ajak ibumu masak di rumah kita, kau cari makan di luar, mungkin juga kau sudah ada wanita simpan entah di kamar gelap mana!” 
“Tidak ada, aku tidak demikian!”
“Kau tidak demikian, menurutku kau demikian! Apakah aku berarti sebagai istrimu?” 
Kau diam. 
“Aku juga bekerja sepanjang hari, tidak hanya kau yang mengurus pasien di klinik kita. Aku lebih lelah dibandingkan denganmu menghadapi banyak orang. Aku juga mengerjakan semua pekerjaan rumah seorang diri tanpa kau bantu sedikit pun. Aku memenuhi kebutuhanmu sampai kau lupa bahwa aku masih hidup sebagai manusia bernyawa. Kau lelah, aku juga sangat lelah!” 
Aku sudah tidak selera menyentuh piring yang masih terisi penuh. Kali ini, kutinggalkan kau seorang diri di meja makan seperti kau tinggalkanku tiap malam. 
Kau sungguh tidak pernah romantis seperti aktor dalam drama. Wajahmu saja yang rupawan tetapi watakmu jauh dari itu. 
Malam ini hatiku sangat teriris. Rasa bersalah telah melanggar peraturan dalam ikatan perkawinan membuatku sangat terhina sebagai wanita berpendidikan tinggi. 
Tidak seharusnya aku membentakmu dengan kata-kata kasar, tetapi kau tidak pernah menghargai posisiku sebagai kekasih dalam hidupmu selama kita bersama. 
Kau masih mengagung-agungkan orang tuamu dan ketampanan yang kau miliki. Kerja kerasku mengumpulkan harta untuk menservis hidupmu agar terus berkuasa bagai angin lalu. 
Malam yang panas akhirnya menurunkan petir dan hujan lebat. Aku merebahkan diri di kursi memanjang ruang keluarga. Mataku menerawang ke langit-langit. 
Lampu berbentuk bunga mawar memancarkan cahaya temaram. Sesekali aku memejamkan mata. Tetap saja aku tidak bisa melupakan luapan emosi yang membuat suamiku terluka. 
Mungkin saja, kau belum pernah mendengar suara kasar. Keluargamu selalu mengajarkan kedamaian dan kelembutan, sehingga kau butuh perhatian lebih dari orang yang menyayangimu. 
Kali ini aku telah salah langkah!
Kau masih duduk menunduk di meja makan. Entah apa yang kau pikirkan. Aku tidak memberimu kesempatan membela diri lebih jauh. 
Barangkali kau punya alasan lain yang bisa membuatku lebih tenang. Barangkali juga kau butuh waktu merenung sebelum memutuskan baik buruk masalah kecil ini. 
Kita belum pernah bertengkar sekecil apapun selama usia pernikahan mendekati tahun kesepuluh, karena cita rasa masakan membuat hubungan kita bisa jadi renggang. 
Aku lelah memikirkan ini. Kupejamkan mata dan mencoba membayangkan sesuatu yang indah-indah saja. Pikiranku masih tidak tenang sebelum meminta maaf kepada suamiku. 
Aku bangkit dan membuka mata. Rupanya sudah gelap gulita. Listrik negara sudah mati lagi di kota kami yang semakin metropolitan. 
Niatku menghampirimu yang masih duduk di meja makan terhenti sampai di sini. Kurasa, perkara maaf itu akan menjadi sangat sulit bagiku. 
Aku meraba-raba dalam gelap, berharap menemukan sesuatu yang bisa menyala. 
Tanganku memegang sesuatu yang keras, memanjang, hatiku sudah tidak karuan, menerka-nerka, benda apa yang berada di samping kananku, padahal sebelumnya kosong tidak terisi. 
Kuremas dengan erat. Gempal. Berotot. Bereaksi. 
Kubelai, malah berubah digerak-gerakkan. Aku menduga-duga. 
Kuremas sekali lagi dengan sangat erat.
“Auw! Jangan begitulah, sakit itu!” kau berteriak sangat kencang saat pahamu berhasil kugenggam sampai jemariku merasakan otot keras berkat latihan kerasmu selama ini. Secepat itu kau duduk di sampingku tanpa kusadari. “Tidurmu nyenyak sekali,” 
Ah, kupeluk erat tubuh dalam balutan kaos oblong tipis itu. Sudahlah, mungkin kita harus sama-sama mendalami isi hati masing-masing dalam suasana gelap ini.
Categories
Uncategorized

