Categories
Uncategorized

Cerita Sinyak dan Seorang Nenek

cerpen anak
Anak Perempuan Sedih -1freewallpapers.com
Cerpen Anak – Namaku Sinyak. Usiaku 14 tahun. Aku sekolah di salah satu sekolah menengah pertama di Banda Aceh. Aku tinggal bersama Nenek. Katanya, beliau adalah nenekku. Tapi kata tetangga, beliau bukan nenekku. Orang-orang bilang, beliau memungutku di antara lumpur pada hari terjadi gempa dan tsunami di Aceh. Hari itu, 26 Desember 2004. Sepuluh tahun sudah musibah besar itu terjadi. Sepuluh tahun pula aku kehilangan kedua orang tua.
Kami hidup berdua saja. Aku dan nenekku. Rumah kami memiliki dua kamar. Satu ruang tamu berukuran dua kali kamar tidur. Dapur dengan ukuran setengah kamar tidur. Sumur dan kamar mandi berada di luar rumah. 
Nenek bilang, rumah kami adalah rumah bantuan. Tepatnya rumah bantuan untuk korban gempa dan tsunami. Aku tidak tahu siapa yang memberikannya. Nenek juga tidak menjelaskan padaku. 
Aku menghabiskan waktu bersama Nenek di rumah saja. Nenek membeli ikan-ikan kecil pada nelayan yang pulang melaut lalu dijadikan ikan asin. Tiap pagi, sehabis subuh, Nenek bergegas ke laut dengan jarak lebih kurangsatu kilometer. Nenek jalan kaki ke sana dan pulang dengan memikul seember ikan. Di hari Minggu, aku menemani Nenek melakukan pekerjaannya. Aku membantu menjemur ikan setelah diberi garam secukupnya. Aku duduk di teras rumah menjaga supaya tidak ada anjing yang mendekati ikan yang sedang kami asinkan. Biasanya aku membaca buku pelajaran sambil mendengarkan radio. Nenek tidak sanggup membeli televisi dan aku tidak meminta untuk membelinya. 
Nenek sangat sayang padaku. Pulang sekolah aku selalu mendapati meja makan dengan makanan enak. Kadang-kadang, dengan raut wajah sedih Nenek menggoreng ikan asin untuk makan malam kami. Bagiku tidak apa-apa, asalkan Nenek tetap tersenyum, tanpa lauk pun nasi terasa lezat. 
Aku sering bertanya-tanya, tiap hari Nenek selalu memberikan uang jajan padaku. Nenek tidak pernah sekali pun mengatakan dari mana uang tersebut. Beasiswa yatim piatu yang kudapat tersimpan di Bank dan akan kami ambil untuk keperluan sekolah saja. 
Sering kali aku merindukan kedua orang tua. Waktu tsunami usiaku masih empat tahun. Aku tidak ingat wajah kedua orang tuaku. Kata Nenek, kedua orang tuaku sangat baik. Nenek tidak pernah mengatakan bagaimana rupa kedua orang tuaku. Karena hal ini pula, aku jadi percaya Nenek bukanlah nenekku sebenarnya. Jika Nenek adalah nenekku, orang tua dari Ayah atau Ibu, Nenek pasti akan berlinang airmata mengingat wajah anaknya. 
Nenek tidak menceritakan wajah Ayah dan Ibu berbentuk tirus atau bulat. Ayah dan Ibu gemuk atau kurus. Rumah kami dulu besar atau kecil. Di mana alamat rumah orang tuaku juga dirahasiakan Nenek, atau memang tidak diketahuinya. Pekerjaan orang tuaku juga tidak diberitahu oleh Nenek kepadaku. Bahkan, nama Ayah dan Ibu sulit sekali Nenek ucapkan di hadapanku. Nenek mencari-cari nama yang sesuai untuk kedua orang tuaku. Mana mungkin Nenek lupa tentang anaknya sendiri? 
