ini – malu saya sebutkan namanya – telah berdiri sejak tahun 1960-an. Di
pelosok desa, di Indonesia nanpermai. Sekolah ini adalah madrasah ibtidaiyah
yang telah melahirkan banyak generasi. Generasi yang saya maksud telah mengabdi
pada negeri dengan beragam profesi: pegawai negeri, pegawai swasta, pengusaha,
kepala desa, imam masjid, imam madrasah, sedang melanjutkan ke sekolah lanjutan
pertama, lanjutan atas, sampai di perguruan tinggi.
sekolah ini – seperti itulah. Tak ada yang menawan. Tak ada yang menarik dari
sekolah di sudut desa terlupa. Sekolah ini, enggan sekali, saya injak kaki ke
sana. Karena pemandangan luar tak mendukung untuk berlama-lama di sana.
Bentuk fisik bukan ukuran menilai isi dalam “sesuatu!”
sebuah sekolah, sesuai janji itu, mencerdaskan anak bangsa,
bangunan “mewah” itu perlu. Karena bangunan yang megah akan menyimpan segudang
alat peraga, buku-buku baru dan bagus, buku-buku yang menyimpan rahasia dunia
luar, yang mampu menyimak kisah seperti Laskar Pelangi maupun lima
sekawan Negeri 5 Menara. Memang benar, Laskar Pelangi tidak
memiliki bangunan kokoh menjulang angkasa, itu kapan waktunya, bukan di saat
dunia pendidikan sesejahtera kini. Memang benar, Negeri 5 Menara
mengisahkan perjuangan pendidikan yang ketat, fasilitas sekolah cukup memadai
di sekolah agama itu.
perubahan tahun semestinya mengubah bangunan kuno menjadi lebih menawan. Di
mana pemerintah terus memberantas buta aksara, di mana pemerintah terus
merencanakan dana pendidikan dalam jumlah besar, di mana pemerintah menelurkan
program SM3T (Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal),
guru-guru disertifikasi, dikasih tunjangan lumayan besar, gaji ketiga belas.
Pengeluaran dana dari pemerintah tak seimbang dengan apa yang diucap dan
terjadi di lapangan. SM3T misalnya, generasi muda itu memingkul derita lumayan
panjang karena harus mengajar di daerah-daerah terpencil. Lalu, di mana guru
pegawai negeri? Kenapa pengajar SM3T yang belum sepenuhnya “profesional”
berlayar ke daerah yang mungkin hampir hilang dari peta Indonesia.
tahun 2015, Teman!
bangunan sekolah masih seperti ini?
Photo By Bai Ruindra |
Photo by Bai Ruindra |
Photo by Bai Ruindra |
bangunan sekolah di saat program pemerintah yang “bagus-bagus” itu. Pantaskah
bangunan sekolah compang-camping di saat Ujian Nasional (UN) memacung satu
persatu cita-cita anak bangsa karena mengenai nilai semata. Mungkinkah bangunan
sekolah dimakan rayap saat guru-guru mendapatkan gaji dua kali lipat, uang
makan, uang ini dan itu, uang lainnya…
luar saja menampakkan bagaimana keperihan di dalam sana. Buku-buku lusuh. Kursi
dan meja lapuk. Papan tulis kotor. Lukisan di dinding cuma dari karton yang ditulis tangan, acak-acakan.
Dinding kayu yang ditembusi sinar matahari dengan bebas, disertai “tercurinya”
sebagian bangunan sekolah.
mana yang diharapkan?
cenderung ingin tahu. Ingin melihat. Ingin merasa. Lihatlah mata mereka
bergoyang ke sebelah kiri saat suara kendaraan mengitari jalan di samping kelas
berlubang menganga itu. Bayangkan bagaimana sakitnya mata mereka saat matahari
menanjak dari timur, langsung masuk dari dinding tak bertembok. Apa yang mereka
rasakan saat celah-celah dinding kayu itu dirasuki cahaya terang, membayang ke
segala penjuru, memerihkan mata mereka, kasihan mata kecil itu terlanjur sakit
di usia sangat produktif.
sudahlah berspekulasi. Inilah bangunan sekolah kita. Di Indonesia. Di pelosok
negeri Aceh. Di salah satu sekolah dasar yang bermarga pendidikan agama.
yang dielus-elus oleh pemerintah di Pusat dan di Provinsi?
kaki saja sambil menanti ketukan palu DPR RI. Perbanyak tidur dari pada
meninjau ke jalan setapak tak beraspal. Bermain gadget sambil menonton
video “menarik” dan menaikkan birahi. Menuntut tunjangan. Menuntut
kesejahteraan. Menuntut segala rasa….
kisah yang terus tercetus di media sosial. Foto-foto bahkan video tersebar. Sayangnya,
pemerintah tetap buta. karena sebagian itu tidak terdata dalam database pemerintah.
Pemerintah berdamai dengan keadaan yang “dekat” dengan kabupaten/kota maupun
provinsi. Namun, bagian terkecil dari negeri ini luputlah dari jangkauan karena
rakit, deru ombak, mabuk laut, mabuk darat, mendaki gunung, tak sanggup mereka
jangkau dengan alat telekomunikasi yang pulsanya dari anggaran khusus yang
dipakai dalam smartphone kelas atas.
sekolah itu, tak selamanya kokoh. Mereka lapuk. Dimakan usia. Dimakan segala
nyawa bukan ras manusia. Namun jangan lupa, dari bangku sekolah itu kita berjaya,
mengarungi negeri, bahkan sampai jadi anggota DPR RI.
Mei itu diagung-agungkan sebagai bulan pendidikan. Apakah benar pendidikan itu
telah merata?