Harumnya Cinta dari Janda Perawan

Kisah cinta seorang janda. Janda perawan. Janda masih perawan. Jatuh cinta dan menikah adalah impian semua orang namun begitu ditinggal pergi, semua jadi sedih. Wanita mana yang mau ditinggal suami?
Ilustrasi.
Impian menjadi seorang istri sudah bukan rahasia lagi akan dirasakan oleh semua perempuan di tanah basah ini. Bulan-bulan yang dilalui penuh hujan tidak menyusut mimpi-mimpi dan harapan gadis dengan hidung mancung dan mata sipit, sedang duduk bersila di teras rumah mungil orang tuanya. 
Rumah itu masih kategori rumah lama, dibangun di atas tanah warisan kakek dari perempuan yang sudah melahirkannya, dengan tangga kayu di pintu depan. 
Sudah dapat dibayangkan arsitektur rumah ini, rumah panggung dua kamar yang sengaja dibangun untuk menghindari banjir yang meluap tiap tahun musim penghujan lebat. Kebanyakan rumah di kampung ini, semua seperti ini. 
Di bawah rumah ini ada lesung padi, tapi jangan salah, lesung itu bukan lagi untuk menumbuk padi menjadi beras tetapi menumbuk beras menjadi tepung. 
Tepung beras dengan banyak kegunaan selalu ditumbuk jelang dua lebaran, lesung itu di bawah kaki lentik gadis ini terayun.
Gadis itu mengepak selendang sampai ke bahu, ia melanjutkan merajut anyaman ilalang kering jadi tas cantik. 
Pernah beberapa bulan lalu kampung mereka ini kedatangan instruktur ilalang, begitu mereka menyebutnya, karena dua orang instruktur itu mengajar merajut ilalang kering jadi tas dan kerajinan tangan lainnya. Jadilah gadis ini sibuk sekarang, membuat tas desain tangannya sendiri. 
Gadis ini juga menembang beberapa lagu bertema cinta. Kasih sayang. Lelaki pujaan. Tentu saja pernikahan yang tidak lama lagi akan ia jalani bersama pujaan hati membuat ia sangat bahagia. 
Gadis ini berniat merajut anyaman tas berbentuk hati, kali saja dapat dihadiahkan untuk pemuda yang sebentar lagi akan bersanding dengannya di pelaminan. 
Lucu memang. Ia pasti tahu pemuda itu tidak butuh tas anyaman ilalang kering ini, tas ini untuk pasa gadis. Hanya untuk pada gadis. Ada-ada saja. 
Senyumnya berkembang laksana sinar mentari yang mengintip dari balik pohon kelapa di samping kirinya. Di depan, jalanan setapak yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua terlihat sangat ringkih. 
Mungkin usianya sudah sangat tua, dan sangat mendambakan diaspal rapi. Semenjak ia sadar kehadirannya dibutuhkan di dunia ini, jalan itu sudah begitu. 
Di seberang jalan padang ilalang terhampar luas, sudah banyak berkurang semenjak warga dapat menganyam ilalang menjadi tas-tas cantik. 
Udara segar masuk ke aura penciumannya. Suasana kampung tidak jauh berbeda, hanya ada sedikit tambahan listrik menerangi kampung yang sekian lama gelap gulita di malam hari. Dan di sudut jalan depan musalla kecil kampung ini sudah dibangun sumur bor setahun lalu. 
Gadis ini, seperti gadis lain, sering mencuci baju di sana. Bahkan ada pula yang menjadikan air minum kalau air sumur di rumah sendiri tidak jernih. 
Gadis ini, namanya Keumala, jika tersenyum lesung pipit di kedua pipinya merekah indah. Semakin mempercantik Keumala yang saban hari duduk menganyam ilalang kering setelah lulus sekolah dua bulan lalu. 
Keumala patut bangga, lulus sekolah menengah atas sudah prestasi paling gemilang di kampung petani ini. Kedua orang tuanya petani layaknya warga kebanyakan. Hasil panen empat bulan sekali kadang dijual, sisanya disimpan dilumbung padi keluarga. 
Sekali waktu akan digiling dengan pabrik penggiling di kampung tetangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 
Keumala masih gadis belia, menurutnya sendiri. Namun ia sangat bahagia, pemuda kampung seberang sungai dengan gagah datang menemui orang tuanya bulan lalu. 
“Saya meminang Keumala dari Mak dan Ayah,” ujar pemuda tampan, di mata Keumala itu, tegas. 
Lamaran diterima. Adat kebiasaan yang menuntut agar tidak berlama-lama pernikahan, membuat Keumala sangat gugup menghadapi datangnya lusa. Hari ia tidak akan sendiri lagi. Ia akan jadi milik orang lain, pemuda itu, pemuda idaman hatinya, kekasihnya, Ali Usman. 
Nama yang sangat gagah, seperti dua khalifah Ali bin Abi Thalib yang digelari Singa Padang Pasir sewaktu Islam berjaya di bumi Arab. 
