Month: December 2015
Asma Nadia |
Salah satu kutipan yang menarik. |
Masih
di Kota Tua yang panas, saya dan Citra duduk manis setelah menghabiskan
sepiring Kerak Telur dan Toge Goreng. Sebenarnya Kerak Telur itu kami makan
sepiring berdua karena saya tidak habis menyantapnya. Saya ngos-ngosan menghabiskan
Kerak Telur yang banyak untuk ukuran saya yang tidak banyak malah. #alah.
Kerak Telur di Kota Tua Saksi Bisu “Perjodohan” Banten dengan Aceh – Bai Ruindra
|
Toge Goreng yang dipesan Citra – Bai Ruindra |
Telur dan Toge Goreng telah habis kami santap, kami cerita ini dan itu serta
menyusun rencana ke tempat berikutnya. Sambil menunggu waktu kami diskusi soal
kisah cinta yang gagal Sabari di buku Ayah dari Andrea Hirata, lalu buku-buku
Trinity yang menawan karena kisah keliling dunia, kisah melankolis Ahmad Fuadi
dalam Negeri 5 Menara, diksi dan kekayaan intelektual Dee dalam Gelombang, sampai
tokoh-tokoh bersemak dalam buku Ayat-Ayat Cinta Habiburrahman El-Shirazy.
usai kami tertawa haha hihi, seorang ibu meminta tempat duduk di depan
kami. Beliau telah celingak-celinguk ke tempat lain namun telah penuh oleh
pengunjung lain.
Kami menyilakan perempuan yang berusia sekitar 50-an itu duduk
bersama kami. Tidak tahunya, tak berselang lima menit seorang gadis ikut nimbrung
bersama kami, gadis itu tak lain rekan dari perempuan yang mengenalkan namanya Fatimah. Gadis itu memanggil Ibu Fatimah dengan sebutan ummi.
perbincangan yang membuat waktu kami tertambat di sana lebih kurang setengah
jam lebih.
ini dari Aceh tho?” gaya khas Ummi Fatimah yang masih saya ingat
sampai sekarang. Kata Mas berubah menjadi Abang begitu mengetahui kami dari
Aceh. Ummi Fatimah bercerita pernah ke Aceh dan suaminya baru saja pulang
dari Aceh dalam rangka Pekan Olahraga Mahasiswa.
Ummi Fatimah tak lain
seorang guru yang sangat bersahaja, guru agama yang anggun, tutur kata yang
lembut, sifat keibuan yang terlihat kentara sekali dengan pembawaannya, dan
terlihat cukup senang berbicara dengan kami dua lajang dari Aceh!
senang sekali lho dengan anak laki-laki yang paham agama!”
mendengar Aceh yang telah menerapkan hukum Islam, Ummi Fatimah lantas
berkesimpulan bahwa kami berdua benar-benar sangat paham sekali Islam. Padahal jika
dibandingkan dengan orang-orang Aceh lainnya, saya merasa tidak ada apa-apanya.
Barangkali karena di Aceh, Islam telah menjadi makanan sehari-hari, ke
mana-mana adalah orang Islam, azan berkumandang lima kali sehari semalam, bulan
puasa begitu istimewa, hari raya meriah sekali, dan berbagai alasan lain. Mungkin
juga di daerah Ummi Fatimah yang terdapat banyak perbedaan, anak muda
yang berbicara tentang Islam jadi begitu menarik sekali.
menikah?”
saya dan Citra menjawab belum. Dalam hati saya telah dipenuhi bunga-bunga
asmara segera ingin berlalu dari situ, karena soalan pernikahan itu sungguh
rumit di Aceh ini. Saya menjabarkan beberapa alasan kepada Ummi Fatimah mengenai
adat pernikahan di Aceh yang membuat beliau ternga-nga.
Inilah rayuan itu. Ummi Fatimah memulai sepucuk rayuannya dengan kalimat
lanjutan. “Mau ndak pulang ke Banten?”
dan Citra tersenyum simpul saja. Ibarat punguk merindukan bulan, pembicaraan
ini menjadi simalakama. Bukan urusan menikahnya yang mudah namun jarak yang
menjadi penghalang. #alasan.
pandangan kepada gadis di sampingnya – saya lupa namanya siapa. #eh.
mau ndak pulang ke Aceh?” gadis itu tertawa. Ujarnya kemudian, “Ummi ini
ada-ada sajalah…,”
senapan telah dilontarkan sekuat tenaga. Kesempatan telah dibuka
selebar-lebarnya. Memang tidak terlihat si gadis menolak maupun mengiyakan,
namun kisah lanjutan dari sepenggal ucapan Ummi Fatimah menggetarkan hati
siapa saja yang mudah dibuai. “Dari pada abang ini mencari wanita Aceh yang
mahal di mahar lebih baik kamu mau saja ndak sama pria Aceh yang kuat
agamanya!”
saya tiba-tiba mau pusing. Gara-gara sepiring Kerak Telur, pucuk-pucuk asmara
barangkali akan tercipta. Ummi Fatimah tak henti memuji kami berdua di
depannya, seakan-akan beliau telah mengenal kami cukup lama.
