Ini negeri bernama Copot. Pemimpinnya seorang Pencopot. Para menteri juga berinisial tidak berbobot. Bangunan yang berdiri di negeri ini terdiri dari semen dan batu bata hampir melorot.
Tiang penyangga sisi empat bangunan mewah itu seakan-akan bolong dan sekali diterpa angin akan merosot.
Dan orang-orang di negeri ini kebanyakan sering sewot, lantaran hampir semua media bahkan menyorot permasalahan negeri ini.
|
Ilustrasi |
Adalah Lolot. Seorang pintar tapi bodoh. Tiap hari mendayuh sepeda ontel ke bangunan tua di ujung jalan masuk negeri mereka.
Negeri ini memang tidak besar, penduduk negeri ini tidak menerima pendatang baru untuk bertamu. Mungkin akan cepat cemburu melihat orang non pribumi berjaya di negeri berlimpah hasil bumi.
Nyatanya, beberapa tahun silam pendatang diusir keluar dari negeri ini lantaran iri hati dan dengki. Negeri ini kecil, tidak lebih luas dari negeri Patung Singa.
Lolot hanya julukan. Tiap pagi ia harus bangun subuh-subuh untuk mendendangkan irama gendang. Usai subuh tepatnya.
Gendangnya menyeruak ke seluruh kampung untuk membangunkan anak cucu yang masih terlelap. Gendang Lolot sampai juga ke telinga Pencopot.
Diiringi marah dan geram Pencopot menegur Lolot. Sekali dua Lolot mengindahkan teguran Pencopot. Lolot masih pintar karena ia merasa ada jabatan penting di negeri Copot ini.
Lolot belum berpikir ke arah lain selagi anak cucu masih bisa bangun pagi dan bersekolah.
Jam tujuh, Lolot sudah berdiri di ambang pintu sekolah. Dengan dasi kupu-kupu ia meneriakkan lagu Indonesia Raya di pagi Senin.
Anak-anak di barisan depan yang tidak seberapa jumlahnya mengikuti. Ada yang merasa takut dimarahi. Ada yang merasa tidak enak jika tidak ikut bernyanyi.
Ada juga yang hanya ikut-ikutan saja. Dan ada juga yang memang mempunyai sikap nasionalisme.
Jangan pernah tanya pada Lolot nasionalisme itu. Di pagi hari jawabannya akan semangat menjelaskan padamu akan arti nasionalisme dan sikap bela negara.
Jika di siang hari nasionalisme akan berubah menjadi cara mendapatkan sebungkus nasi mengisi perut kosong.
Di sore hari nasionalisme itu berubah menjadi bola yang ditendang ke sana-sini oleh pesepak bola.
Dan di malam hari nasionalisme sudah berubah menjadi khayalan tingkat tinggi dan mimpi manis menemani tidur malam.
Aneh, Lolot memang kolot. Pintarnya jika sudah Pencopot tidak senang dengan apa yang ia kerjakan.
Bodohnya akan muncul jika hal-hal kecil membebani pikirannya. Lihat saja, karena belum makan siang saja sikap nasionalismenya bisa berubah begitu saja.
Inilah Lolot. Di negeri Copot yang pemimpimnya Pencopot. Biar bodoh namun pintar, Lolot tetap kepala sekolah Kolot.
Dari masih berumur dua puluhan tahun Lolot membangun sekolah Kolot hingga bernama sampai kini. Banyak alumni Kolot yang menjadi orang hebat.
Contohnya pemimpin mereka, Pencopot, baru mengenal huruf abjad setelah duduk di kelas satu Sekolah Dasar Kolot.
Guru Lolot pulalah yang mengajarkannya.
Pencopot sudah menjadi pemimpin. Dan Lolot bangga dengan prestasi anak didiknya itu. Ke mana-mana Lolot pasti akan membanggakan Pencopot.
Bangganya melebihi seorang ayah terhadap anaknya. Lolot tahu kelemahan dan kelebihan Pencopot. Dari masih kanak-kanak Lolot sudah mengenal Pencopot.
Namun Pencopot tidak pernah merasa Lolot membangga-banggakan dirinya.
Hari ini seperti biasa, Lolot memarkirkan sepeda ontel tua tidak berwarna lagi di bawah rimbun beringin depan sekolah Kolot.
Sekali pandang matanya melihat anak-anak sedang bermain petak umpat di halaman sekolah hampir roboh bangunannya ini. Wajah mereka ceria.
Semurah senyum matahari pagi ini. Lolot teramat senang melihat anak-anak girang gembira.