Dan Usman bin Affan seorang khalifah yang mampu menyatukan keping-keping ayat Al-qur’an yang tercerai-berai jadi satu yang dinamai Mushaf Usmani. Keumala bangga, pemuda itu miliknya. Segagah kedua khalifah Islam maha kaya! 
Burung berkicau di atas rumbia rumahnya. Burung itu tidak membawa kabar seperti pepatah lama, kabar burung justru datang dari seorang kerabat yang tergopoh-gopoh menghampirinya dengan napas masih tersengal-sengal. 
Kabar yang dibawa bukan sembarang berita, kabar itu sangat dekat dengan Keumala, dengan Ali sang tercinta. 
“Ali sakit keras,” pembawa kabar berkata sambil lalu, melintasi Keumala terus menjumpai orang tuanya di dalam rumah panggung mereka. 
Keumala dibayang-bayang semu, antara luka dan sedih. Gadis itu meninggalkan anyaman ilalang kering yang tinggal sedikit lagi usai dirajut. Keumala berlari ke dalam rumah, berdiam diri di kamar beberapa saat. 
“Saya tidak akan meninggalkanmu sendiri di dunia ini, saya akan menikahimu, membahagiakanmu!” Keumala percaya kata-kata itu bukanlah bualan siang hari. Ali bahkan sangat serius dengan ucapannya. 
Dari sorot matanya terlihat tiada ragu sedikit pun. Pemuda itu patut menyandang dua nama besar dalam dirinya. Pemuda itu berani dan mencintainya penuh kasih. 
Tapi, benarkah Ali sakit? Seberapa kuat ia bertahan dengan sakitnya? Bisik Keumala dalam remang hatinya. 
Pagi yang tadinya indah sekarang suram di mata Keumala. Ia masih belum percaya Ali sakit keras. Kemarin pemuda gagah itu baru mengantarnya Labu muda hasil berkebun. 
Pemuda itu tidak mungkin sakit, Keumala harus melihatnya sendiri!
“Kami tidak beralasan menunda akad nikah lusa, Ali benar-benar sakit,” pembawa kabar masih berbicara dengan orang tua Keumala. 
Raut wajah lelaki separuh baya itu tidak tenang. Ayah dan Mak Keumala masih ragu akan kabar itu, lebih-lebih Mak. 
“Bukankah banyak pemuda sekarang mengelak dan mengulur waktu agar lama bisa menikah?” tambah Mak sedikit emosi. Prasangka Mak terlalu berlebihan. 
“Saya malah ragu dia bisa mengaji dan shalat dengan benar atau tidak,” Mak mencibir. 
Keumala tidak terima omongan Mak, ia sangat yakin Ali bisa mengaji dan shalat dengan benar. Dulu, ia malah diajari panjang pendek baca Al-qur’an oleh pemuda itu. 
Mak sangat keliru menilai calon menantu. Keumala yang mengenal Ali bukanlah Mak!
“Apa sudah kau pastikan di ke KUA?” maksud dia dari omongan mak adalah Ali. Mak suka dengan Ali, kesopanannya jika berhadapan dengan orang lain nilai tak terhingga harganya. 
Kenapa juga Mak masih ragu dengan pemuda itu? 
Keumala membuka mulu ingin menjawab pertanyaan Mak, namun ia rakut Mak malah tambah emosi. Ia kembali mengurung niatnya. 
Mungkin Mak lupa Ali menjemput Keumala seminggu lalu untuk ke KUA kecamatan, mengikuti wejangan sebelum pernikahan. 
Tata cara dalam berumah tangga, doa-doa penting termasuk doa senggama dan doa mandi wajib, adab jadi suami istri, hafalan dalam shalat dan mengaji. 
Jika ngaji belum bisa akan diberi waktu belajar bahkan tidak tertutup kemungkinan akan diajari juga. 
“KUA sudah memberikan sertifikat pada Keumala dan Ali, Mak Cik bisa tanyakan ada Keumala kalau saya dianggap berbohong,” 
Keumala lega mendengar lelaki tua pembawa kabar memberi alasan. Ternyata Mak tidak puas. Menarik Keumala keluar kamar lalu mengintrogasi seperti telah berbuat kesalahan besar. 
“Benar, Mak! Kami sudah mendapatkan sertifikat itu, Bang Ali malah lebih bagus mengaji dari Mala,”
“Kau masih membela dia? Mana sertifikatnya? Kau pikir menikah cuma senang-senang saja? Tidak bisa mengaji dan tidak shalat kau ajarkan apa nanti pada anak-anak kalian?” 
Dalam panik Keumala berlari ke kamar mencari sertifikat penting itu. Dalam laci lemari pakaian, di antara buku-buku, tidak ada. 
Keumala pias, ia sangat yakin sertifikat itu ada disini,di dalam kamar ini. 
“Tidak ketemu kau bilang?” Mak naik pitam. Amarahnya sampai ke ubun-ubun. 
“Bilang pada keluarga sana, kami tidak terima alasan, masalah tidak ada sertifikat saya sendiri yang akan mendengar dia mengaji dan hafalan shalat. Pernikahan tetap ada lusa!” 
