Categories
Uncategorized

Hotel Dekat Bandara Soekarno-Hatta; Sensasi Kota Tangerang dan Ketepatan Waktu

Hotel dekat bandara
Soekarno-Hatta dengan fasilitas lengkap. Aeropolis dekat dengan bandara hindari
kemacetan. Hotel dekat bandara mudahkan traveler.


Saya pesan minuman es leci yakult seperti yang dipesan Mbak Katerina
kemarin. Mas Said yang menemani saya malam itu juga memesan minuman yang sama. Obrolan
kami melayang ke dunia yang benar-benar berbeda. Perbaduan antara kampung dan kota
yang melankolis satu sama lain. Malam Minggu itu menjadi malam terakhir saya menginap
di Swift Inn Aeropolis di Tangerang. Sebuah hotal yang ada di kompleks perumahan
Aeropolis yang dekat sekali dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta.

Rasa leci itu sangat melegakan tenggorokan, setelah siang
berkeliling Jakarta. Mas Said mulai mencairkan suasana dan kami menjadi akrab
satu sama lain. Manager hotel Swift Inn itu begitu ramah sehingga sulit untuk
saya lupakan senyumnya. Di depan hotel, terdapat beberapa restoran kecil dan
swalayan. Malam hari menjadi tempat berkumpul pekerja bandara, pramugara yang ganteng
dan pramugari yang cantik. Namun, kami tak sedikit pun menyinggung soal
ketampanan maupun kecantikan mereka yang lalu-lalang dan bahkan duduk bersinggungan
dengan kami.
Hotel dekat bandara, Swift Inn Aeropolis – Photo by Katerina
Isi cerita yang semula banyak dari saya berubah menjadi rasa
Korea saat Mbak Sulis ikut nimbrung. Rekan
sekantor Mas Said itu bercerita soal Korea yang sudah saya gemari sejak dulu. 
Es leci yakult yang nikmat – Photo by Afit.
Malam
yang beranjak pergi sepertinya makin syahdu sembari saya menanti Bang Dwi
yang masih melanglang buana di bawah gemerlap langit Ibu Kota. Lepas magrib
tadi, saya dan Mas Said memang sempat menemani Mas
Ihwan
berkeliling kompleks sampai ke kolam renang dan arena gym.

Cerita Kami Sebelum
Hari Ini di Kampung Bekelir Tangerang

Awal 2019 menempatkan awal cerita tentang traveling itu. Saya pikir, tidak ada
salahnya untuk jalan-jalan sebentar setelah launching
laptop terbaik di Pullman Jakarta Central Park pada 17 Januari. Buru-buru
pulang ke Aceh mungkin saja akan cepat frustasi dalam kesendirian dan
menyibukkan diri dengan drama Korea yang sedang tayang. Rencana keliling Jakarta
kemudian disambut oleh Mbak Katerina meskipun kemudian batal karena lelah nge-DJ
di malamnya.
Mungkin, karena wisata Jakarta yang begitu-begitu saja kemudian
batal tidak membuat kami kecewa. Saya pun tidak begitu ngebet ini ke mana dan ikut rencana yang sudah disusun Mbak Katerina.
Menjelang siang dari Central Park ditemani jalanan yang mulus ke Kota
Tangerang. Mobil yang kami tumpangi masuk ke perkampungan penduduk, sawah
terhampar luas, bandara yang mulai terlihat dan pesawat take-off dan landing
mulai terdengar. Begitu dekatnya dengan bandara sampai-sampai saya hapal kapan
deru mesin di udara itu memekik keras.

Baca Juga: 

Secangkir Kopi Aceh untuk Temani Hari

Aeropolis diketuk dengan sebuah senyuman. Kompleks yang
lengkap di mana hotel, hiburan malam, sport
center
, tempat makan dan tempat nongkrong
dipadu menjadi satu yang bisa diakses oleh siapa saja. Kami saling berkenalan
dengan blogger yang ikut tur santai
ini, ada Mbak
Utami
dan Mbak
Vita
. Cerita yang kemudian menjadi dekat karena alasan yang tidak bisa
dijabarkan begitu saja.
Sore yang tiba-tiba menyalak, langit bergemuruh dipadu
dengan deru mesin pesawat terdengar sangat syahdu – dan juga garang. Kami cuma istirahat
sejenak di dalam kamar Swift Inn karena harus mengejar waktu ke Kampung Bekelir
serta kuliner Kota Tangerang.
Saya cukup terkejut saat Mbak Katerina bilang kalau pihak Aeropolis
dan Swift Inn akan mengajak kami wisata Kota Tangerang. Rencana semula otomatis
batal lagi namun kali ini sangat terbantu dengan tawaran dari manajemen hotel. Kami
mengitari taman kota, sunset di Sungai
Cisadane, Kampung Bekelir yang penuh warna dan tentu saja wisata kuliner.
Selain kami, media lokal juga meliput aktivitas ini serta Kang
Ikbal dan Nong Kharisma Kota Tangerang yang menjadi guide. Sayangnya, hari itu gerimis menyelimuti hawa panas dari tubuh
kami. Sebelum ke Kampung Bekelir, kami makan Laksa di tempat khusus. Jadi,
kalau ke Tangerang ada tempat khusus untuk kuliner ini.
Laksa, kuliner wajib Kota Tangerang.

Laksa dan otak-otak yang nikmat.

Siapa yang tidak tergoda di saat gerimis?
Kampung Bekelir terlihat begitu saja. Saya salut dengan ide
dan kreativitas yang tertuang di sini. Adalah warna-warni yang menyemarak hidup
dari segala sudut. Selama ini, saya cuma melihat rumah, jalan setapak maupun
dinding-dinding sampai atap diwarnai sedemikian indahnya dalam liputan
televisi. Kali ini, saya melihat langsung dan merasakan sendiri perpaduan antara
keindahan dan juga ide yang mahal untuk menghadirkan sebuah karya seni.
Kampung Bekelir menjadi objek wisata menarik di Kota
Tangerang. Mural yang dibuat menjadi daya tarik yang tak bisa dilupakan begitu
saja. Tak ada yang berwarna putih atau satu warna saja di sini. Di mana-mana
adalah perpaduan warna dan lukisan dengan beragam makna. Disebut, mural di
Kampung Bekelir ini dibuat oleh 120 seniman mural dari seluruh Indonesia. Wajar
jika Kampung Bekelir dijejaki oleh banyak orang, termasuk rombongan tur kami.
Mas Priyo jadi model sesaat dalam diam.

Begini warna-warni Kampung Bekelir Tangerang.

Senyum anak-anak di Kampung Bekelir Tangerang.

Nah, keren bukan? Apapun diwarnai.

Salah satu tempat yang menarik perhatian.
Senja di Kampung Bekelir Tangerang yang indah sekali.

Letih berkeliling Kota Tangerang itu sudah pasti. Malam yang
sendu dalam gerimis membuat kami ingin segera tidur pulas. Kampung Bekelir
menyisakan cerita tersendiri di benak kami masing-masing.

Kamar Sejuk Swift Inn
Aeropolis Tangerang

Afit sekamar sama
saya di Swift Inn. Padahal, sejak beberapa kali event di Jakarta, saya selalu ingin sekamar sama Afit. Entah kenapa
itu, pokoknya ingin saja demikian. Kamar
Swift Inn di Aeropolis Tangerang ini tergolong nyaman untuk traveler, apalagi jika kamu cuma singgah
sesaat sebelum melanjutkan penerbangan. Swift Inn tak lain anak perusahaan dari
IntiWhiz Internasional yang dikelola oleh PT Intiland Development Tbk.
Perusahaan ini telah memiliki banyak sekali penginapan murah di hampir seluruh Indonesia.
Swift Inn yang terdapat di kompleks apartemen Aeropolis ini termasuk
salah satu hotel murah yang sangat direkomendasikan untuk hotel transit. Selain
murah, hotel ini sangat dekat dengan bandara dan juga terdapat Shuttle Bus
dalam 2 jam sekali. Jadi, untuk kita yang ingin ke bandara cukup pakai bus ini
saja dengan biaya Rp. 15.000, lebih murah daripada naik taksi.
Swift Inn Aeropolis di Tangerang memiliki 140 kamar dengan
84 kamar Standar dan 56 kamar Transit. Kamar hotel ini berada di lantai dasar
yang bentuknya sangat menarik dan memiliki lorong dengan warna khas. Lantai 2
merupakan apartemen yang bisa dibeli maupun disewa menurut kebutuhan. Rata-rata
pembeli dan penyewa adalah mereka yang bekerja di bandara.
Kamar yang rapi itu bisa disewa dengan harga Rp. 223.000
untuk kamar Standar Hollywood 8 jam, dan Rp. 280.000 untuk kamar Standar Twin. Menginap
di sini akan mendapatkan fasilitas berupa Wi-Fi gratis, AC, air mineral, parkir
yang luas, resepsionis yang melayani 24 jam, pengamanan selama 24 jam sarapan gratis
dan juga hiburan malam yaitu tiap malam Jumat ada live music.
Hotel murah ini cukup dekat dengan masjid, mesin ATM,
swalayan, kolam renang dan juga bisa fitnes di area sport club. Lokasi yang dekat dengan bandara dan semua fasilitas
mendukung membuat Swift Inn menjadi hotel pilihan untuk hotel transit. Biasanya,
saya transit di hotel biasa yang cuma bisa tidur manis di dalam kamar tanpa
bisa berbuat apa-apa sebelum melanjutkan penerbangan keesokan harinya.
Lorong menuju kamar.

Kamar yang nyaman di Swift Inn.

Peralatan mandi yang lengkap.

Lobi yang nyaman untuk tempat ngobrol
Live musik tiap malam Jumat.

Afit ngapain itu?

Oryx Restoran
Aeropolis

Sarapan dan makan malam kami di Oryx Restoran, persis di
depan hotel. Mungkin agak aneh melihat restoran hotel dibangun terpisah. Namun,
sekali lagi, kawasan Aeropolis adalah kompleks untuk semua orang. Demikian pula
dengan restoran ini yang bebas dimasuki oleh siapa saja yang ada di sekitar
kompleks, baik untuk sarapan, makan siang maupun makan malam.
Menu yang dihadirkan beragam. Kami menikmati menu seperti mie
rebus, mie goreng, soto, capcay, cah kangkung telur puyuh, omelet dan nasi
goreng. Tiap sesi makan berbeda menu dan dihidangkan dengan cepat oleh
pramusagi. Sambil makan, kita akan ditemani oleh musik lembut.
Menu yang lezat.

Dagingnya renyah.

Mie yang lezat.
Ayo siapa yang mau ikut makan?

Apartemen Aeropolis
yang Mewah

Saya sudah sebut di awal, selain hotel ada pula apartemen
siap huni di kawasan Aeropolis Tangerang. Apartemen ini bisa dibeli maupun
disewa. Selain pekerja di bandara terdapat pilot, pramugari dan pramugara yang
tinggal di apartemen ini. Beberapa kali saya berpas-pasan dengan pramugari dan
pramugara yang sedang berangkat ke bandara ataupun baru saja pulang.
Nama juga apartemen tentu saja harganya juga tidak main-main.
Belum lagi bicara keamanan yang sangat terjamin di kawasan ini. Aeropolis memiliki
2 tipe apartemen yaitu Crystal dengan 2 kamar dijual dengan harga Rp. 700-800
juta per unit. Tipe Studio dijual dengan harga Rp. 200-300 juta per unit. Harga
sewa untuk tipe Crystal adalah Rp. 5-6 juta perbulan dan tipe Studio dengan
harga Rp. 1,8-2 juta perbulan.
Dekorasi apartemen di Aeropolis sangat menarik dan memiliki
cita rasa tersendiri, baik dalam penempatan isi ruangan maupun pemilihan warna
yang cerah. Saya suka pemilihan warnanya yang melambangkan bahwa hidup ini
harus selalu berbahagia.
Bolehlah jika berkhayal suatu saat tinggal di kawasan
Aeropolis, mungkin saya akan memiliki satu di antara apartemen yang dijual ini.
Selain dekat dengan bandara juga tidak begitu kesulitan untuk ke Jakarta. Toh, transportasi ke Ibu Kota dari Kota
Tangerang juga beragam. Pesan online
langsung diantar ke kompleks, mau naik kereta api juga tidak masalah. Vina
sesekali nyelutuk untuk beli
apartemen ini. Sayangnya, Mbak Dian
nggak ikutan sampai melihat mewahnya tata letak apartemen di sini.
Kamar yang mewah di apartemen Aeropolis.

