Categories
Uncategorized

Jejak yang Tersisa Setelah 11 Tahun Tsunami

Apabila ada yang bertanya, apakah masih memendam duka setelah 11 tahun berlalu? Tetap ada. Musibah sebesar gempa dan tsunami bukanlah hal yang mudah dilupakan. Butuh waktu yang cukup lama untuk membuang perih hari itu. Generasi setelah 2004 memang bisa melupakan dengan mudah karena mereka hanya mendengar kisah pilu ini dari mulut ke mulut dan pemberitaan yang luar biasa begitu tiba tanggal 26 Desember di seluruh Aceh. 
Puing-puing tsunami dalam bentuk benda mati memang telah tiada. Puing-puing itu telah menjelma menjadi warisan lain yang tak bisa digantikan dengan apapun. Tsunami mengubah paradigma masyarakat Aceh untuk terus berbenah menjadi masyarakat yang Islami dan madani. Siapapun mengingat namun tidak mau terlarut dalam luka ini sepanjang waktu. 
Apa yang tersisa setelah 11 tahun ini? Semangat hidup tak pernah pudar 
Aceh adalah keras. Penjajah terusir dari negeri ini. Konflik lambat-laun terlerai. Akar dari semua itu adalah manusianya yang keras kepala. Keras kepala bukan berarti selalu jelek, di satu sisi sifat ini justru sangat membantu dalam membuang lara. 
Dari sifat keras kepala ini pula semangat untuk terus hidup dinyalakan sampai ke ubun tertinggi. Aceh bukanlah Jepang. Aceh bukanlah Korea. Masyarakat Aceh adalah mereka yang memegang teguh pendirian dan aturan agama dengan patuh. Kita sering mendengar warga Jepang atau Korea yang bunuh diri karena semangat hidup telah redup. Apabila ini berlaku pada masyarakat Aceh tentu saja nyawa-nyawa telah melayang setelah tsunami. 
Karena apa? Anak istri tiada. Harta benda luluh-lantak. Bau amis di mana-mana. Ke mana arah tujuan? Nyatanya, masyarakat Aceh terus berbenah mencapai titik tertinggi sehingga semangat hidup tak bisa digantikan dengan kegalauan. 
Mereka yang kehilangan istri atau suami, menikah lagi dengan pasangan baru. Mereka yang kehilangan harta benda, sebagian besar telah dibangun rumah bantuan. Lepas dari bantuan dari kiri dan kanan, emosional masyakarat Aceh adalah bantuan tertinggi sebelum mencapai puncak kesuksesan di masa kini. Kita melihat sendiri bahwa pembangunan di Aceh semakin hari semakin meningkat. 

Pembangunan psikis dan fisik 

Bagaimana cara membangun psikis? Rasa percaya dan keyakinan kepada Tuhan bahwa hidup bukan hari ini saja. Masyarakat Aceh telah membangun benteng terlalu besar dalam membina hati yang retak. Hasilnya bisa Anda lihat sendiri dengan pembangunan dalam bentuk fisik. 
Contoh kecil saja, warung kopi di mana-mana dan sebagian bahkan buka 24 jam. Tidak hanya itu, warung kopi di Aceh adalah warung kopi terbaik untuk seluruh rakyat Indonesia karena di sinilah Anda bisa pesan segelas kopi dan menggunakan fasilitas internet dan listrik gratis dari pagi sampai paginya lagi. 
Warung kopi tidak hanya menjadi ajang menyeruput kopi dan membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat saja. Warung kopi adalah bisnis. Warung kopi adalah uang. Warung kopi adalah “nyawa” Aceh setelah luka yang lama. 
Pembangunan fisik lain ditandai dengan bangunan-bangunan gedung yang semakin megah dan mewah, khususnya di Banda Aceh. Untuk pembangunan fisik ini, tengok kami jika Anda punya kesempatan ke Aceh. 
Pantai yang dulu keruh sekarang membiru dan bening. Laut yang dulu pekat, kini deru ombaknya bagaikan nyanyian alam yang nadanya tak mampu ditandingi oleh manusia manapun. Efeknya, Aceh telah termasuk destinasi wisata terbaik di Indonesia karena keberagaman suku, bahasa dan teristimewa hukum Islam yang belum ada duanya di Indonesia. 

