Keluarga bahagia – tumblr.com |
Aku menjalin hubungan asmara dengan pria lebih muda, brondong istilah bekennya, dua tahun setelah suami meninggal karena penyakit jantung. Suamiku yang pertama terpaut usia cukup jauh denganku, sepuluh tahun. Aku menikah dengannya karena masa itu kasih sayang sangat kubutuhkan untuk membuat kehidupanku lebih bermakna. Aku terlahir sebagai sulung dengan banyak adik yang terpaut usia sangat berdekatan. Kasih sayang orang tua terpecah dan aku terbiasa mandiri sejak kecil sampai kemudian diterima kerja di perusahaan skala nasional di kotaku.
Baca Juga
Perkenalanku dengan pria muda itu saat kantor memberi tugas ke daerah terpencil. Proyek yang kami kerjakan berjalan ditempat sehingga perusahaan mesti mengirim staf ahli untuk menindaklanjuti. Dipilihnya aku sebagai tim ke daerah karena kapasitas dan kualitas selama bekerja di perusahaan. Aku cukup bijak membagi waktu antara pekerjaan dengan urusan pribadi, meskipun aku baru kehilangan suami.
Pria muda ini termasuk salah seorang penanggung jawab pada proyek yang kami berikan. Kedekatan itu tak dapat kuhindari. Kami sering berinteraksi untuk urusan pekerjaan sampai masalah pribadi. Tahu aku dalam keadaan sendiri, pria muda ini semakin berani mengambil sikap. Ia mengajakku keliling tempat tersebut. Lalu mengenalkan kebiasaan mereka di sana. Hingga aku merasa nyaman bersamanya.
Saat aku mengatakan telah pernah menikah dan mempunyai tiga orang anak, pria muda ini tidak keberatan sama sekali. Mana mungkin aku menolak hubungan serius jika ia mau menerimaku apa adanya, tanpa melihat masa lalu maupun memikirkan masa depan yang bisa saja lebih rumit. Resikonya besar jika ia memilihku. Ia harus tinggalkan kebiasaannya di sini dan ikut denganku. Aku mempunyai posisi yang strategis di kantor, tidak mudah aku melepaskannya hanya karena urusan cinta semata. Ekor di belakangku cukup panjang, selain anak, orang tua dan adik-adikku sering datang untuk minta “pinjaman” yang nggak dikembalikan sampai mereka datang meminta pinjaman baru. Satu lagi, jika aku bersama pria muda ini tentu saja kehidupan akan berbeda. Ia tak mempunyai pekerjaan dan sepenuhnya bergantung kepadaku.
Aku tidak masalah. Yang aku butuhkan saat ini adalah sebuah hubungan. Kasih sayang yang sebenarnya. Aku tak mau sendiri lagi. Aku butuh pria untuk membuatku nyata sempurna!
Pria muda itu menikah denganku. Sederhana saja. Dicemooh oleh banyak orang kampungnya karena menikah dengan janda. Aku tahu bagaimana perasaannya menerima semua serangan itu. Ia yang semula aktif di berbagai kegiatan masyarakat kemudian tenggelam, tidak dipakai lagi, terbengkalai dengan sendirinya. Aku pernah merasa bersalah dengan kondisi ini namun aku tidak mau terlarut dalam urusan orang lain yang sibuk mengurus urusanku. Aku butuh orang lain dalam menutupi kesenjangan hidupku tapi aku juga punya kehidupan sendiri yang tak semua bergantung kepada orang lain.
Urusan kantor semakin rumit. Area kerja semakin diperluas. Perusahaan memberikan dua pilihan, pulang ke kantor pusat atau menjadi manager di cabang yang baru dibuka. Pilihan yang diberikan kantor cukup menggiurkan. Jika aku pulang, bekerja seperti biasa dengan gaji nggak naik. Jika memilih di sini, mengurus kerumitan ini, aku mendapat gaji lebih besar beserta tunjangan.
Akhirnya kuboyong ketiga anakku ke kampung ini, jauh dari atribut kota. Hiruk-pikuk di kampung ini mulai terasa. Semakin aku perhatikan, semakin sibuk dengan aktivitas mereka.
Ketiga anakku, yang sangat merindukan sosok ayah sejak awal berkenalan dengan suami mudaku itu langsung akrab. Pria muda itu pun tidak menolak saat ketiga anakku buat tingkat sesuai usia mereka. Mereka akrab. Tak ada lagi batasan antara ayah tiri dengan anak tiri. Antara ayah dengan anak itu terjadi hubungan yang aku tidak memahami bagaimana rupanya. Ketiga anakku bahkan lebih dengan dengan ayah tirinya dibandingkan denganku. Padahal, pekerjaan di sini tidak menuntut waktu lebih banyak. Aku bisa datang ke kantor pukul sembilan dan pulang lebih cepat pada pukul empat atau lima sore. Malam hari pun aku lebih banyam bersantai. Aku membangun keharmonisan keluarga dengan berbagai cara. Kuberikan semua yang diingini suami dan anak-anakku.
Setahun dua tahun rumah tangga kami berjalan begitu cepat, tak ada konflik dan tak ada kekurangan dalam skala besar. Suamiku menjadi ayah yang baik dan bertanggung jawab kepada ketiga anakku. Pagi mengantar mereka sekolah, siang menjemput, sore kadang ikut bermain dan memahami semua kebutuhan anak-anak yang nggak mudah karena ketiganya perempuan. Suami lebih paham bagaimana mengepang rambut si sulung. Tahu benar kalau anak kami yang tengah tidak bisa makan pedas. Bermain boneka dan masak-masakan dengan si bungsu yang tampil lebih feminin dari kedua kakaknya. Suami juga memasak sesuai selera ketiga anak kami yang beda di siang hari, jika aku tidak sempat menyiapkannya.
Aku hanya perlu fokus pada pekerjaan karena kebutuhan rumah tangga dan anak lebih banyak diurus oleh suami. Aku terbiasa dimanja oleh suami dalam persoalan yang ringan maupun berat. Suami memang tidak memperlihatkan dengan jelas beban yang ia pikul tetapi perlahan-lahan aku memahami akan itu. Suami yang lebih muda lima tahun dariku tampak semakin menua. Jenggot dan kumis tidak terurus. Kulit semakin kusam. Malam hari, begitu berbaring, ia langsung tertidur. Lelah di siang hari membuat fisiknya begitu lemah di malam hari.
Ia tak pernah mengeluh. Saat ketiga anakku – kini terasa berat kukatakan anaknya juga – merengek akan sesuatu ia selalu sabar menurutinya. Sedihku memuncak karena perasaan yang berlebihan. Aku wanita, aku sangat sensitif untuk hal-hal yang tidak diungkapkan oleh orang, apalagi suamiku sendiri. Aku memahaminya luar dan dalam. Aku tahu keinginan demi keinginan yang enggan ia utarakan kepadaku. Termasuk soal anak kandung. Dan aku tidak berani bertanya soal ini. Tepatnya, belum memulai ke arah itu.
Ia mengurus ketiga anakku seperti anaknya sendiri. Kasih sayang yang ia berikan teramat lebib besar daripada kasih sayang yang kulimpahkan kepada anak-anak. Ia bermain dengan mereka sepanjang waktu saat aku bekerja. Berat beban yang kupikul semakin menjadi-jadi ketika memasuki usia pernikahan kami tiga tahun. Kok aku belum ada tanda-tanda akan hamil. Kenapa aku masih lancar datang bulan. Dan beragam pertanyaan lain yang aku sendiri tidak bisa menjawabnya. Aku ingin mencari jawaban. Sebuah kepastian persoalan ini.
Suami tidak meminta. Aku merasa bersalah. Mana mungkin ia tidak menginginkan anak kandung dengan keadaan seperti sekarang ini. Anak tiri saja ia jaga dengan rapi seperti menyeterikan baju kusut, bagaimana dengan anak kandungnya. Seekor nyamuk pun tidak boleh hingga di tubuh ketiga anakku. Begitu perumpamaannya.
Aku semakin tersalah dalam keluarga ini. Semua yang kukerjakan mulai tidak runut. Konsentrasi pecah. Amarah sangat mudah memuncak. Aku bertanya soal itu, kepadanya, karena itulah masalah yang menganjal.
“Apa kamu ingin punya anak sendiri?” tanyaku malam itu. Pertanyaan yang kukutuk setelah keluar dari mulutku. Raut wajahnya mulai berubah. Gaya tubuhnya tidak nyaman. Gerak-gerik yang tidak biasa.
“Kamu bisa memberikannya?” ia balik bertanya. Pertempuran kami dimulai dari sini. Aku yang memulai dan aku tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya. Dialog dua kalimat itu menjadi perang dingin antara aku dan dirinya dalam waktu cukup lama. Sikapnya berubah kepadaku namun tidak kepada ketiga anakku.
Aku tidak ingat kapan tepatnya suasana mencair dan ia mulai berbicara lebih santai. Aku menyesali telah menarik emosi mudanya ke permukaan. Jelas ia mudah tersulut emosi dengan usia yang masih muda.
“Siapa yang tidak ingin memiliki anak?” ekspresi wajahnya datar. “Mereka tetap bukan anakku. Mereka akan meninggalkanku jika besar nanti. Pertalian darah itu lebih kuat antara manusia. Aku tidak memilikinya!”
Cukup sudah aku mengetahui isi hatinya. Ia kecewa sekarang. Aku yang menampakkan kecewa itu kepermukaan dengan sebuah tanya yang sebenarnya tidak penting kutanya.
Rumah tangga kami masih berjalan seperti biasa. Ia ikhlas merawat anak kami tetapi aku belum memaafkan diri sendiri.
Baca Juga