“Jangan begitu, Mak,” sela Ayah, “Kita tidak tahu kebenarannya, sebaiknya kita tengok dulu Ali ke rumahnya,” 
“Saya tidak peduli! Berani melamar putri saya, berani juga menjawab akad nikah lusa!” Mak melangkah penuh emosi ke dapur. 
Perkataan Ayah dianggap angin lalu. Ayah memohon pada pembawa kabar bergegas pulang. 
Ali benar sakit. Ayah sudah menjenguk ke rumahnya, Mak ngotot hari ini ada pernikahan. Sanak saudara jauh sudah berdatangan. 
“Kita yang ke sana, menikahkan Keumala dengan laki-laki yang pura-pura sakit di rumahnya!” 
Mak tidak main-main. Ayah terpaksa ikut bersama kerabat lain. Keumala ditinggal di rumah dalam penuh tanya dan cemas. Ia tidak menyalahkan Mak, juga tidak Ali. 
Mak mungkin benar, berbagai persiapan sudah disiapkan menyambut pernikahan putrinya. Menghias rumah, mengundang rekanan dan kerabat jauh dekat. Memasak untuk tamu undangan. Pelaminan sudah disewa dan terpasang di ruang tengah. 
Kamar Keumala sudah berkasur empuk, juga rumah yang sudah di cat dengan warna putih. Warna suci tanda ada kehidupan baru. Wajar Mak tidak menerima, tapi Ali benar sakit, Ayah yang mengatakannya. 
Keumala menunggu. Ia sangat gundah. Pikiran kacau merasuki akal sehatnya. Ia ingin menyusul tapi tidak mau memperkeruh keadaan. 
Ia berdiam diri di rumah juga bukan waktu yang tepat, memandang pelaminan bisu tanpa kedua pengantin, rumah berhias, tikar pandan di gelas di lantai yang biasanya dibiarkan tak beralas. 
Hatinya miris, apalagi masuk ke kamar dalam suasana kamar pengantin. Dulu tidak ada kasur, sekarang sudah tersedia kasur bersprei bunga-bunga kecil warna merah jambu. Warna cinta! 
Tengah hari rombongan Mak pulang. Keumala bergegas menghampiri. Mak tidak ada di tengah-tengah kerabat. Keumala bertanya. 
“Sudah dijawab, Mala. Ali sudah jadi suaminya sekarang,” mendengar itu Keumala terharu. 
Perempuan muda sepupu Ayah terisak, “Dia berbaring tidak bisa bangun, cuma sebentar duduk waktu menjawab akad nikah. Tega sekali orang yang memaksa pernikahan ini!” 
“Maksudnya apa?” Keumala tidak puas. 
“Mala, Ali sekarat. Dia sakit keras, sekarang sudah dibawa ke rumah sakit,” 
Keumala tidak bisa berpikir jernih. Bergegas ia menyusul. Penuh harap, penuh cemas dan kecewa. 
Keumala tidak tahan mendengar degup jantung yang berlari sangat kencang, sekencang motor yang ia tumpangi ke rumah sakit di kabupaten. 
Ayah menyambut dengan pelukan. Mak duduk diam di lantai keramik putih. Keumala tidak menyapa. Ia juga tidak marah, ia kecewa dengan sikap Mak yang tidak mau mendengar. 
Coba kalau Mak mau sedikit bersabar tidak akan terjadi pernikahan seperti ini. Pernikahan itu bahagia, penuh tawa, penuh suka. Keumala yang menikah bukan Mak! 
Kabar burung selalu saja tidak memihak pada Keumala. Nantti malam Ali akan di operasi, hernia yang dideritanya sejak kecil sama sekali tidak pernah tersentuh alat medis. 
Selama ini hanya pengobatan alternatif kampung, itu pun tidak tahu penyakit yang sedang diderita. 
Keumala terpaku. Ali tidak pernah menyinggung sakitnya. Keumala tambah kecewa. Pemuda itu sangat gagah di matanya. 
Mungkin ada pertimbangan lain Ali tidak bercerita tentang ini. Keumala menerima dengan lapang dada, bersabar akan apa yang terjadi nanti malam dan besok. 
Keumala terbangun, pusara di depan matanya belum kering sepenuhnya bahkan sebagian pun belum. Ali baru disemanyamkan kemarin karena hernia kronis tidak dapat tertolong lagi. 
Mata Keumala kosong, basah, wajahnya pucat, ia telah melewati hari yang sangat panjang penuh airmata. Ia lelah. Lelah sekali.
Dalam waktu sebentar saja, ia sudah menjanda. Bukan ini yang ia harapkan. Ia ingin bahagia dengan kekasih hati. Menikah dengan bahagia. Bersama dengan bahagia. 
Untuk apa pelaminan? Untuk apa kasur bagus? Untuk apa kerabat datang beramai-ramai? Ali tidak akan pernah duduk dan berbaring bersamanya di sana. 
Ali berbaring di tempat seharusnya setelah derita yang mungkin ia rasakan semenjak kecil. Ali masih mudah, belum genap dua puluh lima tahun. 
Tidak ada salam perpisahan dari pemuda tercinta ini. Ia sudah menjanda, dalam usia muda, sembilan belas tahun, di hari kedua pernikahannya. 
Categories
Uncategorized

