Categories
Uncategorized

Ingatlah Hai Pria! Rahim Wanita Cantik Bukan Cuma Untuk Menampung Benihmu

Rahim wanita cantik selalu jadi incaran. Rahim wanita untuk menampung benih pria. Rahim wanita melahirkan bayi. Rahim wanita banyak lahirkan anak bagaimana bentuknya?

Ternyata menikah dan melahirkan tidak semudah yang kupikirkan seperti sebelumnya. Menikah dan punya anak jadi sesuatu yang berbeda, yang kemudian kuketahui sudah mengubah hidupku dari kebiasaan-kebiasaan yang tidak ingin kutinggalkan sebenarnya. 
Aku menikah dan meninggalkan kedua orang tua, hal yang sangat ingin aku lakukan sejak dulu. Ada beberapa alasan sehingga aku sangat ingin segera mengakhiri hidup bersama keluarga sendiri. Pertama, karena aku sudah seperti babu di rumah sendiri. Lahir dari keluarga kaya raya tidak serta-merta membuat aku sejahtera. 
Ilustrasi – hipwee.com
Keluargaku tidak mempunyai sikap dan sopan santun seperti yang kuinginkan. Ayah dan Ibu masih sangat berpikiran sempit waktu itu, kurasa memang begitu pola pikir orang kampung. Semua kesalahan ini terjadi karena aku terlahir sebagai perempuan!

“melahirkan sudah tugas seorang perempuan, jika sudah menikah. Perempuan mana pun pasti akan hamil jika Tuhan berkehendak. Perempuan pasti ingin mengandung dan melahirkan.”

Ayah punya dua istri. Istri pertama punya tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Setelah istri pertamanya meninggal Ayah menikah lagi. Dia adalah perempuan malang yang kusebut Ibu. 
Saudara kandungku ada tiga juga dan sama dengan keluarga tiri, satu perempuan di dalamnya. Entah karena apa, mungkin karena kakak tiriku terlalu cepat menikah akhirnya aku tinggal sendiri di rumah. Jadilah aku perempuan satu-satunya. 
Semua hal yang berhubungan dengan dapur, kasur dan sumur adalah tugas rutinku setiap hari. Keempat saudara laki-lakiku termasuk Ayah tak pernah jemu menyiksaku. 
Pagi buta aku harus menyiapkan sarapan, belum lima menit aku istirahat baju kotor sudah menumpuk, belum lagi matahari beranjak terik aku harus membersihkan perkarangan rumah yang sangat luas untuk kubersihkan seorang diri. 

Dan perempuan yang kusebut Ibu? 

Ibu tiri dua saudara laki-laki itu. Duduk berleha-leha di teras sambil memberi perintah. Ayah pun tak pernah memintaku istirahat, pagi pergi pulang sore menjelang magrib. 
Kuakui, Ibuku sangat bosan dengan rutinitas yang dia lakukan sejak kecil. Ibu yang terlahir sebagai keluarga miskin menjadi sangat ego setelah menikah dengan Ayah yang kaya raya. 
Aku tidak pernah membantah mau ibu, aturan yang tidak boleh aku bangkang karena aku sebagai anaknya. Ibu pun tidak pernah kulihat berinisiatif mengambil seperempat pekerjaan yang kukerjakan sendiri. 
Napasku menjadi lega saat Ayah mengabarkan aku akan dipinang orang ternama. Aku tidak begitu kenal laki-laki yang akan menjadi suamiku. 
Karena aku tak pernah berinteraksi dengan seorang manusia pun selain saudaraku dan Ayah Ibu di rumah. Aku bisa menghitung berapa kali aku keluar pagar tembok rumah besar kami. Bahkan aku sampai lupa kapan terakhir keluar melihat keramaian. 
Di usia gadis sepertiku, dunia luar adalah sebuah warna pekat, seperti malam. Aku pun tidak mengenal seorang teman dekat pun untuk sekadar bercerita. 

Pria Cuma Bisa Menghamilli Wanitanya

Teman sekolah? Tetap sama saja. Aku hanya seorang perempuan yang lulus SMP. Tingkat pendidikan yang sangat rendah untuk seorang anak orang kaya raya. 
Aku tidak tahu alasan Ayah dan Ibu tidak menyekolahkanku sampai tinggi, paling tidak sama seperti saudaraku yang lain sampai SMA. 
Dan hubunganku dengan teman-teman semasa sekolah pun tidak biasa, aku hanya punya waktu lebih kurang setengah jam untuk bisa bercakap-cakap dengan teman di jam istirahat. 
Selebihnya aku selalu buru-buru, agar tidak kena pukul Ibu jika terlambat pulang sekolah.
Menikah menjadi sebuah jalan pintas keluar dari masalah yang kuhadapi. Aku akan bebas dari amukan kata dan fisik Ibu. 
Aku pun tidak memikirkan lagi dengan siapa aku menikah dan bagaimana kehidupanku kelak. Yang kutahu, calon suamiku seorang yang gagah rupawan! 

Sudahkah Aku Terbebas? 

Pernikahanku berlangsung tanpa kusadari sejak awal. Perjodohan yang dilakukan Ayah Ibu secepat kilat menyambar ulu hatiku. 
Tanpa meminta jawaban pasti dariku, Ayah sudah menggelar acara lamaran. Bukan aku tidak setuju dengan cara Ayah, namun aku sedikit keberatan jika aku “dijual” begitu saja tanpa konfirmasi terlebih dahulu. 
Aku akan mengiyakan maunya, alangkah baiknya jika Ayah mendiskusikan terlebih dahulu masalah ini denganku. Tak perlu berdebat, aku sudah sangat paham ego Ayah. 
Dari kecil sampai menjelang lepas masa gadis, Ayah tak pernah ubah terhadapku. Ayah masih menutup mata bahwa aku bukan boneka yang seenak ingin Ayah perlakukan. 
Setelah menikah aku sudah terbebas? Ternyata tidak. Suamiku belum mempunyai apa-apa. Setahun terakhir aku masih tinggal di rumah orang tua. 
Kesibukan yang selama ini kujalani masih terus kuemban tanpa pernah kutahu akan berakhir. Meminta bantuan suami yang sibuk membangun karirnya. 
Suamiku pergi di pagi hari, pulang di malam hari saat mataku sudah sangat lelah menunggu. Aku masih dalam keadaan sendiri, tak pernah merasa bahwa aku sudah dimiliki. 
Keluh kesah yang kualami selama ini kudiamkan dalam sepi. Suami yang selama ini kudamba membebaskanku dari derita tak bisa kujadikan teman. 
Dalam sendiri aku tak pernah tahu bahwa aku sudah mengandung. Pikiranku sering kosong. Kadang kuhabiskan waktu di belakang rumah menemani kandang ayam yang ramai suara kokok. 

Wanita Sedih Hamil Tak Dipeduli Suami

Baru setelah masuk bulan keenam kehamilan aku baru tahu bahwa kandunganku semakin membesar. Hal ini pun kutahu saat suami meminta melayani maunya di malam hari. Rasa yang tak biasa dan perih yang tak bertepi. 
Hamil sendiri, ngidam sendiri dan menahan sakit sendiri di saat lelah menerpa. Aku bahkan tidak bisa bertanya kapan ada waktu suami mengurusi kebutuhanku. 
Aku bangga dengan suami yang gagah dan dipuja banyak orang. Aku pun bangga dengan aktivitas suami yang sibuk mencari rejeki. 
Aku melahirkan putri pertama kami, ditemani Ibu yang saban waktu banyak menghabiskan hari di depan televisi. Kebutuhan bayi dan kebutuhanku kadang terbengkalai. 
Bahkan untuk ke kamar kecil saja aku terseot-seot tanpa ada yang pegang. Sesekali Ibu mertua menjenguk, itu pun tak berbeda dengan kebiasaan Ibuku. Ibu mertua bahkan lebih mementingkan kebersihannya sendiri dari pada memandikan cucunya. 
Barulah saat pikiran ku tak wajar mereka diam. Menatap bahwa aku sedang bernyanyi dan tertawa sendiri. 
Kuabaikan putri merah ku, kubuang malu lantas berjalan-jalan sekeliling rumah dengan baju seadanya dan sehelai kain sarung melilit di pinggang. Darah mengalir pun tak pernah ku sadari memerahkan seluruh kain yang menutup tubuhku. 
Aku lupa. Aku tidak ingat apa-apa selain nyanyian dan tertawa. Lagu-lagu yang sering kudengar disetel dengan kencang oleh Ibu kunyanyikan ulang. 
Tangis putri mungilku meminta ASI kutertawakan. Begitu seterusnya sampai kutahu semua usai. Saat umur persalinanku lebih empat puluh hari. 
Aku tak pernah meminta lagi kemauan yang selama ini terpendam kepada suami. Bahkan aku tidak ingat apa inginku. 
Aku hanya ingat bahwa aku sudah sadar dari tidur panjang. Ibuku tak pernah jera. Dalam kondisi normalku yang malu, Ibu mempromosikan ke semua orang yang berkunjung bahwa aku sudah “setengah gila”. 
Tak lupa Ibu memintaku menyanyikan kembali lagu-lagu yang sering kubawa saat sadarku menghilang selama empat puluh hari tersebut. Bagaimana Ibu tidak memikirkan perasaanku? Aku sendiri tidak pernah sadar apa yang kuucapkan di masa itu! 

Belum Setahun Rehat Hamil Lagi

Keinginanku untuk pindah dari derita rumah tangga orang tuaku tak kunjung datang. Satu persatu abang-abangku menikah dan meninggalkan rumah kami. Tinggal aku sendiri di rumah bersama Ibu yang tak ubah seperti Ibu tiri. 
Aku bahkan pernah membayangkan Ibuku sebagai Ibu tiri yang menyiksa anak-anaknya dengan besi panas. Ibuku masih memperlakukanku sebagai seorang gadis yang belum bersuami. Kebutuhan sehari-hari Ibu kulayani dengan benar, jika tidak tak segan Ibu memukulku dengan sapu lidi yang sudah sangat usang. 
Padahal aku sudah bersuami dan beranak satu. Ibu lupa bahwa kepatuhanku bukan lagi padanya melainkan pada suami yang juga tak pernah mengerti mauku. 
Putri pertamaku belum berusia lebih setahun ketika aku merasa perutku kembali mual dan aku ingin makan aneka rasa. Suamiku memberi isyarat kebahagiaan tiada tara saat masa datang bulan tak menghampiriku. 
Kejantanannya menusuk-nusuk ulu hatiku saban waktu aku bersamanya, dia bahagia aku bisa hamil lagi, bagiku tidak. Dia bangga dengan aura laki-laki perkasanya. Dia senang dengan keturunannya. 
Sakitku tidak menjadi pertimbangan suami, dia bahkan belum terpikir untuk berpindah rumah ke tempat yang lebih baik. Rumah gubuk saja sudah cukup untuk mengistirahatkan penatku. 
Aku ingin duduk tenang di rumah kami, bukan menjalani rutinitas yang sama setiap hari. Aku akan melakukannya, cukup untuk suami dan anak-anakku saja! 
Kehamilanku semakin membulat. Suamiku pun semakin senang. Karir yang dia bangun semakin hari semakin menanjak. 

Hamil Lagi Hamil Lagi

Kesibukannya pun semakin bertambah. Waktunya lebih banyak di luar rumah dibandingkan menemani sepiku yang terbengkalai. 
Aku tidak pernah tahu pekerjaan suami seperti apa dan berapa gajinya. Kehidupanku tetap sama, tidak pernah keluar rumah dan jauh dari keributan. 
Satu-satunya teriakan yang sering kudengar adalah perintah Ibu dan satu-satu tangisan yang kudengar adalah tangisan putri kami. 
Ketika anak kedua kami lahir, seorang putra gagah, aku belum merasakan ketenangan batin yang semestinya kuraih. Rasa sakit yang kurasa saat melahirkan anak pertama seakan hanya berselang hari. 
Begitu dekatnya umur kedua anakku. Dan semua kembali terulang, selama empat puluh hari aku sibuk dengan pikiran alam bawah sadar. Aku tidak pernah merasa menginjakkan kaki di bumi, suaraku yang keluar hanya lirik-lirik lagu yang tak pernah didengar sebelumnya. 
Aku bernyanyi dengan kata-kata tak bermakna bagi orang lain, hanya hujatan dan keluhan terhadap kehidupanku yang tidak normal. 
Penyakitku tidak biasa, pikiranku seakan kosong dan aku tak sadar dengan apa yang kuucapkan setelah melahirkan. Entah karena beban pikiran yang membuncah, entah karena memang ada penyakit demikian. 
Aku hanya mengalami sakit saat proses lahiran usai, dan penyakit aneh ini terus menggerogotiku sampai berumur empat puluh hari. 
Kejadian itu terus terulang ketika aku melahirkan anak ketiga, keempat, kelima dan keenam dalam waktu sangat berdekatan!
Beban pikiranku yang hilang, berganti dengan suara-suara yang berloncatan keluar menjadi nyanyian. Seakan ada yang bisik untukku nyanyikan lagu-lagu dengan lirik sekenanya. 
Hanya pikiranku yang sakit, sedangkan fisikku tetap sehat-sehat saja sampai empat puluh tahun setelah itu.
Categories
Uncategorized

