Imajinasi
dunia maya, begitu istilah yang bisa saya gambarkan ketika masuk ke dalam
ruangan yang penuh dengan teriakan, coret-coret papan tulis dan meja, bau
keringat sehabis olah raga maupun ballpoint
yang patah karena berebutan satu sama lain. Imajinasi lahir begitu saja, dengan
mudah, tak terkendali dan menyasar kepada guru muda seperti kami yang dipandang
paham betul dunia kekinian.
Tak mungkin
kau bertanya kepada guru sesepuh, yang mungkin akan pensiun dua hari lagi, soal
status Facebook beberapa menit lalu, atau trending
topic Twitter yang disusupi iklan gratis, mungkin juga gambar-gambar dengan
betis tak berkaos bebas dijajakan melalui sponsored
post Instagram. Tanya itu akan tertuju kepada kita yang memiliki akun media
sosial dimaksud, di mana dengan mudah pula siswa-siswi menambahkan pertemanan
tanpa pikir panjang, dengan membuang tata krama bahkan menganggap biasa saja
karena “Oh, nanti bisa kirim pesan ke Bapak kalau ada pelajaran rumit,”
Begitu
mengalir imajinasi itu, tak terbendung dan tak bisa dikalahkan dengan soal-soal
hitungan matematika sampai ratusan sebagai hukuman ribut di dalam kelas. Dalam
imajinasi itu, mereka cengengesan bahkan saat pensil hampir patah dalam
mengalikan satuan dengan puluhan. Tak ada rasa bersalah soal imajinasi di embun
pagi, di siang terik dan juga di waktu hampir bel pulang berbunyi.
Imajinasi
mereka tak bisa ditutupi karena ini adalah masa, ini hanya perubahan yang tidak
bisa dihindari, ini zamannya sudah demikian. Tak perlu saya harus menyebut,
“Oh, zaman Bapak dulu ini belum ada,” karena memang pengembangan teknologi
termutakhir baru sepuluh tahun terakhir. Facebook menjadi kekinian sejak smartphone mulai naik daun di atas tahun
2010. Twitter kemudian menyusul dan Instagram tak lama kemudian menjadi tren
aplikasi berbagi foto yang bebas diakses oleh siapa saja.
Anak
merengek, orang tua dengan bebas membelikan smartphone
tipe terbaru yang baik untuk swafoto, gahar untuk main game, dan tentu harga mahal. Sekarang, lebih sulit menemukan feature phone dibandingkan melihat smartphone yang rata-rata di atas 5
inci. Jika dibiarkan, sekali saja, halaman sekolah, di dalam kelas, akan
bersemak perangkat layar sentuh tersebut.
Update status, upload
foto, cekikan di grup chatting;
adalah hal yang sangat wajar di kacamata seorang siswa. Bahkan, guru pun berani
bertanya kepada siswa yang lebih paham jika, “Handphone Bapak kok nggak
mau konek ke internet ya?” di mana dengan sigap siswa yang ditanya memberikan
solusi terbaik sampai smartphone itu
kembali terhubung ke dunia maya, dengan notifikasi grup hampir membuat
perangkat jatuh saking keras getarnya. Cepat. Gesit. Peka dan penuh imajinasi.
Sekali lagi. Imajinasi. Dan imajinasi siswa soal teknologi terutama internet tidak
bisa diracuni sehingga layu bahkan sampai mati.
“Bapak suka
like foto cewek cantik ya?” itu
karena mereka tahu aktivitas kita di dunia maya.
“Status
Bapak kok aneh-aneh terus ya?” itu
karena status kita mask ke timeline mereka.
“Bapak kok share berita itu, padahal belum
tentu benar,” misalnya saat kita salah bagikan informasi tanpa mengecek
kebenarannya terlebih dahulu.
Tidak perlu
ditangkal. Tidak perlu pula disebut ‘haram’ bahkan blokir seperti
kejadian-kejadian yang telah lewat. Sekali lagi, ini adalah masanya. Tidak bisa
dibendung. Tidak bisa ditutupi. Tidak bisa dilewatkan begitu saja. Ia mengalir
seperti air maka kita ikuti arus tersebut dengan tertatih atau berlari kencang.
Patut diingat bahwa hilang satu tumbuh
seribu. Hukum ini sangat berlaku di dunia maya. Saat kita memblokir satu
situs misalnya, tak berselang menit, situs yang sama akan kembali muncul hanya
berbeda akhiran atau domain saja.
Misalnya,
kita sebut situs.com mengandung unsur pornografi dan wajib blokir karena akan
diakses oleh siswa-siswi yang masih polos. Maka, situs.com tumbang, tak lama
akan muncul situs.net atau situs.xyz atau situs.me dan sejenisnya. Catatan
penting bahwa pengelola situs adalah mereka yang mencari uang dengan cara
demikian, mereka membutuhkan pengunjung untuk trafik dan klik iklan, mereka memiliki
cadangan server di luar negeri yang
mudah menghidupkan situs yang diblokir. Dalam mengibuli aturan main pemerintah
yang kerapkali mudah goyah soal kebijakan, pengelola situs akan menanamkan server utama di negara-negara yang
‘halal’ akan perkembangan situs demikian.
