Categories
Uncategorized

Haram Main Bola di Pesantren Karena Ngaji Jadi Tak Benar

Ahmadi suka main bola.
Hobinya adalah main bola. Sejak masih kanak-kanak sampai kini di usia tujuh
belas tahun, ia masih kerap menghabiskan sore di lapangan bola. Tak hanya itu,
tiap ada pertandingan Ahmadi pasti akan diikutkan. Tiap ada perlombaan di
televisi seperti piala dunia, Ahmadi rela bergadang untuk menonton. Bahkan, ia
sampai menghapal nama-nama permain sepak bola dunia. Ia mengidolaka mereka,
agar kelak ia akan menjadi salah satu dari bintang itu.

Main bola pakai sarung. 
Ternyata cita-citanya
tinggal di perampatan jalan masuk rumah gubuk dekat sungai. Rumah tempat ia
dilahirkan dan dibesarkan orang tua. Di halaman rumah menjulang ke sungai itu
pula, ia sering menghabiskan waktu bermain bola. Menendang-nendang bola ke
sana-sini lalu jatuh ke sungai, itu sewaktu masih kecil dan ia menangis tidak
bisa memungut bola yang telah dibawa arus.
Mata Ahmadi berpaling
pada rumah kayu beratap rumbia. Di depan sana Mak dan Ayah berdiri melambai
tangan. Ahmadi tidak kuasa menahan airmata. Ia tidak harus menangis berpisah
setahun ke depan dengan kedua orang tua. Toh, di bulan puasa ia akan pulang
lagi. Namun ia tidak bisa memungkiri, ia sedih meninggalkan Mak dan Ayah yang
sudah sepuh. Ia anak satu-satunya keluarga ini. Ayah seorang teungku[1]
di kampungnya.  Tiap malam mengajar baca hijaiyah[2]
pada anak-anak kampung. Sedangkan Mak, hanya ibu rumah tangga. Bersawah dan
berkebun mengikuti Ayah.
Ahmadi tidak mau
berlama-lama di tengah pilu. Jejak langkah bersandal jepit itu pun meninggalkan
senyum Mak dan Ayah. Berlalu pergi.
***
Ke sinilah Ahmadi
pergi. Di kamar temaram lampu teplok dan kitab gundul. Tertatih Ahmadi mengeja
huruf Arab tak berbaris. Malam ini ia harus bisa mengartikan sebagian isi
tulisan tersebut. Mau tidak mau ia harus bisa agar seperempat jam ke depan ia
tidak berdiri di depan balee.[3]
Sudah berulang kali
Ahmadi mendapatkan hukuman yang sama. Karena sore hari ia kelelahan menendang
bola bersama teman yang sekemauan. Di dekat rawa, ada lapangan kosong
berilalang. Tiap sore mereka mencuri waktu ke sana. Bola kertas dari serpihan
koran bekas tak jadi soal. Mereka tetap beradu tapak kaki.
Malam ini, ia tidak
mau mengalami hal yang sama. Wajah bahagia Mak dan Ayah melintas. Mak mengukir
waktu dengan kata pada sesama orang kampung, membanggakan Ahmadi yang sudah
berguru ke Teungku Haji. Ayah juga demikian, walau tidak berkata banyak
tetap saja sering mencontohkan Ahmadi pada anak-anak yang mengaji di rumah
malam hari.
Suara panggilan
terdengar di daun jendela. Lonceng pun berbunyi sekali. Pertanda mereka harus
bergegas ke balee. Malam pun merambat lewat isya dan mereka sudah duduk
di balee utama di tengah padang. 



Lampu teplok menyala di depan
masing-masing santri. Semua mata tertunduk. Teungku Zubir pun
menerangkan isi kitab dengan suara lantang. Satu dua kata diterjemahkan. Sesekali
Teungku Zubir bertanya. Tak satu pun berani menjawab dan mengatakan
tidak. 



Ahmadi tidak luput dari perhatian Teungku Zubir. Harap-harap
cemas Ahmadi menunduk semakin dalam. Dalam hati ia berteriak doa, janganlah ia
yang harus mengulang bacaan kitab tak berbaris itu. Jantungnya berlari kencang.
Mencapai kamar empat persegi dan bergumul dalam selimut.
“Ahmadi, giliranmu
membaca dan menjelaskan!”
***
Desahan napas Ahmadi
terdengar berat. Di sampingnya Irham duduk membaca kitab. Mereka tinggal
sekamar dan berbeda ranjang. Ranjang Ahmadi dua kali lebih renta dari ranjang
Irham. Isi saku Ahmadi juga berkali-kali lebih tipis dari isi saku Irham yang
tiap bulan dikirim uang jajan oleh orang tuanya. 