Baca juga Gadis Aceh yang Layak Dipinang
Di akhir
pembicaraan, beliau meminta nomor handphone untuk melanjutkan
silaturahmi. Rayuan Ummi Fatimah memang berlanjut di beberapa pesan
singkat yang beliau kirimkan kepada kami. Saya dan Citra cekikikan di dalam bus
TransJakarta. Saya tidak melupakan niat baik Ummi Fatimah kepada kedua lajang
yang entah kapan kawin ini.
Rayuan Ummi Fatimah untuk “meminang” salah
seorang gadis di daerahnya menjadi tanda tanya terbesar dalam hidup saya sampai
kini. Apakah ada gadis di luar Aceh yang mau menikah dengan saya? Pertanyaan
yang kepo terhadap diri sendiri. Apabila saya utarakan pada Citra waktu
itu, traveler ini pasti akan terpingkal-pingkal.
rayuan yang tak disengaja di Kota Tua. Tentang jodoh. Tentang pertemanan. Tentang
penilaian. Tentang daerah masing-masing. Juga tentang silaturahmi sesama
muslim.
Patung Porno di Kota Tua Jakarta
Kota Tua Jakarta – Bai Ruindra |
mana kita?” tanya Citra begitu
kami bertemu. Pertengahan November 2015 saya mendapat kesempatan untuk
berkunjung ke Ibu Kota. Memang, selama ini kerap kali saya berujar, “Kapan
ya bisa ke Jakarta?”
Saya mempercayainya begitu kesempatan ke Jakarta terkabul. Sebenarnya, ke
Jakarta kali bukan semata jalan-jalan saja dengan biaya sendiri. Berkat ngeblog
mengenai teknologi, sering mereview produk dari produsen asal Taiwan (laptop, tablet
dan smartphone), saya diundang untuk menghadiri acara terbesar dan
termegah yang mereka adakan di tahun 2015.
pula saya berkata, “Ke Jakarta wajib ke Kota Tua!”
kali saya membaca ulasan mengenai Kota Tua di Jakarta, sampai saya pun menulis
review tentangnya di blog beberapa waktu lalu. Kota Tua adalah tempat
berdirinya bangunan bersejarah republik ini selama perang melawan kolonial
Belanda. Banyak saksi sejarah yang membuat saya iri bahwa perjuangan masa dulu
tak semudah injakan kaki saya di tempat ini.
dan Citra berdiri sempoyongan di dalam bus TransJakarta. Manis-manis asam gula
Jawa berada di dalam kendaraan sejuta umat ini. Saya yang awam sekali dengan
Ibu Kota merapatkan diri dalam kungkungan anak muda yang sedang pulang dari
lari pagi di hari Minggu itu. Citra tak henti-hentinya mengingatkan saya, “Dompet,
handphone, ransel taruh di depan!”
Citra ternyata juga terdengar di dalam bus TransJakarta. Kondektur (benar sebut
ini?) berulang kali pula mengingatkan supaya menjaga barang bawaan dengan baik.
Dari suara perempuan di pengeras suara pun tak henti-henti mengingatkan untuk
memperhatikan kembali barang bawaan jika ingin turun di salah satu halte.
kami di Kota Tua. Berlagak kampungan saya berujar, “Orang Jakarta itu nggak ada
liburnya ya, Cit?”
tak menjawab kala itu. Langkah kakinya besar-besar, mungkin sudah terbiasa
dengan suasana Jakarta. Saya sedikit pelan dan seringkali tertinggal di
belakang karena saya pikir Jakarta ini ya sama dengan di Aceh, nggak mesti
ngejar-ngejar kalilah.
Padahal saya salah, langkah Citra yang lebih
cepat karena untuk menghemat waktu kami. Setelah Kota Tua, kami akan ke
beberapa tempat lain, termasuk nonton bioskop – kami mencari bioskop yang
menawarkan harga paling murah.