Peralatan dapur yang disusun rapi.

Ruang tamu yang berwarna.

Kamar ini juga menarik bukan?

Susun baju yang rapi.

Nyaman dan aman tinggal di apartemen Aeropolis.

Berenang Bersama
Pramugara Ganteng atau Dilatih Instruktur Gym Tampan

Aeropolis termasuk sebuah kompleks yang lengkap. Sehat badan
juga menjadi perhatian khusus sehingga penghuninya benar-benar nyaman. Sport club tidak hanya memberikan
pemandangan soal ganteng dan gagah semata, tetapi bisa membuat kita awet muda.
Mas instruktur yang lupa saya tanya namanya, akan membantu kita
untuk mengecek kesehatan secara berkala. Jadi, saat berlatih usai atau
sebelumnya, kita cek dulu apa yang perlu ditambah atau dikurangi. Senyum mas instruktur
tampan ini bisa menghipnotis saat memberikan aba-aba.
Peralatan gym yang lengkap.

Mau ikut yoga sama Mbak Utami?

Sanggup berapa kilo angkatnya?

Mas instruktur tampan kasih tahu Mbak Vita apa yang kurang dan lebih di kesehatannya.

Siap berlatih dengan mas instruktur tampan ini?
Di sini, alat untuk latihan sangat lengkap. Bisa angkat
beban sampai yoga. Tidak puas berlatih dengan alat, bisa langsung turun ke
bawah untuk berenang. Jadi, bisa pilih antara dua; berenang bersama pramugara
ganteng
atau dilatih oleh instruktur gym tampan.
Kolam renang yang menggoda.

Di depan itu, ada pramugara ganteng sedang berenang.

Rekomendasi Hotel
Transit Murah

Hotel Swift Inn Aeropolis Tangerang.
Swift Inn Hotel di Aeropolis Tangerang merupakan salah satu
hotel transit terlengkap dan termurah. Hotel ini masuk ke dalam list saat saya bepergian nanti dan butuh
penginanap murah. Alasan utama adalah dekat dengan bandara, fasilitas lengkap, mudah
akses ke ruang publik, memiliki jadwal Shuttle Bus yang bisa disesuaikan dengan
jadwal penerbangan, pelayanan yang ramah dan kamar yang nyaman.
Categories
Uncategorized

Tempat Wisata di Bali, Surganya Bule Tampan

Secangkir
kopi tidak cukup untuk menikmati aroma di Pura Ulun Danu Bratan. Panas matahari
begitu menyengat siang itu; sampai wajahku memerah yang disebut oleh Pandu kayak kacang rebus. Meski di Aceh juga
tak kalah panasnya, panas hari itu tidak bisa menafikan apa yang telah terjadi
di kulitku yang begitu sensitif. Meski begitu, panas yang semula membuat hampir
sebagian isi kepalaku muncrat, berubah menjadi lebih sejuk saat masuk ke tempat wisata di Bali
yang indah ini.

Surganya
dunia, begitu julukan untuk Bali. Aku pernah bermimpi ingin ke Bali; demikian
juga dengan orang lain. Dulu, sempat kupikir bahwa ke Bali itu cuma traveling biasa, lalu pulang. Panorama
yang selalu dipromosikan. Kemewahan dan gemerlap malam yang tiada henti
berdetak. Seolah-olah hanya tabu untukku yang belum pernah ke sana. Namun,
begitu pesawat udara landing sempurna
di Bandara I Gusti Ngurah Rai, kesibukan yang nyata membuatku terpana. Inilah
Bali
. Inilah keindahan yang sebenarnya didengungkan banyak orang.
Bali tak bisa lepas dari seni.
Dan, aku
telah di sana, dalam paruh lalu yang tidak akan pernah kulupa sama sekali. Aku
tidak hanya menikmati secuil saja tetapi hampir segala keindahan dari Pulau
Dewasa. Aku terhenyak, terhipnotis, tersudut dalam bayang yang sungguh berbeda
dengan negeriku di ujung Sumatera.
Di mana-mana adalah
bule. Mereka tampan-tampan. Mereka tinggi menjulang. Hidung mancung. Gagah tak
terkira. Senyum bersahabat dibuang percuma. Ramah dalam bahasa mereka sendiri
yang membuatku tersendak.
Aku bahkan
ingin berlari tetapi langkahku tetap sesuai rencana bersama Pandu dan Sandi. Tak
mungkin membatalkan penginapan dan juga sewa kendaraan. Tergopoh di pagi, sopir
mobil yang kami sewa telah menjemput. Segala tentang Bali adalah indah. Semua
tentang Bali adalah bule. Dan, mereka tampan dalam surganya di sini!

Nusa Dua
dalam Balutan Keangkuhan dan Kemewahan

Angin pagi berhembus begitu saja. Nusa Dua ibaratnya pemukiman penduduk
kelas atas namun di sini lebih banyak penginapan mahal dan mewah. Perpaduan antara
ciri khas Bali dengan gaya modern menyulap Nusa Dua menjadi tempat termewah
untuk mereka yang berkantong tebal. Keliling Nusa Dua bisa menikmati sisi
kelembutan, gahar dan adem dengan pohon-pohon rindang. Tak pernah pula kita
melihat sampah bertumpuk. Jalanan penuh daun-daun luruh. Semua bersimfoni dalam
nada-nada terindah untuk menjamu tamu dari beragam bangsa.
Gaya bangunan di Nusa Dua, Bali.
Nusa Dua barangkali pilihan yang tepat – sekali lagi – untuk mereka
dengan budget lebih. Namun, untuk
kita yang ingin menikmati kemewahan di sana tak ada salahnya untuk menarik diri
dalam balutan ‘gaya hidup’ orang kaya tersebut. Kita bebas menarikan diri di
jalanan yang sepi, teduh dengan pohon dan segala bangunan dengan arsitektur
menawan. Di tiap bangunan besar itu, adalah patung-patung khas Bali yang sedang
berbicara tentang sejarah. Paninsula Island misalnya, membawa kita akan
kenangan pada sosok Arjuna dan Krisna dalam bentuk monumen di pinggir pantai
dengan lautan biru. Tenang dan aman. Jauh sekali dari suara bising di sini. Paninsula
Island sangat cocok untuk kamu yang ingin jogging,
menikmati pantai dalam ketenangan maupun bersantai di lapangan luas dengan
pemandangan laut lepas.
Paninsula Island di Nusa Dua.
Nusa Dua; penuh keindahan dan juga privasi. Aku tentu tidak bisa masuk ke
area pantai yang dipagari ‘rahasia’. Selain harganya mungkin mahal juga bukan
sesuatu yang bisa membuatku terlena. Kamu mungkin paham maksudku. Aku ingin
menikmati Bali dengan keindahan yang tidak ternoda dalam konteks kehidupan
pribadiku sebagai muslim. Namun, kamu perlu ketahui bahwa di Nusa Dua, pantai
area privat itu bisa dikunjungi dengan syarat dan ketentuan.
Patung mudah sekali ditemui di Bali.
Nusa Dua menjadi tempat yang dinanti banyak orang dengan kemegahan namanya.
Gemerlap malam di sini akan berbeda dengan di sudut Kota Denpasar lainnya. Kita
merasa kemewahan, kita merasa keindahan dalam definisi masing-masing.

Tanah
Lot dalam Romansa Cinta yang Abadi

Will you marry me? Sesuatu yang tidak
terduga bisa terjadi begitu saja di Tanah Lot. Bule-bule tampan ada di
mana-mana, itu sudah pasti. Aku masih sibuk sendiri ketika Pandu menarik
lenganku. Katanya, “Cepat foto, itu abang bule lagi lamar kekasihnya!”
Aku yang gagap, buru-buru mengeluarkan smartphone yang hampir terjatuh ke rumput. Matahari terbenam dengan
indahnya di belakang dua sejoli yang sedang dielu-elukan oleh banyak orang. Orang-orang
berseru, “Say yes, say yes, say yes!
Aku kaku di tempat berdiri. Hasil foto bule tampan yang sedang melamar
kekasihnya tidak begitu kupedulikan. Aku menikmati suasana ini. Terharu dalam
kata. Terbius dalam keberanian si pria. Aku pun tersudut karena tidak mungkin
hal serupa dilakukan di Aceh. Prosesi yang seharusnya penuh adat dilakukan
dengan santai dan berani di depan orang-orang yang tidak dikenalnya. Itu hanya
di Bali, buatku, mungkin hanya kulihat di Bali saja.
Bule tampan melamar kekasihnya di Bali
Bule tampan melamar kekasihnya di Bali.
Lamaran bule tampan itu terjadi begitu saja. Cepat. Gesit. Cincin telah
terlarung di jari manis kekasihnya. Orang-orang yang semula mendekat, memberi
dukungan dan semangat, kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing. Matahari
beranjak ke peraduan dengan indahnya, sebagai saksi romansa cinta abadi di sini.
Sunset di Tanah
Lot sungguh berbeda. Ia mengangga. Ia merajuk untuk dilihat eloknya. Ia ‘tidur’
dalam keromantisan tersendiri. Pura Karang Bolong yang menjadi ikon Bali ada di
sini. Sayangnya, hari itu laut lagi pasang sehingga kami tidak bisa naik ke
sana. Kamu bisa menikmati sunset di
Tanah Lot sekitar pukul 18.15 waktu Bali. Sambil menanti matahari terbenam,
kita harus mencari tempat yang strategi. Cari tempat ini memiliki falsafah,
siapa cepat ia dapat. Maka, kami duduk di tempat yang posisinya menghadap
ke  matahari terbenam, di atas lekukan
tebing landai, 30 menit sebelum detik-detik sunset
tiba. Karena ini pula, barangkali, kami bisa melihat bule tampan itu
melamar pujaan hatinya.
Sunset di Tanah Lot Bali.
Aku tidak akan pernah lupa dengan tiap kenangan di Tanah Lot. Tiap detik
adalah momen yang mengharukan. Deru ombak di bawah tebing benar-benar
mengantarkan irama yang tak pernah terbantahkan sama sekali. Matahari terbenam
dengan segala ucapan tersirat dari dirinya, membubuhkan rasa rindu untuk
kembali!

Pantai
Kuta dengan Kerlip Lampu Pesawat

Pesawat take off dan landing menjadi pemandangan indah di pantai terkenal ini. Di
magrib, lampu-lampu pesawat menjadi kerlap-kerlip yang menambah pemandangan
langit. Aku merasakan sendiri bagaimana kesibukan bandar udara di Bali ini. Pesawat
datang dan pergi dalam beberapa menit saja.