Canda dan tawa terus bergelora

Tak ada waktu untuk bersedih karena hidup bukan hari ini saja. 11 tahun telah lewat namun canda dan tawa terbahak di mana-mana. Tidak mudah mengeluarkan tawa sekeras-kerasnya apabila mengingat luka lama. 
Namun masyarakat Aceh telah melakukan hal ini sekian lama. Canda telah menjadi kebiasaan hidup di Aceh. Tawa adalah nada terindah karena hidup terus mengalir mencapai dataran tertinggi. 
Anak-anak di Aceh terus merangkak mencapai gelar terbaik. Orang tua terus menyemangati putra-putri mereka untuk memiliki jiwa tangguh. Lingkungan terus mengajarkan bahwa hidup ini keras dan perjuangan baru dimulai sejak dewasa. Hukum Islam terus diperbaiki dan memunculkan rasa nyaman dan aman bagi warga Aceh. 
Tidak mudah mencapai puncak seperti yang dirasakan oleh masyarakat Aceh setelah kehilangan banyak hal. Lihatlah kami di sini, hal yang tak mudah justru menjadi mudah. Aceh selalu aman selama kami menjaganya sepenuh hati!
Categories
Uncategorized

Kamu Adalah Mimpi Terindah yang Sulit Kuingat Begitu Terbangun

“harapan membeku di ujung lidah sementara binar matamu terus menatapku di jalan setapak yang kulintasi!”
Nggak perlu mengerjar cinta terlalu jauh apabila hasilnya telah diprediksi. Bertahun-tahun bersama, berbagi suka dan duka, saling melirik satu sama lain, berjalan beriringan, buka jendela terlihat wajahnya, menarik daun pintu wajahnya pula yang pertama dilihat, suaranya menggema sampai ke alam bawah sadar, napasnya menderu lebih besar dari deru kendaraan, bahkan hal-hal yang tidak tercetus di dalam satu kata pun bersamanya tetaplah ada. Entah apapun itu namanya. Cinta membuai segalanya sampai lupa bahwa dia sebetulnya bukan milik kita sebenarnya. 
Ilhan membelah rasa trauma naik pesawat demi mengejar cinta dari seorang sahabat. Hyun Geun dengan begitu mudahnya merengut mimpi-mimpi Ilhan yang terlalu kaku. Rania Timur Samudra memaknai kebahagiaan sesuai definisinya tersendiri sehingga cinta sekian tahun tumbuh diabaikannya demi seorang mualaf bermata sipit. 
Love Sparks in Korea #JilbabTraveler tak lain jelmaan Asma Nadia di dalam sebuah novel. Buku ini diterbitkan oleh Asma Nadia Publishing House (ANPH) di mana Asma sebagai CEO. Tokoh Rania adalah Asma. Barangkali karena saya “mengenal” Asma sehingga intepretasi terhadap tokoh Rania kembali kepada penulis. 
Apabila penulis lain cenderung menulis kisahnya sendiri dengan tokoh dirinya sendiri dalam bentuk novel. Asma mengambil jalan berbeda walaupun sebenarnya cerita yang hadir di dalam buku ini adalah kenyataan hidup seorang Asma Nadia. 
Penyakit yang diderita, sosok Tia yang tak lain Helvy Tiana Rosa, Eron adalah Aeron Tomino, tinggal di pemukiman kumuh sebelum pindah ke perumahan orang kaya, papanya yang dikisahkan sebagai seorang musisi termahsyur negeri ini, serta kesempatan belajar ke Korea Selatan. Poin terakhir ini pula yang kemudian mengantarkan Asma menulis novel ini. 
“beginilah kau kukenang: sunyi dan penuh cinta!”
Asma membuka cerita cinta tak terduga antara Rania dan Hyun Geun di Nepal. Rania yang kecopetan tiba-tiba saja mendapat pertolongan dari sosok pemuda gondrong bermata sipit. Pertemuan selanjutnya menguatkan sebuah kalimat bahwa jodoh tak akan lari ke mana. Di mana ada Rania, di situ ada Hyun Geun. Rania sakit, Hyun Geun bahkan lebih dahulu mengetahui titik lemah wanita ini. 
Love Sparks in Korea mengambil sebagian setting di negeri gingseng. Namun, jangan berharap lebih Asma membuat cerita di novel ini seperti kisah haru-biru drama Korea. Perseteruan antara Rania dengan Jeong Hwa dalam “memperebutkan” Hyun Geun pun tak sealot kisah di drama seri The Heirs – misalnya. 
Kecemburuan Jeong Hwa terhadap Rania hanya sebagai percikan api yang tak pernah membara. Padahal, jika ditanamkan amarah lebih besar, pertikaian lebih panjang, permusuhan lebih alot, kisah cinta antara Rania dnegan Hyun Geun akan lebih terasa “manis” karena Jeong Hwa mengambil kemudi kebahagiaan tersebut. 
