Mungkin,
ini hanya sebuah kisah galau untuk kamu yang belum mendengar curahan hatiku.
Teramat panjang debat dalam batin sehingga aku benar-benar menorehkan kenangan
dalam sebuah tulisan ini. Ada perasaan malu dalam diri sendiri begitu sebuah
rahasia terbongkar di dunia maya, walaupun di kehidupan nyata, di dunia dekatku
bernapas, kisah ini telah menjadi abadi.
ini hanya sebuah kisah galau untuk kamu yang belum mendengar curahan hatiku.
Teramat panjang debat dalam batin sehingga aku benar-benar menorehkan kenangan
dalam sebuah tulisan ini. Ada perasaan malu dalam diri sendiri begitu sebuah
rahasia terbongkar di dunia maya, walaupun di kehidupan nyata, di dunia dekatku
bernapas, kisah ini telah menjadi abadi.
Aku
kuliah seperti orang lain, setidaknya dapat menaikkan derajat hidupku walaupun
sekarang belum bisa kumaknai derajat yang mana bisa terangkat.
kuliah seperti orang lain, setidaknya dapat menaikkan derajat hidupku walaupun
sekarang belum bisa kumaknai derajat yang mana bisa terangkat.
“Ekonomi
makin susah, harga karet turun terus, harga sirih tak pernah naik…,” Ibu
memberi sinyal bahwa aku kemungkinan tak bisa menerima uang bulanan lagi.
makin susah, harga karet turun terus, harga sirih tak pernah naik…,” Ibu
memberi sinyal bahwa aku kemungkinan tak bisa menerima uang bulanan lagi.
Ibu segala rupa yang ada, kebahagiaanku
bermuara dari tatapan mata Ibu. Mata itu selalu berbicara walaupun ucapan tak
keluar dari bibirnya. Ibu meminta dengan caranya dan aku memberikan dengan
caraku yang terkadang belum masuk ke dalam ketegori memuaskan batinnya.
Perkuliahan
yang biasa dan penuh semangat di awal 2004 namun hambar begitu tsunami tiba dan
sebetulnya setengah kacau pada titik akhir 2009. Waktu yang teramat panjang
untukku memenuhi kewajiban tersebut. Saat teman satu bangku kuliah yang
tergolong mahasiswa IPK biasa mendapatkan jadwal sidang, aku tersibuk dengan
kegiatan penyuluhan kesehatan ke sekolah-sekolah. Saat teman dekatku merayakan
hari yudisium, aku masih berkutat di lembaga bimbingan belajar mengajarkan
komputer dasar. Saat teman-teman satu persatu memakai toga, aku masih
terkantuk-kantuk siaran radio hingga dini hari.
yang biasa dan penuh semangat di awal 2004 namun hambar begitu tsunami tiba dan
sebetulnya setengah kacau pada titik akhir 2009. Waktu yang teramat panjang
untukku memenuhi kewajiban tersebut. Saat teman satu bangku kuliah yang
tergolong mahasiswa IPK biasa mendapatkan jadwal sidang, aku tersibuk dengan
kegiatan penyuluhan kesehatan ke sekolah-sekolah. Saat teman dekatku merayakan
hari yudisium, aku masih berkutat di lembaga bimbingan belajar mengajarkan
komputer dasar. Saat teman-teman satu persatu memakai toga, aku masih
terkantuk-kantuk siaran radio hingga dini hari.
Aku
sudah terbiasa dengan ritme itu. Lari ke LSM di pagi hari, balik ke kampus
untuk masuk kuliah tambahan atau perbaiki nilai semester yang lalu, kemudian ngos-ngosan
ke lembaga bimbingan belajar di sore hari dan pontang-panting ke radio sampai
malam. Sejauh mataku menerawang waktu itu, orang tua sama sekali tidak lagi
mengirimkan uang saku bahkan SPP dan untuk sewa kamar tahunan.
sudah terbiasa dengan ritme itu. Lari ke LSM di pagi hari, balik ke kampus
untuk masuk kuliah tambahan atau perbaiki nilai semester yang lalu, kemudian ngos-ngosan
ke lembaga bimbingan belajar di sore hari dan pontang-panting ke radio sampai
malam. Sejauh mataku menerawang waktu itu, orang tua sama sekali tidak lagi
mengirimkan uang saku bahkan SPP dan untuk sewa kamar tahunan.