Wajah Lolot memperlihatkan muram yang teramat dalam. Pandang matanya menepi ke seluruh sisi Sekolah Kolot.
Dengan susah payah ia membangun sekolah ini hingga menjadi bangunan utuh dan diakui sebagai salah satu sekolah negeri. Mencetak alumni berprestasi. Membanggakan negerinya sampai ke negeri lain.
Linang airmata Kolot menetes dan jatuh pada lengan keriputnya. Rasa sedihnya tidak terkira.
Umurnya yang teramat beruban membuat langkah kakinya mencapai kelas hampir jatuh di tengah jalan. Tidak seorang pun yang memperhatikan.
Anak-anak masih bermain dengan girangnya. Guru-guru lain hanya duduk bercengkrama di dalam kantor menunggu jam masuk.
Tatih langkah Lolot peyot. Ia jatuh di depan pintu masuk kelas satu. Bayangnya melintas jauh ke tahun-tahun yang lewat.
Saat Pencopot pertama membedakan huruf-huruf vokal dan konsonan. Lolot dengan sabar mengajarkan Pencopot yang cepat marah.
Yang tidak mau mendengar omongan guru dan temannya. Yang tidak peduli bahwa dirinya belum bisa. Yang Pencopot tahu, dirinya bisa dalam sekali ajar.
Egonya melintas batas pada ruang dan waktu sampai kini. Sifatnya seperti terbentuk dalam cetakan batu sehingga tidak bisa dihancurkan sekali hentak.
Sikapnya yang tidak memahami pendapat orang lain sudah mendarah daging dan dimakan sampai keturunannya.
Binar mata Lolot terpejam. Hatinya teriris. Mungkin ini akan menjadi bagian akhir dalam hidupnya menapak kaki di kelas ini.
Bukan karena Lolot sudah tua dan patut pensiun. Namun karena Pencopot sudah mencopot Lolot dari jabatan kepala sekolah.
Alasan Pencopot sungguh tidak bisa ditebak. Lolot diturunkan jadi guru biasa dan dipindahtugaskan ke sekolah lain. Mungkin lucu, mungkin serius.
Karena Lolot sering menegur jalan langkah Pencopot sebagai pemimpin. Pencopot yang sensitif langsung berinisiatif Lolot sudah tidak memihak padanya.
Sudah tidak sekutu. Lolot tidak mengerti. Apalagi Lolot tidak pernah membuat salah, dan Sekolah Kolot makin hari bahkan semakin maju.
Lolot terdiam di depan pintu kelas satu. Membayangkan wajah Pencopot kecil. Dengan wajah memerah karena membaca masih terbata-bata.
Lolot iba. Bahkan sampai kini.
“Kenapa kau mencopot jabatanku, nak?” tanya Lolot mengiba di tengah hari setelah pencopotan dirinya dari Kepala Sekolah Kolot.
Lolot merasa Pencopotlah yang bertanggung jawab atas tindakan ini. Kali ini Lolot yang meminta belas kasihan pada mantan muridnya yang sudah menjadi orang besar.
“Tidak mungkin kucopot jabatan Pak Lolot,” bela Pencopot. Masih belum berpaling dari komputer di depan meja kerjanya. Lolot duduk di kursi tamu.
Tidak digubris dan dimanjakan dengan sangat hormat layaknya murid kepada guru.
Tanpa memalingkan wajahnya Pencopot kembali berkata, “Pak Lolot mengerti sendirilah, engkau guruku.
Dan kini kau juga masih guruku, mungkin ini yang terbaik untuk orang setua Pak Lolot. Biarkan anak-anak muda yang memimpin. Jangan egoislah, Pak Lolot!”
Lolot melotot. Sikap Pencopot semakin tidak wajar. Kecil dulu sikapnya tidak sekasar ini.
Sekarang sudah mencapai taraf yang tidak mungkin Lolot saingi.
Waktu kecil Lolot bisa memukul dengan sebiji lidi, sekarang Lolot hanya diam dibalas pukul dengan omongan tak hormat.
“Janganlah Bapak bersikap seperti itu, saya jadi tak enak,” Pencopot menuangkan secangkir kopi ke cangkir putih.
Lolot menelan liur. Diajak minum pun tidak.
Bayang menyemu, di mana Lolot memberi segelas kopi di hari yang dingin saat Pencopot mendapat nilai merah di raportnya.
Menemani dengan membawa cerita lucu. Pencopot tertawa, Lolot ikut membawa tawa.
“Beginilah pemerintahan, Pak Lolot,” kata Pencopot seperti mengajar gurunya sendiri.