Saat saya
berbicara di depan kelas, “Situs.com nggak boleh kalian akses karena
pornografi,” maka pulang ke rumah siswa-siswi akan membuka – bagi yang
penasaran dan nakal tentunya – situs dimaksud karena ingin tahu isinya. Padahal,
tanpa saya kasih tahu mereka sama sekali nggak tahu situs-situs tertentu yang
mengandung unsur mematikan tersebut.
“Jangan
cari cewek goyang seksi atau goyang gergaji di Youtube!” maka kata kunci itu
yang paling utama siswa-siswi cari dan kemudian Youtube akan merekomendasikan
‘goyang-goyang’ serupa, bukan Upin & Ipin atau Marsha and the Bear atau
juga Spongebob.
Sebenarnya,
kita – orang dewasa – yang lebih banyak mengarahkan anak-anak di usia paling
bahagia untuk masuk dan terjerumus ke dampak negatif dunia maya. Kita yang
memulai dan kita pula yang harus mengakhiri ‘pertikaian’ di dunia maya
tersebut. Aktivitas anak-anak seusia sekolah saya pikir tidak perlu dibatasi
dan menghakimi. Dampak dari ini lebih parah daripada mereka terlihat langsung.
Berita
palsu berseliweran, kita berikan pemahaman lebih dalam berdasarkan teori dan
fakta yang akurat. Akses internet yang tak bisa dibatasi, kita atasi dengan
memberikan pemahaman isu ini boleh dicari di dunia maya, mereka bisa lakukan
ini di internet, mereka bisa dapatkan penghasilan dari endorsement media sosial.
Kita
arahkan. Kita berikan manfaat yang lebih besar bukan hanya sekadar, blokir,
haram, nggak boleh, jangan lakukan. Karena, anak-anak makin dilarang makin
mendekat.
Duduk di
barisan depan sebagai guru, 2 jam pelajaran lebih dari cukup untuk memberikan
pemahaman-pemahaman soal masa depan cerah. Entah saya tidak tahu, entah media
lupa memberitakannya, entah memang belum pernah dilakukan sama sekali. Ribuan
program dari menteri agama hanyalah mendekatkan diri dengan orang-orang dewasa.
Kemudian, orang dewasa ini menyalahkan anak-anak yang terbawa arus
diskomunikasi, disinformasi dari dunia maya. Padahal, anak-anak perlu didekati,
dijadikan teman, ditemani saat bersama gadget.
Kurikulum
mudah sekali diubah. Jam pelajaran tidak bisa digoyah. Tetapi, 2 jam yang
tentatif ini bisa dilakukan kapan saja, di mana saja dan bagaimana strategi
yang ditentukan oleh orang dewasa. Dalam 2 jam diambil ini, tidak akan rugi
pelajaran menghitung karena ada waktu lain, tidak akan tertinggal mengetahui
kerangka tubuh manusia karena masih ada sisa jam yang banyak, tak juga
anak-anak nggak bisa menghafal doa-doa karena masih luang waktu untuk
menjamahnya.
Kita
lakukan. Kita masuk ke dalam kelas. Kita bersahabat dengan siswa yang akan diam
saat orang baru masuk dengan semangat berbeda dari gurunya. Di saat ini pula
kita mengambil hati mereka, meraih imajinasi mereka dan membawa ke arah lebih
baik. Tak perlu banyak teori, tak perlu kebutralan dengan menyebut haram dan
blokir, tak perlu berteriak-teriak sampai urat leher terlihat jelas. Kita hanya
duduk, menikmati, diskusi yang nyaman maka anak-anak akan merasa dirangkul dan
didengar.
Dari satu
sekolah berpindah ke sekolah lain. Dari satu sekolah kita memahami watak
anak-anak. Satu sekolah berbeda dengan sekolah lain yang kemudian akan membuat
kita berpikir, merenung banyak hal, program yang begini cocok untuk sekolah di
pedalaman, program yang begini cocok untuk di sekolah dekat kota, program yang
lebih atraktif cocok untuk sekolah di dalam kota.
Kadangkala,
mudah untuk kita menyebut informasi itu adalah hoax di depan anak-anak sekolah
pinggir sungai yang selalu banjir. Kita tidak melihat kening mereka berkerut
karena menganggap paham betul maksud ucapan kita. Kita dengan mudah berujar,
“Jangan main Mobile Legends!” pada
anak-anak yang seharian hanya mencangkul bersama orang tuanya di sawah dan
ladang. Tentu saja, pesan yang demikian tidak akan pernah sampai.
2 jam saja
lebih dari cukup untuk saya keliling sekolah. Dari Sabang sampai Meurauke. Dari
gunung ke lembah. Dari jalan becek ke jalan mulus. Dari bangunan atap rumbia ke
gedung bertingkat. Kita harus memulai. Kita tidak bisa meninggalkan. Karena
yang cepat ‘tiada’ adalah kita dan mereka akan tertinggal di usia belia. Nanti,
hanyalah mereka yang akan membawa pengaruh, membawa obor kemenangan, membawa ke
mana negeri ini dilanjutkan dalam cerita bersambung penuh ilustrasi.
Saya pikir,
ini mungkin hanya program kecil saja. Tetapi, jangan lupa bahwa kecil-kecil cabai rawit masih berlaku
di mana-mana. Kita harus memulai dari mereka. Kita abaikan mereka maka apa yang
selama ini dikhawatirkan mudah terjadi. Siap atau tidak siap. Dalam 10 sampai
20 tahun ke depan, merekalah yang akan memimpin!