Kuambil kesimpulan, Nenek bukanlah nenekku. Aku sudah melupakan hal itu. Kasih sayang Nenek kepadaku lebih dari cukup. Nenek mencintaiku bagai cucunya sendiri. 
Nenek sudah sangat tua. Aku tidak tahu persis berapa usianya. Nenek juga tidak ingat berapa usianya sendiri. Walaupun sudah sangat tua, Nenek masih sanggup menemaniku mengerjakan tugas sekolah sampai larut malam. Sejak sekolah dasar Nenek membantu tugas-tugas sekolahku. Biar Nenek tidak mengetahui jawabannya, beliau cukup mengelus kepalaku dengan tatapan penuh semangat. 
Seperti malam ini, Nenek kembali menemaniku. 
“Nek, tadi siang ada orang yang membuntutiku!” ujarku setengah memekik. 
“Ah, mana mungkin?”
“Iya. Aku yakin sekali orang itu mencuri-curi pandang ke arahku. Dia berdiri di depan sekolah, matanya menatapku lama sekali…,” 
“Seperti apa orang itu?” tanya Nenek penasaran. 
“Orang itu laki-laki. Tinggi, gemuk, kulitnya lebih hitam dariku,” 
“Kamu yakin dia mengikutimu?”
“Yakin!” 
“Sebaiknya kamu berbaik sangka pada lingkungan sekitar, belum tentu ada orang lain yang mau melukaimu tanpa sebab.” 
Lalu, kami kembali pada aktivitas masing-masing. Nenek berbaring di atas tikar dan aku melanjutkan tugas sekolah yang belum selesai. 
***
Hari ini, aku kembali diikuti oleh orang yang tidak kukenali. Aku berlari. Orang itu pun mempercepat langkahnya. 
Aku bergegas mencapai rumah dan mencari Nenek. 
“Nek, orang itu masih mengikutiku!” 
Nenek yang sedang menggoreng ikan asin mematikan kompor. Dengan tergopoh Nenek berlari ke jendela depan dan melihat pergerakan orang di jalanan. 
“Tidak ada siapa-siapa,” ujar Nenek lebih tenang. 
“Bagaimana mungkin, dia mengikutiku sejak dari sekolah,”
“Mungkin perasaanmu saja,” 
Mungkin juga. Selama ini aku begitu kacau. Jujur saja, aku sangat cemburu pada teman-temanku. Mereka diantar dan dijemput ayah atau ibu mereka. Mereka juga mendapatkan uang jajan yang cukup untuk membeli makanan enak selama di sekolah. Mereka dengan mudah membeli buku pelajaran maupun buku novel. 
Dari dulu, Nenek tidak pernah mengantarku ke sekolah. Kecuali pada suatu hari, yaitu hari pertama masuk sekolah dasar. Setelah itu aku selalu sendiri. Ke mana-mana sendiri! 
Mana mungkin aku tidak merindukan kedua orang tua? Dalam mimpi saja aku selalu merasakan kehadiran mereka. Aku memang tidak mengenal Ayah dan Ibu, mereka pasti akan mengenali anaknya. Hari-hari yang kulalui terasa sangat hampa walaupun kehadiran Nenek sangat menghiburku. 
Aku merasa berbeda di antara teman-teman yang lain. Teman-temanku mengenal kedua orang tua mereka semenjak bayi. Mereka bisa bercerita pada kedua orang tua tentang sekolah maupun meminta dibelikan baju baru. Aku sering berbagi cerita pada Nenek, tapi Nenek sering kali tidak mengerti apa yang kuucapkan. Aku sama sekali tidak berani meminta Nenek membelikan baju baru untukku. 