Keramaian di Kota Tua – Bai Ruindra |
Citra yang hampir melupakan saya – Bai Ruindra |
benar-benar heran dengan kondisi Kota Tua. Bukan soal bangunannya. Tetapi lautan
manusia yang padat sekali. Bagi saya, pengunjung di Kota Tua cukup ramai di
hari Minggu itu. Beragam usia menikmati suguhan manis dari sejarah Indonesia.
Beberapa
bangunan bisa dimasuki – dijadikan museum – dengan harga tiket lumayan murah
sekitar Rp. 5.000,00 perorang untuk umum dan Rp.2.000,00 perorang untuk siswa.
yang luas membuat suasana di Kota Tua panas sekali dengan tanpa pohon yang
rindang. Panas matahari tidak membuat pengunjung berteduh ke dalam museum namun
berlomba-lomba mengabadikan kenangan di sekitar bangunan.
Latar belakang
bangunan tua adalah salah satu kesan menarik bahwa zaman Belanda menjadi kekal
di dalam ingatan masyarakat Indonesia. Kolonial Belanda tak pernah bisa dilupa
sampai ke anak cucu karena dari merekalah Batavia merajang duka sampai ke
seluruh negeri. Memang, tidak ada lagi keperihan di dalam museum di Kota Tua
ini.
Saksi sejarah lebih kepada penampilan para elit Belanda kala itu dan pernak-pernik
rumah tangga yang abadi. Kayu jati itu terkesan sangat “mahal” sebagai saksi
sejarah dan pemanis museum. Sayangnya, saya tidak bisa duduk manis di salah
satu kursi tersebut karena terdapat larangan untuk menyentuhnya.
keunikan saat memasukin salah satu museum adalah dengan menanggalkan sepatu
atau sandal. Penjaga di dalam museum kemudian memberikan kantung kain berisi
sandal yang bersih.
Kami semua mengganti sepatu dengan sandal tersebut dan
menentengnya ke mana-mana selama berada di dalam museum. Saya dan Citra memilih
mengikat kantung kain itu di antara tali ransel. Lebih aman dan praktis karena tangan kami sibuk dengan smartphone.
Tentu saja kegiatan mengabadikan kenangan melalui kamera smartphone adalah
pilihan wajib. Saya tak mau sampai di Aceh hanya berbagi cerita lewat suara,
beda orang beda pula cerita yang saya suguhkan. Dengan sebuah foto, siapapun di
kampung nanti bebas mendeskripsikan apa yang terlihat di dalam hasil kamera
tersebut.
Perang melawan Belanda – Bai Ruindra |
Keramaian di dalam museum – Bai Ruindra |
Salah satu peralatan dapur – Bai Ruindra |
Dilarang duduk di kursi ini – Bai Ruindra |
dari museum itu, saya berselfie ria. Eh, tahu-tahunya mata saya hampir
meloncat keluar begitu berhadapan dengan patung telanjang.
patung itu nggak pakai baju!” ujar saya histeris. Saya yang porno atau
patung itu yang memang sangat porno. #ups
itu adalah patung “porno” pertama kali saya lihat. Lebih tepatnya saya jarang
sekali melihat patung di Aceh. Mumpung masih di Kota Tua dan belum ada yang
tertarik untuk memotret patung tak tahu malu itu, saya membidikkan kamera ke
arahnya. Sekonyong-konyong patung itu melompat ke arah saya dan memeluk saya
dengan erat.
Tak ayal saya mengelak dan patung itu telungkup ke lantai, patah
lengan dan siku. Tahu-tahunya Citra membelai patung itu saking sayangnya dia
patah arah. Tak tahu malu saya mencubit sedikit bagian dari tubuh patung tak
berbaju itu. Begitu kembali ke alam nyata, si patung porno masih berdiri dengan
ganjennya menunjuk ke langit.
Entah apa tujuan dari patung porno itu
menunjuk langit dan memegang semacam tongkat sihir. Patung porno ini pastilah
menyimpan rahasia yang enggan dia bagi kepada kami.
Tapi benar, apabila bola
sebagai alas kakinya berputar, patung porno itu pastilah memekik begitu saya
memotretnya. Saya pikir, patung itu juga memiliki perasaan halus seperti kapas.
Mana tahu dia malu terlalu sering dilihat orang banyak. Hahaha!