Celetukan menjadi muslim Hyun Geun pun terasa cukup hambar karena tidak mengarahkan petaka besar setelah itu. Jeong Hwa yang tahu Hyun Geun telah muslim dan sangat mencintai Rania tak lantas mengambil tindakan “bunuh diri” seperti yang dielu-elukannya selama ini. Aksi nekad demikian hanya kita dapatkan di dalam drama Korea yang dibintangi aktor dan artis papan atas dengan bayaran menggiurkan. 
“buatmu: telah kuarungi tujuh samudra mimpi, telah kujelajah tujuh benua angan-angan.”
Namun, cinta itu memilih bukan dipaksa. Tuhan menggerakkan rasa, manusia kemudian memainkan rasa tersebut untuk mengambil sebuah keputusan. Cinta boleh saja lama terpendam, dikejar sampai ke ujung dunia. 
Cinta tak bisa dibeli walaupun rasa ingin mati mendadak tiba. Novel ini berbicara tentang hati; perasaan yang muncul tiba-tiba walaupun tak mengenal sebelumnya. Novel ini menguatkan perkataan bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada. 
Novel ini menegaskan bahwa biarpun saling sapa apabila jodoh berpaling ke muara lain, hati itu tetap tak bisa dimiliki. Ilhan begitu dekat dengan Rania, bukan? Namun mereka tetap saja tidak berjodoh.
Bukan Asma namanya apabila pesan moral dan keislaman tidak kentara di dalam novel-novelnya. Walaupun novel ini tak ubah dengan novel romantis lainnya – kisah percintaan – namun Asma mengukir cinta dengan cara berbeda. 
Sosok Rania menyelipkan dengungan-dengungan aturan Islam yang tak boleh dilanggar oleh siapapun. Penjabaran hubungan lawan jenis menurut aturan Islam memegang peranan penting di dalam novel ini sehingga pembaca muda bisa mengambil kesimpulan yang penuh makna. 
Bahwa cinta itu adalah rasa nyaman!
Sebagaimana Asma mengisahkan Rania nyaman bersama Hyun Geun – bukan karena berdarah Korea – yang memberikan kehangatan di setiap langkah. Hyun Geun melakukan apapun setelah meminta pendapat Rania. 
Keputusan Hyun Geun adalah keputusan bersama dengan Rania. Padahal, waktu saling mengenal antara Rania dengan Ilhan cukup lama tetapi rasa nyaman tidak tumbuh di antara keduanya. Ilhan cenderung memberi – menyediakan – semua kebutuhan Rania. Rania adalah ratu bagi Ilhan yang sempurna dari segi fisik dan materi. 
Sifat kaku Ilhan juga membuat rasa bosan pada Rania yang membutuhkan kesegaran lebih banyak dalam hari-harinya. Satu sisi, Ilhan memang salah karena telah membangun benteng di antara mereka. Ilhan yang paham kultur ketimuran – Islam – tidak lantas mendekati Rania sejak awal karena paham betul bahwa gadis berjilbab ini tidak mau didekati lawan jenis di luar konteks pekerjaan dan hal-hal positif lain. 
Hyun Geun yang keislamannya masih seumur jagung bersikap seperti pria metropolitan dalam mendekati dan merengkuh hati Rania. Batasan-batasan yang kemudian dihadirkan oleh Rania diterima oleh Hyun Geun karena keduanya saling membutuhkan dan merasa nyaman satu sama lain. 
“jika Dia berkenan, biarkan ajal tak menyapa hingga kutahu cinta ini sampai padanya!”
Sejak awal memang sudah yakin bahwa Ilhan hanya tokoh pinggiran dalam novel ini. Ilhan bermimpi tentang sebuah kebahagiaan yang kemudian sirna begitu mengetahui isi hati Rania. 
Rania lebih memilih Hyun Geun yang baru memeluk Islam dibandingkan Ilhan yang dikenalnya sejak lama. Hati memilih. Mimpi hanya mengindahkan malam. Mimpi indah bisa mudah diingat begitu terbangun. Mimpi buruk bisa jadi tak bisa diingat sama sekali. 
Asma Nadia
Love Sparks in Korea hadir di tengah gempuran novel-novel bertema luar negeri. Novel ini adalah pencitraan Asma terhadap Islam. Dunia yang diinjak tak membuatnya lupa akan Islam. Ke manapun langkah terayun, Islam adalah keyakinan yang tak bisa diganti. 
Pertanyaan Asma dalam novel ini. Manakah yang lebih penting bagi seorang gadis, mencintai atau dicintai? 
Jika saya diperkenankan menjawab, pilihlah pilihan kedua
Asma Nadia yang turut menemani aktor dan artis selama proses syuting film Love Sparks in Korea di Korea Selatan – Photo by Asma Nadia
Categories
Uncategorized