Pantai Kuta
juga menyimpan bule dalam kemasan tersendiri. Mulai dari jalan masuk ke bibir
pantai, sampai menanti matahari terbenam sekalipun kamu akan berpas-pasan
dengan bule. Tak bisa kupungkiri lagi, aroma yang tak biasa begitu menyengat di
sepanjang jalan dari kafe-kafe yang ramai pengunjung. Tentu, kafe-kafe ini
menjual minuman beralkohol untuk tamu-tamu bule tampan mereka.
Di beberapa
menit sebelum matahari terbenam, bule-bule masih bermandikan panas. Mereka
berjemur sambil membaca buku. Mereka berselancar dengan lincahnya. Di bawah
bayang matahari yang sedang menukik tajam, tubuh bule yang menjulang dengan
papan seluncurnya menjadi pemanis foto kami.
Bule dan papan selancarnya di Pantai Kuta.
Ramai sudah
pasti. Ricuh benar sekali. Berbeda dengan Tanah Lot yang lebih adem dan
romantis, Pantai Kuta lebih ganas dan bertenaga. Ombak-ombak besar mudah sekali
menjumpai kaki yang dekat dengannya. Aku melihat semua orang menikmati
perubahan itu. Persentase orang berkulit sawo matang dengan bule hampir 30%
banding 70%. Aku bahkan berujar dalam hati, “Jika ingin lihat bule, di sinilah
tempatnya!”
Beginilah panorama bule di Pantai Kuta.
Matahari terbenam.
Suara tepuk tangan di mana-mana. Mungkin mereka senang sehari telah dilewati. Mungkin
juga gembira bisa melihat indahnya sunset
di sini. Tak lama, beberapa orang menghidupkan lampion. Aku juga menikmati hal
itu dan mengarahkan pandangan ke mana lampion diterbangkan angin malam. Malam
yang beranjak tak membuat bule-bule itu meninggalkan Pantai Kuta. Namun, kami
harus beranjak untuk istirahat sejenak sebelum esok memulai sebuah petualangan
lebih seru.

Pura
Ulun Danu Bratan Ikon Rp 50.000

Kusebut di
awal, Pura Ulun Danu Bratan menyimpan ragam rasa. Udara Bedugul waktu itu
memang sangat bersahabat untuk kami. Jalan berliku dan menanjak untuk sampai ke
sana menjadi kenikmatan tersendiri. Kami menjumpai kebun stroberi dan
penjualnya di pinggir jalan. Wajib untuk membeli buah segar ini untuk melegakan
perut.
Ikon Rp 50.000 yang megah di balik bunga indah ini. 
Pura Ulun
Danu Bratan tak sekadar tempat wisata di Bali yang indah
saja. Aku suka kebersihannya. Aku kemudian paham sejarah Danau Bratan. Juga,
rasa sejuk yang tak bisa ditepis meski hawa sangat panas. Pura-pura berdiri
dengan kokohnya dalam balutan khas Bali yang sempurna. Di sini tidak ada gaya
modern sehingga kita benar-benar dimanjakan dengan aroma Bali dalam rasa
sebenarnya.
Pura Ulun Danu Bratan yang bersih.
Lagi, di
sana bule, di sini bule. Aku sampai terkejut ketika bule tampan itu menghampiri
dan bercakap dalam bahasa Indonesia. Senyumnya yang menawan tidak berani
kutolak. Ia bertanya, “Bisakah kamu memfoto saya dan Ibu saya?”
Aku
mengambil smartphone miliknya dan
membidik ke arahnya berdiri bersama ibunya. Senyumnya masih merekah seperti
sediakala. Ucapan terima kasih berulur begitu saja. Aku yang kaku disapa bule
tampan terlupa untuk bertanya banyak hal. Dia hanya berujar, Ibunya orang
Indonesia. Mungkin karena ini dirinya bisa berbahasa Indonesia. Entah kenapa ia
menyapa dalam bahasa kita, mungkin karena banyak pertimbangan atau memang
karena dirinya cinta Indonesia.
Perbedaan yang nyata sekali bukan?
Kembali ke
ikon uang Rp 50.000 yang tidak mungkin aku lewatkan begitu saja. Aku
mengarahkan kamera smartphone dengan
mantap. Pemandangan ini tak boleh ditinggal. Begitu juga dengan romansa
pasangan bule yang sumringah dipotret kawannya.
Juga ada cinta di Pura Ulun Danu Bratan, Bedugul.
Pura yang
berbentuk piramida itu memiliki gaya khas yang tak terlupa. Ia bersenyawa
dengan alam di sekitarnya. Ia seolah berbicara tentang rasa Bali yang
sebenarnya. Tentu, aku menikmati segenap rasa yang disuguhkan dengan manis
olehnya.

Bajra
Sandhi Bercerita Tentang Rupa Bali Masa Lalu
 

Di
mana-mana adalah sejarah yang akan dikenang. Aku juga meminta kepada Pandu
untuk membawa kami ke tempat bersejarah di negerinya. Maka, Bajra Sandhi adalah
tempat itu. Mungkin lebih dikenal juga dengan nama Monumen Perjuangan Rakyat
Bali yang terletak di Jalan Raya Puputan, Niti Mandala Renon. Tempat ini begitu
indah dan mungkin luput dari list traveler yang ke Bali. Candi yang
tinggi. Halaman yang luas, rumput hijau yang ditata rapi juga terdapat race untuk jogging.
Bajra Sandhi, monumen bersejarah di Bali.
Bagi kamu
yang ingin mengetahui sejarah Bali di sini wajib membayar tiket masuk sebesar
Rp 10.000. Monumen Perjuangan Rakyat Bali ini terdiri atas 17 anak tangga di
pintu utama, 8 tiang agung di dalam monumen, dan monumen yang menjulang 45
meter. Aku menikmati tiap lekuk candi dan pemandangan Kota Denpasar yang indah.
Ada yang foto wedding di sini.
Lihatlah mereka
yang foto wedding di bangunan tua
ini. Indah sewajarnya. Berbicara soal rasa seperlunya.

I’tikaf
Sejenak di Masjid Sudirman

Ke manapun melangkah, adalah masjid tempat
kembali untuk bersujud
. Aku berujar kepada Pandu, “Bawa kami ke masjid di Bali ya!”
Aku memang
tidak menyebut nama masjid dengan lebih spesifik namun Pandu paham maksud itu. Maka,
singgahlah kami ke Masjid Sudirman di Kompleks Kodam Udayana, Denpasar. Sekilas,
ornamen yang membentuk masjid ini begitu indah adalah ciri khas Bali – atau
bangunan Hindu yang kentara sekali. Bangunan sederhana ini menyimpan rahasia Ilahi yang tak pernah tersingkap di
Bali. Gemuruh lain tentu berbeda namun Islam di Bali juga bergema dengan
keanggunan dalam dirinya. Pandu berkata, Masjid Sudirman termasuk salah satu
masjid terbesar di Bali.
Masjid Sudirman di Denpasar.
I’tikaf sejenak di masjid ini tak lain sebagai rasa
syukur telah sampai di Bali. Mungkin nanti akan kembali. Mungkin juga tidak. Namun,
sebagai muslim, aku wajib mengunjungi masjid ke manapun langkah membawa jiwa. Rasa
syukur itu tak bisa dilukiskan dalam indahnya matahari terbenam di Tanah Lot
atau di Pantai Kuta. Tumpuan harapan untuk keselamatan sampai pulang kembali adalah
di rumah ibadah yang doanya lebih khusyuk, tenang dan damai. Maka, jika kamu ke
Bali, tak salahnya untuk mampir ke masjid ini, dua rakaat salat sunat sudah
lebih dari cukup jika belum waktunya salat wajib.

Aroma Bali
adalah keindahan. Bali adalah surganya bule. Tampan mereka tak terkira. Senyum
mereka membawa kehangatan. Tempat wisata di Bali
memang banyak sekali, hanya saja, aku baru mengunjungi beberapa ini. Mungkin
nanti, ke Ubud atau ke lokasi film Eat Pray Love. Tiada yang tahu. Sudahkah
kamu melukiskan rencana ke Bali?  
Categories
Uncategorized

Jakarta Suatu Ketika dalam Kemewahan dan Imajinasi Pinggir Kali

Ibu Kota itu gemerlap. Ibu Kota bernama Jakarta itu penuh bintang; di langit lalu masuk ke atmosfer Bumi dengan tarikan gaya gravitasi tiada ampun. Bintang di Jakarta begitu indah bagaimana pun definisi untuk menjabarkannya. Tiada yang peduli bintang itu jatuh ke pinggir kali, tiada pula yang akan mengiba pada waktu agar dapat memeluk bintang. Karena semua itu, berjalan dengan cepat, dalam sekejap, dalam periode yang mengibas kelambanan dalam meraih mimpi-mimpi.
Kupikir, dulu sekali, Jakarta itu
kayak di televisi. Manis dalam
kemasan. Licin bermarmer. Harum bagai kasturi. Kupikir sekali lagi, Jakarta itu
tak ada susahnya sama sekali. Persepsi yang membawa pikiran itu adalah
orang-orang ‘hebat’ tinggal di Jakarta. Maupun, orang-orang ingin menjadi hebat
akan ‘hijrah’ ke Jakarta. Ibu Kota
adalah segala rupa. Beragam keinginan. Jutaan godaan. Manis sekali diteguk;
berulangkali akan ingin mencicipinya. Busuk sekali dicium; mau tidak mau akan
dibuang meski pembelaan telah dilakukan.
Mungkin, orang telah bosan
membicarakan Jakarta. Semraut yang nyata. Gemerlap yang memengkakkan telinga. Rupa
penuh penipuan dan persaingan. Dan waktu pun seolah tidak mau bersahabat dengan
baik pada ‘kita’ yang mudah terlena. Tetapi, aku mungkin terlalu ‘manja’
melukiskan Jakarta – karena – berkali-kali disebabkan ragaku yang jauh
dengannya; bisa juga karena aku seekor
gagak kampung yang melihat mewahnya kehidupan di sana sebagai mutiara terpendam
.
Magrib saja, Jakarta itu cantik
sekali dalam pandanganku. Matahari yang menukik entah di sisi mana, memencarkan
siluet ke gedung-gedung yang telah menyalakan lampu – atau memang lampunya
tidak pernah padam sama sekali. Percumbuan sinar matahari dengan cahaya lampu
memadukan irama yang kuat sekali dalam mendeskripsikan akhir hari itu. Jika panas
sinar matahari perlahan-lahan memudar, mana gurauan cahaya lampu adalah
keindahan yang setimpal dengan keinginan dan keinginan serta hawa nafsu yang
semestinya dielokkan saat malam tiba.
Jembatan di Neo Soho, misalnya, adalah
favoritku tiap singgah di Jakarta Central Park, Jakarta Barat. Tidak hari terik
maupun malam menggoda, jembatan ini menjadi ‘destinasi’ yang wajib bagi siapa
saja yang ingin berfoto. View Central
Park yang indah terburai begitu saja dari atas jembatan ini. Waktu yang paling
dinanti adalah senja hari, seolah harumnya jembatan tidak putus. Banyak sekali
orang-orang lewat, berhenti sejenak, mengambil foto sebelum berlalu. Demikian seterusnya
sampai aku juga melakukan hal yang sama, terlebih karena sesekali aku ke sini.
Jembatan di Neo Soho, Jakarta Central Park, Jakarta Barat
Berbeda dengan siang, di senja
hari suasananya begitu romantis. Lampu berwarna kuning telah menyala di tiap
tiang penyangga yang juga dicat dengan warna yang sama. Tiang yang melengkung
di sisi kanan – jika dari Hotel Pullman – memiliki atap dengan langit-langit
berwarna putih. Sisi kiri dibiarkan terbuka dengan lampu memancarkan cahaya
dengan konteks yang sulit dilupakan begitu saja. Hampir di tiap tiang penyangga
melengkung itu, berdiri  mereka dengan
penuh gaya dan senyum silih-berganti. Di sisi lain, datang pemuda berseragam
khas yang menjajakan ‘sesuatu’ dalam kertas. Mereka hanya akan ‘ramai’ di atas
jembatan yang tak kalah ramai itu kala senja saja.
Foto ‘wajib’ di jembatan Neo Soho, Jakarta Central Park
Malam yang menjemput mimpi begitu cepat, memancarkan cahaya lampu di mana-mana. Dari lantai 9, menghadap langsung ke jembatan yang sorenya ku injaki, tak kalah indahnya. Warna kekuningan terlihat sepanjang jembatan yang menjadi primadona. Lampu kendaraan yang masuk ke area Central Park atau melewatinya untuk ke tujuan lain, terlihat padat sekali. Seolah tak pernah berhenti, denyut nadi ini begitu menggoda siapa saja.
Kupikir – lagi – Jakarta di malam
hari adalah aroma yang sangat diidamkan oleh banyak orang. Begitu banyak godaan
yang datang. Begitu banyak pula ‘uang’ yang dihabiskan hanya untuk seteguk air mineral di kafe-kafe
ternama. Namun, begitulah aroma yang melekat, begitulah gaya hidup yang
selayaknya dirayakan, begitulah kebutuhan yang harus diselaraskan; meskipun
tidak semua ‘pemilik’ hati Jakarta itu mampu menyeimbangkannya.