“Biarkan
saja adik kuliah di Banda,” ujarku dengan mantap. Tiga pekerjaan sampingan itu
sudah lebih dari cukup untuk ukuran ekonomi mahasiswa tingkat akhir.
saja adik kuliah di Banda,” ujarku dengan mantap. Tiga pekerjaan sampingan itu
sudah lebih dari cukup untuk ukuran ekonomi mahasiswa tingkat akhir.
Dan,
apa yang kamu pikirkan itu dimulai dari sini. Aku mahasiswa hampir abadi karena
kejar setoran. Jadwal mengajar komputer bertambah. Jadwal siaran pun demikian. Skripsi
tersentuh sesekali dan hampir usang di bawah kasur. Aku tidak lagi memikirkan
bagaimana SPP dan uang sewa kamar untuk diri sendiri. Aku tidak lagi
bersenang-senang dengan perut sendiri begitu menerima gaji. Ada orang lain yang
telah menjadi tanggung jawabku di saat yang sebenarnya belum tepat di mana orang
tua masih memiliki wewenang menyekolahkan anak-anak mereka.
apa yang kamu pikirkan itu dimulai dari sini. Aku mahasiswa hampir abadi karena
kejar setoran. Jadwal mengajar komputer bertambah. Jadwal siaran pun demikian. Skripsi
tersentuh sesekali dan hampir usang di bawah kasur. Aku tidak lagi memikirkan
bagaimana SPP dan uang sewa kamar untuk diri sendiri. Aku tidak lagi
bersenang-senang dengan perut sendiri begitu menerima gaji. Ada orang lain yang
telah menjadi tanggung jawabku di saat yang sebenarnya belum tepat di mana orang
tua masih memiliki wewenang menyekolahkan anak-anak mereka.
Aku
menjalani kehidupan yang rumit begitu adanya. SPP untuk diri terpenuhi dan
untuk adik juga demikian. Uang sewa kamar tahunan kadang tersendat di bagianku,
tidak di jatah adik di kosan perempuan yang memiliki ibu kos lebih cerewet. Di
hari-hari tak henti, makan nasi dengan lauk benar seadanya.
menjalani kehidupan yang rumit begitu adanya. SPP untuk diri terpenuhi dan
untuk adik juga demikian. Uang sewa kamar tahunan kadang tersendat di bagianku,
tidak di jatah adik di kosan perempuan yang memiliki ibu kos lebih cerewet. Di
hari-hari tak henti, makan nasi dengan lauk benar seadanya.
Kemudian,
aku ditendang dari kampus dengan tahun yang menyedihkan. Orang tua tentu sangat
senang karena aku telah selesai dan mungkin akan mendapatkan pekerjaan. Namun
seiring waktu, tes masuk pegawai negeri sipil pun tak kunjung kugenggam. Lamar
di pekerjaan lain selalu ditolak. Orang tua meminta aku pulang kampung dan
melepas tiga pekerjaan yang dianggap tidak memberikan masa depan cerah. Aku
takut kualat dan menuruti perintah Ibu. Sedangkan biaya kehidupan adik semakin
meningkat karena pengaruh ekonomi yang belum memihak kepada masyarakat kelas
bawah. Mau tidak mau aku harus bekerja apa saja. Tiap bulan aku harus mengirim
sedikitnya Rp.600.000 untuk adik. Kalkulasi dari apa yang pernah kurasa di
Banda waktu itu, sehari Rp.20.000 untuk semua kebutuhan. Cukup tidak cukup.