Kejenuhan dan Rasa Bergelora Ingin Terbang Jauh

“negara tanpa orang jelek!” Kutipan manis yang dijadikan judul sebuah artikel di dalam buku Trinity, The Naked Traveler (1 Year Round The World Trip Part 1) #TNTrtw terbitan B First – Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Apa sih yang menarik dari buku ini? Padahal, jika dilihat dari cover, judul dan ramah-tamah lain, buku Trinity hanyalah curahan hati traveler galau yang tak tahu dilarikan ke mana. 
Benarkah demikian? Ternyata, ada hal lain yang lebih menarik dari sekadar kehabisan uang di negeri orang, bahkan sampai bersiteru dengan petugas imigrasi di bandara berbagai negara, sampai nangis-nangis darah nggak bisa masuk ke salah satu negara karena alasan VISA tidak diterima, atau salah mengambil antrean waktu berbelanja di supermarket yang memisahkan lansia dengan anak muda, atau keluguan si Yasmin yang menggunakan sabun mandi sebagai lotion, atau….
Trinity termasuk penulis – travel blogger – yang paling populer di Indonesia. Sekilas, tulisannya di buku Part 1 ini memang sangat ringan sekali. Gaya anak muda yang sedang menceritakan kisah haru, suka dan duka kepada sahabatnya sepulang dari negeri asing. 
Namun, banyak kisah yang mengharukan bahkan lebih bermanfaat dibandingkan tutorial dari buku travel yang diterbitkan lebih detail. Trinity mengemas setiap kisah – pengalamannya – dengan kocak sehingga saya terbuai akan romantisme bahkan deg-degan saat penulis ini mengutarakan pengemudi mengendarai bus secara ugal-ugalan. 
Negara tanpa orang jelek – saya ulangi lagi padahal nggak penting sih – merupakan salah satu artikel favorit saya. Artikel ini juga merupakan daya tarik pembaca selain kisah orang-orang berunderware ria di bibir pantai Brazil. 
Saya bisa membayangkan bagaimana wanita gemuk ini – maaf mbak ya – sampai megap-megap melihat cowok-cowok ganteng di Amerika Latin, terutama Brazil. Pemanis buku ini hadir apa adanya karena memang begitulah kenyataan di negara yang menjadikan sepakbola sebagai Tuhan itu. 
Kemasan kata yang diremas sekonyong-konyong menggambarkan bokong wanita di bibir pantai bersama keluarga mereka bahkan mertuanya. Perbedaan budaya dan strata sosial digambarkan dengan jenaka oleh Trinity sehingga saya tidak “membaca” sedang didikte bahwa kehidupan kita sangat jauh berbeda dengan mereka di sana. 
Kebudayaan Brasil – misalnya – yang tanpa malu bertelanjang dada bagi cowok ke mana-mana suka dan hanya mengenakan pakaian dalam saja bagi cewek di area terbuka, tak lain sebuah peradaban yang terjadi di sana. 
Seandainya Trinity memiliki postur tubuh seksi dan tinggi semampai seperti model di acara Miss Universe atau Miss World sekalipun, wanita ini tentu akan berpikir panjang untuk berjalan-jalan dengan “underware” saja di depan umum. Catatan penting adalah budaya ketimuran yang kita pegang sangat jauh berbeda dengan mereka di Amerika. 
Kisah-kisah lain yang coba dihadirkan Trinity di dalam bukunya adalah “panduan” bagi seorang traveler. Banyak “catatan kaki” yang ditemukan di dalam buku ini mengajarkan saya untuk tidak lalai saat berpergian, tidak lupa menyiapkan segala sesuatu walaupun hal itu sangat kecil sekali, memahami kultur daerah tujuan sehingga tidak ditipu banyak orang sampai pemilihan penginapan dan penghematan biaya lainnya, termasuk berburu promo tiket pesawat. 
Walaupun di kemudian hari nahas juga seperti harus membeli tiket lagi karena ketinggalan pesawat dan lain-lain, itulah suka dan duka yang tak pernah bisa dilupa. 
Salah satu kutipan yang menarik. 
Trinity memulai kisah karena “jenuh” terhadap pekerjaan yang mengekangnya selama ini. Duduk manis sebagai mbak-mbak kantoran membuat wanita ini ingin segera terbang jauh ke negeri terasing. Wajar saja sebuah ambisi dicetuskan sampai meninggalkan pekerjaan yang telah menjanjikan gaji tetap. 
Saya pun merasakan ambang batas kejenuhan tersebut apabila rasa nyaman tak lagi dirasa. Keliling dunia adalah pilihan – walupun saya belum memikirkannya untuk saat ini. 
Dunia yang terbentang luas menghadirkan beragam kisah seperti orang membeli minyak wangi dalam jumlah besar, merek dagang yang berbeda, penghematan biaya dengan memasak sarapan pagi, sampai hal-hal kecil yang tak terduga dirangkai begitu “mewah” oleh Trinity. 
Kepakan sayap Trinity dalam buku #TNTrtw Part 1 ini tidaklah gampang. Keliling dunia satu tahun penuh merupakan tantangan tak biasa. Tangis, tawa, bahagia berbaur menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan. 
Buku ini tidak hanya sebagai panduan perjalanan semata namun sebuah kesegaran dalam industri perbukuan Indonesia yang dihiasi oleh novel-novel romantis. Setelah membaca buku ini, saya ingin segera mengepakkan sayap ke dunia terasing. Entah untuk apa di sana. Tetapi saya ingin. 
Ibarat burung yang terbang jauh, suatu saat pasti akan kembali pulang ke sangkar. Trinity telah pulang kembali ke negeri di mana carut-marut terus terjadi. Bukankah menarik untuk mengikuti jejaknya?
Categories
Uncategorized