Dialog Brondong Simpanan

“Hidup kamu enak, semua disiapin orang tua!” Kata siapa? “Aku yang lihat sendiri, semua kebutuhanmu tersedia. Kamu butuh tablet terbaru, hari ini pun kebeli. Kamu butuh smartphone model terbaru, jam segini pun langsung kebeli. Kamu butuh baju, celana, jam tangan, sepatu, dengan mudah Kamu dapatin!”
Ilustrasi.
Cerewet banget cowok ini? “Aku heran, kehidupanmu nggak ada cacatnya di mataku sebagai penikmat masa remaja!”  Dari kacamata cowok kerempeng kayak kamu saja!
“Belum lagi fisikmu yang gagah. Kamu suka main bola, suka membentuk tubuh di gym tiap malam, suka berenang di minggu pagi, suka lari di pagi hari. Kamu benar-benar cowok sempurnalah!” 
Sempurna? “Jelas sekali. Karena kamu sempurna itu, cewek mana yang berani tolak ajakan ke warung kopi sama seorang lelaki idaman!” 
Dulu pernah, ditolak. Kamu saja tidak pernah tahu hatiku yang pernah patah arah karena seorang cewek menolak cintaku. Cowok yang hanya melihat kelebihan orang lain sepertimu saja tidak akan peka terhadap hal-hal sensitif dalam hidupku. 
“Ada yang tolak? Kurasa nggak pernah. Kamu nggak perlu berbohonglah, cewek tercantik di SMA kita sudah pernah kamu kencani semua. Cewek kelas sepuluh? Sebelas? Kakak kelas?” 
Semua sudah, yang tercantik! “Nah, apa kubilang. Semua cewek pasti mau sama kamu!” 
Kamu tidak tahu ‘kami’ berbuat apa. Aku mengajak cewek-cewek itu jalan biar kegagahanku diakui semua kaum hawa di sekolah kita. 
Cewek-cewek itu kujemput, berjalan di remang malam, duduk di pojokan warung kopi berfasilitas internet gratis yang bersemak di tanah harum bunga Cempaka ini, cewek-cewek itu merajuk minta diperhatikan tingkah polahnya, aku diam sampai kopi panas menjadi dingin dan tinggal bekas di cangkir putih. 
“Kamu pacari semua cewek cantik itu, kan?” 
Menurutmu? “Kupikir iya, kupikir juga tidak. Kulihat, mereka jadi berubah menjauh setelah kencan sama kamu!” 
Benarkan? Kamu tidak tahu apa yang ‘kami’ lakukan. 
“Tapi tetaplah, kawan. Pesona dalam dirimu tiada tandingnya!”
Hahaha, si kerempeng ini banyak kali cakapnya!
“Kamu ajak mereka ke rumah?” 
Pemikiran apa itu? Apa kata orang tuaku? 
“Otak mesumku, kalian pasti berbuat itu!” 
Itu apa?
“Ya itu, wajahmu bukan tampang penipu, kawan!” 
Aku memang bukan penipu. Kujemput cewek-cewek cantik itu, tak lebih satu jam kuantar kembali setelah menghabiskan waktu dalam raga tak bersuara. 
Kamu tahu kenapa? Cewek-cewek cantik itu jenuh berhadapan dengan pendiam sepertiku. 
“Aku ingatin, kawan. Kamu bisa kena karma kalau macam-macamin cewek gebetanmu itu!” 
Kamu tahu apa tentang macam-macamin itu? Cewek cuma satu macam. Kuperbanyak macam jadi terbelah berkeping-keping!. 
“Ntar bunting mereka!” 
Bunting? Ah, makin kacau saja pemikiran si kerempeng ini. Asal kamu tahu saja, setelah kuantar ke depan pintu rumah dan cewek-cewek cantik itu masuk ke dalam dengan raut wajah kecewa karena tidak kukecup. 
Aku berlari ke tempat lain, yang tidak ada seorang pun tahu selain aku dan ‘mereka’ yang ingin mengambil sisa kegagahan dalam diriku. Aku dan ‘mereka’ membuat episode selanjutnya tidak kamu selidiki lagi. 
“Ah, kamu mudah saja. Mereka bunting, kamu tinggalin, siapa suruh mau diajakin berbuat itu!” 
Itu lagi. Itu apa?
“Aku yang setia sama satu pacar saja tidak sering-sering amat berbuat itu!” 
Kamu yang berbuat yang dimaksud dalam kata-katamu, kerempeng. Kamu ketahuan sudah menggauli pacarmu yang masih kelas sepuluh SMA kita. 
“Hidupmu enak, mudah saa dapatin cewek dan mudah pula mainin itu mereka!” 
Aku tidak pernah memainkan itu cewek-cewek cantik yang kamu maksud. Cewek-cewek cantik itu kuantar pulang secara baik-baik, seperti kujemput dengan sopan pula sesuai perjanjian karena aku tidak akan mengingkari janji. 
Tidak kamu lihat raut kecewa cewek-cewek cantik itu di pagi hari? Cewek-cewek cantik itu berpaling dariku setelah minum bersama di warung kopi kesukaan kami. 
Cewek-cewek cantik itu berubah tidak memedulikanku kami mengadakan kencan yang tidak kuingini terjadi. 
“Karena mereka sudah merasakan tubuhmu yang macho!”
Segitunya pemikiran si kerempeng ini! 
“Atau karena servismu tidak sedahsyat goyanganku!”