Ahmadi lebih pahit mengecap
nasi berteman garam dan bawang, sedangkan Irham hampir tiap hari berkawan ikan
dan sayur. Tak sekali pun Irham mengajak Ahmadi makan bersamanya. Terkadang,
Ahmadi mengerutu, orang kaya memang pelit. Ia tak mau memperpanjang, walau pun
garam dan bawangnya sering hilang satu persatu. Ia pun tidak pernah bertanya
dan menuduh Irham.
Ahmadi memejamkan
mata. Episode demi episode terlintas di benaknya. Saat ia menendang bola, lalu
masuk ke gawang dan menang. Berdiri di depan santri lain lantaran tidak bisa
membaca kitab fikah[4]
dengan lancar. 



Kaidah Nahwu[5]
yang masih amburadul. Isi kitab Saraf[6] yang ketinggalan
antara bola dan angin sore. Hafalan-hafalan Al-Qur’an yang belum ia benarkan. Berkumpul
jadi satu naskah drama memenuhi episode Ahmadi yang sudah mendengkur.
“Tak usahlah kau
mendengkur kuat-kuat begitu,” bisik Irham. Ahmadi sudah tidak mendengar lagi.
Irham yang merasa terganggu sengaja menyentuh badan kekar Ahmadi. Sekali
sentuh, Ahmadi terhentak.
“Kenapa kau ini?”
bentak Ahmadi. Matanya merah, tidurnya terganggu. Mimpinya melayang bersama
bola. Irham memberi isyarat jangan ribut.
“Kau membuatku
terganggu tiap malam dengan dengkurmu, sudah cukuplah kau ganggu santri lain di
lapangan bola!”
“Maksudmu apa?”
“Apa kau tak dengar
kata Teungku Zubir?”
Ahmadi diam saja.
Tentu saja ia ingat.
“Biar aku jelaskan
lagi padamu,” Ahmadi mendengus. Sikap banyak tahu Irham menyala seperti lampu
di depannya. Minyak lampu Irham tidak pernah habis. Ia bahkan menyimpan banyak
minyak tanah di bawah ranjangnya. Jika pun Ahmadi kehabisan, tak pernah ia
minta dan tak pernah sekali pun Irham menawar.
“Coba kau jelaskan
kembali,” dengan sikap acuh Ahmadi kembali merebahkan badannya. Mungkin Irham
tidak melihat Ahmadi sudah kembali memejamkan matanya.
“Sudah berulang kali Teungku
Zaki melarang santri main bola, tak ada guna main bola tiap sore. Tujuan
utama kita ke mari untuk mengaji, dididik jadi teungku bukan pesepak
bola hebat!”
“Hm, jadi menurutmu
sepakbola itu tak baik begitu?” ternyata Ahmadi belum terlelap. Sesekali ia
patut memberi debat pada Irham yang terkadang terlalu naif pada semua santri
lain. Terlalu ikut campur akan urusan santri lain.
“Jelas. Kita bukan
dilatih untuk jadi pemain bola, kita akan jadi teungku! Belajar ilmu
agama, diamalkan, kemudian diajarkan pada orang lain!”
“Dengan begitu kau
berpikir kami akan menjadi pemain bola?”
“Kalau bukan untuk apa
juga kalian bermain bola?”
“Kau terlalu diam dan
berdiri di depan kitab kuning itu, kami juga membaca dan belajar sama
sepertimu. Ada hal tertentu yang tidak kau pahami dari jiwamu, akan
kebutuhanmu, hasratmu akan sesuatu. Kita sama-sama ditempatkan pada lahan yang
sama. Pada keadaan yang sama, kamar yang sama, kita belajar di balee
yang sama, bergaul bersama laki-laki. Tidak mungkin kau lupa akan hasratmu,”
“Aku tidak punya
hasrat bermain bola,”
“Kau tidak punya, aku
dan santri yang lain memilikinya,”
“Apa kalian akan
membentuk klub dan berlomba?”
Ahmadi terkekeh.
“Kau terlalu
meraba-raba jauh entah ke langit mana. Sepakbola tak mesti harus ikut lomba,
tak harus buat klub, tidak mesti jadi atlet hebat, tidak ikut seleksi pemain
nasional, ada yang ingin kami cari selain itu!”
“Benarkah? Aku melihat
ambisi kalian berlebihan, tak pernah mendengar omongan Teungku Zubir,
kalian hanya takut pada Teungku Haji, jika beliau datang baru kalian
lari terbirit-birit!” nada ucapan Irham jelas-jelas mengejek. Ahmadi tidak
mengubris. Terbiasa dengan sikap Irham yang kurang bersahabat.
“Kami lari bukan
takut, hanya segan beliau datang menegur,”
“Ah, sama saja! Kalian
sudah tak patuh dan tak menghormati dayah[7]
ini!”
“Siapa bilang? Itu kan
pendapat kau saja, kau yang kurang memahami arti sepakbola. Tak pernah kau
tengok santri lain mengaji lebih bagus darimu padahal baru bermain bola. Aku
dan santri lain laki-laki, kami sama-sama menyukai bola dan olahraga. Kau tak
akan pernah tahu jika kau tak suka. Badanmu tak pernah terasa keram tak
olahraga jika kau tak pernah berolahraga,”
“Itu kan olahraga
bukan sepakbola?”
“Apa bedanya olahraga
dengan sepakbola?”
Irham terhenyak. Hampir
saja Ahmadi tertawa lepas, namun tidak jadi mengingat malam sudah beranjak
jauh. Mungkin santri lain sudah tertidur. Paling tidak aman terbahak walaupun
di kamar sendiri, dinding kayu pemisah kamar satu dengan lain tidak memihak
pada suara keras.
“Olahraga itu bisa apa
saja, sepakbola juga termasuk olahraga. Membuat badanku sehat dan tidur pun
jadi cepat, selamat malam ya!”
Irham mendengus kesal.
Tidak pernah ia merasa kurang berharga. Teungku Zubir saja selalu
mengelu-elukan namanya. Tidak sebanding dengan Ahmadi yang sore main bola
malamnya tidak bisa mengeja bacaan kitab dengan benar. Irham tak pernah suka
mengajar Ahmadi, lebih baik ia menunggu panggilan Teungku Haji mengajar
santri baru nanti.
Dengan kesal Irham
kembali ke kitab fikah pada bab nikah. Berulang kali dibaca dan berulang
kali pula tidak berkonsentrasi. Diliriknya Ahmadi. Wajah tampan laki-laki itu
memang memesona. Badannya tegap. Saat belajar di balee Ahmadi lebih
cepat memahami penjelasan Teungku Zubir dibandingkan santri lain. Tiap
kali Irham mencari kelemahan Ahmadi, tiap kali pula ia menemukan kelemahannya
sendiri.
Ahmadi mungkin sudah
di alam mimpi bersama bola. Sebelum bolanya masuk ke gawang yang dipawangi
Irham ia sempat melihat Teungku Zubir berdiri di samping gawang. Memberi
isyarat magrib sudah hampir tiba, berhentilah bermain bola!
***
Pagi sekali Ahmadi
sudah terbangun. Gerimis membasahi subuh. Ahmadi melepas selimut dan bergegas
ke pancuran. Berwudhu’ dan menuju balee utama. Di sana belum ada
siapa-siapa. Hanya rintik gerimis menyentuh atap rumbia kering.
Luput dari pandangan
Ahmadi. Di depan rumahnya, tak jauh dari balee utama Teungku
Haji, pemilik dayah ini memandangnya takjup. Berulang subuh beliau
menyaksikan Ahmadi bangun pagi. Berulang juga dilihatkan Ahmadi membangunkan
santri lain. 