aku ditendang dari kampus dengan tahun yang menyedihkan. Orang tua tentu sangat
senang karena aku telah selesai dan mungkin akan mendapatkan pekerjaan. Namun
seiring waktu, tes masuk pegawai negeri sipil pun tak kunjung kugenggam. Lamar
di pekerjaan lain selalu ditolak. Orang tua meminta aku pulang kampung dan
melepas tiga pekerjaan yang dianggap tidak memberikan masa depan cerah. Aku
takut kualat dan menuruti perintah Ibu. Sedangkan biaya kehidupan adik semakin
meningkat karena pengaruh ekonomi yang belum memihak kepada masyarakat kelas
bawah. Mau tidak mau aku harus bekerja apa saja. Tiap bulan aku harus mengirim
sedikitnya Rp.600.000 untuk adik. Kalkulasi dari apa yang pernah kurasa di
Banda waktu itu, sehari Rp.20.000 untuk semua kebutuhan. Cukup tidak cukup.
Aku
mulai menulis banyak hal. Aktif di blog. Dan tentu ngajar di sekolah sebagai
guru honorer yang dibayar tak berapa. Aku bersyukur pada satu titik, dari
menulis aku mendapatkan banyak kesibukan, rejeki dan jalan-jalan gratis
setidaknya ke dua kota, Lombok dan Jakarta. Semakin aku rajin menulis, uang
makan, uang sewa kamar dan SPP adik selalu terpenuhi tiap tanggal yang
ditentukan. Begitu uang dipindahbukukan oleh bank secara otomatis melalui mesin
ATM, aku masih bisa mencukupi pulsa internet, bensin, makan mi ayam sesekali, ngopi
hampir tiap hari di warung kopi dengan internet gratis dan tentu saja beli
sabun mandi atau deodoran dan minyak wangi.
mulai menulis banyak hal. Aktif di blog. Dan tentu ngajar di sekolah sebagai
guru honorer yang dibayar tak berapa. Aku bersyukur pada satu titik, dari
menulis aku mendapatkan banyak kesibukan, rejeki dan jalan-jalan gratis
setidaknya ke dua kota, Lombok dan Jakarta. Semakin aku rajin menulis, uang
makan, uang sewa kamar dan SPP adik selalu terpenuhi tiap tanggal yang
ditentukan. Begitu uang dipindahbukukan oleh bank secara otomatis melalui mesin
ATM, aku masih bisa mencukupi pulsa internet, bensin, makan mi ayam sesekali, ngopi
hampir tiap hari di warung kopi dengan internet gratis dan tentu saja beli
sabun mandi atau deodoran dan minyak wangi.
“Ini
untuk Ibu simpan,” sesekali aku juga memberikan tip untuk Ibu. Tak seberapa
tetapi sangat berarti untuk Ibu.
untuk Ibu simpan,” sesekali aku juga memberikan tip untuk Ibu. Tak seberapa
tetapi sangat berarti untuk Ibu.
Uang
memang segalanya. Simpanan yang kuberikan kepada Ibu lebih banyak digunakan
untuk beli kado ke pesta, beli gula atau sabun cuci. Memang tidak rutin aku
memberikan kepada Ibu karena pemasukan sebagai freelance tidak pasti. Namun
apabila Ibu meminta Rp.5000 atau Rp.10.000 di hari-hari tak tentu, tetap saja
aku memberikannya walaupun di dompet cuma tinggal selembar itu saja.
memang segalanya. Simpanan yang kuberikan kepada Ibu lebih banyak digunakan
untuk beli kado ke pesta, beli gula atau sabun cuci. Memang tidak rutin aku
memberikan kepada Ibu karena pemasukan sebagai freelance tidak pasti. Namun
apabila Ibu meminta Rp.5000 atau Rp.10.000 di hari-hari tak tentu, tetap saja
aku memberikannya walaupun di dompet cuma tinggal selembar itu saja.