Malam di Jakarta Central Park dari Pullman Hotel
Gedung-gedung tertinggi dengan
cita rasa kemewahan tiada henti, mungkin akan menjadi idaman mereka yang ada di
pinggir kali. Tidak hanya keberuntungan dalam ketampanan untuk sekadar duduk
manis saja di meja dengan sapu tangan dan alas piring tersusun rapi. Dentingan sendok
garpu dengan piring tidak selamanya dapat dinikmati oleh ‘pencinta’ Jakarta yang
mungkin di fajar sampai senja hanya melihat boat
yang kebetulan lewat di pinggir kali.
Kursi kayu dengan warna buram
namun kokoh untuk diduduki dengan busa lembut. Belum lagi jika duduk di sofa
yang berwarna kecokelatan, akan terasa lebih nyaman sekali. Pemandangan ini,
hanya sebagian kecil dari ruangan hotel berbintang. Namun, sekali pandang saja,
aroma kemewahan begitu kentara sekali.
Kemewahan di ruang makan Pullman Hotel
Di pinggir kali, jauh dari
bangunan yang dingin dan memiliki pengharum, jemuran bergantungan di sisi depan
maupun belakang bangunan kumuh yang tidak beraturan. Baru saja keluar dari
ruangan gemerlap lampu, seakan silau di luar yang panas terik itu benar-benar
tidak seimbang. Dan sekali lagi, ini Jakarta yang seirama dengan mau
kamu, mau dia, mau siapa saja. Bagaimana mau kamu, begitulah keadaannya. Di pinggir
kali yang berbau lumut, dengan sampah berserak di mana-mana, dengan suara suing
dari boat yang lewat, maupun dengan
debu beterbangan bebas, di situlah kehidupan Ibu Kota sebenarnya.
Meski kusebut mereka mungkin ‘merana’
namun padat penduduk dengan kesibukan masing-masing seolah tak mau ambil pusing
dengan indahnya Jakarta. Indah Jakarta di sisi berbeda,  belum tentu indah di definisi mereka yang
entah kusebut siapa namanya. Musik konser boleh berdenyut sampai ke nadi dari
gedung bertingkat di depan mereka. Peragaan busana boleh saja melintas dengan
mudah di atas catwalk tak jauh dari
tempat mereka tinggal. Selebritas boleh melintas di depan mereka dengan kaca
mobil tertutup rapat. Tetapi, mereka telah seirama dan senyawa dengan kehidupan
yang demikian adanya.
Pemandangan pinggir kali Jakarta
Imajinasi pinggir kali, seperti
imajinasiku kepada bintang jatuh yang memudar sinarnya sembari terus mengerucut
ekornya. Di sudut hati kecil mereka di pinggir kali, tentu membekas
keinginan-keinginan untuk sekali bahkan lebih melintasi jembatan di Neo Soho
lalu masuk mal meskipun tidak membeli apapun. Barangkali, anak-anak mereka
telah cukup sering memotret diri di sudut Central Park yang mewah dengan sebuah
Ferrari terparkir indah. Mungkin juga, meskipun rumah di pinggir kali mereka
adalah sosialita yang paham betul di mal mana tempat paling asyik untuk
bercengkrama.
Sebuah Ferrari parkir di Jakarta Central Park
Semua bisa jadi mungkin. Semua bisa
jadi tidak mungkin. Karena ini Jakarta, diajarkan begitu saja keinginan demi
keinginan walaupun tidak mampu lagi menopang gaya hidup. Jakarta suatu ketika,
selalu begitu saja; elegan, mewah,
melankolis, tak tidur, penuh hawa nafsu, orang kaya yang bebas melakukan
apapun, orang miskin yang menonton penuh harap!
Jakarta suatu ketika, dalam
kubangan kali, mau tidak mau harus melebur jika ingin sukses atau digusur
waktu. Jakarta suatu ketika, penuh godaan, penuh kreativitas yang melebur dalam
waktu. Siap untuk itu, maka tak ada kata pergi meninggalkan Jakarta. Ragu-ragu
untuk itu, biar sepertiku saja yang menjadi tamu sesaat dan menikmati aromanya
yang kentara!
Categories
Uncategorized

Negeri Patung dengan Pancuran Dupa Itu Bernama Bali

Dia telanjang. Oh, tidak, mungkin, dia hanya telanjang dada saja; yang menampakkan lekuk tubuh kokoh membelah awan bergumpal pada hari terik sekali itu. Nusa Dua, Bali, pada sepenggalah janji matahari, mengintip dari balik jeruji, ternama daun kelapa yang meliuk-liuk dihempas angin. Desiran melodi membawa keringat lebih deras, menyusuri jalan setapak Nusa Dua yang benar-benar segar di pagi hari.
Tahukah engkau? Bahwa ini, sedang tidak dalam Hari Raya Nyepi,
waktu akhir tahun 2016, aku singgah di sana. Kenangan setahun lalu, tetapi
begitulah pancaran menyalak dari mata sendu, merayu dari teduhnya sapaan dan
berhati-hati dalam balik menyapa suara lembut bagai persolen. Begitulah Bali,
terkisah dengan sempurna dalam mahakarya siapa saja; audio maupun visual. Jenaka
muncul dari Elizabeth Gilbert dalam Eat,
Pray, Love
yang diperankan dengan apik oleh artis kenamaan, Julia Roberts. Mungkin
juga ilustrasi romantis lain dari Dee Lestari dalam mengemas Kugi di novel Perahu Kertas.
Kusebut sekali waktu itu, “Bali
itu negerinya bule, di mana-mana bule, bule lagi, bule lagi!” sekali pandang engkau akan mendapati tatapan
kegantengan bule; di bibir pantai, di jalanan, di dalam hotel, di trotoar,
bahkan di minimarket saat ku mampir untuk membeli permen, ada bule bertransaksi
dalam diam sebelum, “Thank you!” terucap dari mulutnya lalu berlalu.
Nikmatnya memandang mata biru
bule-bule itu, segera beralih ke kekaguman lain. Meski kusebut ini ‘tak begitu’
penting namun sisi inilah yang mengantarkan kedahsyatan maupun keelokan Bali. Mungkin, bule tak perlu dicari dan bisa
dihampiri tanpa sengaja. Namun‘dia’
yang kokoh, seksi, dan diam dalam segala rupa sulit sekali didapati, kecuali
jika engkau menghampirinya.
Pugaran tangan seniman Bali ini
tidak sombong, ia hanya tangkas dan menjurus pandangan pada satu sisi saja. Misal,
engkau singgah di Hotel
Courtyard by Marriot Nusa Dua
, seorang ‘ibu’ duduk memangku
bakul yang mungkin isinya hanya ‘tanah’ dengan senyum tulus, dengan alis
terangkat, busana khas wanita Bali, yang seolah-olah ia sedang menunggu
seseorang, pulang ke rumah dari tempat yang jauh. Rambutnya disisir rapi ke
belakang yang mungkin terdapat sanggul sedikit, jika ku lihat lebih jeli waktu
itu. Kaki tak beralas menginjak batu yang usang oleh waktu. Jari-jemarinya
terlihat keriput dengan kuku-kuku yang tidak digambarkan kelihatan seperti
keinginanku dalam ilusi tak pasti.
Rumput liar di sekelilingnya
bahkan hampir sepinggul. Rupanya, ibu ini tidak sendirian, tak jauh mata
memandang di halaman hotel dengan corak Bali dalam ademnya ini, terdapat
ibu-ibu lain yang juga memiliki bakul. Seragam ‘putih’ mereka tak pernah
tergores oleh debu bahkan basah oleh hujan lebat, dan embun pun tak bisa
menyulapnya menjadi dingin. Mereka ada yang mengangkat bakul, memangku,
meletakkannya di kepala, dalam ikhlas yang tak jelas untuk apa.
Padahal, ku ingin bertanya pada
seniman yang memahat mereka, tetapi entah mungkin waktu tidak mengizinkan atau
memang aku hanya dipersilakan untuk melihat saat melintas berkali-kali di depan
ibu-ibu ini. Mereka tentu tidak tersenyum kepadaku. Juga tidak kepada orang
lain. Mereka hanya menggambar senyum untuk mereka sendiri dalam tubuh tak
bernyawa!
Seorang ‘ibu’ yang memangku bakul.
Burung hantu menyalak dalam mata
kecokelatan, bulat tak berkedip dengan moncong penuh keangkuhan. Ia berdiri di
atas batang pohon mati yang telah ditebang ‘pemilik’nya suatu waktu lalu. Bulu-bulunya
membungkus tubuh yang gemuk dengan kuku-kuku panjang tak pernah dipotong. Aku berpikir,
berapa lama seniman itu mengukir sisik-sisik di seluruh tubuh burung hantu ini.
Mungkin dua hari, seminggu, dua bulan, mungkin hampir setahun bahkan lebih.
Aku menikmati tatapan matanya;
meski takut seolah ia telah hidup, menjelma menjadi burung hantu yang ribut
di tengah malam. Jalan beraspal yang telah kering, daun-daun luruh di rumput
yang masih berembun, anak kelapa sawit yang baru menuju usia remaja, akan
menemani tiap waktu burung hantu itu.
Burung hantu di siang hari dengan tatapan galak.
Burung hantu itu menjadi bias
dari sebuah gunungan yang terbuat dari batu, mengalir air yang dipancarkan dari
air mancur buatan. Di kaki gunungan itu, dalam angkuh, dalam keseksian yang
nyata, dalam mata menjerit penuh amarah atau ketakutan, lentikan jari seolah
mengeluarkan sakti mandraguna untuk mengusir kekuatan jahat di lingkarannya. Aku
lupa dengan pasti berapa ‘nyawa’ yang terekam dalam bahtera seniman itu. Tiga wujud
yang kutatap dalam lensa kamera, mampu mendeskripsikan keperihan dan kemarahan
dalam balutan kain yang menjuntai ke bawah, mungkin juga terkelupas dari tubuh
mereka.
Tak terkira, bagaimana seniman
entah bernama apa itu melukis ‘dara’ melalui imajinasinya. Di bawah biru langit
memuncaki siang, bahtera punggawa wanita itu tak bisa menepi ke manapun. Mereka
kokoh, mereka bertahan, mereka melawan, dalam arti sebenarnya mereka adalah
abadi dari apa yang tidak kuketahui yang seharusnya kuintip sejarahnya di dekat
itu. Mungkin jika papan nama menjelaskan segala pandangan.
Di malam nanti, keelokan tubuh
mereka dipantulkan melalui cahaya lampu yang terpasang di kaki bahtera. Sayangnya,
aku tidak sempat melewati mereka di malam hari karena mengejar bayangan di
tempat berbeda.
Bahtera ‘putri’ yang seksi dengan kengerian dalam jiwanya.
Di tengah kota yang tidak hiruk
pikuk itu, berdiri dengan kokoh seorang gagah berani. Ia memakai mahkota yang
menandakan dirinya bersenyawa dengan atribut kekuasaan. Tangan kanannya meremas
bola api yang akan dihunuskan kepada mata naga yang memerah. Tangan kirinya mencekik
leher naga yang juga bermahkota. Matanya mengisyaratkan amarah sampai ke
ubun-ubun. Dadanya mengeras dengan puting susu yang mungkin menjadi kehitaman. Otot-otot
pahanya terlihat jelas, menahan ekor naga yang lebih kuat dari dirinya.
Cerita yang terpukau dari seniman
itu kuresapi dengan baik. Tokoh sejarah Bali yang pinggul kerasnya dililit naga
raksasa, di atas ‘lautan’ masa itu. Pahatan sempurna akan sosok ini cukup
menjelaskan makna yang tersembunyi. Mudah pula menikmati karena jalanan Nusa
Dua memang ‘seakan-akan’ diperuntukkan kepada pejalan kaki saja. Sisik naga
yang terpahat jelas serupa dengan kain kotak-kotak yang mengikat bagian intim
penakluk naga itu. Entah di bagian mana celah itu ada untuk mencacatkan pahatan
seniman yang memahatnya.
‘Sang Raja’ dan seekor naga yang memperebutkan mahkota.
Negeri ini adalah negeri patung. Negeri patung ini bernama Bali. Tiap langkah yang engkau luruskan, patung-patung itu menyapa dengan segenap keelokan
di dalam dirinya. Tidak senja. Tidak pula fajar. Engkau dengan mudah menatap matanya, selurus tubuh gagahnya, seisi
seksi di dalam dirinya. Di mana-mana, dengan keunikan tersendiri, dengan
penghambaan yang absurd maupun untuk mengenang sesuatu, asal-muasal yang pernah
meletus di suatu masa.
Itulah Bali. Kusebut juga, negeri
seniman yang tak pernah henti. Dua karya yang kusentuh di awal; Eat, Pray, Love
maupun Perahu Kertas, keduanya berbicara soal seniman di Bali, pahatan patung
maupun bau ‘dupa’ yang menyengat indera penciuman. Jika patung mudah engkau lihat, maka ‘dupa’ lebih mudah
lagi dalam menciumnya.
Halaman yang dihiasi oleh ‘ibu-ibu’ dengan bakul miliknya.
Di tiap persinggahan; di teras
rumah, di depan bangunan, adalah patung dengan pahatan penuh makna yang di
dalamnya keluar asap ‘doa’ yang mungkin akan memakmurkan pemiliknya. Suatu saat
engkau ke sana, ceritakan kepadaku,
patung mana yang membuat terkesima atau bahkan terkejut karena rupanya!
Categories
Uncategorized

