Cinta Sepotong Hati Wanita – Sebuah pesan masuk. Bunyi bip yang sama sekali tidak ingin kudengar. Aku sedang berada di atas angan tingkat tinggi. Tak ada yang bisa menarikan lagu dalam diriku untuk melabuhkan pada sebuah unggapan. Aku terjebak!
|
Kisah Cinta Wanita – vemale.com |
Pada pusara yang enggan kusebut di mana letaknya. Di tengah padang pasir dengan sejuta pesona menyilaukan. Di sana pula, aku berdiri dalam khayalan tingkat tinggi.
Apa alasan aku hidup?
Untuk bermanja pada seseorang yang telah mengabaikan hadirku. Atau untuk membahagiakan orang lain. Mungkin saja. Apalagi pesan yang baru saja kuterima tidak menggenakkan batinku mengutarakan padamu, yang semestinya menghargaiku sebagai pria sejata.
Oh, ayolah. Bicara pria sejati itu – harusnya – telah menikah dan berbahagia di usia tiga puluh tahun. Aku belum menemukan makna itu. Aku belum menyemai suka pada sebentuk hati yang lain. Mungkin saja hatiku telah beku, namun perkara wanita sungguh tidak bisa ditebak. Terlebih, saat wanita itu mengumbar senyum lebih nyata di depanku.
Sebuah tanya. Mungkin saja aku tak perlu menjawabnya. Tanya itu lumrah ditanyakan. Tanya itu mungkin bisa kuabaikan saja. Tapi dia butuh kepastian tentang jawaban. Tentang pernyataan. Tentang ungkapan perasaan.
Benar. Ini hanyalah sebuah keingintahuan seorang wanita pada pria lajang di umur segini. Mungkin rasa penasaran membuahkan tanya terus-menerus. Atau aku terlalu banyak mungkin sehingga tidak ada gambaran nyata mengenai apapun yang berkaitan dengan fakta. Hidup in harus realistis dan logis. Mungkin sepanjang hidup bermakna pesimis atau malah mengkambinghitamkan masalah yang belum tentu kutemui setelah menyelesaikannya.
Masalah?
Kurasa ini bukan masalah. Hanya perbedaan sikap. Tapi perbedaan yang tidak mudah kujabarkan.
“Bang, boleh tanya tidak, tipe wanita yang abang suka seperti apa ya?”
Begitu.
Aku tidak bisa menutup buku. Catatan itu tetap ada di dalam buku yang enggan kutulis dalam bentuk sebenarnya. Di mata dia yang bertanya, wajar saja karena mungkin dia ingin tahu, mungkin karena ada orang lain yang ingin mengetahuinya. Barangkali karena dia benar-benar ingin mengetahuinya. Apakah karena rasa suka?
Sejauh itukah aku bertanya pada diri sendiri? Mana mungkin aku bertanya pada si pemberi pertanyaan. Hubungan kami hanya sebatas teman saja. Aku sangat jarang berbicara dengannya. Aku tidak tahu memulai percakapan apa dengannya.
Berbeda saat aku bersama teman-teman wanita yang lain, bersamanya aku tidak merasakan tali persahabatan yang berarti. Sikap itu pun mendadak berubah setelah kuterima pesan darinya. Bukan cuma sekali, sedikitnya tiga kali dia bertanya dan meminta jawaban.
Jika tidak kujawab, dia akan mengirim pesan beruntun, seolah-olah di antara kami telah terjadi sesuatu yang sangat menarik.
Menarikkah itu?
Aku tidak mengatakan dia sebagai wanita murahan. Setidaknya dia tahu bersikap saja. Mengirimiku pesan selang waktu lima menit seperti dia sedang menyelesaikan masalah dengan pasangannya. Aku bukanlah pasangannya.
Ayolah. Aku dengan dia tidak ada kaitan apa-apa. Hanya teman sekantor.
Aku tidak mengajakkan makan malam bersama teman-teman lain karena dia sering beralasan. Terkadang, di awal bulan aku membuat pertemuan khusus dengan teman-teman lain, sekadar membicarakan keluhan maupun keinginan lain selama kami menjadi karyawan. Dia hanya mendengus dan enggan menerima ajakanku.