Suami Temperamental Rela Tinggalkan Istri Lantaran Mandul

“Aku ingin memiliki keturunan setelah menikah, sama halnya dengan perempuan lain di kampung kami. Aku telah memberikan yang terbaik kepada laki-laki itu. Orang yang enggan kusebut namanya sekarang ini!”
Kesedihan wanita.
“Usia pernikahan kami beranjak sangat cepat dalam hitungan hari sampai melewati tahun. Aku semakin merasakan ketidaknyamanan berada di antara gusar dan gelisah setiap hari. Bangun tidur aku merasakan beban yang teramat luar biasa. Menjelang malam, tidurku tidak pernah tenang sebelum laki-laki yang kusebut suami pulang dan berbaring di sampingku. Tetapi, seperti hari-hari sebelumnya, aku hanya bisa bermanja dengan dinding putih, lampu temaram, suara jengkrik, dan angin malam yang membuat bulu kuduknya merinding.”
Namanya Rosanti, sebut saja Anti. Anti seorang tenaga honorer di salah satu sekolah negeri. Usia Anti memasuki 27 tahun pada tahun ini. Usia pernikahan mereka memasuki 5 tahun. Tetapi Anti sama sekali tidak menemukan keteduhan dari bahasa verbal maupun nonverbal dari Imran, laki-laki yang kini disebut dan dipamerkan sebagai suami. 
Entah apa yang terjadi setelah seminggu pernikahan mereka, Imran tidak lagi mengubris Anti sebagai istri. Imran hanya ingat Anti saat kebutuhan biologisnya harus terpenuhi, selebihnya Imran merayap ke seluruh penjuru kampung mereka yang tidak diketahui tepatnya. 
Sebait tanya saja terlontar, Imran akan berang. Lebih sering Imran melukai Anti dalam diamnya, sebelum pergi dengan membanting pintu. 
Malam-malam setelah pertengkaran mereka, Anti akan menghiasi malam seorang diri. Imran tidak pulang walaupun berkali-kali Anti kirimi pesan singkat di tengah malam buta. Saat dihubungi nomor ponselnya, Imran malah mengalihkan panggilan sehingga Anti terkulai dalam gundah sepanjang malam. 
Mereka tinggal berdua di kampung Imran. Rumah mereka – tepatnya rumah Imran – berjarak satu kilometer dengan rumah penduduk lain. Apapun yang terjadi di rumah tangga mereka tidak akan ada seorang pun yang mengetahuinya. 
Imran tidak pernah bermain tangan begitu mereka perang mulut. Kata-kata yang keluar dari mulut Imran, bahkan lebih perih dibandingkan tergores silet tajam. 
Ketakutan Anti beralasan di malam sunyi. Anti tidak mampu berjalan keluar rumah karena malam membutakan pandangannya. Anti terlahir sebagai perempuan, masyarakat akan melihatnya tidak bermakna jika langkahnya menyusuri jalan ke rumah orang tua yang jauhnya sekitar 20 kilometer. 
Siapa pun orang pasti akan memiliki teman bahkan sahabat. Imran juga memiliki sahabat tanpa Anti kenali watak mereka. Jika terjadi pertikaian di dalam rumah, Imran akan pergi menemui sahabat-sahabatnya. 
Bukan tidak pernah Anti mengajak Imran mendiskusikan hal ini. Bagi Anti, setelah menikah, istri memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada sahabat. Waktu 24 jam bisa dihabiskan sedikit saja bersama sahabat, selebihnya hanya untuk Anti, mendalami rasa cinta yang dulu pernah mengayun langkah membina rumah tangga. 
Sering kali Anti melihat Imran bercengkrama bersama sahabat-sahabatnya melalui telepon. Salah seorang sahabat Imran, Budi, merupakan laki-laki muda tanpa tanggung jawab apa-apa. 
Budi sering sekali berkunjung ke rumah, makan masakan yang dimasak Anti dengan uangnya sendiri, tidur di depan televisi dengan celana pendek bahkan telanjang dada, meninggalkan baju kotor di rumah mereka sampai-sampai uang jajannya berani diminta kepada Imran. 
Imran tidak pernah menolak kehadiran Budi. Di antara sahabatnya yang lain, Budi satu-satunya pembuat onar dalam keluarga Anti. Imran sering menghabiskan waktu bersama Budi, ke mana-mana mereka berdua saja tanpa beban apa-apa. 
Budi masih lajang, wajar saja tidak memikirkan apa-apa dalam hidupnya. Tetapi Imran, memiliki seorang istri di rumah yang wajib dipenuhi nafkah lahir dan batin. Imran lupa memberikan Anti uang jajan atau uang membeli kebutuhan rumah tangga kami. 
Imran hanya menerima nasi dan lauk sudah tersedia di meja makan. Imran hanya akan menyentuh Anti saat batinnya membutuhkan sentuhan lembut seorang perempuan!. 
Anti melihat sendiri, Budi tidak pernah merasa bahwa Imran sedang dalam status pernikahan. Tanpa kenal waktu Budi mengajak Imran ke tempat-tempat kesukaan mereka. Imran ikut saja karena dia merasa lebih tenang bersama Budi di hari-harinya. 
Kebutuhan finansial Budi pun dipenuhi Imran tanpa pamrih; selain uang jajan, Imran mengirimi pulsa untuk keperluan komunikasi Budi. Sekali saja Anti meminta pulsa misalnya, Imran hanya memberikan isyarat dompetnya sedang kosong. 
Imran membuat hidupnya bagai seorang lajang, tak memiliki tanggung jawab sama sekali. Di tengah petir maupun hujan lebat, Imran lebih memilih Budi maupun sahabatnya yang lain di warung kopi. Saat hujan reda, pintu rumah mereka tidak terbuka sampai pagi. 
Imran akan pulang saat perutnya kosong, bahkan lagi-lagi membawa serta Budi. Pagi yang dingin, di antara tatapan mata tajam Imran, Anti menyiapkan sarapan untuk tiga orang. Nasi putih saja tidak cukup terhidang di meja makan tanpa disertai lauk. 
Nasi dan lauk tidak cukup membuat Imran senang, Anti harus meletakkan gelas berisi air putih di hadapannya. Padahal, ceret dengan air putih sudah berada di atas meja, tinggal Imran mengambil gelas tak jauh dari duduknya. 
Anti menghidangkan semua kebutuhan Imran sesuai keinginannya. Dari mana Anti mendapatkan uang membeli kebutuhan rumah tangga mereka, Imran tidak mau tahu. Sebagai tenaga honorer Anti tidak memiliki jatah gaji perbulan. 
Seringkali Anti menerima hasil keringat di bulan ketiga dengan jumlah tak lebih dari satu juta rupiah. Imran memang tidak pernah mengambil tabungannya, tetapi kebutuhan rumah tangga mereka tidak akan tercukupi. Anti malu meminta terus-menerus kepada Ayah dan Ibu. Mereka tahu Imran bekerja sebagai tauke karet di kampung mereka. 
Tetapi kedua orang tua Anti tidak tahu hasil penjualan karet itu dibawa untuk foya-foya bersama sahabat-sahabatnya. Orang tua Anti pun tidak tahu, Imran lebih mementingkan tersambungnya nyawa Budi dibandingkan hidup istrinya. Sebagai perempuan kampung, Anti tidak benar-benar paham definisi cinta antara kedua sahabat itu, biarpun Anti sudah sarjana pendidikan agama. 
Dalam keyakinannya, Anti paham bahwa tiga bulan berturut-turut suami tidak memenuhi nafkah batin maupun fisik, maka talak satu sudah jatuh dengan sendirinya. 
Bagaimana Anti? 
Hidupnya kini antara langit dan bumi. Imran menggantung ikatan pernikahan mereka di antara ada dan tiada. Seperti yang sudah dikatakan, Imran tidak membekali Anti dengan nafkah materi. 
Namun Imran akan membutuhkan Anti begitu tubuhnya gemetar menahan hasrat berhubungan suami istri. Anti melayani, penuh getir, penuh harap, Imran akan berubah setelah malam itu. Malam beranjak pagi, Imran membersihkan diri lalu pergi tanpa menoleh lagi ke arah Anti. 
Imran terbiasa melakukan hal demikian. Hidup Anti tidak pernah nyaman berada di dekat Imran. Berkali-kali pula Imran mengatakan hal yang sama. Hanya Anti saja yang berkeras hati supaya pernikahan mereka berlangsung lama. 
Anti tidak mau menanggung malu pada semua pandangan yang menilainya sebagai perempuan tak bermoral. Usia masih muda sudah berpisah dengan suami menjadikannya sebagai perempuan tak berharga di mata agama dan sosial. Perbuatan halal menurut agamanya tidak lantas halal bagi masyarakat yang menganggap pernikahan hanya sekali. 
Anti bahkan tidak lagi memahami dengan baik perceriaan itu. Imran masih mendekatinya saat dia butuh walaupun Anti sering menolak. Kebutuhan batin Imran terpenuhi lalu pergi lagi. Tiga bulan tidak mendekati Anti tetapi Imran akan datang lagi setelah itu. 
Jika keputusan agama menuntun bahwa perceraian sudah terputus maka mereka telah berzina sekian lama. Imran tidak mengeluarkan kata-kata, hanya berbuat saja, sesuai kemauan dirinya. 
Anti mempertahankan rasa tidak nyaman itu dalam kesendirian, supaya nama mereka tidak tercoreng dalam tradisi dan adat-istiadat. Tetapi Imran memilih berkata lain. 
“Kamu tidak memberiku keturunan!” Imran berkata sambil lalu, memegang ponselnya dengan suara girang Budi di ujung sana. 
Aku yang tidak memberi keturunan atau kamu yang tidak memiliki keturunan! Suara hati Anti tak pernah didengar Imran. 
Berulang kali pula Anti memeriksa kesehatan, dokter mengatakan hal yang sama. Anti benar-benar dalam kondisi sehat dan tidak mandul! 
Anti mengajak Imran ke dokter yang sama, laki-laki ini menolak dengan berbagai alasan. Di matanya, hanya perempuan saja yang mandul sedangkan laki-laki tetap perkasa dengan kejantanan mereka. Alasan ini pula Imran menjadikan prestasi lainnya untuk mengunci raga Anti di dalam rumah.
“Saya malu bawa-bawa istri tak beranak!” kata-kata Imran sangat melukai perasaan Anti. 
Imran malu? Karena dirinya tidak punya anak? Mereka sama-sama tidak punya anak. Dan banyak orang lain yang tidak punya anak, Imran lupa dalam keluarganya juga ada Bang Ali yang tidak punya keturunan di usia 40 lebih. Bang Ali masih menyayangi istrinya di hadapan kami. Imran saja yang berwatak keras kepala dan menyalahkan Anti sebagai perempuan “cacat.” 
Karena alasan ini pula Imran memilih Budi menghabiskan sisa hidupnya? Barangkali suatu saat Imran akan memperistrikan Budi setelah menceraikan Anti!
“Kita cerai saja!” lanjut Imran tanpa menoleh ke arah Anti. Budi terkekeh di ujung telepon.
Dan Imran, akan merasa kehilangan setelah Anti pamit dari hidupnya!
Proses dialog antar dua pandangan berbeda berlangsung tidak sehat bagi Anti. Anti berada di kelompok tertuduh seorang diri. 
Imran memaparkan semua permasalahan dalam keluarga mereka di hadapan orang dituakan kampungnya. Anti berada di posisi sangat lemah dalam lingkungan keluarga orang lain. Orang-orang tua kampung Imran hanya menerima pendapat Imran, tanpa mendengar sedikit saja ucapan Anti. 
“Kami sudah tidak sehati lagi, mana mungkin saya tinggal bersama perempuan yang tidak pernah memasak, mencuci baju dan tidak memberikan kebutuhan batin itu!”
Imran sudah menjelma menjadi laki-laki asing di hadapan Anti. Sakit sekali hatinya mendengar ucapan Imran. Pandai sekali Imran memutar-balikkan kenyataan menjadi khayalannya semata. 
Salah seorang orang tua kampung memberikan waktu seminggu kepada mereka untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Supaya mereka bisa menenangkan diri, Anti maupun Imran bisa berubah. 
Seminggu berlalu, Imran tidak pernah menampakkan tubuhnya di hadapan Anti. Imran juga tidak memenuhi janjinya ke rumah orang tua kampung memberikan keputusan hubungan mereka. Anti tidak berani melarikan langkah ke rumah orang yang dituakan itu, karena Anti orang asing, karena Anti seorang perempuan! 
Lalu, Imran pulang membawa perkataan, “Pulanglah ke rumah orang tuamu, setelah itu baru saya pulang ke rumah ini!” bukankah itu kalimat cerai secara tersirat?
Laki-laki itu menjadikan Anti tumbal masalah rumah tangga mereka. Imran mencari-cari cara sehingga Anti tersalah. Anti tidak pernah mengemasi barangnya dari rumah tangga mereka, jika ia beranjak selangkah saja itu akan memberikan bukti bahwa Anti penyebab rumah tangga mereka retak berkeping-keping. 
Seminggu berlalu, sebulan sudah hilang setelah perjanjian dengan orang tua kampung. Imran tak pulang ke rumah, Budi pun terlihat sering seorang diri. Hanya Bang Ali yang datang ke rumah, mendamaikan sifat Imran dengan Anti. 
“Pulanglah, Anti. Imran ada di rumah Ayah, keputusan kalian akan diputuskan pengadilan seminggu lagi, dia sudah rela melepaskanmu!” Bang Ali berkata dalam sendu, dapat terlihat raut kecewa dalam diri abang Imran ini. 
Artinya? 
Aku bukan siapa-siapa lagi di sini!
***
Berdasarkan kisah nyata tanpa mengubah alur cerita sebenarnya. Nama tokoh adalah bukan nama sebenarnya.
Categories
Uncategorized