Bangkok Sky Train dalam Tingkah Polah Kegantengan Pria Gajah Putih

DNA menghentakkan telinga, dibalut dengan nada-nada menggebu oleh Bangtan Sonyeondan, atau mungkin lebih dikenal dengan BTS. Lagu-lagu mereka saya akui memang tidak masuk ke dalam list putar, entah kenapa lagu dengan banyak bagian rap dan musik yang memengkakkan telinga kurang peka didengar. Beda selera mungkin, di mana saya lebih menyukai EXO atau Wanna One yang memiliki main vocalist dengan suara merdu. Chen dengan suara lengking, D.O Kyung-soo dengan suara berat, Jaehwan dengan cita rasa musik tinggi atau Minhyun dengan suara lembut dan menggoda.
Mungkin, mereka mendengar salah satu dari musik itu. Mungkin juga, mereka tidak melakukannya
sama sekali. Saya ‘hanya’ tahu mereka
dengan mesranya bercumbu dengan earphone
dalam dinginnya BTS. Oh, ini bukan
grupband Korea Selatan yang diawal saya sebut, ini adalah aroma menggelora dan
penuh sentuhan tak sengaja dalam Bangkok Sky Train atau sering disebut BTS. Kereta
api cepat di tengah kota Bangkok ini tergolong idaman banyak orang, berjejer
mereka mengantri di pintu masuk pada jam-jam sibuk, terlebih sore sepulang
kerja dan sekolah.
Berbaur dengan mereka yang beda
suku dan juga bahasa, membuat saya seolah berpikir bahwa hari itu berlaju
dengan kencang seperti lajunya BTS. Tak ada kata ‘sebentar’ atau ‘tunggu dulu’
di depan gerbang yang telah menanti mesin penggesek kartu masuk ke BTS. Gerbong
kereta api cepat itu berdecit dengan merdu, berdiri di depan orang-orang yang
menunggu, membuka pintu secara otomatis, di sisi kanan penumpang turun dan di
sisi kiri calon penumpang naik dengan tergesa-gesa; berharap dapat kursi.
Stasiun BTS yang sepi, menunggu penumpang dan kereta datang.
Tak ayal, saya yang mengekor pada
guide dengan langkah cepatnya, tidak
bisa bernapas lega karena kursi BTS telah diisi oleh mereka yang elok fisiknya.
Namun, di antara saya, dengan santainya mereka yang lain, tampan rupawan, seksi
menggoda, memegang pegangan di atas kepala, kembali larut dalam lagu-lagu entah
apa bunyinya dari earphone di
telingannya. Sama dengan kami, saat guide
kami menyebut tempat tujuan, mungkin mereka juga telah hapal betul berapa lama
waktu akan sampai ke ‘rumah’ dengan selamat dalam lelah seharian.
Di stasiun tertentu, entah apa
namanya, sama dalam bahasa Thailand dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris
sepatah-patah, pintu BTS dibuka dengan cepat penumpang keluar dan diganti lagi
dengan penumpang lain. Begitu seterusnya di stasiun-stasiun lain. Pemandangan tetap
sama, mereka yang masuk terburu, mereka yang keluar juga dalam keadaan terburu,
memasang earphone di telinganya. Mereka
abai sekeliling. Mereka tidak berkutik dari layar smartphone di genggaman tangannya, meskipun pada menit-menit
berlalu rem BTS berderit kuat sekali.
Sebelum naik BTS, calon penumpang harus memiliki kartu ini dulu yang dapat ditebus di stasiun.
BTS itu tak pernah sepi dari
waktu ke waktu. Mungkin sore, adalah puncak kepadatan itu terjadi. Kereta api
cepat itu melaju kencang, musik yang terdengar dari penumpang di samping saya
juga kencang sekali. Saya malah mengira, penumpang itu telah kebal dengan suara
melengking sampai keluar earphone.
Dan, seolah tidak ada yang
berwajah biasa-biasa saja dalam BTS ini. Silih-berganti penumpang yang datang
adalah mereka yang terpoles dalam kegantengan dan kecantikan ‘gajah putih’
serupa dengan yel-yel negara mereka. Lihatlah bagaimana pemuda tampan ini abai
terhadap penumpang lain, ia memutar musik, menikmati perjalanan sambil berdiri
namun tidak tahu ‘saya’ beserta orang lain mengarahkan kamera smartphone ke dirinya.
Memotret yang tampan di dalam BTS, ‘dia’ juga ketahuan melakukannya.
Penantian yang panjang tetapi
terasa melesat cepat sekali. BTS itu menurunkan saya bersama yang lain di
stasiun dekat pusat perbelanjaan termewah, Siam Paragon. Dan lagi-lagi, di
jalan setapak, langkah kaki cepat, earphone
terpasang dengan kuatnya di telinga mereka. Saya tidak tahu irama apa yang
didengar. Entah pula apa yang mereka lihat dari layar smartphone, mungkin juga menengok jual beli online yang menarik
minat. Mungkin juga, mereka hanya memutar-balikkan layar dalam jenuh perjalanan.
Tak mungkin pula mereka mencari promo tiket lebaran,
kecuali saya yang melakukannya. Cepatnya waktu, naik-turunnya penumpang dari
BTS, gerak langkah yang tak terbendung, adalah irama yang lebi menarik dan
tidak boleh saya lewati. Kesibukan masing-masing dalam BTS yang mungkin dari earphone juga keluar musiknya BTS,
menjadi nikmat yang kemudian saya syukuri. Bahwa, di negara itu tak ada kata untuk melambankan langkah, tak ada waktu
untuk ngobrol panjang bersama teman, tak ada pula waktu untuk menikmati alam
yang gaduh dengan kendaraan!
Wajah lelah seharian mengitari Bangkok.
Semua berirama. Semua menarik
mata saya. Dan semua membuat saya ingin kembali, mungkin nanti, mungkin kapan-kapan lagi!

Categories
Uncategorized

Dua Turis, Dua Kebodohan dalam Bahasa ‘China’ yang Tidak Dimengerti

Saat itu, menerima e-mail dengan titah ‘undangan’ traveling menjadi idaman, berbunga meski
hanya membaca subjek surat elektronik itu saja. Semula, saya memang tidak
berharap banyak – bahwa – dengan menulis dapat menelusuri senja di langit
negeri mereka yang jauhnya tak bisa
saya jabarkan. Hanya waktu yang terus, menggebu, membingkai kenangan, dalam
kubangan keelokan hari, meski panas atau gerimis menerpa sayap pesawat terbang
yang saya tumpangi.