Sepucuk Rayuan dalam Sepiring Kerak Telur



Masih
di Kota Tua yang panas, saya dan Citra duduk manis setelah menghabiskan
sepiring Kerak Telur dan Toge Goreng. Sebenarnya Kerak Telur itu kami makan
sepiring berdua karena saya tidak habis menyantapnya. Saya ngos-ngosan menghabiskan
Kerak Telur yang banyak untuk ukuran saya yang tidak banyak malah. #alah.

Kerak Telur di Kota Tua Saksi Bisu “Perjodohan” Banten dengan Aceh – Bai Ruindra
Toge Goreng yang dipesan Citra – Bai Ruindra

Penjual Kerak Telur di Kota Tua – Bai Ruindra

Kerak
Telur dan Toge Goreng telah habis kami santap, kami cerita ini dan itu serta
menyusun rencana ke tempat berikutnya. Sambil menunggu waktu kami diskusi soal
kisah cinta yang gagal Sabari di buku Ayah dari Andrea Hirata, lalu buku-buku
Trinity yang menawan karena kisah keliling dunia, kisah melankolis Ahmad Fuadi
dalam Negeri 5 Menara, diksi dan kekayaan intelektual Dee dalam Gelombang, sampai
tokoh-tokoh bersemak dalam buku Ayat-Ayat Cinta Habiburrahman El-Shirazy.
Belum
usai kami tertawa haha hihi, seorang ibu meminta tempat duduk di depan
kami. Beliau telah celingak-celinguk ke tempat lain namun telah penuh oleh
pengunjung lain. 



Kami menyilakan perempuan yang berusia sekitar 50-an itu duduk
bersama kami. Tidak tahunya, tak berselang lima menit seorang gadis ikut nimbrung
bersama kami, gadis itu tak lain rekan dari perempuan yang mengenalkan namanya Fatimah. Gadis itu memanggil Ibu Fatimah dengan sebutan ummi.
Ummi Fatimah memulai
perbincangan yang membuat waktu kami tertambat di sana lebih kurang setengah
jam lebih.
“Abang
ini dari Aceh tho?” gaya khas Ummi Fatimah yang masih saya ingat
sampai sekarang. Kata Mas berubah menjadi Abang begitu mengetahui kami dari
Aceh. Ummi Fatimah bercerita pernah ke Aceh dan suaminya baru saja pulang
dari Aceh dalam rangka Pekan Olahraga Mahasiswa. 



Ummi Fatimah tak lain
seorang guru yang sangat bersahaja, guru agama yang anggun, tutur kata yang
lembut, sifat keibuan yang terlihat kentara sekali dengan pembawaannya, dan
terlihat cukup senang berbicara dengan kami dua lajang dari Aceh!
Ummi
senang sekali lho dengan anak laki-laki yang paham agama!”
Mungkin,
mendengar Aceh yang telah menerapkan hukum Islam, Ummi Fatimah lantas
berkesimpulan bahwa kami berdua benar-benar sangat paham sekali Islam. Padahal jika
dibandingkan dengan orang-orang Aceh lainnya, saya merasa tidak ada apa-apanya. 



Barangkali karena di Aceh, Islam telah menjadi makanan sehari-hari, ke
mana-mana adalah orang Islam, azan berkumandang lima kali sehari semalam, bulan
puasa begitu istimewa, hari raya meriah sekali, dan berbagai alasan lain. Mungkin
juga di daerah Ummi Fatimah yang terdapat banyak perbedaan, anak muda
yang berbicara tentang Islam jadi begitu menarik sekali.
“Sudah
menikah?”
Serentak
saya dan Citra menjawab belum. Dalam hati saya telah dipenuhi bunga-bunga
asmara segera ingin berlalu dari situ, karena soalan pernikahan itu sungguh
rumit di Aceh ini. Saya menjabarkan beberapa alasan kepada Ummi Fatimah mengenai
adat pernikahan di Aceh yang membuat beliau ternga-nga.
Aih!
Inilah rayuan itu. Ummi Fatimah memulai sepucuk rayuannya dengan kalimat
lanjutan. “Mau ndak pulang ke Banten?”
Saya
dan Citra tersenyum simpul saja. Ibarat punguk merindukan bulan, pembicaraan
ini menjadi simalakama. Bukan urusan menikahnya yang mudah namun jarak yang
menjadi penghalang. #alasan.
Ummi Fatimah mengarahkan
pandangan kepada gadis di sampingnya – saya lupa namanya siapa. #eh.
“Kamu
mau ndak pulang ke Aceh?” gadis itu tertawa. Ujarnya kemudian, “Ummi ini
ada-ada sajalah…,”
Mesiu
senapan telah dilontarkan sekuat tenaga. Kesempatan telah dibuka
selebar-lebarnya. Memang tidak terlihat si gadis menolak maupun mengiyakan,
namun kisah lanjutan dari sepenggal ucapan Ummi Fatimah menggetarkan hati
siapa saja yang mudah dibuai. “Dari pada abang ini mencari wanita Aceh yang
mahal di mahar lebih baik kamu mau saja ndak sama pria Aceh yang kuat
agamanya!”
Kepala
saya tiba-tiba mau pusing. Gara-gara sepiring Kerak Telur, pucuk-pucuk asmara
barangkali akan tercipta. Ummi Fatimah tak henti memuji kami berdua di
depannya, seakan-akan beliau telah mengenal kami cukup lama. 