Wanita Ini Jadikan Pria Lebih Muda sebagai Ayah Anaknya

keluarga kecil bahagia
Keluarga bahagia – tumblr.com
Aku menjalin hubungan asmara dengan pria lebih muda, brondong istilah bekennya, dua tahun setelah suami meninggal karena penyakit jantung. Suamiku yang pertama terpaut usia cukup jauh denganku, sepuluh tahun. Aku menikah dengannya karena masa itu kasih sayang sangat kubutuhkan untuk membuat kehidupanku lebih bermakna. Aku terlahir sebagai sulung dengan banyak adik yang terpaut usia sangat berdekatan. Kasih sayang orang tua terpecah dan aku terbiasa mandiri sejak kecil sampai kemudian diterima kerja di perusahaan skala nasional di kotaku.
Baca Juga 
Perkenalanku dengan pria muda itu saat kantor memberi tugas ke daerah terpencil. Proyek yang kami kerjakan berjalan ditempat sehingga perusahaan mesti mengirim staf ahli untuk menindaklanjuti. Dipilihnya aku sebagai tim ke daerah karena kapasitas dan kualitas selama bekerja di perusahaan. Aku cukup bijak membagi waktu antara pekerjaan dengan urusan pribadi, meskipun aku baru kehilangan suami. 
Pria muda ini termasuk salah seorang penanggung jawab pada proyek yang kami berikan. Kedekatan itu tak dapat kuhindari. Kami sering berinteraksi untuk urusan pekerjaan sampai masalah pribadi. Tahu aku dalam keadaan sendiri, pria muda ini semakin berani mengambil sikap. Ia mengajakku keliling tempat tersebut. Lalu mengenalkan kebiasaan mereka di sana. Hingga aku merasa nyaman bersamanya.
Saat aku mengatakan telah pernah menikah dan mempunyai tiga orang anak, pria muda ini tidak keberatan sama sekali. Mana mungkin aku menolak hubungan serius jika ia mau menerimaku apa adanya, tanpa melihat masa lalu maupun memikirkan masa depan yang bisa saja lebih rumit. Resikonya besar jika ia memilihku. Ia harus tinggalkan kebiasaannya di sini dan ikut denganku. Aku mempunyai posisi yang strategis di kantor, tidak mudah aku melepaskannya hanya karena urusan cinta semata. Ekor di belakangku cukup panjang, selain anak, orang tua dan adik-adikku sering datang untuk minta “pinjaman” yang nggak dikembalikan sampai mereka datang meminta pinjaman baru. Satu lagi, jika aku bersama pria muda ini tentu saja kehidupan akan berbeda. Ia tak mempunyai pekerjaan dan sepenuhnya bergantung kepadaku.
Aku tidak masalah. Yang aku butuhkan saat ini adalah sebuah hubungan. Kasih sayang yang sebenarnya. Aku tak mau sendiri lagi. Aku butuh pria untuk membuatku nyata sempurna!
Pria muda itu menikah denganku. Sederhana saja. Dicemooh oleh banyak orang kampungnya karena menikah dengan janda. Aku tahu bagaimana perasaannya menerima semua serangan itu. Ia yang semula aktif di berbagai kegiatan masyarakat kemudian tenggelam, tidak dipakai lagi, terbengkalai dengan sendirinya. Aku pernah merasa bersalah dengan kondisi ini namun aku tidak mau terlarut dalam urusan orang lain yang sibuk mengurus urusanku. Aku butuh orang lain dalam menutupi kesenjangan hidupku tapi aku juga punya kehidupan sendiri yang tak semua bergantung kepada orang lain. 
Urusan kantor semakin rumit. Area kerja semakin diperluas. Perusahaan memberikan dua pilihan, pulang ke kantor pusat atau menjadi manager di cabang yang baru dibuka. Pilihan yang diberikan kantor cukup menggiurkan. Jika aku pulang, bekerja seperti biasa dengan gaji nggak naik. Jika memilih di sini, mengurus kerumitan ini, aku mendapat gaji lebih besar beserta tunjangan. 
Akhirnya kuboyong ketiga anakku ke kampung ini, jauh dari atribut kota. Hiruk-pikuk di kampung ini mulai terasa. Semakin aku perhatikan, semakin sibuk dengan aktivitas mereka. 
Ketiga anakku, yang sangat merindukan sosok ayah sejak awal berkenalan dengan suami mudaku itu langsung akrab. Pria muda itu pun tidak menolak saat ketiga anakku buat tingkat sesuai usia mereka. Mereka akrab. Tak ada lagi batasan antara ayah tiri dengan anak tiri. Antara ayah dengan anak itu terjadi hubungan yang aku tidak memahami bagaimana rupanya. Ketiga anakku bahkan lebih dengan dengan ayah tirinya dibandingkan denganku. Padahal, pekerjaan di sini tidak menuntut waktu lebih banyak. Aku bisa datang ke kantor pukul sembilan dan pulang lebih cepat pada pukul empat atau lima sore. Malam hari pun aku lebih banyam bersantai. Aku membangun keharmonisan keluarga dengan berbagai cara. Kuberikan semua yang diingini suami dan anak-anakku. 
Setahun dua tahun rumah tangga kami berjalan begitu cepat, tak ada konflik dan tak ada kekurangan dalam skala besar. Suamiku menjadi ayah yang baik dan bertanggung jawab kepada ketiga anakku. Pagi mengantar mereka sekolah, siang menjemput, sore kadang ikut bermain dan memahami semua kebutuhan anak-anak yang nggak mudah karena ketiganya perempuan. Suami lebih paham bagaimana mengepang rambut si sulung. Tahu benar kalau anak kami yang tengah tidak bisa makan pedas. Bermain boneka dan masak-masakan dengan si bungsu yang tampil lebih feminin dari kedua kakaknya. Suami juga memasak sesuai selera ketiga anak kami yang beda di siang hari, jika aku tidak sempat menyiapkannya. 
Aku hanya perlu fokus pada pekerjaan karena kebutuhan rumah tangga dan anak lebih banyak diurus oleh suami. Aku terbiasa dimanja oleh suami dalam persoalan yang ringan maupun berat. Suami memang tidak memperlihatkan dengan jelas beban yang ia pikul tetapi perlahan-lahan aku memahami akan itu. Suami yang lebih muda lima tahun dariku tampak semakin menua. Jenggot dan kumis tidak terurus. Kulit semakin kusam. Malam hari, begitu berbaring, ia langsung tertidur. Lelah di siang hari membuat fisiknya begitu lemah di malam hari. 
Ia tak pernah mengeluh. Saat ketiga anakku – kini terasa berat kukatakan anaknya juga – merengek akan sesuatu ia selalu sabar menurutinya. Sedihku memuncak karena perasaan yang berlebihan. Aku wanita, aku sangat sensitif untuk hal-hal yang tidak diungkapkan oleh orang, apalagi suamiku sendiri. Aku memahaminya luar dan dalam. Aku tahu keinginan demi keinginan yang enggan ia utarakan kepadaku. Termasuk soal anak kandung. Dan aku tidak berani bertanya soal ini. Tepatnya, belum memulai ke arah itu. 
Ia mengurus ketiga anakku seperti anaknya sendiri. Kasih sayang yang ia berikan teramat lebib besar daripada kasih sayang yang kulimpahkan kepada anak-anak. Ia bermain dengan mereka sepanjang waktu saat aku bekerja. Berat beban yang kupikul semakin menjadi-jadi ketika memasuki usia pernikahan kami tiga tahun. Kok aku belum ada tanda-tanda akan hamil. Kenapa aku masih lancar datang bulan. Dan beragam pertanyaan lain yang aku sendiri tidak bisa menjawabnya. Aku ingin mencari jawaban. Sebuah kepastian persoalan ini. 
Suami tidak meminta. Aku merasa bersalah. Mana mungkin ia tidak menginginkan anak kandung dengan keadaan seperti sekarang ini. Anak tiri saja ia jaga dengan rapi seperti menyeterikan baju kusut, bagaimana dengan anak kandungnya. Seekor nyamuk pun tidak boleh hingga di tubuh ketiga anakku. Begitu perumpamaannya. 
Aku semakin tersalah dalam keluarga ini. Semua yang kukerjakan mulai tidak runut. Konsentrasi pecah. Amarah sangat mudah memuncak. Aku bertanya soal itu, kepadanya, karena itulah masalah yang menganjal. 
“Apa kamu ingin punya anak sendiri?” tanyaku malam itu. Pertanyaan yang kukutuk setelah keluar dari mulutku. Raut wajahnya mulai berubah. Gaya tubuhnya tidak nyaman. Gerak-gerik yang tidak biasa. 
“Kamu bisa memberikannya?” ia balik bertanya. Pertempuran kami dimulai dari sini. Aku yang memulai dan aku tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Dialog dua kalimat itu menjadi perang dingin antara aku dan dirinya dalam waktu cukup lama. Sikapnya berubah kepadaku namun tidak kepada ketiga anakku. 
Aku tidak ingat kapan tepatnya suasana mencair dan ia mulai berbicara lebih santai. Aku menyesali telah menarik emosi mudanya ke permukaan. Jelas ia mudah tersulut emosi dengan usia yang masih muda. 
“Siapa yang tidak ingin memiliki anak?” ekspresi wajahnya datar. “Mereka tetap bukan anakku. Mereka akan meninggalkanku jika besar nanti. Pertalian darah itu lebih kuat antara manusia. Aku tidak memilikinya!” 
Cukup sudah aku mengetahui isi hatinya. Ia kecewa sekarang. Aku yang menampakkan kecewa itu kepermukaan dengan sebuah tanya yang sebenarnya tidak penting kutanya. 
Rumah tangga kami masih berjalan seperti biasa. Ia ikhlas merawat anak kami tetapi aku belum memaafkan diri sendiri.
Baca Juga
Categories
Uncategorized

Cerita Wanita Hamil Dicerai Suami Jelang Operasi Caesar

 

Cerita Wanita Hamil Dicerai Suami Jelang Operasi Caesar
Ilustrasi wanita yang menunggu kabar dari suami – vemale.com

Kumulai
cerita ini saat anakku, Nabila, berumur enam tahun. Anak yang malang, manis,
bergairah dalam mengerjakan segala sesuatu, bersenang-senang dalam harinya. Ia
sama sekali tidak tahu permasalahan yang menimpa orang dewasa. Ia hanya tahu
bermain dengan santai, bersama sepupunya, Faiz, anak adikku yang hidup bahagia
bersama suaminya.

Baca Juga 

Inilah Daerah yang Jadi Kiblat Pariwisata Indonesia

Dan
aku?
Malang
tak kunjung usai. Pernikahan yang kujalani sangat bahagia di awalnya. Awal yang
hanya berumur pendek. Seumur jagung kata orang-orang. Aku berkenalan dengan
Candra saat kami masih aktif di lembaga swadaya masyarakat. Candra begitu
perhatian kepada wanita ini, wanita yang semula nggak peduli dengan kehadiran Candra
lebih dari seorang teman, wanita yang menyebut dirinya begitu egois karena
merasa pria hanya akan mempermainkannya, wanita ini yang bernama Nana. Itulah
aku.
Pernikahanku
dengan Candra berlangsung cepat. Cinta yang singkat terjadi antara aku dengan
Candra. Candra terlahir dengan watak periang. Di mana ada Candra dunia
seakan-akan hidup dalam gairah kembang api. Adat-istiadat pun digelar saat
pernikahan kami. Kedua belah pihak meramaikan suasana hari bahagia tersebut. Aku
cukup merasa satu hal, bahwa tiada hari selain itu untuk membuatku benar-benar
bahagia.
Aku
butuh seorang pria! Akhirnya aku berani mengutarakan ini saat Candra
menggenggam erat tanganku. Rona bahagia tidak hanya milik kami berdua. Bahagia
milik semua orang yang mengantar bahtera rumah tangga kami menuju kemenangan
yang didiam-idamkan semua orang.
Pikiranku
selalu positif terhadap kehidupan yang hadir sebagaimana mestinya. Aku tidak
menolak kehidupan menjadi tidak normal karena hidup ini memang demikian adanya.
Cekcok antara aku dan Candra mulai terjadi begitu usia pernikahan kami masuk
dua bulan. Candra lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, di warung
kopi bersama teman-temannya, berbicara panjang lebar tanpa peduli urusan rumah
tangga. Waktu itu, kontrak kerja Candra telah berakhir dan di wajahnya
kelihatan beban yang berat. Aku tidak mempersoalkan masalah itu. Aku masih bisa
hidup saja bersamanya lebih dari cukup. Candra tidak demikian. Lepas dari
pekerjaan itu, ia tidak lantas mencari pekerjaan yang lain. Aku tidak bisa
berpangku tangan begitu saja. Rumah tangga kami benar-benar harus bertahan
sampai di mana mauku dan Candra.
Empat
bulan pernikahan, aku hamil. Wajah Candra biasa-biasa saja. Aku nggak mau ngurusin
beban yang ada di pikiran Candra karena baru setelah menikah aku paham betul tabiatnya.
Dari luar Candra boleh saja ceria, dari dalam batinnya tertekan entah karena
apa. Ada rahasia yang mungkin saja Candra tidak mau membaginya denganku. Wanita
yang telah ditidurinya dan sebentar lagi akan melahirkan anaknya.
Kehidupan
rumah tanggaku tidak bagai dalam kapal pecah. Tetapi kapal yang sedang
membawaku dan Candra bisa saja karam tak sepengetahuan kami. Bisa juga diamuk
badai kencang sehingga tali-temali lepas dan aku terpelanting ke dasar lautan.
Sikap
Candra biasa-biasa saja. Candra lebih banyak diam daripada menyampaikan
unek-unek di dalam pikirannya. Pagi hari Candra selalu berangkat. Malam baru
pulang. Aku tidak mengubris karena kupikir Candra butuh ketenangan. Aku
menyiapkan semua kebutuhan Candra di sela-sela kesibukan di pekerjaan yang baru
dan masa-masa kehamilan yang sulit.
Aku
baru merasa hatiku perih saat Candra tidak mau menemani check-up  ke dokter di usia kandungan masuk tujuh bulan.
Candra terlalu egois dalam diamnya dan melakukan sesuatu di luar batas
kemampuanku untuk menggapainya. Aku mau Candra berbicara, memberi alasan,
sepatah kata saja. Tetapi Candra tidak mau membuka suara sampai aku lelah
menghardiknya dengan kata-kata pedas sekalipun.
Candra
diam.
Aku
frustasi.
Baca Juga 