Parah benar si kerempeng ini!
“Makanya, kamu harus belajar dulu sama yang lebih berpengalaman. Fisikmu boleh rapi menawan, tapi permainanmu belum tentu sehebatku!” 
Tahu apa kamu, kerempeng? Kamu lebih berpengalaman? Katanya tidak sering kamu mainin tubuh pacarmu!
“Karena mereka ninggalin kamu, kan?” 
Cewek-cewek cantik itu benar meninggalkanku setelah kencan sesaat. Ada yang tidak pernah kamu ketahui, banyak ‘mereka’ yang lain mengejar permainan yang kamu ragukan dari fisikku. 
Aku gagah secara postur tubuh, aku tak kalah berang saat bermain di antara dua paha!
“Ah masa, mereka menjauh kok!” 
‘Mereka’ yang kumaksud bukan cewek-cewek cantik yang kukencani, kerempeng! ‘Mereka’ adalah mereka yang tak terdefinisi dalam hidupmu.
“Jangan sampai kamu kecewa nggak laku-laku sampai tua!” 
Tidak laku? Kamu yang bilang sendiri kehidupanku mewah. Kamu tahu? Karena aku laku sehingga aku hidup mewah di remaja kelas sebelah SMA. 
Kebutuhanku tercukupi karena aku laku bagi ‘mereka’ yang tidak cantik seperti cewek-cewek yang ingin berkencan denganku. 
Semua kebutuhan kubeli sendiri karena aku laku setelah mengantar cewek-cewek cantik itu yang ingin mengencaniku ke rumah masing-masing. Dan aku, menjumpai ‘mereka’ yang kamu tidak ketahui identitasnya. 
“Kamu tidak bisa setia sih!” 
Anggapanmu, kerempeng! Aku setia dalam arti tidak sebenarnya bagiku sendiri. Kesetiaanku tidak ada dalam kamus hidupmu. 
Aku setia pada ‘mereka’ yang kukencani setelah cewek-cewek cantik sekolah kita kuantar pulang. Memang aku berganti setia, paling tidak masa itu berganti setelah aku bosan atau setelah ‘mereka’ tidak mau lagi memenuhi materi yang kumaui. 
‘Mereka’ memberi sisa penghasilan untukku, kerempeng! Banyak sekali sampai aku tidak mampu menyimpan di tempat tertentu karena takut orang tuaku curiga. 
‘Mereka’ memberi karena aku juga memenuhi kebutuhan ‘mereka’ setiap saat ‘mereka’ butuh. 
‘Mereka’ buas bagai serigala. ‘Mereka’ menyedot habis semua yang kumiliki sampai aku terkapar tak berdaya. 
‘Mereka’ memakan semua hak milikku yang seharusnya tidak kuberikan kepada ‘mereka’ yang kesepian. 
Aku bosan sama cewek-cewek cantik sekolah kita yang memanfaatkan fisikku tanpa memberi cinta. Aku butuh kasih sayang yang tidak bisa diberikan oleh cewek-cewek cantik yang sering mengajak kencanku. 
Aku butuh lebih banyak materi agar hidupku setara dengan kalian di sekolah kita. Aku pun sudah merasa nyaman menjadi diriku saat ini, semua inginku terpenuhi. Termasuk hasrat mendekap tubuh yang membiayai materi dalam nyawaku hingga badan kami berkeringat. 
“Nanti malam ada yang ingin kamu kencani lagi? Kuharap kamu bisa setia, cukuplah berkelananya. Jangan pula kamu buang-buang keringat untuk banyak cewek!” 
Tidak akan kubuang, kerempeng. Karena aku ‘sedang’ setia pada orang yang akan menjemputku sebentar lagi. 
“Sekolah belum usai kamu sudah punya janji lagi? Berhentilah bolos sekolah, kawan!” 
Kamu tidak tahu. ‘Mereka’ butuh. Dan aku juga butuh. Lihatlah ke seberang jalan itu! Ini hari Sabtu, di mana dia tidak mengerjakan tugas dari pekerjaan yang membayar gajinya. 
Dia bersandar pada mobil hitam mengilap. Memakai kemeja lengan panjang warna abu-abu dilipat sampai siku dan memasukkannya ke dalam celana jeans ketat yang membentuk pahanya. 
Sepatu hitam tak kalah mengilap dan runcing seperti Aladin. Rambutnya disisir rapi dan dibelah tengah. Kacamata hitam yang dipakainya menyamarkan bola mata biru kesukaanku. 
Aku berangkat, kerempeng. Pelukannya lebih dahsyat dibandingkan mendengar letupan kata-katamu. Dadanya yang keras akan segera beradu dengan dadaku yang tak kalah berotot. 
Aku akan berbaring di sampingnya dan dia di sampingku. Mungkin – seperti yang sudah-sudah, aku akan naik ke atas tubuhnya dan dia akan merengkuh tubuhku. Aku akan membelai manja tubuhnya yang kokoh dan dia akan membalas mengecup tubuhku. 
Aku akan menaiki tubuhnya yang telungkup dan dia pun akan melakukan hal yang sama saat ragaku telah mencapai kenikmatan batin sesaat. 
Kami sudah lama melakukan itu, kerempeng. Aku setia padanya, sampai dia berhenti menyisakan materi untukku!
Categories
Uncategorized