Baca juga Gadis Aceh yang Layak Dipinang



Di akhir
pembicaraan, beliau meminta nomor handphone untuk melanjutkan
silaturahmi. Rayuan Ummi Fatimah memang berlanjut di beberapa pesan
singkat yang beliau kirimkan kepada kami. Saya dan Citra cekikikan di dalam bus
TransJakarta. Saya tidak melupakan niat baik Ummi Fatimah kepada kedua lajang
yang entah kapan kawin ini. 



Rayuan Ummi Fatimah untuk “meminang” salah
seorang gadis di daerahnya menjadi tanda tanya terbesar dalam hidup saya sampai
kini. Apakah ada gadis di luar Aceh yang mau menikah dengan saya? Pertanyaan
yang kepo terhadap diri sendiri. Apabila saya utarakan pada Citra waktu
itu, traveler ini pasti akan terpingkal-pingkal.

Sepucuk
rayuan yang tak disengaja di Kota Tua. Tentang jodoh. Tentang pertemanan. Tentang
penilaian. Tentang daerah masing-masing. Juga tentang silaturahmi sesama
muslim.
Categories
Uncategorized

Patung Porno di Kota Tua Jakarta

Kota Tua Jakarta – Bai Ruindra
“Ke
mana kita?” tanya Citra begitu
kami bertemu. Pertengahan November 2015 saya mendapat kesempatan untuk
berkunjung ke Ibu Kota. Memang, selama ini kerap kali saya berujar, “Kapan
ya bisa ke Jakarta?

Perkataan adalah doa.
Saya mempercayainya begitu kesempatan ke Jakarta terkabul. Sebenarnya, ke
Jakarta kali bukan semata jalan-jalan saja dengan biaya sendiri. Berkat ngeblog
mengenai teknologi, sering mereview produk dari produsen asal Taiwan (laptop, tablet
dan smartphone), saya diundang untuk menghadiri acara terbesar dan
termegah yang mereka adakan di tahun 2015.
Sering
pula saya berkata, “Ke Jakarta wajib ke Kota Tua!”
Beberapa
kali saya membaca ulasan mengenai Kota Tua di Jakarta, sampai saya pun menulis
review tentangnya di blog beberapa waktu lalu. Kota Tua adalah tempat
berdirinya bangunan bersejarah republik ini selama perang melawan kolonial
Belanda. Banyak saksi sejarah yang membuat saya iri bahwa perjuangan masa dulu
tak semudah injakan kaki saya di tempat ini.
Saya
dan Citra berdiri sempoyongan di dalam bus TransJakarta. Manis-manis asam gula
Jawa berada di dalam kendaraan sejuta umat ini. Saya yang awam sekali dengan
Ibu Kota merapatkan diri dalam kungkungan anak muda yang sedang pulang dari
lari pagi di hari Minggu itu. Citra tak henti-hentinya mengingatkan saya, “Dompet,
handphone, ransel taruh di depan!
Anjuran
Citra ternyata juga terdengar di dalam bus TransJakarta. Kondektur (benar sebut
ini?) berulang kali pula mengingatkan supaya menjaga barang bawaan dengan baik.
Dari suara perempuan di pengeras suara pun tak henti-henti mengingatkan untuk
memperhatikan kembali barang bawaan jika ingin turun di salah satu halte.