Aku kesepian tanpa kehadiran Ayah dan Ibu. Aku juga takut sekali karena tidak ada yang melindungi dari orang-orang jahat di sekelilingku. Orang yang membuntutiku pasti akan datang lagi besok. Nenek yang sudah tua tidak akan mungkin bisa melawan orang itu. Jika orang itu berniat jahat, maka aku sudah diculik dan dijual. Banyak sekali anak-anak dijual sekarang ini. Aku mendengar dari berita di radio. Kemungkinan terburuk bisa saja terjadi padaku, karena aku seorang anak perempuan. 
***
Benar saja. Orang itu masih membuntutiku. Aku sudah tidak menghitung hari ke berapa orang itu menungguku di depan pagar sekolah. Saat teman-temanku satu persatu dijemput orang tua mereka, aku berlari ke lain arah jalan setapak menuju rumahku. 
“Nek, orang itu masih mengikutiku!” aku berteriak di depan pintu masuk rumah kami. Nenek keluar rumah dengan napas tersengat-sengat. Nenek menarik lenganku ke dalam rumah lalu mengunci pintu rapat-rapat. 
“Apa kamu tidak salah lihat?” 
“Aku tidak bohong! Dia sudah sering mengikutiku, hari ini sudah sampai di depan rumah kita. Apa jangan-jangan dia akan menculik anak kecil?” 
Nenek sering menceritakan orang-orang dewasa yang menculik anak-anak. Sejak aku balita, Nenek sudah mendongengkan sebuah kisah penculikan padaku. Saat aku susah tidur, Nenek akan mengatakan ada orang yang akan mencari-cari anak kecil lalu dibawa pergi. Nenek tidak menjelaskan ke mana orang itu membawa pergi anak kecil yang sudah diculik. 
“Kamu jangan takut,” ujar Nenek menenangkanku. 
“Apa orang itu adalah orang yang sering Nenek ceritakan?” 
Nenek tampak bingung menjawabnya. 
“Seandainya Ayah ada di antara kita, beliau pasti akan mengusir orang jahat itu!” aku takut sekali mengeluarkan suara. 
Pintu diketuk dua kali. Aku memeluk Nenek erat-erat. Nenek menarik napas dalam-dalam. Mungkin, ini adalah hari terakhir aku bersama Nenek seperti dalam dongeng. Kami mendengar pintu diketuk lagi. Nenek belum beranjak membuka pintu. Aku pun masih enggan melepas pelukan Nenek. 
Pintu kembali diketuk. Orang itu tidak sabar. Dari jendela dapat kulihat wajahnya mengintip. 
“Kamu tenang ya, Nenek akan hadapi orang itu!” kata Nenek dengan suara lantang. 
“Jangan, Nek!” 
Nenek memberikan isyarat kepadaku untuk diam. Aku takut sekali. Apalagi saat Nenek membuka pintu, wajah orang yang membuntutiku tersenyum puas. Aku berlari ke dalam kamar. Mengunci pintu kamar dari dalam. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi pada Nenek. Orang itu pasti menginginkanku bukan Nenek. Seandainya aku punya ilmu sihir, aku pasti akan menghadapi orang itu. Ternyata, dongeng-dongeng yang diucapkan Nenek sebelum aku tertidur tidak bisa membantu. Contohnya, aku tidak dapat mengeluarkan kekuatan apapun untuk membantu Nenek melawan orang yang tak dikenal itu. 
Aku menguping di dekat pintu. Suara orang itu terdengar jelas sekali. 
“Namanya Sinyak, Nek?” 
“Iya, dia cucu Nenek,” 
“Sinyak mirip sekali dengan putri kami. Saya tidak tahu di mana letak kemiripan itu. Saat melihat Sinyak, saya merasa sangat dekat dengannya,”
“Apa yang terjadi dengan putri bapak?”
“Putri kami hanyut dibawa tsunami,”
Tsunami lagi. Apakah dia ayahku? Kali ini aku sedikit percaya dongeng. Dongeng selalu berakhir bahagia. Kehidupan di dunia nyata juga akan berakhir bahagia. Selama ini, Nenek tidak pernah mengajakku ke kuburan Ayah dan Ibu. 