Mengapa Aceh Layak Bawa Pulang Piala Wisata Halal Dunia?

Rasanya,
aku tidak ikhlas mengandung anak dari pria yang entah sedang berada di langit
mana saat bersamaku. Tak ada guna aku mencak-mencak meminta kepastian dari pria
itu, tentang sesuatu yang aku bingung menjelaskannya. Aku nggak paham masalah
apa yang mendera Candra sampai dirinya benar-benar berlaku demikian.
Aku
butuh manusia bersuara. Aku butuh alasan. Katakan. Tapi Candra tetap diam. Sampai
semua menjadi sangat kalut di usia kandungan lebih sembilan bulan. Tinggal
menghitung hari aku akan melahirkan. Beban di pikiranku sama sekali tidak
berkurang. Beban itu bertambah parah begitu aku mengetahui Candra
mengabaikanku.
Candra
tidak pulang sudah lebih tiga hari. Aku melapor kepada dua adik laki-laki. Aku
meminta mereka mencari Candra. Berulangkali pula aku menghubungi nomor ponsel
pria itu. Suara operator menjawab dengan manisnya. Aku mengeluarkan
teriakan-teriakan tak tentu tujuan. Tetangga berdatangan. Ibu menangis
tersedu-sedu. Aku tidak tahu apa yang mesti kulampiaskan. Aku gagal memahami
salah di dalam diriku.
Teriakanku
semakin menggelegar saat kedua adik tidak menemukan posisi Candra. Pria yang
telah enggan kusebut suami. Sikap manisnya tak lagi terbayang di dalam benakku.
Suaranya tak pernah lagi terngiang di pikiranku. Caranya berpakaian telah
hilang dari penglihatanku. Caranya makan membuatku enggan menyentuh piring.
Candra
telah lenyap. Kedua adikku bela-belain diri datang ke rumah Candra yang
jaraknya ratusan kilometer. Keduanya membawa pulang kabar duka. Lebih baik aku
mati suami daripada ditinggal pergi. Keluarga Candra juga tidak mengetahui di
mana dan ke mana anak mereka pergi. Dunia rasanya telah kiamat. Tetapi aku
tidak bisa mati. Kontraksi di dalam perutku tak jadi-jadi. Sakit tiada tara. Hatiku
panas. Amarahku memuncak. Pada siapa aku meminta pertolongan. Aku malu!
Keluarga
melarikanku ke rumah sakit. Aku butuh oksigen tambahan. Aku butuh pertolongan
untuk melahirkan bayi ini. Aku tak dapat melahirkan normal dalam kondisi
setengah gila. Rambutku acak-acakan. Badanku panas mendidih. Napas tersengal-sengal.
Tangan keram. Kaki keram. Pikiran mengawang-awang. Suara menyebut-nyebut entah
apa.
Lima
menit sebelum aku masuk ke ruang operasi, kusempatkan diri membuka ponsel. Kupanggil
nomor Candra. Suara tersambung. Hatiku mulai sedikit tenang. Hingga panggilan
terputus Candra tidak mengangkat telepon dariku. Kuulang sekali lagi. Tetap
sama. Sekali lagi. Ditolak. Sekali lagi. Ditolak kembali.
Dan,
sebuah pesan masuk setelah itu.
Aku ceraikan kamu mulai hari ini, Nana!
Kepalaku
meledak. Aku meraung-raung. Ponsel berpindah tangan ke adik perempuanku. Perutku
perih luar biasa tetapi bayi itu tak juga mau keluar. Aku dilarikan ke ruangan
operasi. Aku tak sadar diri setelah itu. Entah karena pingsan. Entah karena
telah dibius untuk kebutuhan operasi.
Aku
terbangun dalam remang. Aku bersyukur jika telah mati. Tetapi suara bayi
menangis di sampingku membuat rasa syukur itu kutarik kembali. Bayi itu dipeluk
Ibu dengan hangat. Aku iba kepada bayi itu. Kasihan kepadanya yang tidak
bersalah.
Enam
tahun ini, aku tidak pernah mencari Candra. Tidak pernah kukabari apapun
tentangku kepada keluarganya. Walau kemudian keluarga Candra ada yang datang
meminta maaf. Aku diam seperti diamnya Candra saat bersamaku. Aku tidak tahu di
mana dan apa dan mengapa dan seterusnya, salahku kepada Candra. Aku bagaikan
pesakitan yang duduk di bangku merah untuk di sidang. Aku seperti dituduh telah
berbuat jahat dan akan segera divonis mati atas perbuatan yang tak pernah
kuperbuat sebelumnya.
“Aku
tak pernah akan menerima kepulangan, Candra!”
Tiap
kali ada yang tanya. Teman-teman yang kasihan kepadaku. Tetangga. Siapa pun.
Jawaban ini kuberi sebagai penegasan bahwa sakit hatiku kepada Candra teramat
lebih dalam dari yang dibayangkan orang banyak.
Hubunganku
dengan Candra bukan cinta satu malam. Aku istri. Aku menikah dengannya. Bagian
mana yang membuat Candra tidak siap menerimaku, aku tidak tahu. Candra datang
dengan berani mengatakan cinta lalu pergi sebagai pengecut setelah menabur
benih.
Aku
seorang wanita. Aku berhak bahagia bagaimana pun definisinya!
***
Mengapa Saya Menulis Kisah ini?
Dia
tidak memaksa menulis tentang ini, dia hanya meminta berulangkali. Dan,
untuknya terima kasih telah berbagi.
Saya
tahu, sebagaimana orang-orang di lingkungan kami tahu kisah ini. Tetapi tidak
ada yang mencemooh bahkan sampai melempar telur seperti dalam drama televisi. Drama
yang dialami wanita ini cukup perih untuk saya jabarkan menjadi sebuah kisah,
apabila dilihat sendiri.
Wanita
ini tegar dalam segala sisi. Dia melupakan semua masalah suaminya yang pengecut
dan memulai yang baru sebagai orang tua tunggal. Wanita ini telah membuang luka
di kolong yang orang lain tidak tahu.
Kisah
ini bagian dari kehidupan yang enggan orang bicarakan karena berlaku universal.
Tidak hanya wanita ini yang mengalami hal serupa. Banyak wanita lain yang
mengalami persoalan demikian namun tetap berangkat kerja untuk memenuhi
kebutuhan. Kasihan tentu saja. Membantu sejauh mana kita sanggup. Semua orang
punya kehidupan masing-masing dan bantuan sesekali nggak pernah cukup. Salut
saya kepada wanita dalam kisah ini adalah tidak mengiba. Dia bekerja keras
walaupun suaminya telah pergi. Jika ia meraung terus-menerus, anaknya tak akan
ubah seperti dirinya yang menderita sepanjang waktu.
Tidak
mudah memulai kembali kehidupan yang kacau. Pernikahan yang semula ingin
bahagia malah terbengkalai karena sifat egois dari seorang saja. Bagi saya,
wanita ini tidak bersalah. Justru pria yang menjadi suami wanita ini yang harus
duduk di bangku persidangan. Alasan apa sampai meninggalkan istri sedang hamil?
Sudah punya wanita lain? Tidak puas? Tidak bahagia?
Wanita
ini butuh alasan lho. Dia ditinggal karena apa. Sampai kisah ini saya
tulis wanita ini belum mengetahui alasan pasti. Dia memang tidak menghubungi
bekas suaminya. Pria itu juga tidak mencoba menghubungi terlebih dahulu,
sekadar minta maaf atau apapun itu.
Sakit
hati wanita ini tidak saya lihat. Tetapi sakit hati yang dipendam bisa meledak
seketika. Tentu pada pria yang mencampakkannya jika kembali suatu saat nanti. Apakah
pria itu akan terus membatu sampai suatu saat nanti? Saya tidak tahu. Namun
beragam kisah mengajarkan bahwa sebuah kata kembali selalu ada. Saat kata itu
dimulai, penyesalan yang muncul menyesak hati.
Catatan
penting dari kisah ini, nggak salah memulai dengan saling terbuka sebelum
menggunung di kepala. Baik istri maupun suami punya kesempatan yang sama. Mau
memulia dari mana, itu adalah hak masing-masing. Penyesalan di kemudian hari
cuma bisa dikutuk tetapi tidak bisa dikembalikan menjadi sebuah kesempurnaan. 
Categories
Uncategorized

Cinta Sepotong Hati Wanita

Cinta Sepotong Hati Wanita – Sebuah pesan masuk. Bunyi bip yang sama sekali tidak ingin kudengar. Aku sedang berada di atas angan tingkat tinggi. Tak ada yang bisa menarikan lagu dalam diriku untuk melabuhkan pada sebuah unggapan. Aku terjebak!
kisah cinta wanita tak sempurna
Kisah Cinta Wanita – vemale.com

Pada pusara yang enggan kusebut di mana letaknya. Di tengah padang pasir dengan sejuta pesona menyilaukan. Di sana pula, aku berdiri dalam khayalan tingkat tinggi. 

Apa alasan aku hidup?
Untuk bermanja pada seseorang yang telah mengabaikan hadirku. Atau untuk membahagiakan orang lain. Mungkin saja. Apalagi pesan yang baru saja kuterima tidak menggenakkan batinku mengutarakan padamu, yang semestinya menghargaiku sebagai pria sejata. 
Oh, ayolah. Bicara pria sejati itu – harusnya – telah menikah dan berbahagia di usia tiga puluh tahun. Aku belum menemukan makna itu. Aku belum menyemai suka pada sebentuk hati yang lain. Mungkin saja hatiku telah beku, namun perkara wanita sungguh tidak bisa ditebak. Terlebih, saat wanita itu mengumbar senyum lebih nyata di depanku.

Sebuah tanya. Mungkin saja aku tak perlu menjawabnya. Tanya itu lumrah ditanyakan. Tanya itu mungkin bisa kuabaikan saja. Tapi dia butuh kepastian tentang jawaban. Tentang pernyataan. Tentang ungkapan perasaan. 

Benar. Ini hanyalah sebuah keingintahuan seorang wanita pada pria lajang di umur segini. Mungkin rasa penasaran membuahkan tanya terus-menerus. Atau aku terlalu banyak mungkin ­sehingga tidak ada gambaran nyata mengenai apapun yang berkaitan dengan fakta. Hidup in harus realistis dan logis. Mungkin sepanjang hidup bermakna pesimis atau malah mengkambinghitamkan masalah yang belum tentu kutemui setelah menyelesaikannya. 
Masalah? 
Kurasa ini bukan masalah. Hanya perbedaan sikap. Tapi perbedaan yang tidak mudah kujabarkan. 
“Bang, boleh tanya tidak, tipe wanita yang abang suka seperti apa ya?” 
Begitu. 
Aku tidak bisa menutup buku. Catatan itu tetap ada di dalam buku yang enggan kutulis dalam bentuk sebenarnya. Di mata dia yang bertanya, wajar saja karena mungkin dia ingin tahu, mungkin karena ada orang lain yang ingin mengetahuinya. Barangkali karena dia benar-benar ingin mengetahuinya. Apakah karena rasa suka? 
Sejauh itukah aku bertanya pada diri sendiri? Mana mungkin aku bertanya pada si pemberi pertanyaan. Hubungan kami hanya sebatas teman saja. Aku sangat jarang berbicara dengannya. Aku tidak tahu memulai percakapan apa dengannya.