Tibalah
kami di Kota Tua. Berlagak kampungan saya berujar, “Orang Jakarta itu nggak ada
liburnya ya, Cit?”
Citra
tak menjawab kala itu. Langkah kakinya besar-besar, mungkin sudah terbiasa
dengan suasana Jakarta. Saya sedikit pelan dan seringkali tertinggal di
belakang karena saya pikir Jakarta ini ya sama dengan di Aceh, nggak mesti
ngejar-ngejar kalilah



Padahal saya salah, langkah Citra yang lebih
cepat karena untuk menghemat waktu kami. Setelah Kota Tua, kami akan ke
beberapa tempat lain, termasuk nonton bioskop – kami mencari bioskop yang
menawarkan harga paling murah.
Keramaian di Kota Tua – Bai Ruindra
Citra yang hampir melupakan saya – Bai Ruindra
Saya
benar-benar heran dengan kondisi Kota Tua. Bukan soal bangunannya. Tetapi lautan
manusia yang padat sekali. Bagi saya, pengunjung di Kota Tua cukup ramai di
hari Minggu itu. Beragam usia menikmati suguhan manis dari sejarah Indonesia. 



Beberapa
bangunan bisa dimasuki – dijadikan museum – dengan harga tiket lumayan murah
sekitar Rp. 5.000,00 perorang untuk umum dan Rp.2.000,00 perorang untuk siswa.
Halaman
yang luas membuat suasana di Kota Tua panas sekali dengan tanpa pohon yang
rindang. Panas matahari tidak membuat pengunjung berteduh ke dalam museum namun
berlomba-lomba mengabadikan kenangan di sekitar bangunan. 



Latar belakang
bangunan tua adalah salah satu kesan menarik bahwa zaman Belanda menjadi kekal
di dalam ingatan masyarakat Indonesia. Kolonial Belanda tak pernah bisa dilupa
sampai ke anak cucu karena dari merekalah Batavia merajang duka sampai ke
seluruh negeri. Memang, tidak ada lagi keperihan di dalam museum di Kota Tua
ini. 



Saksi sejarah lebih kepada penampilan para elit Belanda kala itu dan pernak-pernik
rumah tangga yang abadi. Kayu jati itu terkesan sangat “mahal” sebagai saksi
sejarah dan pemanis museum. Sayangnya, saya tidak bisa duduk manis di salah
satu kursi tersebut karena terdapat larangan untuk menyentuhnya.
Satu
keunikan saat memasukin salah satu museum adalah dengan menanggalkan sepatu
atau sandal. Penjaga di dalam museum kemudian memberikan kantung kain berisi
sandal yang bersih. 



Kami semua mengganti sepatu dengan sandal tersebut dan
menentengnya ke mana-mana selama berada di dalam museum. Saya dan Citra memilih
mengikat kantung kain itu di antara tali ransel. Lebih aman  dan praktis karena tangan kami sibuk dengan smartphone



Tentu saja kegiatan mengabadikan kenangan melalui kamera smartphone adalah
pilihan wajib. Saya tak mau sampai di Aceh hanya berbagi cerita lewat suara,
beda orang beda pula cerita yang saya suguhkan. Dengan sebuah foto, siapapun di
kampung nanti bebas mendeskripsikan apa yang terlihat di dalam hasil kamera
tersebut.
Perang melawan Belanda – Bai Ruindra
Keramaian di dalam museum – Bai Ruindra
Salah satu peralatan dapur – Bai Ruindra
Dilarang duduk di kursi ini – Bai Ruindra
Keluar
dari museum itu, saya berselfie ria. Eh, tahu-tahunya mata saya hampir
meloncat keluar begitu berhadapan dengan patung telanjang.
“Hei,
patung itu nggak pakai baju!” ujar saya histeris. Saya yang porno atau
patung itu yang memang sangat porno. #ups
Patung
itu adalah patung “porno” pertama kali saya lihat. Lebih tepatnya saya jarang
sekali melihat patung di Aceh. Mumpung masih di Kota Tua dan belum ada yang
tertarik untuk memotret patung tak tahu malu itu, saya membidikkan kamera ke
arahnya. Sekonyong-konyong patung itu melompat ke arah saya dan memeluk saya
dengan erat. 



Tak ayal saya mengelak dan patung itu telungkup ke lantai, patah
lengan dan siku. Tahu-tahunya Citra membelai patung itu saking sayangnya dia
patah arah. Tak tahu malu saya mencubit sedikit bagian dari tubuh patung tak
berbaju itu. Begitu kembali ke alam nyata, si patung porno masih berdiri dengan
ganjennya menunjuk ke langit. 



Entah apa tujuan dari patung porno itu
menunjuk langit dan memegang semacam tongkat sihir. Patung porno ini pastilah
menyimpan rahasia yang enggan dia bagi kepada kami. 