Tiba di tempat berbeda – aku di rumah dan dia entah di langit mana – pesan itu mendadak membuyarkan lamunanku tentang masa depan. Masa yang belum bisa kusentuh untuk benar-benar bahagia atau malah kosong-melompong seperti saat ini.
Ketika sebuah pertanyaan wajar itu muncul, aku berpikir bahwa benar pertanyaannya. Bahwa aku patut membubuhkan tanda bold pada catatan penting mengenai kriteria wanita yang kusukai. Dengan itu, aku bisa memilah wanita mana yang bisa kuajak kencan.
Begitulah istilah masa kini. Kencan yang entah seperti apa itu. Bagi pria yang cukup berumur – anggap saja demikian – kencan itu ibarat buah simalakama. Serba salah saja karena aku tak pernah berinteraksi dengan wanita sebelum ini. Maksudnya, sebagai pasangan yang romantis.
Aku lebih banyak duduk di kantor atau kumpul bersama teman-teman sampai larut.
Karena aku tak ingin wanita?
Bukan itu jawabannya. Karena aku belum menemukan wanita yang tepat. Tidak mudah menemukan wanita yang bisa membuat hatiku luluh. Wanita seperti dia seperti sebuah masalah yang musti kuselesaikan sebelum hubungan jadi serius. Sebagai dua manusia yang hubungannya jarak saja dia berani posesif kepadaku, entah bagaimana jika dia – entahlah.
Antena di kepalaku terlampau tinggi mencapai angkasa.
Kupikir, dia bertanya karena dia ingin tahu.
Kuingin mencurahkan isi hati ini kepada teman lain, takutnya mereka menertawakanku.
Bisa jadi, mereka akan memberi jawaban.
“Jangan-jangan sudah ada gebetan ya, bang?”
Atau,
“Itu tandanya dia suka sama abang!”
Rumit sekali masalah ini. Siapa yang bisa kukutuk untuk ini. Umur yang semakin menua. Waktu yang belum mengizinkanku mencintai. Keinginan yang belum membuka mata hati untuk melabuhkan hati kepada wanita lain selain wanita yang telah meninggalkanku.
Itu hanya penyebab.
Lima tahun cukuplah aku bersabar. Wanita yang sempat kucinta meninggal karena sakit. Jodoh kami tidak dipertemukan.
Aku menunggu diakah?
Entahlah. Apa yang kutunggu pun aku tidak bisa menjabarkannya. Dia yang telah pergi pun entah benar menungguku di hari akhir. Teori tentang ini belum kuketahui benar adanya.
Hanya aku, membandingkan saja.
Dia yang telah meninggal dengan dia yang datang tiba-tiba. Dia yang telah tiada tampil adanya. Perhatian yang kuberi diterimanya dengan sabar. Aku tidak membalas pesan, tak pernah sekalipun dikirimnya pesan lain. Aku lupa menjemput di malam minggu, hanya sebuah pesan masuk yang memintaku istirahat saja.
Pantaskah aku membanding?
Waktu mengulurkan sayapnya begitu lama sekali. Bagiku hidup ini jadi terasa hambar karena kegalauan yang menghantui setiap sisi tubuhku. Aku ingin berlabuh ke wanita lain. Tapi aku membanding dengan yang telah pergi. Kesempuraan dia yang telah tiada masih tertutup dari yang masih tersisa di dunia ini.
Orang berbeda. Aku tahu.
Rasa nyaman itu kubutuhkan karena aku manusia. Lemah sekali rasanya saat sendiri begini. Aku tidak perkasa saat bersama teman-temanku. Setiap rahasia kusimpan sendiri dan enggan kubagi kepada orang lain karena kutahu setiap orang punya masalah tersendiri.
Dia yang mengirimi ku pesan singkat itu.
Tidakkah berpikir aku memiliki masalah?
Lebih tepatnya sebuah kehilangan. Terlalu berlebihan memang. Tapi aku berhak memilih. Baik menurutnya belum tentu baik menurutku. Dia bahagia, aku belum tentu.
Saat wanita bertanya tentang kriteria itu, aku sudah menggariskan sebuah kesimpulan.
Bahwa, dia punya rasa!
***
Kisah Cinta Wanita Sedih Banget