Berbeda saat aku bersama teman-teman wanita yang lain, bersamanya aku tidak merasakan tali persahabatan yang berarti. Sikap itu pun mendadak berubah setelah kuterima pesan darinya. Bukan cuma sekali, sedikitnya tiga kali dia bertanya dan meminta jawaban.

Jika tidak kujawab, dia akan mengirim pesan beruntun, seolah-olah di antara kami telah terjadi sesuatu yang sangat menarik. 

Menarikkah itu?
Aku tidak mengatakan dia sebagai wanita murahan. Setidaknya dia tahu bersikap saja. Mengirimiku pesan selang waktu lima menit seperti dia sedang menyelesaikan masalah dengan pasangannya. Aku bukanlah pasangannya. 
Ayolah. Aku dengan dia tidak ada kaitan apa-apa. Hanya teman sekantor. 
Aku tidak mengajakkan makan malam bersama teman-teman lain karena dia sering beralasan. Terkadang, di awal bulan aku membuat pertemuan khusus dengan teman-teman lain, sekadar membicarakan keluhan maupun keinginan lain selama kami menjadi karyawan. Dia hanya mendengus dan enggan menerima ajakanku. 
Tiba di tempat berbeda – aku di rumah dan dia entah di langit mana – pesan itu mendadak membuyarkan lamunanku tentang masa depan. Masa yang belum bisa kusentuh untuk benar-benar bahagia atau malah kosong-melompong seperti saat ini. 
Ketika sebuah pertanyaan wajar itu muncul, aku berpikir bahwa benar pertanyaannya. Bahwa aku patut membubuhkan tanda bold pada catatan penting mengenai kriteria wanita yang kusukai. Dengan itu, aku bisa memilah wanita mana yang bisa kuajak kencan. 
Begitulah istilah masa kini. Kencan yang entah seperti apa itu. Bagi pria yang cukup berumur – anggap saja demikian – kencan itu ibarat buah simalakama. Serba salah saja karena aku tak pernah berinteraksi dengan wanita sebelum ini. Maksudnya, sebagai pasangan yang romantis. 
Aku lebih banyak duduk di kantor atau kumpul bersama teman-teman sampai larut. 
Karena aku tak ingin wanita? 
Bukan itu jawabannya. Karena aku belum menemukan wanita yang tepat. Tidak mudah menemukan wanita yang bisa membuat hatiku luluh. Wanita seperti dia seperti sebuah masalah yang musti kuselesaikan sebelum hubungan jadi serius. Sebagai dua manusia yang hubungannya jarak saja dia berani posesif kepadaku, entah bagaimana jika dia – entahlah. 
Antena di kepalaku terlampau tinggi mencapai angkasa. 
Kupikir, dia bertanya karena dia ingin tahu. 
Kuingin mencurahkan isi hati ini kepada teman lain, takutnya mereka menertawakanku. 
Bisa jadi, mereka akan memberi jawaban.
“Jangan-jangan sudah ada gebetan ya, bang?”
Atau,
“Itu tandanya dia suka sama abang!” 
Rumit sekali masalah ini. Siapa yang bisa kukutuk untuk ini. Umur yang semakin menua. Waktu yang belum mengizinkanku mencintai. Keinginan yang belum membuka mata hati untuk melabuhkan hati kepada wanita lain selain wanita yang telah meninggalkanku. 
Itu hanya penyebab. 
Lima tahun cukuplah aku bersabar. Wanita yang sempat kucinta meninggal karena sakit. Jodoh kami tidak dipertemukan. 
Aku menunggu diakah?
Entahlah. Apa yang kutunggu pun aku tidak bisa menjabarkannya. Dia yang telah pergi pun entah benar menungguku di hari akhir. Teori tentang ini belum kuketahui benar adanya. 
Hanya aku, membandingkan saja. 
Dia yang telah meninggal dengan dia yang datang tiba-tiba. Dia yang telah tiada tampil adanya. Perhatian yang kuberi diterimanya dengan sabar. Aku tidak membalas pesan, tak pernah sekalipun dikirimnya pesan lain. Aku lupa menjemput di malam minggu, hanya sebuah pesan masuk yang memintaku istirahat saja. 
Pantaskah aku membanding? 
Waktu mengulurkan sayapnya begitu lama sekali. Bagiku hidup ini jadi terasa hambar karena kegalauan yang menghantui setiap sisi tubuhku. Aku ingin berlabuh ke wanita lain. Tapi aku membanding dengan yang telah pergi. Kesempuraan dia yang telah tiada masih tertutup dari yang masih tersisa di dunia ini. 
Orang berbeda. Aku tahu. 
Rasa nyaman itu kubutuhkan karena aku manusia. Lemah sekali rasanya saat sendiri begini. Aku tidak perkasa saat bersama teman-temanku. Setiap rahasia kusimpan sendiri dan enggan kubagi kepada orang lain karena kutahu setiap orang punya masalah tersendiri. 
Dia yang mengirimi ku pesan singkat itu. 
Tidakkah berpikir aku memiliki masalah? 
Lebih tepatnya sebuah kehilangan. Terlalu berlebihan memang. Tapi aku berhak memilih. Baik menurutnya belum tentu baik menurutku. Dia bahagia, aku belum tentu. 
Saat wanita bertanya tentang kriteria itu, aku sudah menggariskan sebuah kesimpulan. 
Bahwa, dia punya rasa!
***
Kisah Cinta Wanita Sedih Banget
Categories
Uncategorized

Catatan Istri Diselingkuhi Suami Mata Duitan

Aku
cukup bahagia hidup sejauh ini. Pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri. Suami yang
tampan dan sangat perhatian. Bahkan, dia begitu cemburu kepadaku.

Apapun yang
aku lakukan selalu diketahuinya tanpa kuketahui bagaimana cara dia mengetahui
hal itu. Bisa kukatakan, aku adalah wanita terbahagia saat ini.

Walaupun kami
belum dikaruniai seorang anak tetapi kami sangat menikmati masa-masa indah
selama delapan pernikahan.

Ilustrasi.

Suami
masih belum memiliki pekerjaan tetap meskipun dia baru saja menyelesaikan
megister. Dia bekerja ini dan itu sesuai dengan
passion dan bisa
menghasilkan uang untuk menunjang aktivitasnya yang semakin hari tampak beken
di mata orang. 



Padahal, sifat perlente dalam dirinya tak lain karena aku
menyuapi semua kebutuhan dia sebagai suami tercinta. 



Gajiku sebagai pegawai
negeri lebih dari cukup. Bisa kukatakan sembilan puluh persen biaya kuliahnya
adalah aku yang tanggung. 



Pakaian mahal dan bermerek yang dikenakannya adalah
aku yang membeli. 



Dia merengek ingin memiliki mobil karena teramat malu dengan
kawan-kawannya yang telah mengendarai kendaraan roda empat. 



Aku tak mau
menyia-nyiakan waktu, kuturuti keinginan suami. Aku mengambil kredit di bank
dan mencolek sedikit simpanan lalu kuboyong mobil plat merah ke rumah.
Kebahagiaan
suami adalah bahagia aku juga. Begitupun saat dia sakit lambung kala itu.

Kami
bahkan pulang pergi ke Kuala Lumpur untuk mengobati penyakitnya. Bukan tanpa
alasan aku dan dia ke luar negeri untuk berobat.

Desas-desus yang kudengar di
sini, banyak orang yang sembuh setelah terbang ke negeri jiran. Aku tak mau
membuang kesempatan ini.

Dia adalah sesuatu yang tak mungkin kuabaikan. Pucat wajahnya
sama dengan pucat wajahku juga. Kurus badannya akan menular ke kurus badanku
juga.

Dia tidak tidur menahan sakit, aku pun melakukan hal yang sama.

Namun
tiba-tiba, setelah semua kumiliki sempurna dia mulai bertingkah. Semula kukira
wajar dia kirim pesan maupun telepon tiap saat.


Nanyain apa yang aku
lakukan dan dengan siapa padahal dia sangat tahu bahwa aku sedang dalam
pekerjaan.

Sifat posesifnya semakin hari semakin menanjak naik. Tak hanya itu, uang
jajan yang kukasih tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Dia bahkan
memegang kendali kartu ATM milikku. Aku nggak ambil pusing karena sangat
percaya kepadanya. Kepercayaan yang kemudian kusesali karena tabiat dia yang
ternyata tak pernah puas.

Di
sini kuakui, kekurangan dalam diriku karena gemuk. Dia bosan dan malu
menggenggam tanganku ke mana suka karena orang-orang akan berprasangka tak
baik.

Dia mencari kesenangan di luar rumah dengan memamerkan semua milikku.

Dia
mengendarai mobil dengan angkuhnya di belakangku bersama wanita yang belum
kuketahui jelasnya.

Dia tertawa-tawa di pusat perbelanjaan maupun rumah makan
mahal dengan tabungan di rekeningku.

Aku
curiga kenapa tabungan cepat terkuras padahal dia sudah selesai kuliah. Aku diamkan
mungkin memang dia butuh.

Aku curiga kenapa mobil kami selalu membekaskan aroma
berbeda dari parfum yang kusemprotkan pada diriku atau dirinya.

Begitu sebuah
tanya kulontarkan, dia memetik emosi sampai ke langit ketujuh. Dia marah-marah
tanpa sebab padahal aku cuma mengeluarkan sebuah pertanyaan saja.

Kok
agak beda ya wangi mobil kita, Bang?”
Dia
tak menenangkan istrinya. Dia pula tak beralasan mengganti aroma pengharum di
mobil, misalnya. Dia hanya berkata, “Kau terlalu cemburu!”
Cemburu
yang bagaimana menurutnya? Aku tak membalas sikapnya yang posesif. Bahkan terhadap
rekanku yang masih muda dia menahan cemburu buta.

Padahal jelas-jelas rekanku
sebentar lagi akan menikah dengan kekasih wanitanya. Namun aku tak
membesar-besarkan masalah itu.

Mungkin
aku teramat sensitif kepada hal-hal sepele yang menyangkut suami, yaitu dia. Aku
mencium aroma berbeda karena ketakutan tersendiri dalam diriku.

Dia selalu
curiga aku selingkuh. Dan kemudian dia sering menerima telepon lalu membual
tawa membahana sampai larut malam.

Tanpa kutanya, dia mengatakan seorang teman
menelepon karena ingin curhat. Curhat yang akhirnya selalu terjadwal.

Aku masih
percaya – setengah percaya – dalam waktu yang lama sampai sebuah pesan kubaca
tak sengaja. – Abang kapan pulang ke mari? Adek kangen banget lho! – Begitu
kira-kira pesan yang kubaca saat dia tertidur pagi hari. 



Aku teriak sekuat
tenaga. Tak kupedulikan tetangga mengangga. Tak kuhiraukan apapun selain sebuah
kepastian.

“Apa
maksudnya ini, Bang???” pekikku.
Dan,
kamu tahu apa jawabnya? Dia benar-benar telah berubah menjadi manusia paling
beringas, tamak, rakus, emosional dan segala jenis keburukan lain yang ada di
dunia ini. Semua melekat kepadanya.
“Aku
bosan sama kamu!”
Segitukah
hati seorang pria? Apakah pria lain juga demikian?
Pengakuan
yang selanjutnya adalah sebuah pernikahan. Dia menikah tanpa sepengetahuanku. Dengan
wanita itu. Seorang pekerja swasta. Seorang janda beranak dua.

Seorang wanita
tinggi semampai. Seorang wanita cantik jelita menurutnya. Seorang wanita yang
lembut kasih sayangnya, baginya. Seorang wanita yang telah memberikan semua
hasrat kepadanya. Sedangkan aku?

Mesin
uang saja baginya?
Semua
telah kuberikan kepadanya. Apakah dia tidak terbuka hati untuk itu? Tak sempat
kubalik pertanyaan demi pertanyaan aku malah terusir dari rumahku sendiri.

Itu
juga rumahku, aku yang membeli rumah itu dengan simpanan yang tak kukasih tahu
kepadanya waktu itu.

“Kuantar
kau ke orang tuamu. Aku tak sudi melihat rupa kau yang begitu saja tak berubah!”
Aku
tertatih. Pulang ke rumah orang tuaku. Ke Ayah. Pria yang juga telah melakukan tabiat
yang sama dengan suami – enggan kusebut namanya kini – semasa mudanya.

Ayah menduakan
ibuku sewaktu aku masih di dalam kandungan. Menikah dengan ibu tiri yang kini merajuk
kepadaku jika tak ada pemasukan dari usahanya membuka kios kelontong.

Aku
terpuruk. Itu sudah jelas. Aku tidak makan. Histeris setiap saat. Bekerja tak
semangat. Aku dilanda frustasi teramat dalam. Rasanya mau kubanting semua yang
ada di dalam diriku.

Kucabik-cabik raga untuk melupakan semua yang kurasa. Aku tak
lagi senang. Aku tak terbungkus lagi dalam bahagia. Semua telah usai. Dan gemuk
badanku turun drastis.

Proses
yang tak kuingini berjalan begitu cepat. Semua harta dibagi dua.

Dia ngotot untuk
tidak membagi padahal jelas-jelas rumah, mobil dan bahkan seluruh tubuhnya
berisi uang dari kerja kerasku. Dia membantai aku dengan kalimat demi kalimat
yang tak bisa diterima akal sehat.