Namun sekali saja Ahmadi tak pernah tahu Teungku Haji
mengintip paginya. Ahmadi terlalu sibuk dengan dunia cerah miliknya. Lupa akan
suasana temaram di dayah, hanya satu dua obor yang masih menyala. Baginya,
dayah ini sudah terang tak perlu dipenuhi lampu bertenaga puluhan watt.
Ahmadi meraba korek di
saku kanannya, menyalakan lampu telpok di tiang tengah balee. Hatinya
sedikit miris. Lampu ini dua kali lipat lebih kecil dari lampu milik Irham. Namun
Irham tak pernah mau membawa keluar lampu miliknya sejengkal pun dari kamar. 



Ahmadi tak mau mengambil beban. Irham sudah begitu, dua tahun juga ia dan Irham
sekamar dan belum sepenuhnya ia memahani lelaki berbadan kurus itu.
Sekali Ahmadi menguap.
Matanya masih merasa kantuk. Apalagi dingin bergerimis, lebih nyaman berada di
bawah selimut dan melanjutkan mimpi. Ahmadi tidak berlama-lama dengan perasaan penuh
buaian manja. Ia angkat kedua tangan mencapai telinga. Memulai azan subuh.
***

[1]Sebutan untuk guru ngaji/ustad
[2]Huruf arab/baca Al-Qur’an
[3]Surau
[4]Fiqih (berisi mengenai hukum-hukum dalam berbagai permasalahan agama
Islam).
[5]Ilmu tata Bahasa Arab atau cabang dari ilmu bahasa dalam Bahasa Arab.
[6]Mengenai perubahan kata-kata atau pembagian dan pengelompokan kata-kata
Bahasa Arab. 
[7]Pesantren 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *