Namun, satu hal yang pasti bahwa mereka memiliki mimpi-mimpi tentang masa depan; baik itu soal tubuh selalu sehat, cita-cita yang tercapai maksimal maupun pendidikan setinggi langit.
“Kamu bisa kok menjadi dokter,” ujar guru menyemangati, atau “Kamu belajar saja malas mana mungkin jadi tentara,” ujar anak-anak lain. Saya sering mendengar itu, saya bahkan ikut terlibat dalam debat panjang anak-anak yang tengah beradaptasi dengan usia remaja.
Wajar jika mereka belum terbiasa dengan cita-cita dan masa depan di bangku SMP. Tetapi, saya kerapkali membubuhkan catatan di akhir pelajaran, “Bahwa, kalian punya cita-cita dan masa depan cerah namun bagaimana cara meraihnya tergantung pada hari ini!”
Senyum anak-anak tiap hari di sekolah. |
Anak-anak yang berganti tiap tahun, ragam pula tata krama maupun keinginan-keinginan. Tetapi, satu hal yang pasti bahwa mereka ingin menjadi ‘sesuatu’ di masa depan.
Usia belasan tahun yang indah memang belum mampu menjabarkan apa dan bagaimana tetapi dalam senang-senang itu mereka ingin sukses, ingin bahagia, ingin memiliki percintaan yang hebat – jika berbicara asmara.
Anak-anak hanya tahu cara bermain, cara memainkan perasaan guru dengan banyak alasan dan tentu tidak akan lupa soal cita-cita. Mereka terlena di lapangan voli untuk membentuk otot lebih baik atau membuat perut jadi ‘roti sobek’ seperti atlet-atlet.
Saat kembali masuk ke dalam kelas, mereka akan bertanya, mereka akan antisipasi soal masa depan yang entah suram dan benar-benar memihak kepada mereka.
Anak-anak gemar sekali olahraga, pilihan di sekolah cuma voli. |
Saya kemudian tidak hanya mengajar pelajaran, tidak hanya sebagai pembentak anak-anak yang malas di sudut kelas, tidak juga sebagai sosok yang tak peduli dengan membubuhkan nilai merah pada rapor siswa bandel.
Saya datang dengan cerita-cerita. Soal tubuh yang mesti selalu dijaga, soal apa yang akan menjadi rencana di masa depan atau paling keren adalah sekolah mana yang akan mereka jejaki setelah ini!
Jika tidak dibumbui pada masa SMP, maka mereka akan terlena saja dengan bola sedangkan di sini jauh sekali klub besar yang akan melirik mereka. Senyum indah dari anak-anak saya di sekolah mungkin tidak seberapa.
Mungkin juga tidak bermanfaat untuk sebagian orang namun tahukah kamu bahwa senyum mereka mampu melahirkan semangat lebih besar dan melupakan duka sesaat.
Sebagai guru, tugas saya tidak semata menghukum mereka di depan kelas karena tidak bisa menghapal besaran fisika. Tetapi, saya mencoba ‘meramal’ masa depan satu persatu anak yang duduk di bangku depan sampai belakang.
Siapa yang sudi melihat senyum mereka memudar? |
“Kamu cocok jadi guru karena sifat keibuan,” atau “Ayo berlatih lebih keras, kamu sangat layak jadi polisi,” mungkin saya juga akan berujar,
“Jangan takut darah, hapalan kamu sangat kuat, bisa jadi dokter suatu saat nanti,”