Awas, ada patung porno! – Bai Ruindra |
banget ya cerita ini. Tapi ya, nggak mungkin patung itu berdiri
sepornonya tanpa ada sebab akibat. Saya dan Citra seakan lupa asal-muasal
patung ini. Biarlah jadi kenangan dan rahasia. Saatnya kami menikmati kerak
telur yang dijual tak jauh dari patung porno ini berdiri tegak!
yang sedang menanjak, saya dan beberapa teman duduk di sebuah warung kopi. Ngobrol
ini dan itu sambil menunggu waktu berlalu. Pukul delapan tepat nanti, kami akan
bergerilya dengan urusan pekerjaan masing-masing.
Gambar ilustrasi. |
Di antara kami bersepuluh,
tiga yang belum berkeluarga, termasuk saya. Sedikit sensitif bicara soal ini,
karena mahar
di Aceh tak cukup seperangkat alat salat saja.
Tiga yang lajang ini, duanya
perempuan, seorang sudah bertunangan dan seorang lagi sedang menunggu burung
terbang pulang ke sangkar dari perjalanan jauh. Dari sepuluh ini, tiga adalah
laki-laki, dua bapak-bapak yang ngomongnya selalu menjurus ke hal-hal
pembicaraan “tengah malam” dan enakin badan.
pertama tentu saja tentang kami bertiga yang belum mempunyai pasangan. Aksi jodoh-menjodohkan
itu dimulai sampai tak tentu arah pembicaraannya. Satu persoalan muncul, belum
terselesaikan langsung lari ke persoalan yang lain, namun temanya tetap kawin!
jadi ingat film Indonesia Kapan Kawin? yang diperankan oleh Reza
Rahardian dan Adinia Wirasti. Sebuah film yang menarik dan nendang banget
apalagi ketika urusan pernikahan ditanya terus-menerus.
nikah ini pula, pembicaraannya tak jauh-jauh dari tampang anak manusia. Ada yang
nyelutuk “cari pasangan itu yang bisa dibawa pesta!” artinya ganteng
atau cantik.
Lumrah memang; manusiawi jika ingin
merasakan hal ini. Pasangan yang ganteng selain enak dibawa ke mana-mana juga
enak dipandang walaupun baru bangun tidur. Pasangan yang cantik, sedang masak
pun rasanya tetap wangi dan memesona.
“Perempuan
itu kan cuma cari harta dan kelamin!”
keluar dari seorang di antara kami. Orang yang mengeluarkan stegmen ini
adalah perempuan pula. Sedikit terkejut namun sekonyong-konyong membenarkan. Perempuan
yang lebih tua dari saya dan kami semua di pagi itu tidak merasa bersalah
setelah mengeluarkan unek-uneknya. Alasannya?
mana yang tak suka berdandan? Perempuan mana yang tak mau berhubungan badan?” sebuah
tanya yang kami semua tidak menjawabnya.
itu mencari laki-laki yang mapan karena hidupnya tak mau sengsara. Perempuan itu
sukanya sama “kelamin” karena itu kebutuhan biologis.
Mau ganteng atau tidak
kalau tidak bisa memuaskan pasangannya sama saja bohong. Untuk apa pula ganteng
tetapi tidak ada uang, nanti istrinya pula yang pontang-panting cari uang
menghidupinya dan keluarga…”
tidak mau ambil bagian dari persoalan ini. Sepanjang hari, saya merenung banyak
hal. Kadang membenarkan pembicaraan kami di pagi itu.
Saya menyelami hari,
melihat situasi, melihat orang-orang, pasangan suami istri; ada yang
suaminya biasa saja namun istrinya cantik sekali, kelebihannya suaminya kaya. Ada
istrinya biasa saja namun suaminya ganteng sekali, entah apa persoalan yang
mereka kagumi.
kiranya apabila perempuan berada di antara harta dan kelamin. Laki-laki yang
berharta – kaya – tentu saja akan membahagiakan istrinya dalam hal materi.
Semua
kehidupan tersokong, urusan seks – maaf – pun tercukupi. Toh, kehidupan
bukan semata pada hari itu saja, bukan juga membanggakan cinta saja, bukan pula
melihat fisik semata.
ada persoalan yang membuat seseorang jatuh cinta pada orang lain. Kisah rumit
yang terjadi di lingkungan kita sendiri. Setiap pasangan saling melengkapi satu
sama lain, urusan batin dan lahir.
Walaupun anggapan teman saya mengenai ini ada
benarnya namun urusan perempuan tidak serta merta “murahan”. Bagi saya,
perempuan selalu berada di atas tempat tertinggi karena entahlah. Saya
bingung menjabarkannya. Anda,
tinggal pilih yang mana?