Begitu rasa menggiba pada kasih
sayang di ruang tunggu, terminal keberangkatan, di bandar udara, tiap itu saya
berharap bahwa waktu segera berlalu. Saya sering termangu, menatap mereka yang
lebih dulu mengejar pintu pesawat yang nyaris ditutup pramugari cantik, dalam
bingkai senyuman semanis permen yang mereka sodorkan – kadang ada kadang tiada.
Earphone yang terpasang di dua
telinga sekonyong-konyong telah habis memutar semua lagu yang tersimpan dalam
memori smartphone. Padahal, jelas
sekali itu hanya ilusi yang membunuh suntuk seketika tak mau pergi.
Pengalaman transit pesawat terbang.
Lain ruang tunggu yang disemuti
oleh kebosanan, lain pula saat transit, dalam tergopoh-gopoh menuju gate yang telah tercoret di boarding pass. Bandara yang luas,
berkelok dengan tangga seolah tak henti, mungkin akan tersesat bila saya lupa
bahkan mungkin tidak mengerti arah panah di atas kepala kami. Klaim bagasi. Transit. Toilet. Semua
memiliki panah. Semua diterjemahkan pula ke dalam bahasa Inggris.
Perjalanan jam 06.00, pagi
menggelora dalam dingin, selalu membutuhkan energi lebih untuk mengejar
penerbangan pertama dari Banda Aceh ke Jakarta. Pesawat terbang ‘Singa’ itu
bisa saya sebut, selalu tepat waktu jika penerbangan pagi buta, lain halnya
dengan penerbangan pada jam-jam sibuk lain. Dari tanah rencong ke Ibu Kota dengan maskapai ini membutuhkan waktu lebih
kurang 5 jam dari waktu normal 2 jam 50 menit atau 3 jam perjalanan nonstop.
Pulang pergi, adalah hal yang
wajar singgah di Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara. Kira-kira 40
menit berjalan untuk mengganti penumpang yang turun di Medan dan berangkat ke Jakarta.
Kejenuhan terjadi tak bisa dialamatkan kepada siapa bila pengumuman menjerumus
kami untuk tetap di dalam pesawat terbang, dengan tanpa hiburan apapun. Kegundahan
dalam waktu menerpa hati saat pramugari mengumumkan untuk turun ke terminal
kedatangan, melapor kembali ke petugas darat untuk melanjutkan dengan pesawat
berbeda atau dengan nomor penerbangan yang sama.
‘Lorong-lorong’ di bandara yang selalu panjang.
Di Mei 2017, hampir separuh waktu
berlalu, saya pulang dengan segenap harapan dan melupakan kenangan di Ibu Kota.
Pesawat kami terbang tinggi di langit Jawa, lalu berjajar dengan awan di atas
Sumatera, pukul 11.50, sepenggalah. Dua jam lagi, pesawat itu akan merapat ke ‘dermaga’
di Deli Serdang. Di pengumuman keberangkatan, suara indah itu telah menyebut
bahwa penerbangan ini transit di Medan lalu ‘berlabuh’ kembali ke Banda Aceh.
Suing mendera, pesawat dengan
logo orange di ekor dan sayapnya itu
direm atas landasan pacu. Tergopoh penumpang asal Medan turun ke ‘rumah’ mereka
dengan selamat, atau penumpang yang ‘singgah’ ke Medan memburu waktu agar acara
tak terlewatkan dalam semenit. Kami menunggu pengumuman, masa yang tak lama,
ujar pramugari itu, lebih kurang begini, “Kepada
penumpang transit agar dapat turun dari pesawat udara dan melapor kepada
petugas darat,”
Mau tidak mau, bagasi kabin harus
dikeluarkan. Ikut antrian di lorong kabin yang sesak. Lalu, bergegas menuju
petugas transit yang entah di mana. Lurus. Belok kanan atau kiri. Naik turun
tangga. Saya merasa kasihan – terkadang – kepada mereka yang menarik koper ke
atas kabin. Saat ganti pesawat begini, lelah dalam keringat di siang terik tak
bisa dijabarkan kembali. Nahasnya, jika pesawat yang diganti adalah pesawat
yang sama, akan duduk di kursi yang sama, kesal
itu tak tahu mesti diteriakkan kepada siapa.
Di sini, bermula dua kebodohan,
dari dua turis yang mengangga menatap papan pengumuman di atas kepala kami. Semula
saya tidak mengubris, saya pikir, turis China itu tahu ke mana tujuan dan apa
yang mesti dilakukan. Meskipun, saya kasihan mereka tidak tahu suara-suara
bising berujar apa di lingkaran kami.
Saya menaiki tangga, berjalan di
atas kapet yang serasa seperti karpet merah ajang penghargaan film dunia. Dua China
dengan mata sipit – semua orang juga tahu mereka dari negeri Tirai Bambu –
menguatkan diri dalam bahasa Mandarin. Saya tak paham. Tentu, karena saya lebih
suka drama Korea Selatan sehingga tahu bentuk bahasa Negeri Ginseng
dibandingkan bahasa Jackie Chan. Dua turis China itu terus bercakap-cakap,
menunjuk penumpang yang turun tangga atau penumpang lain yang berjalan lurus.
Saya beberapa langkah di belakang
dua turis China yang gamang dan terhenti langkahnya di sisi tangga, atau lanjut
mengikuti penumpang lain yang rata-rata berjilbab – perempuannya. Dalam hati,
saya didesak untuk menegur. Di sisi lain, saya malah kelu mengingat bahasa
Inggris yang benar-benar bagai kambing jantan naik tangga. Namun pias di wajah
keduanya membuat saya iba. Saya tegur. Terbata dalam bahasa Inggris yang saya
sendiri malu menulis bentuk percakapannya di sini.
Saya pikir saya adalah ‘turis’
yang tidak beruntung. Saya cukup mampu mengerti tiap kata yang tertulis dalam
bahasa Inggris di papan pengumuman terminal kedatangan ini. Namun keberuntungan
sepertinya lebih tidak memihak kepada dua turis China ini. Saya menyapa dalam
bahasa Inggris ‘standar’, keduanya melongo dan mengerutkan kening.
Kebingungan saya melanda. Saya sepertinya
salah alamat, menyapa kedua turis China ini. Mungkin, mereka pikir, saya entah
siapa dan mengapa menyapa mereka yang tak perlu bantuan sama sekali. Lantas,
saya membungkukkan badan ala orang Korea Selatan, dan mengangkat kaki mengejar
ketertinggalan penumpang lain yang telah menyentuh pintu masuk ke ruang ganti
pesawat.
Saya tidak mau di pengeras suara
itu nanti, keluar nama saya sebagai ‘panggilan terakhir’ yang masuk ke dalam
penumpang yang kemungkinan ditinggal terbang. Langkah yang belum tersentuh ke
karpet bukan warna merah itu seolah ditarik kembali ke belakang. Bapak China
itu menepuk pundak saya, ia menyodorkan boarding
pass
dan menunjuk tujuan perjalanan mereka.
Ruang tunggu yang tidak pernah sepi.
Oh, ini bukan alamat palsu. Saya
tidak salah menegur dalam bahasa yang terbatas, di mana juga turis China itu
sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Ada keceriaan dalam wajah saya yang
memitam karena lelah. Saya terbata kembali dalam bahasa Inggris, dengan isyarat
tangan ke ‘gerbang’ yang menutup otomatis itu dan mengisyaratkan juga untuk
mengikuti saya.
Dua turis China, entah siapa dan
apa namanya, tujuan mereka adalah ke Banda Aceh. Bicara andai kata, bila saya
tidak berani menegur mereka yang terlena di depan tangga yang turun ke bawah
itu, bisa saja mereka telah tertinggal di Kualanamu. Saya juga tidak sempat
membaca nama Bapak China itu di boarding
pass
yang disodorkannya. Saya hanya mendahulukan mereka melapor ke petugas
darat, yang mencoret gate dan nomor
penerbangan, menggantikan dengan yang baru.
Dua turis China itu, dalam diam
mereka menanti saya yang baru saja menyerahkan boarding pass kepada petugas dengan seragam putih di balik meja. Saya
berbalik, dua turis China itu melempar senyum dan saya menunjuk gate mana yang harus kami tuju, yang
sebenarnya mereka pasti paham karena itu berkenaan dengan angka. Entah kenapa
mereka menunggu. Entah kenapa pula saya cemas terhadap mereka berdua.
Ruang tunggu yang sesak membuat
kami berdiri. Saya sibuk memainkan smartphone
dan kedua turis China itu mengamati sekeliling. Mereka tak bercakap. Saya pun
demikian. Saya mau mengeluarkan jurus ‘pamungkas’ dalam bahasa Inggris yang
terbatas, lebih khawatir lagi mereka tidak paham sama sekali. Saya mau berujar
sedikit kata dalam bahasa Mandarin, yang terlintas di pikiran saya adalah annyeonghaseyo.
Banda Aceh. Banda Aceh. Disebut
oleh petugas yang berdiri di pintu menuju pesawat udara yang membawa saya pulang,
saat itu pula saya melihat ke kedua turis China itu. Bahasa kami adalah isyarat
yang seolah-olah telah menjabarkan segala hal. Saya menyerahkan boarding pass kepada petugas itu,
demikian pula dengan dua turis China. Saya menyelusuri lorong dalam hening, dua
turis China itu juga tidak bercakap-cakap.
Saya masuk terlebih dahulu ke
dalam pesawat, mencari seat di ‘ekor’
yang jauh. Dua turis China itu telah lenyap di antara seat-seat bagian badan pesawat yang kami tumpangi. Demikian pula,
saat kami mendarat dengan selamat di Bandara Sultan Iskandar Muda, menuju senja
itu, saya tidak lagi mendapati dua turis China dengan wajah pias mereka. Mungkin,
mereka telah bahagia bertemu saudara China-nya, yang paham penggalan demi
penggalan kata dalam lelah seharian.
Dua turis, dua kebodohan, dalam
bahasa yang sulit dimengerti. Itu adalah saya dan dua turis China itu. Mereka dengan
bahasa sendiri, saya juga demikian. Di akhir ini, saya selalu galau tentang
bahasa yang sulit dimengerti. Namun keajaiban selalu datang untuk orang-orang baik. Entah, jika saya
berada di posisi dua turis China itu di negeri terasing!

Categories
Uncategorized

Rok Terbelah Pramugari Berjilbab di Langit Aceh

Aku tidak pernah
berpikir duduk manis di dalam pesawat terbang dengan suara bising deru mesin. Aku
juga tidak pernah berpikir lebih jauh ke sebuah angan, di mana disebut bahwa
itu pemuas napsu sesaat karena pramugari sangat cantik-cantik. Aku hanya
khawatir, untuk segera tiba di tempat tujuan setelah menempuh perjalanan
menegangkan. Atribut pakaian seksi atau tertutup rapat sangatlah tidak menjadi
perhatian karena bangku dengan seat belt telah mengeratkan lingkar pinggang.

Pramugari berjilbab di Aceh – foto tribunnews.com

Jarak tempuh Banda Aceh ke Jakarta lebih kurang tiga jam perjalanan udara. Aku terlalu sibuk seorang diri tanpa perhatian kepada si mbak yang sesekali menengok ke bawah kursi, dan juga sesekali membantu penumpang lain memasukkan bawaan mereka ke kompartemen di atas kepala kami. Deru mesin yang tiba-tiba mengentak, pertanda bahwa persiapan telah usai dan pesawat terbang itu segera lepas landas. Cukup sering aku menikmati suara pramugari – entah yang mana – di balik microfon juga entah di mana. Tidak terlalu sering aku menikmati lalu lintas pramugari cantik itu di lorong kursi tempatku duduk dan penumpang lain.
Kuakui bahwa, pramugari cantik ini membelah
rok mereka di bagian tengah. Saat mereka berjalan, terlihat mulusnya kaki
jenjang itu. Lengan baju yang sebatas siku seolah tidak dingin di dalam pesawat
yang terbang di atas 30 ribu kaki. Rok warna biru itu tidak terlihat membelah
paha jika mereka tidak berjalan. Hanya saja, sekali lagi, aku terlalu gugup
untuk menikmati pemandangan itu dan lebih menyukai tontonan di layar balik
kursi di depanku.


Baca Juga ZenFone Max Plus M1 Mewah, Berkelas dan Murah

Demikian pula, saat pramugari mendorong
troli makanan, menjajakan menu lezat di atas udara secara gratis, hanya wajah
dan suaranya yang terlihat dan terdengar nyata. Lebih dari itu, aku hanya ingin
menyantap menu untuk perut tidak lagi keroncongan dan  meneguk air putih agar tidak dehidrasi dalam
dinginnya kabin pesawat terbang. Menu yang biasa kumau adalah nasi dan sesekali
mi pada penerbangan lain jika pesawat dengan maskapai serupa. Usai menyantap
pun, kuserahkan kembali ‘piring’ plastik itu kepada pramugari yang memintanya
dan sering pula aku meminta air mineral tambahan.
Pramugari sedang melayani penumpang. 
Lalu, aku berharap dalam hitungan detik
tiap adegan yang kutonton, untuk segera mendarat dengan selamat. Satu film yang
biasanya berdurasi 1,5 sampai 2 jam itu ludes bagai kacang goreng antara kantuk
dan harap cemas. Aku kemudian berganti dengan pilihan beberapa lagu untuk
menina-bobokan raga yang lelah dan hati yang khawatir. Rok terbelah pramugari
cantik entah lenyap ke mana rimbanya. Aku tidak khawatir dengan itu, jantungku
berdegup kencang manakala suara seksi pramugari kembali terdengar dari bilik
mereka, dari kursi belakang, di tengah atau di depan.
Suara itu lebih menggiurkan daripada rok
terbelah mereka, sebut itu lebih kurang begini, “Penumpang yang terhormat, karena keadaan cuaca harap kembali duduk
kursi Anda dan menggunakan sabuk pengaman…,”
dan entah biasanya suara
gemuruh langsung terdengar dan pesawat terbang sekonyong-konyong turun beberapa
kaki. Di kesempatan lain, jendela dengan dua kali kaca pengaman itu gemerutuk
begitu masuk ke dalam gumpalan awan putih namun di dalamnya menggelap dengan
petir seketika. Di mana pramugari dengan rok terbelah itu? Aku pun tidak tahu. Memang
mereka terbiasa tetapi bias khawatir tak akan pernah pudar karena lumrah pada
manusia.
Saat cuaca kembali terang, entah telah
sampai di langit bumi mana, jarang sekali pramugari mondar-mandir di lorong
yang hening itu. Sesekali mereka menuju kursi yang telah menekan tombol
panggilan di atas kepalanya. Entah meminta selimut maupun air putih karena
dinginnya kabin tak terkira. Rok terbelah itu berlari kecil dalam goncangan
pesawat, ke penumpang lain yang memanggil atau kembali ke tempat duduknya.
Pramugari berjilbab di langit Aceh belum
ada dalam penggalan ceritaku. Sejak penuturan hal ini, aku belum memiliki
penerbangan ke luar Aceh. Namun dari share
media massa maupun media sosial, perpaduan rok terbelah dalam balutan jilbab
terlihat nyata di wajah lelah pramugari cantik itu. Aceh yang beda dalam segala
rupa. Aceh yang terdepan dalam urusan aturan. Aceh juga yang tegas dalam hal
remeh sekalipun.
Rok terbelah dalam balutan jilbab juga
tidak kalah menggiurkan bagi mereka yang mau mencolek. Tetapi bagiku, bagi
sebagian penumpang, saat mendarat dengan selamat, tidak hanya syukur yang terucap tetapi koper penuh
tak mudah digembok menanti di rel-nya. Aku kadang tak menghiraukan seutas
senyum dari pramugari dengan rok terbelah di pintu keluar, mengucapkan terima
kasih, aku sering mengkhawatirkan apakah koper sampai ke Aceh – atau ke tempat
tujuan lain.
Pramugari cantik dengan rok terbelah, telah
terlupa saat menanti koper lama sampai di putaran entah ke berapa. Juga ajakan
sopir taksi untuk naik ke mobil mereka mengantarkan raga lelahku ke Banda Aceh
yang sering panas cuacanya. Semua menari-nari begitu saja. Tak bisa dibendung
dan tak pernah pula kulihat kembali pramugari cantik dengan rok terbelah
melewati kami di terminal kedatangan. Mungkin juga, beberapa waktu kemudian
mereka akan menyeret koper menuju penginapan.
Perjalanan udara yang melelahkan.