Tapi benar, apabila bola
sebagai alas kakinya berputar, patung porno itu pastilah memekik begitu saya
memotretnya. Saya pikir, patung itu juga memiliki perasaan halus seperti kapas.
Mana tahu dia malu terlalu sering dilihat orang banyak. Hahaha!
Awas, ada patung porno! –  Bai Ruindra

Garing
banget ya cerita ini. Tapi ya, nggak mungkin patung itu berdiri
sepornonya tanpa ada sebab akibat. Saya dan Citra seakan lupa asal-muasal
patung ini. Biarlah jadi kenangan dan rahasia. Saatnya kami menikmati kerak
telur yang dijual tak jauh dari patung porno ini berdiri tegak! 
Categories
Uncategorized

Nasib Perempuan Di Antara Harta dan Kelamin

Perempuan dan kelamin. Dua kata yang menohok. Pagi
yang sedang menanjak, saya dan beberapa teman duduk di sebuah warung kopi. Ngobrol
ini dan itu sambil menunggu waktu berlalu. Pukul delapan tepat nanti, kami akan
bergerilya dengan urusan pekerjaan masing-masing.

Gambar ilustrasi.

Di antara kami bersepuluh,
tiga yang belum berkeluarga, termasuk saya. Sedikit sensitif bicara soal ini,
karena
mahar
di Aceh tak cukup seperangkat alat salat saja. 



Tiga yang lajang ini, duanya
perempuan, seorang sudah bertunangan dan seorang lagi sedang menunggu burung
terbang pulang ke sangkar dari perjalanan jauh. Dari sepuluh ini, tiga adalah
laki-laki, dua bapak-bapak yang ngomongnya selalu menjurus ke hal-hal
pembicaraan “tengah malam” dan enakin badan.

Obrolan
pertama tentu saja tentang kami bertiga yang belum mempunyai pasangan. Aksi jodoh-menjodohkan
itu dimulai sampai tak tentu arah pembicaraannya. Satu persoalan muncul, belum
terselesaikan langsung lari ke persoalan yang lain, namun temanya tetap kawin!
Saya
jadi ingat film Indonesia Kapan Kawin? yang diperankan oleh Reza
Rahardian dan Adinia Wirasti. Sebuah film yang menarik dan nendang banget
apalagi ketika urusan pernikahan ditanya terus-menerus.
Soal
nikah ini pula, pembicaraannya tak jauh-jauh dari tampang anak manusia. Ada yang
nyelutuk “cari pasangan itu yang bisa dibawa pesta!” artinya ganteng
atau cantik



Lumrah memang; manusiawi jika ingin
merasakan hal ini. Pasangan yang ganteng selain enak dibawa ke mana-mana juga
enak dipandang walaupun baru bangun tidur. Pasangan yang cantik, sedang masak
pun rasanya tetap wangi dan memesona.


“Perempuan
itu kan cuma cari harta dan kelamin!”
Jujur. Perkataan ini
keluar dari seorang di antara kami. Orang yang mengeluarkan stegmen ini
adalah perempuan pula. Sedikit terkejut namun sekonyong-konyong membenarkan. Perempuan
yang lebih tua dari saya dan kami semua di pagi itu tidak merasa bersalah
setelah mengeluarkan unek-uneknya. Alasannya?
“Perempuan
mana yang tak suka berdandan? Perempuan mana yang tak mau berhubungan badan?” sebuah
tanya yang kami semua tidak menjawabnya.
“Perempuan
itu mencari laki-laki yang mapan karena hidupnya tak mau sengsara. Perempuan itu
sukanya sama “kelamin” karena itu kebutuhan biologis. 



Mau ganteng atau tidak
kalau tidak bisa memuaskan pasangannya sama saja bohong. Untuk apa pula ganteng
tetapi tidak ada uang, nanti istrinya pula yang pontang-panting cari uang
menghidupinya dan keluarga…”
Saya
tidak mau ambil bagian dari persoalan ini. Sepanjang hari, saya merenung banyak
hal. Kadang membenarkan pembicaraan kami di pagi itu. 



Saya menyelami hari,
melihat situasi, melihat orang-orang, pasangan suami istri; ada yang
suaminya biasa saja namun istrinya cantik sekali, kelebihannya suaminya kaya. Ada
istrinya biasa saja namun suaminya ganteng sekali, entah apa persoalan yang
mereka kagumi.
Benar
kiranya apabila perempuan berada di antara harta dan kelamin. Laki-laki yang
berharta – kaya – tentu saja akan membahagiakan istrinya dalam hal materi. 



Semua
kehidupan tersokong, urusan seks – maaf – pun tercukupi. Toh, kehidupan
bukan semata pada hari itu saja, bukan juga membanggakan cinta saja, bukan pula
melihat fisik semata.
Terkadang,
ada persoalan yang membuat seseorang jatuh cinta pada orang lain. Kisah rumit
yang terjadi di lingkungan kita sendiri. Setiap pasangan saling melengkapi satu
sama lain, urusan batin dan lahir. 



Walaupun anggapan teman saya mengenai ini ada
benarnya namun urusan perempuan tidak serta merta “murahan”. Bagi saya,
perempuan selalu berada di atas tempat tertinggi karena entahlah. Saya
bingung menjabarkannya. 
Anda,
tinggal pilih yang mana?