Naif sekali pria berpendidikan pascasarjana
mengeluarkan kata-kata tak berbobot. Aku terima umpatan-umpatan itu. Aku terima
saat dia mengatakan aku mandul.

Dia seakan-akan lupa perkataan dokter kandungan
yang mengatakan dirinya tak kuat untuk bertarung dalam perang sesungguhnya untuk
mencapai mulut rahim.

Aku
tidak masalah. Aku masih punya gaji. Biar aku egoistis tetapi aku tak pernah
menggantungkan hidup kepadanya.

Aku survive untuk melanjutkan hidup
tanpa dia. Kulihat kiri dan kanan yang terus mengabdi pada hidup, aku pun
demikian.

Tekadku kemudian adalah mempercantik diri. Terserah orang mau bilang
aku balas dendam karena dikata tak cantik dan gemuk oleh pria yang pernah menjadi
suami itu. Aku benar-benar butuh sesuatu yang baru.

Beban
psikologis dan latihan rutin seperti lari dan gym membuat bobotku turun
cukup banyak. Aku sudah bisa tertawa saat bersama rekan kerja atau di tempat gym.

Aku memulai hidup yang baru. Aku telah move on walau belum penuh
seutuhnya. Dan dia?

Datang
menjengukku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Di mana pula wanita yang
dia bangga-banggakan? Kenapa pula dia membuntuti langkahku?
“Kamu
kekurangan uang, Bang?”
Seandainya
berani, kulabrak dia dengan pertanyaan itu. Namun aku tak pernah sudi. Kulihat wajahnya
saja sudah muak.

Aku tak mau berhadapan lagi dengannya setelah sekian aroma
perih yang ditebarkan sampai aku tak mampu beranjak.

Salah dia sendiri memulai
apa yang sebelumnya dia yakini aku yang berbuat. Deritanya jika tak punya uang
setelah mencampakkan aku.

Pulang saja ke istri kedua itu jika butuh pelukan
hangat. Tak usah tebar pesona pada kehangatanku yang dianggap angin lalu tak
berbekas.

Catatan
ini kutulis untukku yang tertipu dengan tabiat manja dari pria. Sekarang siapa
yang lemah di antara kita?
***
Untukmu, terima kasih telah mengizinkan kisah ini dibagi.
Categories
Uncategorized

Karena Masakan Ibumu Harga Diriku Tercabik

Begitu? Kau pikir setelah seharian menghabiskan banyak waktu di luar rumah aku tidak merasa lelah. Aku juga manusia, butuh istirahat lebih lama saat ragaku tak sanggup lagi menapaki kerasnya hidup kita. 
Ilustrasi.
Bukan hanya kau saja menguras keringat dalam mengumpulkan harta berlimpah keluarga kita. Aku termasuk salah satu manusia penting dalam hidupmu. Gelar dokter spesialis belum menjamin hidup kita bahagia tanpa campur tanganku. 
Klinik bersalin di depan rumah terbangun karena hasil keringatku seorang diri, waktu itu kau belum apa-apa. Kau masih pria ingusan, masih mendambakan kasih sayang ibumu, masih berani di bawah bayang ibumu.
Kusadari, kau telah lahir dari keluarga kaya raya. Semenjak kuliah kau sudah mengendarai kendaraan roda empat sedangkan aku masih jalan kaki mengelilingi kampus kita. 
Bersama teman-teman berwibawamu, kau tampakkan bahwa dirimu juga sangat gagah. Kalian bahkan tidak mengubris sekelompok gadis kampungan duduk di samping meja kalian, di kantin kampus kita waktu itu. 
Apalah untuk sekadar berhubungan, melirik kami saja kau tak sudi! 
Kini? 
Kau berdiri dan lebih gagah dari teman-teman sesama dokter karena wanita yang dulu tak kau sadari kehadirannya. Pertemuan kita memang sudah lama, wajah tampanmu tersohor sampai ke seluruh kampus. 
Banyak temanku memujimu dan ingin berkenalan denganmu waktu itu, tetapi kasta kita berbeda. Antara mobil mewah dan jalan kaki. Antara calon dokter dan calon guru. 
Aku sama sekali tidak menaruh hati padamu semasa kita satu atap di kampus yang sama. Selesai kuliah, wanita tidak dengan kulit lebih gelap darimu ini mendapat beasiswa ke luar negeri. 
Aku pun tidak mengingat rupamu lagi jika saja kita tidak pernah bertemu di bandara suatu sore. Kau menyapa, aku membalas. 
Setelah itu, hubungan kita terjalin saatku sudah selesai mendapat gelar doktor bidang psikologi pendidikan dan kau masih belum selesai pendidikan spesialis. 
Waktu tidak pernah menipu. Dibalik semua mahakarya indah yang terpancar dari tubuh dan auramu, kau menyimpan misteri yang sulit kupecahkan. 
Kau lihat sendiri penatnya tubuhku melayanimu setiap waktu. Pagi sampai sore hari menghadapi mahasiwa di kampus, malam hari aku harus merampungkan beragam jurnal ilmiah. 
Kau melayani pasien di waktu tak tentu, dan perjalananmu hanya menyeberang jalan tanpa perlu menyetir sampai menghadapi kemacetan. 
Dan begitulah, hampir setiap malam kau tidak pernah puas menerima pelayananku. Kau bahkan hafal jam berapa aku baru sampai di rumah. Menyiapkan makanan enak untuk menu makan malam dalam waktu singkat tidak mudah bagiku. 
Mungkin hanya perasaanku saja sebagai wanita menerima sifatmu yang semakin menjadi-jadi. Namun kau melakukannya berulang kali. 
Selalu, kau sisakan setengah makanan di piring lantas kau duduk manis di depan televisi atau memilih berkendara meninggalkanku seorang diri. 
Aku tidak pernah tahu ke mana langkah, karena aku tidak mau tahu. Pekerjaanmu seharusnya kembali ke klinik bukan membiarkan pasien diatasi perawat-perawat muda itu saja. 
Kau punya kontrol besar dalam kesembuhan pasien, dan aku pun juga mau peduli tanggung jawabmu itu. 
Di sarapan pagi pun kau ciptakan ulah yang sama. Padahal, hanya telor dadar maupun nasi goreng. Sarapan standar di pagi hari, mungkin orang lain bahkan restaurant juga demikian. 
Kau sisakan pula di meja makan, tanpa bicara, tanpa menunjukkan sikap menolak, kau langsung meninggalkanku seorang diri. 
Beda rasanya ketika kau undang teman-teman rupawan ke rumah. Kau mendikte untuk masak makanan kesukaan mereka. 
Kulakukan maumu tanpa protes walaupun kepalaku sudah tidak bersahabat. 
Dan lihat sifatmu? Kau makan semua hidangan bersama teman-temanmu sambil tertawa lepas. Padahal itu, masakanku juga. Tangan wanita ini juga yang meracik bumbu, menunggu matang, sampai teman-temanmu merasakan rasa enaknya.
Aku tidak habis pikir dengan sikapmu padaku. Saat ibumu berkunjung ke rumah kau malah memintanya memasak di dapur. Harga diriku sebagai istri seakan telah sirna. 
Mata sinis ibumu membuatku ingin lari ke kamar mandi, menyiram seluruh emosiku dengan air dingin. 
Dan ibumu akan mengatakan padaku, sebaiknya aku memanjakan dirimu sebagaimana dirinya mengistimewakanmu. 
Begitukah? 
Apa semua pria tampan di dunia ini seperti suamiku? 
Sebagian besar waktuku telah habis mengerjakan tugas yang teramat banyak. Sesekali aku harus membeli makanan karena aku tidak sempat memasak. 
Kadang, kau tidak pernah mengerti etika orang lelah bekerja. Meminta ini itu terkadang membawa emosi teramat parah. 
Pulang dalam lelah, aku malah menerima tatapan protes dari dirimu. Dalam diam kau letakkan makanan yang kubawa pulang, lantas kau pergi dengan mobilmu. 
Seperti biasa, besoknya ibumu datang ke rumah. Kau senang bukan kepalang saat ibumu masak makanan kesukaan kamu. 
“Makananmu tidak seenak ibuku!” katamu malam itu. Kepalaku mendadak berputar-putar. “Kau tidak bisa memasak seperti ibuku!” 
Sudah cukup aku bersabar. 
“Jangan pernah banding-bandingkan aku dengan ibumu! Kau mau makan masakan ibumu silahkan pulang ke rumahmu. Aku tidak peduli lagi dengan hidupmu. Mau kau lakukan apa terserah, kau mau bawa semua barangmu ke rumah ibumu silahkan, kau tidak mau pulang lagi ke rumah ini juga tidak masalah, kau mau cari wanita lain pergilah!” 
Sudah lama aku menahan emosi. Lihatlah, kau melongo di depanku. 
“Sayang, aku tidak bermaksud menyakitimu,” 
“Tidak kau sakiti? Berulang kali kau mencampakkan harga diriku, kau sisakan setengah makanan, kau ajak ibumu masak di rumah kita, kau cari makan di luar, mungkin juga kau sudah ada wanita simpan entah di kamar gelap mana!” 
“Tidak ada, aku tidak demikian!”
“Kau tidak demikian, menurutku kau demikian! Apakah aku berarti sebagai istrimu?” 
Kau diam. 
“Aku juga bekerja sepanjang hari, tidak hanya kau yang mengurus pasien di klinik kita. Aku lebih lelah dibandingkan denganmu menghadapi banyak orang. Aku juga mengerjakan semua pekerjaan rumah seorang diri tanpa kau bantu sedikit pun. Aku memenuhi kebutuhanmu sampai kau lupa bahwa aku masih hidup sebagai manusia bernyawa. Kau lelah, aku juga sangat lelah!” 
Aku sudah tidak selera menyentuh piring yang masih terisi penuh. Kali ini, kutinggalkan kau seorang diri di meja makan seperti kau tinggalkanku tiap malam. 
Kau sungguh tidak pernah romantis seperti aktor dalam drama. Wajahmu saja yang rupawan tetapi watakmu jauh dari itu. 
Malam ini hatiku sangat teriris. Rasa bersalah telah melanggar peraturan dalam ikatan perkawinan membuatku sangat terhina sebagai wanita berpendidikan tinggi. 
Tidak seharusnya aku membentakmu dengan kata-kata kasar, tetapi kau tidak pernah menghargai posisiku sebagai kekasih dalam hidupmu selama kita bersama. 
Kau masih mengagung-agungkan orang tuamu dan ketampanan yang kau miliki. Kerja kerasku mengumpulkan harta untuk menservis hidupmu agar terus berkuasa bagai angin lalu. 
Malam yang panas akhirnya menurunkan petir dan hujan lebat. Aku merebahkan diri di kursi memanjang ruang keluarga. Mataku menerawang ke langit-langit. 
Lampu berbentuk bunga mawar memancarkan cahaya temaram. Sesekali aku memejamkan mata. Tetap saja aku tidak bisa melupakan luapan emosi yang membuat suamiku terluka. 
Mungkin saja, kau belum pernah mendengar suara kasar. Keluargamu selalu mengajarkan kedamaian dan kelembutan, sehingga kau butuh perhatian lebih dari orang yang menyayangimu. 
Kali ini aku telah salah langkah!
Kau masih duduk menunduk di meja makan. Entah apa yang kau pikirkan. Aku tidak memberimu kesempatan membela diri lebih jauh. 
Barangkali kau punya alasan lain yang bisa membuatku lebih tenang. Barangkali juga kau butuh waktu merenung sebelum memutuskan baik buruk masalah kecil ini. 
Kita belum pernah bertengkar sekecil apapun selama usia pernikahan mendekati tahun kesepuluh, karena cita rasa masakan membuat hubungan kita bisa jadi renggang. 
Aku lelah memikirkan ini. Kupejamkan mata dan mencoba membayangkan sesuatu yang indah-indah saja. Pikiranku masih tidak tenang sebelum meminta maaf kepada suamiku. 
Aku bangkit dan membuka mata. Rupanya sudah gelap gulita. Listrik negara sudah mati lagi di kota kami yang semakin metropolitan. 
Niatku menghampirimu yang masih duduk di meja makan terhenti sampai di sini. Kurasa, perkara maaf itu akan menjadi sangat sulit bagiku. 
Aku meraba-raba dalam gelap, berharap menemukan sesuatu yang bisa menyala. 
Tanganku memegang sesuatu yang keras, memanjang, hatiku sudah tidak karuan, menerka-nerka, benda apa yang berada di samping kananku, padahal sebelumnya kosong tidak terisi. 
Kuremas dengan erat. Gempal. Berotot. Bereaksi. 
Kubelai, malah berubah digerak-gerakkan. Aku menduga-duga. 
Kuremas sekali lagi dengan sangat erat.
“Auw! Jangan begitulah, sakit itu!” kau berteriak sangat kencang saat pahamu berhasil kugenggam sampai jemariku merasakan otot keras berkat latihan kerasmu selama ini. Secepat itu kau duduk di sampingku tanpa kusadari. “Tidurmu nyenyak sekali,” 
Ah, kupeluk erat tubuh dalam balutan kaos oblong tipis itu. Sudahlah, mungkin kita harus sama-sama mendalami isi hati masing-masing dalam suasana gelap ini.
Categories
Uncategorized

Begini Tipe Wanita yang Mencampakkan Harga Diri Pria

Sabtu
selalu menarik untuk kongkow-kongkow. Tempat mangkal paling asyik
dan menguras isi dompet adalah warung bakso. Siapa sih yang nggak suka
bakso? Biar dikata banyak inilah, itulah, bakso tetap saja langganan mereka
yang kenyang dan lapar beneran!
Ilustrasi.