Pramugari dengan rok terbelah, sampai kapan
akan usai? Mungkin nanti. Mungkin kapan-kapan. Mungkin juga nantinya hanya
pramugara yang melayani rute perjalanan Aceh. Tidak mudah mengubah ‘gaya’ dalam
seketika apalagi itu seirama. Tidak mudah pula menebas sekali tebas besi dan
baja. Berwaktu-waktu itu akan tercapai. Dan di catatan akhir, tidak
mudah memaksa kebiasaan kita kepada orang lain!
Categories
Uncategorized

Panggilan Mesra Pawang Laut kepada Pemakai Underwear di Pantai Kuta Bali

Pantai Kuta, Bali,
hampir seluruh pandangannya adalah mereka yang mengenakan underwear saja. Salah sendiri jika memilih pantai ini untuk berlibur, jika tidak sanggup
menahan napsu. Jangan salahkan mereka yang berjemur dengan pakaian dalam saja di
Pantai Kuta ini jika langkahmu masih tetap kokoh ke sana.

Panggilan Mesra Pawang Laut kepada Pemakai Underware di Pantai Kuta Bali
Pria ini adalah pawang laut di Pantai Kuta, Bali – Photo by bai Ruindra

Senja
yang menanti rindu ke peraduan menjadi sebuah hal yang sangat dinantikan. Pantai
Kuta menjadi sangat padat pada sore, 10 September 2016. Saya, Sandi dan Pandu
baru saja sampai ke pantai ini setelah sebelumnya ke Pura
Ulun Danu Bratan di Bedugul. Kami menyiapkan kamera untuk membidik sunset
yang sebentar lagi turun.
“Di
mana-mana bule berjemur ya?” seru saya yang membuat Sandi dan Pandu terkekeh. Bidikan
kamera smarphone baru kami pun menjelma menjadi monster dalam film laga,
menangkap setiap objek yang sudut pandangnya menarik dan unik.
“Puas-puasin
deh, Bang, lihat bule berjemur pakai underwear,” celutuk Pandu
dengan senda gurau. Eh, memang benar sih, bule-bule itu santai
saja berjemur, berkeliaran di seputaran Pantai Kuta hanya menggunakan pakaian ‘renang’
saja. Pakai kacamata hitam sekalipun, pemandangan ini akan terasa putih
berseri-seri. Kecuali, jika kamu memakai penutup mata warna hitam pekat. Ruginya
tentu saja, kamu akan meraba-raba dan intinya nggak penting banget
capai-capai ke Pantai Kuta
!
Sepasang
bule melintas di depan kami. Matanya sempat terarah kepada kami namun terlanjur
berhadapan dengan seorang keturunan Cina. Suaminya meminta kepada si Cina untuk
memotret mereka dengan background matahari terbenam. Saya berulangkali
mengucap syukur. Bukan tidak mau menolong namun istrinya itu lho, hanya
memakai underware saja. Tangan saya bisa saja gemetar duluan memotret
mereka yang mesra, manja dan penuh gaya persis di depan mata.
Matahari
kian terbenam, anak-anak berkeliaran di bibir pantai dengan papan selancar. Orang-orang
dewasa surfing jauh ke dekat ombak. Sesekali mereka bermain dengan ombak
besar, dihantam dan jatuh ke laut. Satu dua ada yang ngotot melewati
ombak pertama.
Tiga
gadis Jepang melintas dengan cekikian manja. Entah lupa kepada kami. Entah
karena begitulah Pantai Kuta di Bali, mereka mengambil beberapa foto persis di
depan kami. Tiga gadis Jepang ini pun tidak kalah seksinya, walaupun mereka
tidak memakai underwear namun celana di atas lutut cukup membuat saya
ingin segera berpaling.
Gadis Jepang sedang memotret temannya di bawah sunset Pantai Kuta, Bali – Photo by Bai Ruindra
“Prittt!!!”
Suara peluit terdengar di samping kami. Saya kaget bukan main. Saya pikir siapa
pula pria yang berdiri saja dengan peluit digantung di lehernya. Pria itu
kembali meniupkan peluit berulangkali. Ia berlari ke dekat anak-anak yang
sedang bermain pasir di antara ombak yang mulai surut. Peluitnya makin tak
henti. Tangannya memanggil-manggil peselancar yang belum juga memeluk
selancarnya.
Penjagaan ketat dari pawang laut yang ada di segala sisi – Photo by Bai Ruindra
Saya
kemudian mulai peka. Dalam radius beberapa meter terdapat seorang pria yang
menggantungkan peluit di lehernya. Saya mengira mereka adalah wisatawan yang
menunggu anak berenang. Saya juga berpikir mereka adalah ayah dan suami dari
anak dan istri yang sedang berkeliaran di pantai ini. Saya tidak tahu badan
tegap dengan mata menyelidik ke mana-mana adalah orang penting di pantai ini. Mereka
kemudian menghalau siapa saja yang melewati batas di Pantai Kuta. Tidak hanya
anak-anak, orang dewasa yang melewati ombak pertama juga mendapat teguran untuk
kembali. Para bule yang sedang berselancar rupanya paham betul dengan hal ini. Dari
kejauhan terlihat semangat mereka keluar dari ombak pertama, lalu berselancar
kembali di ombak yang pecah.
Pawang laut yang berjaga – Photo by Bai Ruindra
Hari
yang semakin senja, wisatawan semakin mendekat ke bibir pantai. Waktu yang
ditunggu adalah saat-saat matahari berbentuk bulat dengan warna keemasan. Lembaran
kuning telah tersirat di kaki langit. Tak lama setelah itu, matahari menukik
tajam. Peluit pria-pria yang bertugas dengan lantang meniupkan perintah. Panggilan
kepada mereka yang memakai underwear, yang masih berselancar di bawah sunset
orange
.
Tampak
beberapa bule berlari ke daratan. Langkah mereka gagah. Pahanya berisi
otot-otot terlatih. Dada mereka bidang. Lengan gempal. Seksi dengan underwear sehabis surfing di Pantai Kuta yang indah dan adem. Jika boleh
membandingkan, ombak di pantai ini memang memiliki irama yang lebih lembut,
mendayu semerdu piano lagu slow. Hentakannya satu-satu dengan bunyi khas
dan dentuman yang tak garang seperti pantai yang pernah saya temui selama ini. Ombak
tempat para surfer mengalunkan keseksian mereka, naik turun seirama
dengan detak jantung mereka yang hati-hati dan penuh pertimbangan akan
keselamatan.
Surfing adalah aktivitas yang indah di Pantai Kuta, Bali – Photo by Bai Ruindra
Mereka
yang meniup peluit, pawang laut di Pantai Kuta menghalau semua
orang yang masih mandi di bibir pantai. Matahari yang terlihat lembut dan manis
tampak garang sedetik kemudian dengan panasnya masih terasa. Pawang laut itu
sesekali menarik lengan anak bule untuk keluar dari bibir pantai. Rupanya,
inilah aturan yang berlaku di Pantai Kuta. Sunset mengucap salam, saat
itu juga semua orang tidak dibenarkan lagi mandi atau berselancar!
“Itu
pawang laut?” tanya saya.
“Begitulah
kira-kira,” jawab Pandu.
Peran
yang begitu penting untuk sebuah tempat wisata. Memang, pawang laut ini bisa
menjadi bagian kecil dari keindahan alam di pantai. Seorang pawang yang
bertugas di bibir pantai begini membuat semua wisatawan aman dan terjaga. Patut
kiranya peran ini mengambil andil besar dalam hal keselamatan wisatawan.
“Mereka
selalu ada ya, Pan?”
“Iyalah,
Bang. Mereka jaga-jaga di sini!”
Menikmati orang surfing di Pantai Kuta, Bali – Photo by Bai Ruindra

Jaga-jaga.
Tapi ya bukan penjaga bule yang memakai underwear saja. Mereka menjaga agar
wisatawan tidak melewati batas sehingga akan pulang dengan selamat. Kamu tahu
pasti bahwa pengunjung pantai ini rata-rata mereka yang bukan berasal dari
Bali. Hampir semua orang menginginkan kaki terinjak di Bali. Aroma keindahannya
semerbak kasturi. Wisatawan lokal dan mancanegara berbondong-bondong mendekati
Bali. Kekhawatiran seperti ini telah dicemaskan oleh pemerintah Bali sehingga
menitipkan beberapa pria sebagai pawang di pantai yang membentang sampai ke Bandara
I Gusti Ngurah Rai. Dari sini pula kita bisa melihat pesawat yang sedang take
off
atau landing. Di senja begini, pesawat yang baru saja tiba dan
berangkat seperti kerlap-kerlip lampu disko di atas awan. Indahnya tentu tak
terkira dan manis semanis madu menjelang istirahat malam.
Sunset telah tenggelam
sempurna di Pantai Kuta. Wisatawan pun gerak jalan ke penginapan masing-masing,
atau bersantai lagi di kafe-kafe mewah dan mahal di seputaran pantai ini. Kafe-kafe
itu telah menghidupkan lampu-lampu di segala sudut. Campur aduk antara
kelembutan dan romantisme malam. Pawang laut yang tidak saya hapal wajahnya
juga tidak terlihat lagi di bibir pantai yang sepi. Sunyi yang seketika
menimbulkan auman romantis saat ombak memecah pasir satu persatu.
Seorang bule yang tampak kelelahan setelah surfing – Photo by Bai Ruindra

“Ayo
kita pulang!” Karena kisah Jalan-Jalan dengan pantai indah Kuta, Bali, telah berakhir sampai di sini, nanti, di waktu yang tak tentu, mungkin bisa bersua kembali!
Categories
Uncategorized

Singgah di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta yang Dipenuhi Calon Penumpang Seksi

Singgah di Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta yang Dipenuhi Calon Penumpang Seksi
Si seksi yang saya candid, maaf ya mbak!
Kok
banyak yang seksi ya di sini?”
Apa
cuma saya yang memiliki firasat ‘baik’ ini ditengah keramaian itu. Orang-orang
yang berlalu-lalang sibuk dengan kerepotan diri sendiri. Mungkin saja mereka
telah terbiasa dengan pemandangan yang mengharukan dan menghanyutkan tersebut. Naik
dan turun tangga adalah pemandangan yang serba mewah, elegan dan rapi serta
seksi. Mau tidak mau mata saya harus klik dengan mereka yang
berhadap-hadapan.