“Ada pergantian dan refresh terhadap sesuatu biar lebih fresh,”
Dalam hati, Lolot tersindir dengan gaya bicara Pencopot.
Dulu pelajaran bahasa Pencopot tidak pernah naik menjadi angka tujuh. Mengeja huruf abjad juga tidak pernah sampai lancar.
“Bukankah kinerja juga harus dipertimbangkan?” tanya Lolot kembali.
“Benar. Tapi kinerja tidak diikuti dengan peraturan pemerintah juga tidak bisa ditolerir,”
“Peraturan yang mana? Kami sudah menjalankan dengan benar,”
“Peraturan yang tidak tertulis dan tidak seharusnya ditulis, Pak Lolot.
Peraturan itu ada karena saya masih duduk di kursi ini sampai akhir masa jabatan nanti,”
Lolot mengerutkan kening yang sudah berkerut.
“Peraturan pendidikan yang benar saya sudah jalankan semenjak dulu, saya rasa tidak ada peraturan lain yang harus saya patuhi,”
“Nah, ini!” Pencopot bangkit dari duduknya.
“Salah satu contoh peraturan yang Pak Lolot langgar! Saya sudah tekankan, selama saya masih ada di ruang ini, semua harus ikut aturan main saya, mengabdi sepenuh hati pada saya, menerima keputusan saya, mendukung saya, menghormati saya, dan tidak membantah omongan saya!”
Pencopot memainkan pena di depan meja duduk Lolot. Lolot menciut. Kecewa. Banyak sakit yang didera hatinya.
“Pahamkah, Pak Lolot?” Lolot mengeleng.
Pencopot naik pitam. Ditekan kuat-kuat pena ke dasar meja sampai patah.
“Anda sering mengusik kenyamanan saya, Pak Lolot!”
“Bagian mana?”
“Bagian yang seharusnya tidak Anda gendangkan tiap pagi, Anda tahu berapa banyak pendukung saya lari terbirit-birit mendengar gendangan lagu jelek Anda di pagi hari?”
“Saya hanya mendendang membuat anak-anak bersekolah,”
“Ya, Anda telah melanggar peraturan itu. Sekolah Kolot hanya mencetak generasi kolot. Generasi yang tidak bisa menerima pemimpin yang adil, demo di mana-mana, protes ini itu, tidak terima diperlakukan dengan tidak baik, meminta diberikan yang bukan mereka. Saya sudah berikan semua, menjadikan Copot menjadi negeri bermartabat. Disegani banyak orang. Disenangi banyak kalangan. Mana mungkin Anda tidak mengerti ini, Pak Lolot?”
“Mereka memprotes karena ada alasan, mereka sudah mendukung Anda tapi Anda malah mengabaikan mereka, mereka menjadikan Anda nomor satu malah Anda menjadikan mereka nomor dua, mereka meminta Anda memperbaiki negeri ini Anda malah bersenang-senang dengan kemewahan Anda,”
“Benarkah?” Pencopot makin marah. Lolot malah senang. Biarkan ia dicopot dari segala jabatan, ia akan berbangga telah mendikte kembali Pencopot setelah sekian tahun tidak ia ajarkan.
“Benar. Massa tidak mendemo jika kau berikan yang mereka mau, tidak akan aksi protes jika kau buat peraturan sesuai undang-undang yang berlaku, mereka tidak menjelekkanmu jika kau bersikap sopan,”
“Saya sudah melakukan itu, Pak Lolot!”
“Mana buktinya? Murid Sekolah Kolot mogok setelah kau copot jabatanku? Mereka tidak menerima tindakanmu. Kau tahu? Mereka sudah bosan dengan bualanmu mengenai kesejahteraan, mereka letih dengan kepongahanmu!”
“Terlalu panjang omonganmu, Pak Lolot. Tidakkah Anda tahu saya seorang pemimpin? Saya yang berhak mengatur semua urusan negeri ini, saya yang memberi perintah. Termasuk Anda keluar dari ruang kerja saya!”
Lolot terkejut bukan main. Benar kata banyak orang.
Pencopot makin tamak dengan jabatannya. Lolot masih merasa tidak bersalah akan hal yang ia jalankan.
Ia memimpin sekolah dengan baik. Anak-anak menyenanginya.
Orang tua mengharapkannya tetap memimpin. Masyarakat menerima pemikiran dirinya memajukan sekolah.
Letih Lolot berdebat. Tahunya Pencopot sudah meninggalkan sopan santun di atas kebanggaannya terhadap tahta.
Negeri ini tidak berubah semenjak Pencopot memimpin Copot. Copot makin copot. Rontok satu persatu tiang penahan keperkasaannya.