Niat Ngeblog, Master Blog dan Blogger Paid View

Ngomongin ngeblog sudah
wajar saat ini. Blog kamu apa ya? Berapa DA blog kamu? PA berapa? Dan seterusnya.
Jarang banget ada yang nanyain tulisan “terbaik” dari blog kamu
yang mana? Tulisan terpopuler dari blog kamu yang mana? Tulisan paling
bermanfaat dari blog kamu yang mana? – misalnya.
Menulis blog.

Orientasi
ngeblog sudah bercabang-cabang. Ada yang benar-benar nulis untuk
kesenangan. Ada yang nulis karena tuntutan pekerjaan. Ada yang nulis supaya
dapat uang banyak. Ada pula yang blognya cuma berisi artikel titipan.

Sebenarnya,
ngapain sih kamu ngeblog? Ini nih yang mesti diluruskan. Jangan
sampai saat membangun diskusi mengenai niat ngeblog, kamu sudah jetlag
duluan. Fine, jika niat ngeblog kamu karena hobi menulis dan
menyalurkan bakat.

Nggak masalah kok asalkan kamu nulisnya rutin. Tulisan
apa ya sesuaikan dengan passion kamu menulis. Kebiasaan dalam diri kamu.
Kisah jalan-jalan kamu. Kisah inspiratif di sekiling kamu. Terserah mau nulis
apa.

Asalkan nggak ngeblog sebulan sekali. Paling parah malah nggak
dirawat lagi sampai waktu lebih dari sebulan. Tetapi tetap bangga bahwa, saya
blogger!

Definisi
blog menurut saya adalah rumah berbentuk maya. Kunci pintu blog itu ada di kamu
bukan di saya atau pembaca setia tulisan kamu. Kamu bebas mau buka kunci kapan
saja. Kamu bebas mau ngisi artikel cabul atau curhat colongan siang bolong.

Terserah
kamu mau pasang foto cuma pakai underware atau berbusana lengkap bahkan
pakai cadar segala. Mau tulisan satu paragraf berisi lima baris, itu hak kamu. Asalkan
konsisten memasukkan “barang” ke rumah kamu sampai ke sudut-sudut agar tak
berdebu.


Oh, kamu serius kok ngeblog tetapi cuma blogwalking
doang. Ada blogger yang curcol soal kucing bunuh diri, buru-buru
kamu klik lalu komentar. Itu nggak cukup lho. Rumah orang kamu kunjungi
tetapi rumah sendiri nggak kamu bukain pintunya. Terus, kamu nginap
di mana?

Aku blogger profesional lho, dapet duit banyak dari blog! 

Begitu
yang dinamakan dengan master blog? Saya sih nggak paham betul
yang mana master yang mana nonmaster. Saya cuma tahu sarjana itu
tingkat strata satu dan master itu strata dua.


Master blog? Katanya
sih mereka yang telah malang-melintang di dunia blog dan dapat
banyak uang dari blog terutama dari Google Adsense.

Lantas, bagaimana dengan
anak kemarin sore yang ngeblog copy paste artikel dari blog lain
namun mendapatkan uang berjibun dari Google Adsense, tak kena tilang pula.