“Aduh,
Mak. Silau mata melihat mereka yang pakai celana dan rok di atas lutut!” saya
semakin kacau. Nyeracau sendirian karena tidak ada lawan bicara yang
membuat ngakak.
Pagi
yang menanjak siang, keringat telah mengucur di seluruh tubuh saya. Entah karena
pemandangan penuh keseksian, entah karena lelah pindah gate dari
kedatangan ke keberangkatan, entah karena alasan lain yang nggak jelas. Padahal
jelas sekali di terminal ini pendingin ruangan membuat seluruh tubuh sejuk,
adem dan damai sejahtera.

Bandar
Udara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, menjadi pusat keramaian yang nyata. Tahun
2014, waktu pertama kali saya singgah ke sini dengan segenap harapan tidak
tersesat. Ke mana mata memandang adalah orang-orang sibuk dengan mendorong
troli, menarik koper, tergopoh-gopoh dengan ransel besar, dan bergaya cantik di
pinggir jalan atau pintu masuk keberangkatan maupun kedatangan.
Transit
di bandara berskala internasional ini adalah wajib jika ingin traveling
ke wilayah lain. Hukum ini sangat berlaku kepada kami dari Sumatera yang akan
melintasi Jawa atau ke Timur Indonesia, demikian juga sebaliknya.
Pertengahan
2016, Terminal 3 Ultimate menjadi sorotan yang menarik. Di September 2016, saya
menginjakkan kaki di megahnya bangunan ini. Garuda Indonesia menjadi salah satu
maskapai yang ‘parkir’ manis di terminal dengan luas mencapai 422.804 meter
persegi. Luas bangunan di bandara ini adalah 331.101 meter persegi. Area yang
digunakan sebagai tempat parkir adalah 85.578 meter persegi dan 6.124 meter
persegi digunakan untuk gedung VVIP.
“Kami angkat tema di bandara ini untuk
dekorasinya tentang art and culture, karena inilah Indonesia, banyak
budaya!” Budi Karya, Direktur Utama Angkasa Pura II. (Liputan6.com, 27/01/16).
Terminal
3 Ultimate akan melayani penerbangan domestik dan internasional. Jumlah gate
di dalam terminal ini mencapai 28 gate dengan pembagian 10 gate
untuk menjamu wisatawan internasional dan 18 gate untuk wisatawan
domestik. Saya patut berbangga masuk ke dalam jajaran oang-orang yang menarik
koper.
“Hei!
Anak kampung ada di Terminal 3 Ultimate!” rasanya mau melambaikan tangan ke
luar ruang tunggu di mana beberapa pesawat parkir indah. Kesan norak yang
menjelma bagai hantu di siang bolong mengurungkan niat untuk itu.
Terminal
3 Ultimate memang unik, luas, menarik dan mewah dibandingkan dengan terminal
sebelumnya – tahun 2014. Di terminal ini pula cukup mudah menemukan calon
penumpang dengan pakaian seksi. Setiap sudut adalah mereka yang penuh
kepercayaan diri dengan keseksian dan ketampanan. Tidak hanya itu, beberapa
selebriti juga terlihat duduk manis tanpa ada yang peduli. Mungkin karena sudah
biasa, mungkin karena masyarakat kita bukan penggila idola, mungkin juga karena
malu banget minta foto sama dia!

Di
sini pula saya merasa noraknya naik darah. Kok rasanya mau jepret saja
selebriti seksi itu. Rasanya mau klik saja si seksi di depan sana. Gatal
tangan berimbas kepada candid yang tiba-tiba telah menangkap sosok seksi
dengan santai menarik koper.
Kesan
ekslusif di Terminal 3 Ultimate memang kentara sekali. Tidak hanya calon
penumpang, namun bentuk bangunan, taman dan toko-toko yang buka merupakan
bagian yang asyik untuk disinggahi. Wajar jika terminal ini menjadi prioritas
Angkasa Pura II untuk pengembangan lebih baik.
Lelahnya
badan yang harus berganti gate dalam jarak yang jauh, terlupa begitu
saja. Kursi-kursi ruang tunggu ditata dengan rapi. Ada beberapa pilihan,
misalnya kursi busa, kursi besi maupun kursi yang bisa selonjoran yang
menghadap ke luar untuk menikmati pesawat take off atau landing. Saya
memilih kursi busa yang berwarna hijau. Duduk sendiri dengan santainya. Sesekali
menunduk untuk update media sosial. Kepala diangkat tahunya si seksi-seksi
lewat lagi di depan. Saya menunduk lagi, cek and ricek media sosial. Angkat
lagi dagu dengan sok ganteng, ada lagi si seksi yang meluruhkan hati jadi beku.
kalau begini terus, lama-lama saya akan meleleh…

Saya
sudah tidak sabar untuk menerima panggilan masuk ke pesawat oleh petugas
Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta. Semakin lama di terminal ini,
semakin buram hari-hari saya nanti. Si seksi itu tidak bersalah, hanya saya
saja yang sok imut pura-pura manja! 
Categories
Uncategorized

Kursi Kuning di Ruang Tunggu Keberangkatan Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali

Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali
Kursi kuning yang menggoda di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali – Photo by Bai Ruindra
Buru-buru,
saya dan Sandi ke Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, di pagi
11 September 2016. Udara pagi yang sejuk, perut yang telah terisi dengan menu
sarapan spesial di Bliss Surfer Hotel
, siap saja menerima penerbangan
bersama Garuda Indonesia, menuju Jakarta lalu ke Banda Aceh.
Saya
dan Sandi berpisah di pintu keberangkatan. Saya yang memiliki jadwal
penerbangan pukul 09.00 waktu Bali, harus segera melakukan check in. Sandi
harus sabar menunggu di siang hari dan katanya berimbas delay selama 2
jam. Saya baru mendarat di Aceh, Sandi juga baru saja mendarat di Surabaya
sebelum melanjutkan perjalanan ke Malang keesokan harinya.
Saya
langsung saja mengantri di konter check in Garuda Indonesia yang telah
berstatus open. Tentu saja setelah mengalami pemeriksaan awal di pintu
masuk. Antrian yang memakan waktu sepuluh menit itu saya gunakan untuk menengok
kiri kanan. Luasnya Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai ini semakin terasa.
Saya
mulai harap-harap cemas seperti jetlag, ada-ada saja memang namun itu
menjadi keharusan dalam diri saya sebelum memulai penerbangan. Tiba saat
menyerahkan print out tiket dan kartu identitas kepada petugas yang
ganteng itu, saya semakin didera cemas. Meledak-ledak sampai lupa tengah berada
di keramaian dan kesibukan masing-masing orang mengejar waktu agar tidak ketinggalan
pesawat.
Boarding pass saya
pegang dengan semangat. Mual yang mendera seakan-akan memuncak sampai ke batas
tertentu. Pikiran yang kalut kian berkonsentrasi penuh karena saya harus menuju
pintu ruang tunggu yang tertera, Gate 1C. Di mana dan bagaimana saya harus
sampai ke sana, saya mesti menapakkan kaki di lantai licin bersama calon
penumpang lain yang semua terburu-buru.
I
Gusti Ngurah Rai di Bali ini memang termasuk bandar udara internasional, tidak
hanya sebutan saja namun juga kesibukan yang saya rasakan. Orang-orang yang
menuju satu arah, sama dengan saya, hanya mencari pintu ruang tunggu untuk
merasa aman. Saya mulai melangkah. Kembali bermain dengan pemeriksaan barang
dan orang. Tali pinggang dilepas. Smartphone dimasukkan ke dalam
keranjang untuk melewati mesin X-Ray yang gagah dan angkuh. Ransel juga
ikut-ikutan terdorong masuk. Saya juga harus membentang tangan melewati ‘pemeriksaan’
ketat ini.
Bandar
udara kelas internasional ini membuat mata terpana. Ciri khas Bali masih sangat
terasa sampai-sampai saya lupa rasa mual yang mendera. Saya arahkan kamera smartphone
ke segala sisi. Setiap sudut yang terasa manis ini tidak mungkin saya lewatkan
begitu saja. Gambar-gambar di baliho besar memperlihatkan Pesona Indonesia yang
melankolis dan manis. Patung-patung berdiri genit dengan peran sebagai penari
Bali profesional. Lampu temaram menjadi suasana romantis di sepanjang lorong
menuju ruang tunggu keberangkatan.
Toko-toko
souvenir yang berjajar seperti saya berada di dalam gedung pusat perbelanjaan. Aneka
barang dijual; makanan dan pernak-pernik khas Bali yang enggan saya tanya.
Firasat
tidak baik mendera isi kantong jika berbelanja di bandara. Arena bermain
anak-anak terlihat begitu menggoda dengan kursi, boneka dan mobil-mobilan. Saya
terus melangkah cepat.

Herannya,
saya kok tidak menemukan pintu keberangkatan sesuai dengan gate
yang tertulis di boarding pass. Pegalnya terasa seperti mengitari
Terminal 3 Ultimate Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Rasanya nggak
sampai-sampai ke tempat duduk yang membuat badan saya lebih manis dalam kusut.
“Itu
dia!” seru saya saat melihat papan nama berwarna kuning dengan tulisan putih di
dalam kotak merah persegi empat. Arah panah naik ke atas. Saya harus melaju ke
situ. Lorong yang remang, toko souvenir yang sepi pengunjung membuat saya
benar-benar terasa sendiri. Nikmat di satu sisi namun kesepian di sisi lain.
Orang
yang lewat tidak memedulikan saya. Ada yang mendorong koper ukuran 15 kilogram.
Ada yang santai dengan tas kecil. Ada pula yang kesusahan dengan ransel besar. Anak-anak
berlarian menuju gate yang telah terlihat nyata di depan mata.
Departure
Gate
1C!” seru saya dalam hati, pura-pura pintar berbahasa Inggris. Di sini
saya akan menunggu penerbangan dengan sabar. Deretan kursi terlihat rapi. Saya melangkah
persis ke depan tulisan Pintu Keberangkatan 1C. Kiri adalah kamar kecil dan di
dekatnya terdapat komputer untuk akses internet. Belakangan, saya coba akses
namun koneksi bermain cantik sampai saya lelah menanti loading dan baru
terbuka lima menit kemudian. Saya bergaya buka blog dan melihat tampilannya di
desktop itu. Cantiklah untuk ukuran blog dari blogger newbie traveler.
Kanan
dari saya berdiri adalah pintu keluar menuju pintu pesawat. Dan di depannya,
kursi kuning itu berhadap-hadapan dengan manja. Ah, seandainya sedang jalan
berdua, duduk di atasnya dengan secangkir teh di pagi hari tentu terasa lebih
syahdu. Khayal yang membahana ke langit Bali dan nyangkut di antara atap
bandara karena tak rela lepas landas menjumpai rindu kepadanya.
Kursi
kuning ini tergolong unik dan menarik. Kursi ini seperti berada di dalam sebuah
rumah kecil dengan atap segitiga. Atapnya yang seperti piramida terlihat
seperti kayu alami. Lampu putih yang hidup dari dalam kotak kayu persegi
panjang menambah aroma romantis dan kehangatan. Meja kayu mengilap sangat cocok
untuk menopang lengan lelah. Di bawah kursi yang empuk terdapat colokan listrik
untuk siapa saja yang butuh pengisian daya alat elektronik.
Saya
mengintip ke arena ‘permainan’ pesawat terbang. Tampak kokoh gapura dengan
patung penjaga kiri dan kanan. Sayangnya, kami tidak turun melalui pintu bawah
namun langsung menuju ke dalam corong ke pintu pesawat. Petugas bandara telah
bersiap untuk membuka pintu keberangkatan. Suara panggilan terdengar indah
sekali. Saatnya pulang, kapan-kapan mungkin saja akan kembali, bisa saja di
waktu honeymoon nanti!