Kami
duduk manis menanti bakso disajikan. Aroma kuah bakso lumayan sedap. Para pembeli
datang tak keruan. Beragam usia menikmati sebongkah bakso dengan lahap
diselingi gelak tawa. 



Di kelompok kami pun tawa itu tak padam. Entah karena
suara perut atau memang suara isi hati yang ingin melepas lara. Celutuk-celutuk
kian menjadi-jadi sampai si Cantik kembali mengeluarkan “fatwa”nya yang
aduhai.

“Aku
males banget ke gym lagi, cowok-cowok itu pasti lihatin
aku terus pas pulang!”
Kawan-kawan
si Cantik yang merasa diri cantik pun menimpali seadanya. Saya mengetuk-ngetuk
meja sambil menunggu semangkuk mi ayam, berhubung rasa bakso tidak begitu
diterima dengan baik oleh perut.
“Pacarku
pun ngelarang,” sambung si Cantik. Cerocosnya kian panjang. Maksud si
Cantik komporin hal-hal begitupun entah untuk apa. Si Cantik terdengar
cukup bangga dengan kondisi apapun yang dimilikinya. Saya tak mau menilai
sebatas fisik karena itu sangat relatif. Cantik menurut saya belum tentu cantik
menurut orang lain.
“Bagaimana
pendapatmu, Bang?” tanya si Cantik.
“Apa
cowok itu kerjaannya cuma melototin cewek cantik?” geram juga saya
dengan anggapan-anggapan si Cantik. Wajar dong saya membela kaum
sendiri. Toh, nggak cuma kali ini saja si Cantik buat tingkah.

Berulangkali
si Cantik merasa bahwa dirinya sangat didiam-diamkan oleh semua pria. Poin cowok-cowok
yang lihat dia terus sepulang gym
itu nggak masuk akal bagi saya. Saya
balik bertanya karena saya merasa bahwa tempat gym bukan untuk
pamer-pamer  diri bermake-up
tebal. Lagian pria yang dimaksud si Cantik berapa orang sih?

Apakah semuanya
ganjen? Apakah semuanya nggak setia? Apakah semuanya mata keranjang? Apakah
semuanya jomblo? Apakah semuanya sudah menikah? Ingin saya utarakan rentetan
pertanyaan tersebut namun urang saya lakukan.

Bahkan, pertanyaan berikutnya
muncul. Apakah cuma dia saja yang “cewek” di tampat gym itu? Apakah
hanya dia saja yang merasa diperhatikan? Bagaimana dengan cewek lain?

Selera orang – pria – beda-beda lho Cantik!

Salah
besar jika si Cantik berhenti gym karena diperhatikan pria-pria yang dia
maksud.
Ocehan
si Cantik di warung bakso itu tidak bisa saya percaya seutuhnya juga didukung
dengan perkara lain. Pada kesempatan sebelum ini, si Cantik dengan tegas
menjelaskan bahwa rata-rata pria ganteng itu mantan dia!

Hampir semua pria yang
ada di akun facebook si Cantik adalah mantan pacar yang telah dia buang,
walaupun pria ganteng tersebut sedang menggendong bayi. Manipulasi data si
Cantik ini terkuat saat seorang cantik lain sengaja memancing di air bening.

Temannya
si Cantik ini, juga teman saya, berteman dengan pria yang lumayan ganteng di
facebook dan “mantannya” si Cantik. Saking kesalnya teman saya dengan
cerita-cerita si Cantik yang mengaku kencan di tempat-tempat romantis dengan
pria ganteng tersebut, teman ini dengan tegas bertanya kepada si pria. Jawabannya?

Siapa dia?

Waktu
itu, kami tidak mempersoalkan kejadian ini. Tidak pula menganggap angin lalu. Pengakuan
pria ganteng yang tidak mengenal si Cantik menjadi cambuk untuk kami menilai
dirinya lebih dekat. Kejadian demi kejadian lain pun menyusul. Si Cantik dengan
bangga memaksa kami mendengar ucapannya.
“Oh,
dia. Mantan aku tuh!
“Dia
cemburuan makanya kami putus,” ucap si Cantik seminggu sebelum pacaran dengan
pria lain.
“Ego
kali dia, kuputusin saja!”kata si Cantik sebulan putus dengan si
cemburuan.
Seakan-akan
tak ada hari baginya untuk sendiri. Si Cantik seperti dikangkangi oleh pria
manapun yang dikenalnya, padahal belum tentu pria itu mau dengannya. Seolah-olah
hanya dia wanita yang layak dilirik pria, sedangkan wanita lain ke laut
aja!
Kembali
ke warung bakso di mana meja kami telah penuh terisi mangkuk. Suara si Cantik
cukup dominan di antara kami. Tiba-tiba seorang pria tegap, dada bidang, kulit
mulus dan wajah putih bersih berdiri di meja kasir. Pria itu sedang memesan
bakso rupanya.
“Aduh…,
aku pernah dekat sama abang itu!!!” pekik si Cantik tertahan.
“Siapa
sih yang nggak pernah dekat sama kamu,” ujar teman kami yang tinggi
semampai.
Samperin
terus,” ujar yang lain.
“Perlu
bantuan? Aku siap kok!” tawar teman kami yang ceria.
“Apa
perlu kutanya dia kenal atau nggak sama kamu!” kata teman yang mengetahui si
Cantik sering berbohong.
“Jika
semua pria dekat sama kamu, berapa banyak sperma mereka di rahim kamu sekarang?”
tanyaku. Semua diam. Si Cantik merah padam. Sekonyong-konyong pertanyaan saya
menggariskan fakta teramat perih. Pria punya harga diri kok Cantik! Nggak asal
wanita kami caplok!
Categories
Uncategorized

Catatan Seorang Istri yang Tertular HIV/AIDS dari Suami

Saya perempuan baik-baik, paling tidak begitu keluarga dan teman-teman dekat memberi agrumen mereka. Saya beraktivitas seperti layaknya perempuan biasa. Masa-masa sekolah saya jalani dengan prestasi tidak gemilang dan juga tidak begitu terendah. Perkuliahan yang saya jalani juga diikuti berbagai aktivitas organisasi yang padat.
Perempan dan HIV
Saya tergolong perempuan yang super sibuk. Pagi dari rumah dengan beban sistem kredit semester dan beberapa mata kuliah yang harus diulang. Siang menjelang sore saya habiskan bersama teman-teman aktivis kampus. Ikut demo ini itu. Seminar di sana-sini. Bahkan sampai lupa malam beranjak sangat cepat.
Usia kuliah. Aktivitas saya tidak berakhir sampai jadi pengangguran. Saya sempat bekerja di salah satu perusahaan swasta. Tidak puas dengan pekerjaan yang sedang dijalani, saya putuskan untuk berhenti. Niat traveling sejak lama membuat nyali saya tergiur. Saya packing. Siapkan ini itu. Rencana sudah dibulatkan. Saya berangkat!
Perjalanan dimulai dari Bandara Sultan Iskandar Muda menuju Bandara Kualanamu! 

Bertemu Dia

Di ruang tunggu, saya termenung. Memutuskan memulai perjalanan ke Jakarta terlebih dahulu. Rute traveling belum terbayangkan dengan jelas. Rencana awal ke Bali, membuka perjalanan yang romantis di kota penuh warna itu. 
Saya masih dalam diam di ruang tunggu keberangkatan pertama pagi itu. Duduk sambil membolak-balik sebuah buku catatan perjalanan. Lima menit berselang, seorang laki-laki duduk di kursi kosong sebelah kiri. Dia menegur dengan bahasa khas Medan. Saya menjawab seadanya. Rasa was-was. Walau dari penampilan, laki-laki ini tidak memperlihatkan ciri khas perampok. Namun saya perlu hati-hati. 
Ini medan, girl! 
Penampilan necis belum menjamin seorang yang baru kita kenal itu baik atau tidak. Dan ini bandara di mana kasus penipuan banyak sekali terjadi! 
Dia memulai percakapan. Saya ikut alur saja. Dia tanya saya jawab. Sudah seperti sebuah permainan memperebutkan uang milyaran rupiah. Dia tertawa, saya hanya tersenyum simpul. 
Perkenalan yang singkat berlanjut ke dalam pesawat. Rupanya dia sudah terlebih dahulu duduk manis di seat samping, dekat jendela. Obrolan kami berlanjut. Basa-basinya ternyata bukan hanya ingin kenal luarnya saja. Dia banyak tanya. Ingin tahu segala tentang saya. 

Ini baru tahap awal, bung! Jangan terburu-buru!

Saya yang lelah karena menempuh perjalanan jauh dari Banda Aceh, meminta diri untuk rehat sejenak. Dia mengiyakan. Suatu kehormatan bagi saya. Paling tidak laki-laki yang duduk di samping saya ini tidak memaksa saya untuk terus mendengar ocehannya. 
Tak lama saya terlelap, terbangun saat pesawat terguncang. Seperti lima menit lalu saya tertidur, namun ini sudah hampir sampai di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten.
Melirik ke laki-laki yang sebelumnya banyak bicara itu, dia hanya tersenyum. Senyum yang menawan sejak awal saya berkenalan dengannya di ruang tunggu Bandara Kualanamu. 
Pesawat mendarat. Saya juga mendaratkan senyum perpisahan pada laki-laki yang telah menemani melepas jenuh selama perjalanan udara.

Baca Juga Kehidupan Gelap Sales Promotion Girl

Ke Kota Penuh Candi

Saya dan beberapa teman sudah berkumpul di Bandara Soekarno-Hatta. Kami berlima sudah setuju memulai perjalanan panjang dari kota penuh candi, penamaan kami untuk Bali. Kemudian berlanjut ke Lombok. Pulau Komodo. Pulang ke Kota Gudeg. Baru finish di Ibu Kota. Tidak banyak memang rute yang ingin kami tempuh. Tapi itu sudah cukup sebagai pengalaman pertama.
Kami sudah berada di dalam pesawat. Saya lenggak-lenggok melihat tempat saya mengistirahatkan badan. Begitu dapat saya langsung duduk manis. Tidak melihat kiri kanan. Hanya terpaku pada peta perjalanan yang sudah kami buat semalam. 
Saya mendengar seorang laki-laki menegur dengan suara berat. Saya terhenyak. Tidak menyangka akan bertemu lagi dengan laki-laki yang belum saya ketahui namanya. Bahkan asal-usulnya. Saya bingung bersambung surprise. Bingung karena tidak menyangka. Senang karena bisa ketemu lagi.
Akhirnya secara resmi dia memperkenalkan diri. Wadi dia menyebut namanya. Cerita punya cerita, dia juga mau liburan ke Bali. Tanpa saya tanya, dia sendiri yang memberitahu alasan liburan sendiri. Katanya ingin melepas duka setelah istrinya meninggal. 
Dia bercerita banyak tentang Aceh. Orang-orang Aceh yang dia kenal. Makanan khas Aceh. Tempat pariwisata di Aceh. Sampai adat perkawinan di Aceh. 
Wow! Saya kikuk. Laki-laki ini sampai membuat saya terpesona.
Dalam hati. Maaf sekali, tuan! Saya sudah berprasangka tidak baik di awal sapaan Anda kemarin!
Kami terus bercerita, sesekali saya melirik teman-teman yang lain. Ada yang sudah tertidur. Ada juga yang sedang mengobrol dengan teman duduknya. Kami sama-sama terhanyut dalam berbagai tema yang menarik. Lucunya, kami bisa terpisah seat padahal check in berbarengan!
Pintu kedatangan Bandara Ngurah Rai mempertemukan kami kembali. Dengan sedikit berbasa-basi saya mengajak dia ikut rombongan kami. Gayung tersambut. Dia mau ikut!
Perjalanan di Bali terasa indah. Saya banyak habiskan waktu bersama laki-laki itu. Walau teman-teman saya ikut di belakang kami. Ujung-ujungnya satu dua di antara mereka menghilang dengan rencana masing-masing. Terkesan, mereka menjodohkan saya dengan Wadi! 
Saya tak ambil pusing. Wadi juga tidak mengeluh. Bali terlewati dalam memori saya. Lombok menanti dengan tingginya puncak Rinjani!