Apakah
mereka juga master blog? Kerjanya cuma semalam doang dengan copas
sana sini, langsung dapat ribuan sampai jutaan klik.

Secara
pribadi, master blog di mata saya adalah blogger yang profesional dalam
arti sebenarnya. Tulisan yang ada di blog master ini murni buah
pikirannya.

Semua konten dalam blognya adalah hasil survei panjang. Pengalaman ngeblog
juga bukan sehari dua hari.

Ilmu HTML dasar setidaknya paham, paling nggak tahu
ubah template blog dari pihak ketiga, atau bisa alihkan blog gratis ke
berbayar dengan pengaturan di setting blog dan provider penyedia layanan.

Belum
lagi bicara SEO, Konten setema dan lain-lain. Jika belum sampai ke taraf ini, stop
deh
ngatain diri master blog!

Dan jangan pernah lupa, blogger itu penulis
maka blogger menulis. Tanpa menulis apakah benar disebutkan blogger? Bahkan sampai
ada tingkatan master pula!

Bagaimana dengan aku yang dapat ratusan juta dari Google Adsense?
Master cari uang benar.
Master blog belumlah sampai. Banyak cara mendapatkan uang dari Google
Adsense dengan beberapa manipulasi sehingga klik bisa terjadi sendiri, atau
menempatkan iklan di bagian-bagian strategis, atau bermain SEO yang “dilarang”
Google.

Mau konten bermanfaat whatever. Mau pembaca betah peduli amat
yang penting banyak klik. Kalau ditanya soal konten yang disukai Google,
misalnya, si master ini akan gagap dan galau tingkat tinggi.

Banyak
jalan menuju Roma, banyak jalan pula mendapatkan penghasilan dari blog tanpa
perlu embel-embel master blog atau sejenisnya. Dunia blogging ini
bukan perguruan tinggi yang “menjual” titel untuk dapat pekerjaan.

Kamu mau
bertahan di dunia blog, perbaiki dan perbaharui konten, update rutin
sesuai jadwal yang kamu inginkan. Titel master blog nggak ada apa-apanya
jika cuma menghujat, memaki, membully blogger lain yang update blog
hampir tiap hari.

Nah kamu, kok repot banget nyari ide? Di sekitar
kamu banyak kok. Tulis seringan atau seberat sesuai gaya bahasa kamu. Posting.

Beres. Jangan salah, satu paragraf saja tulisan kamu jika bermanfaat untuk
pembaca lebih bagus dari pada ribuan paragraf namun mendaya pembaca untuk klik
ke halaman selanjutnya untuk membaca artikel utuh!

Lupakan
mereka yang punya titel master blog berdompet tebal. Selain mereka ada
pula blogger paid view. Konten di blog blogger ini hampir semua titipan.
Saya juga nggak bersih dari konten titipan, ada beberapa dengan label Review.

Paling nggak cukup untuk pulsa internet. Tetapi mereka yang cuma ngandalin
kiriman artikel dari sponsor, benar itu namanya blogger sejati?

Atau mereka
yang cuma nunggu ada sponsor minta ditulis sesuatu dengan titipan hyperlink,
benar blogger itu ikhlas ngeblog?

Blogger paid view
ketar-ketir saat Google mengeluarkan aturan baru. Blog premium yang telah
dibangun dengan sepenuh cinta bisa-bisa hilang dari peredaran hanya karena satu
link hidup saja.

Google membatasi dofollow untuk review sebuah produk. Aturan
Google nggak ada yang tahu “seketat” apa dan “kapan” berlaku hukuman ini. Tahu-tahu
blog yang telah memiliki rangking Alexa kurus sekali hilang dari mesin pencari.

Naif
memang blogger sekarang ini. Di lain kesempatan koar-koar nggak mau
terima paid view. Di kesempatan lain terima saja dengan senang hati. Termasuk
saya di barisan kedua.

Namun apakah benar “kita” bagian ini? Coba deh cek
lagi blog kamu. Apa benar di halaman utama yang berisi sepuluh lebih artikel
itu tulisan kamu atau titipan? Jika satu dua artikel titipan, bolehlah. Jika semua?

Ngeblog itu modalnya
ikhlas. Soal rejeki bukan saya yang bisa menjelaskannya. Rejeki saya selama ngeblog
boleh kamu colek di Portofolio.
Rejeki kamu dari ngeblog?

Buat tantangan. Lupakan soal lurus-melurus niat
ngeblog. Sudah ada rumah dirawat saja. Tutup telinga soal master blog. Kamu bakal
jadi master suatu saat nanti. Ambil paid view jika kamu benar-benar “butuh”. Isi
konten dengan rutin dan artikel bermanfaat. Kamu nggak bakal hilang kok dari
peredaran.