Ada uang, ada kasih sayang. Di mana-mana, kamu
akan menerima anggapan demikian. Setingkat kamu mau ke kamar mandi terminal bus
saja, setidaknya Rp.1000 atau Rp.2000 wajib kamu titipkan ke penjaga di sana. Bagaimana
dengan kondisi perut kamu yang keroncongan? Kebutuhan ongkos kendaraan? Pulsa
handphone, paling tidak untuk mengabarkan kerabat terdekat terjadi sesuatu. Belum
lagi untuk beli beras, beli lauk, beli gula, garam, cabai, kopi…
Perjalananku
sudahkah berakhir? Satu batu tersandung, satu lagi belum tersentuh. Adik
bungsu, si laki-laki yang suka nonton bola, masuk kuliah tahun ini. Rasanya,
aku tidak tahu kapan berhenti untuk dapat berenkarnasi. Seperti yang telah
kukasih tahu, kehidupan ini belum memihak kepada mereka di pinggir kali. Biaya perkuliahan
di tahun ini, tak lagi sama dengan tahun-tahun lalu. Biaya makan naik karena semua
bahan baku tak berhenti melaju ke tingkat menyedihkan bagi masyarakat menengah.
Biaya sewa kamar akhirnya ikut-ikutan kena getah. Adik yang tidak menerima
beasiswa masuk terpaksa dilempar ke golongan orang “kaya” dengan biaya masuk
mahal. Mahal dalam definisiku memang berbeda denganmu. Namun angka Rp.2.000.000
persemester begitu mahal untukku yang belum tentu menerima masukan sebesar itu,
tidak termasuk uang makan harian dan sewa kamar tahunan.
sudahkah berakhir? Satu batu tersandung, satu lagi belum tersentuh. Adik
bungsu, si laki-laki yang suka nonton bola, masuk kuliah tahun ini. Rasanya,
aku tidak tahu kapan berhenti untuk dapat berenkarnasi. Seperti yang telah
kukasih tahu, kehidupan ini belum memihak kepada mereka di pinggir kali. Biaya perkuliahan
di tahun ini, tak lagi sama dengan tahun-tahun lalu. Biaya makan naik karena semua
bahan baku tak berhenti melaju ke tingkat menyedihkan bagi masyarakat menengah.
Biaya sewa kamar akhirnya ikut-ikutan kena getah. Adik yang tidak menerima
beasiswa masuk terpaksa dilempar ke golongan orang “kaya” dengan biaya masuk
mahal. Mahal dalam definisiku memang berbeda denganmu. Namun angka Rp.2.000.000
persemester begitu mahal untukku yang belum tentu menerima masukan sebesar itu,
tidak termasuk uang makan harian dan sewa kamar tahunan.
Aku
memutar otak, seperti roda, seperti jam tak berhenti berdetak. Kondisi ekonomi
keluarga semakin tidak baik. Apa-apa mahal. Aku berlari lebih kencang, seperti
kuda kencana, mengais segalanya agar terpenuhi apa yang diminta adik bungsu. Aku
lupa pada kondisi diri sendiri, cuma ingat harus mengirimkan uang begitu pesan
singkat dari adik masuk ke ponsel.
memutar otak, seperti roda, seperti jam tak berhenti berdetak. Kondisi ekonomi
keluarga semakin tidak baik. Apa-apa mahal. Aku berlari lebih kencang, seperti
kuda kencana, mengais segalanya agar terpenuhi apa yang diminta adik bungsu. Aku
lupa pada kondisi diri sendiri, cuma ingat harus mengirimkan uang begitu pesan
singkat dari adik masuk ke ponsel.
Pahlawan
bagiku berperang di masa sulit. Aku masih berperang. Entah kapan akan merdeka. Pada
17 Agustus tahun ini tentu tidak mungkin. Tahun depan, tahun depannya lagi, tiga
tahun kemudian, entahlah…
bagiku berperang di masa sulit. Aku masih berperang. Entah kapan akan merdeka. Pada
17 Agustus tahun ini tentu tidak mungkin. Tahun depan, tahun depannya lagi, tiga
tahun kemudian, entahlah…
Apakah
kamu menganggapku sebagai pahlawan keluarga kami? Bagaimana definisi pahlawan
keluarga bagimu?
kamu menganggapku sebagai pahlawan keluarga kami? Bagaimana definisi pahlawan
keluarga bagimu?