Pulang

Perjalanan saya dengan Wadi hanya berakhir di Bali saja. Kota Lombok dan Pulang Komodo tidak bisa dia susuri karena urusan pekerjaan menunggu. Dia harus pulang dengan segera dan berjanji akan menjalin komunikasi. 
Saya lanjutkan perjalanan bersama teman-teman. Setelah puas melihat Komodo kami putuskan pulang ke Kota Gudeg, Yogyakarta. Menghabiskan malam di Malioboro sebelum besoknya kembali ke Jakarta, transit di Medan lalu ke Aceh. 
Jalan pulang rasanya terasa hampa. Saya jadi teringat Wadi. Kata-katanya pernah memotivasi saya. Memberi saya tawa. Memotret senja Pulau Dewata. Ke candi-candi peribadatan umat Hindu. Kami banyak lalui bersama. Kadang diskusi, membandingkan Medan dengan Bali. Bahkan Aceh dengan Bali. Malah sebaliknya Aceh dengan Medan! 
Pesawat kami transit di Medan selama tiga puluh menit. Seseorang menepuk pundak saya saat penumpang dari Medan naik ke pesawat yang menuju Aceh. 
Hei! Dia lagi? 
Saya benar-benar terkejut. Tanpa memberi aba-aba dia menukar tempat duduk dengan orang lain. Ingin duduk berdampingan dengan saya katanya. Dia beralasan ada perjalanan bisnis ke Banda Aceh. Benar atau tidak saya tidak mau mempersoalkan masalah itu. Kami banyak diam selama perjalanan kali ini. Mungkin karena saya terlalu lelah. Atau karena tidak tahu apa yang ingin diceritakan lagi. 

Menikah Dengan Wadi

Dia melamar saya tiga bulan setelah perkenalan kami. Karena keseriusannya, saya menerima dia sebagai pasangan hidup yang saya ingin bahagia. Kami menikah dan saya diboyong ke Medan. Kami tinggal di rumahnya yang tidak sederhana. Hari-hari yang kami lalui begitu indah. Pasangan baru. Sama-sama ingin bahagia. 
Sebulan menikah saya positif mengandung. Rasa senang berlimpah ruah. Saya. Dia. Keluarga saya. Keluarga dia. Teman-teman. Semua bergembira. 
Hari-hari berikut bagai pelangi bagi saya. Warna-warnanya membuat saya lebih semangat menjalani hidup. Dia selalu memberikan semua yang saya mau. Kasih sayangnya. Perhatiannya. Saya dapatkan dengan ikhlas dari tatapan matanya. 
Hingga masuk usia kandungan lima bulan, kabar itu mengiris hati saya. Dia kecelakaan. Terburu-buru saya ke rumah sakit terbesar di Medan. Sesampai saya di sana, pihak rumah sakit belum mengizinkan saya menjenguk suami tercinta. Keadaannya masih kritis. 
Dokter memanggil saya. Saya duduk bagai pesakitan di ruangan putih bersih itu. Omongan dokter seperti tidak saya dengar lagi. Omongannya bagaikan suara jengkrik yang tiap malam menganggu malam saya. 

Suami Ibu terinfeksi HIV!

Mata saya terbelalak. Dia cuma kecelakaan! Saya berontak. Dokter muda itu memberikan alasan ini itu. Dia mengatakan suami saya pernah berobat di klinik temannya. Dia kenal dengan suami saya. Bahkan dia yang memberikan obat anti retroviral virus (ARV) pada suami saya. Saya tidak terima. 
“Suami saya kecelakaan, dok,” pekik saya. 
Dokter itu membenarkan. Suami saya memang kecelakaan. Tapi sebelumnya suami saya sudah terinfeksi virus HIV. Saya marah pada dokter muda itu. Saya sedang berduka, kenapa dia menambah duka lagi?
Saya mengenal Wadi sebagai laki-laki baik-baik. Saya tidak menemukan “cacat” dari kehidupannya. Dokter itu terlalu mengada-ada. Wadi terlalu baik untuk menjadi suami dan anak kami. Mana mungkin Wadi terinfeksi HIV? Bagaimana? Dia main perempuan lain? 
Dunia seakan telah punah. Saya tidak sangguh membayangkan rahasia yang disimpan Wadi seorang diri. Mengapa Wadi tidak terterus terang kepada saya? Mengapa Wadi menyeret saya ke dalam pusara kehidupan tak bernapas lagi ini? Mengapa Wadi menyakiti saya? 
“Anda bohong! Suami saya laki-laki baik-baik!” ujar saya dengan mata menyala. Dokter itu menyodorkan secarik kertas yang menunjukkan laporan tes kesehatan Wadi. 
“Kami tidak mengetahui kehidupan suami Ibu, tetapi ini adalah hasil tes dari teman saya. Saya kasih tahu ini karena kasihan kepada Ibu. Perjalanan Ibu masih panjang…,” 
“Anda tidak tahu apa-apa, dok!” 
Dokter itu tidak memedulikan emosi saya yang meledak-ledak. Masa depan apa? Dia memaksa saya untuk melakukan tes HIV. Saya tidak terima. Saya tidak akan kena penyakit itu. Saya tetap sehat. Suami saya sehat!
Saya berlari ke koridor rumah sakit. Saya tidak akan melakukan anjuran dokter itu. Saya sangat kuat. Dia juga sangat kuat. Sama sekali saya tidak melihat dia minum obat atau lemah. Dia sangat gagah! 

Dia Pergi

Saya mondar-mandir ke rumah sakit dan klinik tempat suami saya pernah berobat. Saya meminta data yang lebih akurat. Saya tidak percaya begitu saja pada dokter muda itu. Dokter itu menambah masalah bagi saya. 
Walau saya tidak suka dengan dokter muda itu, ternyata dia benar. Wadi meninggal satu jam setelah dokter itu bicara panjang lebar dengan saya. Tubuh Wadi sudah sangat lemah semenjak kecelakaan. Dia butuh darah. Tapi darahnya tidak bisa menerima darah lain dengan tepat karena daya tahan tubuhnya begitu cepat menurun. 
Saya menerima data akurat Wadi dari dokter di klinik yang telah memvonis penyakit itu kepadanya. Wadi sudah menipu saya. Sikap manisnya. Ucapan lembutnya. Semua darinya membuat saya jijik. Dia tidak berterus terang. Dia sudah tahu penyakit itu ada dalam tubuhnya. Dia menginginkan saya tapi tidak memperhitungkan keselamatan saya!

Sudah terlanjur. Saya telah terjerumus ke dalam pusara yang sama! 

Semua berakhir. Saya ingin mati saja. Saya hanya perempuan biasa. Tidak berbuat salah. Tidak menyakiti orang lain. Tidak juga membuat Wadi kecewa pada saya! 
Marah saya sampai ke ubun-ubun. Pada Wadi. Pada waktu yang membawa saya kenal dengannya. Pada rahasia yang disimpan rapat oleh Wadi. Pada kehidupan gelapnya yang saya tidak tahu seperti apa. 
Seandainya saya memilih penerbangan langsung ke Jakarta waktu itu…
Derita ini punya hanya milik saya. Wadi “aman” saja telah pergi jauh. Saya dan janin yang semakin membesar ini menerima petaka tak sebentar. 
Wadi benar-benar jahat. Dia mencintai saya tapi malah mengecewakan saya. Cintanya. Kasih sayangnya. Perhatiannya. Pada saya. Pada hidup kami yang penuh warna. Sirnalah sudah! 
Batin dan fisik saya lelah. Janin saya juga tidak bisa diselamatkan. Fisik saya semakin melemah karena virus itu menyerang entah sampai ke titik mana. Saya diwajibkan minum obat tepat waktu. Pantangan ini dan itu. Saya benar-benar lelah. Saya tertipu! 
Berbekal sedih, saya diboyong tubuh lelah kembali pulang ke Aceh. Berbulan-bulan saya mengurungkan diri di rumah. Tidak ada interaksi dengan orang lain. Saya menghakimi diri sendiri. Saya menyesali hidup. Saya merasa sudah berakhir sampai di sini!

Support

Saya dikunjungi oleh orang yang tidak dikenal. Mereka mengatasnamakan aktivis penyakit yang saya tidak mau sebutkan namanya itu. Mereka memotivasi saya. Memberikan semangat. Saya tidak terlena. Saya butuh waktu untuk melupakan duka ini. 
Mereka terus datang. Mereka berbagai kisah. 
“Saya adalah korban!”
Mereka memaksa saya minum obat yang telah lama saya buang. Mereka membantu saya untuk bangkit seperti orang lain yang telah lama menderita karena penyakit ini. 
Wadi telah tiada dan saya tidak akan pernah bisa menumpahkan kecewa kepadanya. Jika saya terus-terusan mengutuk rahasia yang tak pernah terungkap ini, saya akan segera menemui ajal. Sesuatu yang sangat saya tunggu-tunggu. 
“Kita masih punya Tuhan, Nak!” ujar Bapak lirih. 
Berbekal sisa semangat, saya bangkit dari duduk panjang. Saya bergabung dengan mereka yang sering datang menjenguk. Saya memperjuangkan hak-hak perempuan tertindas. Saya melupakan kecewa pada Wadi. 
Hari lalu memang milik Wadi. Hari ini adalah milik saya sendiri! 
***
Seperti cerita seorang teman, nama disamarkan.
Categories
Uncategorized

Nasib Perempuan Di Antara Harta dan Kelamin

Perempuan dan kelamin. Dua kata yang menohok. Pagi
yang sedang menanjak, saya dan beberapa teman duduk di sebuah warung kopi. Ngobrol
ini dan itu sambil menunggu waktu berlalu. Pukul delapan tepat nanti, kami akan
bergerilya dengan urusan pekerjaan masing-masing.

Gambar ilustrasi.

Di antara kami bersepuluh,
tiga yang belum berkeluarga, termasuk saya. Sedikit sensitif bicara soal ini,
karena
mahar
di Aceh tak cukup seperangkat alat salat saja. 



Tiga yang lajang ini, duanya
perempuan, seorang sudah bertunangan dan seorang lagi sedang menunggu burung
terbang pulang ke sangkar dari perjalanan jauh. Dari sepuluh ini, tiga adalah
laki-laki, dua bapak-bapak yang ngomongnya selalu menjurus ke hal-hal
pembicaraan “tengah malam” dan enakin badan.

Obrolan
pertama tentu saja tentang kami bertiga yang belum mempunyai pasangan. Aksi jodoh-menjodohkan
itu dimulai sampai tak tentu arah pembicaraannya. Satu persoalan muncul, belum
terselesaikan langsung lari ke persoalan yang lain, namun temanya tetap kawin!
Saya
jadi ingat film Indonesia Kapan Kawin? yang diperankan oleh Reza
Rahardian dan Adinia Wirasti. Sebuah film yang menarik dan nendang banget
apalagi ketika urusan pernikahan ditanya terus-menerus.
Soal
nikah ini pula, pembicaraannya tak jauh-jauh dari tampang anak manusia. Ada yang
nyelutuk “cari pasangan itu yang bisa dibawa pesta!” artinya ganteng
atau cantik



Lumrah memang; manusiawi jika ingin
merasakan hal ini. Pasangan yang ganteng selain enak dibawa ke mana-mana juga
enak dipandang walaupun baru bangun tidur. Pasangan yang cantik, sedang masak
pun rasanya tetap wangi dan memesona.


“Perempuan
itu kan cuma cari harta dan kelamin!”
Jujur. Perkataan ini
keluar dari seorang di antara kami. Orang yang mengeluarkan stegmen ini
adalah perempuan pula. Sedikit terkejut namun sekonyong-konyong membenarkan. Perempuan
yang lebih tua dari saya dan kami semua di pagi itu tidak merasa bersalah
setelah mengeluarkan unek-uneknya. Alasannya?
“Perempuan
mana yang tak suka berdandan? Perempuan mana yang tak mau berhubungan badan?” sebuah
tanya yang kami semua tidak menjawabnya.
“Perempuan
itu mencari laki-laki yang mapan karena hidupnya tak mau sengsara. Perempuan itu
sukanya sama “kelamin” karena itu kebutuhan biologis. 



Mau ganteng atau tidak
kalau tidak bisa memuaskan pasangannya sama saja bohong. Untuk apa pula ganteng
tetapi tidak ada uang, nanti istrinya pula yang pontang-panting cari uang
menghidupinya dan keluarga…”
Saya
tidak mau ambil bagian dari persoalan ini. Sepanjang hari, saya merenung banyak
hal. Kadang membenarkan pembicaraan kami di pagi itu. 



Saya menyelami hari,
melihat situasi, melihat orang-orang, pasangan suami istri; ada yang
suaminya biasa saja namun istrinya cantik sekali, kelebihannya suaminya kaya. Ada
istrinya biasa saja namun suaminya ganteng sekali, entah apa persoalan yang
mereka kagumi.
Benar
kiranya apabila perempuan berada di antara harta dan kelamin. Laki-laki yang
berharta – kaya – tentu saja akan membahagiakan istrinya dalam hal materi. 



Semua
kehidupan tersokong, urusan seks – maaf – pun tercukupi. Toh, kehidupan
bukan semata pada hari itu saja, bukan juga membanggakan cinta saja, bukan pula
melihat fisik semata.
Terkadang,
ada persoalan yang membuat seseorang jatuh cinta pada orang lain. Kisah rumit
yang terjadi di lingkungan kita sendiri. Setiap pasangan saling melengkapi satu
sama lain, urusan batin dan lahir. 



Walaupun anggapan teman saya mengenai ini ada
benarnya namun urusan perempuan tidak serta merta “murahan”. Bagi saya,
perempuan selalu berada di atas tempat tertinggi karena entahlah. Saya
bingung menjabarkannya. 
Anda,
tinggal pilih yang mana?