“Sudah 14 tahun ya?” 
“Iya. Saya sudah pasrah, Nek. Saya tidak mencari-cari lagi putri kami. Suatu hari saya melihat Sinyak, saya merasa dialah putri kami. Saya tidak tahu, mungkin inilah perasaan orang tua terhadap anaknya. Memang susah menemukan seorang anak 4 tahun setelah 10 tahun berlalu,” 
“Saya paham, tapi Sinyak benar cucu saya…,”
“Sinyak bukan cucu Nenek!” teriakku lantang setelah membuka pintu. Entah dari mana datangnya keberanianku. Aku sangat menyesal setelah mengeluarkan kalimat tersebut. Raut wajah Nenek berubah memerah. Matanya sendu dan berair. 
“Sinyak…,” panggil Nenek lembut. 
“Tetangga bilang, Sinyak bukan cucu Nenek!” aku masih bersikukuh dengan pendirianku. 
“Mereka bisa saja salah, Nenek adalah nenekmu…,” 
“Mereka benar. Mereka bilang Nenek mengambilku di jalanan pada hari tsunami!”
Kami semua saling pandang. Orang itu juga menatapku lekat-lekat. Kulihat Nenek menyeka airmatanya. Selama ini aku tidak pernah berani membantah perkataan Nenek. Tapi mendengar pengakuan orang yang mengikutiku, aku jadi punya keberanian. Seakan-akan aku sudah mendapatkan pembela jika berbuat salah. 
“Mungkin dia Ayahku!” tunjukku. Nenek terperangah. Orang itu terpana tak percaya. Aku terkejut dengan ucapanku sendiri. Sungguh tega aku menyakiti hati Nenek yang sudah membesarkanku seorang diri.
Barangkali, karena didasari keinginanku untuk memiliki seorang Ayah sehingga aku berbuat demikian pada Nenek. Aku pun merasa sebuah kekuatan datang setelah mendengar pengakuan orang yang mengikutiku itu. Kecurigaanku sudah sirna begitu melihat ketenangan orang itu. Orang itu bukan orang jahat. Orang itu sedang mencari putrinya. Dan aku sedang mencari Ayahku, juga Ibuku. 
Waktu sudah sore. Nenek dan orang itu sudah membuat sebuah janji. Orang itu akan datang lagi besok dengan membawa anggota keluarga yang lain. Setelah itu, kami akan mencari kemiripan antara aku dengan putri orang itu. 
***
Aku menunggu dengan hati gembira. Tak kuhiraukan Nenek yang duduk termenung. Aku bahagia sekali. Sebentar lagi aku akan memiliki kembali Ayah dan Ibu. 
Kami menunggu sampai sore. Orang itu belum lagi muncul di depan rumah kami. Malam pun tiba. Orang itu juga tak terlihat datang sesuai janjinya. 
“Mungkin, dia memang bukan Ayahmu, Sinyak,” kata Nenek dalam suara parau. 
“Berani sekali Nenek bicara itu, sudah lama sekali aku merindukan Ayah. Nenek tidak tahu betapa sedihnya hatiku tidak memiliki Ayah dan Ibu. Tidak ada tempat untuk mengadu. Tidak ada tempat meminta pertolongan. Tidak ada orang yang mengajakku jalan-jalan. Tidak ada orang yang membeliku makanan enak. Tidak ada orang yang membeliku baju baru. Tidak ada orang yang mengantarku ke sekolah…,”
Kutinggalkan Nenek di ruang tamu sendirian. Aku sedih sekali. 
Keesokan harinya, pelajaran yang kuterima di sekolah terasa hambar. Aku menunggu jam pulang. Siapa tahu orang yang mengaku Ayahku sudah berdiri di depan pagar sekolah. 
Bel berbunyi tiga kali. Teman-temanku berhamburan menjumpai orang tua mereka. Aku pun berdiri di depan pagar. Menanti orang yang mengaku Ayahku. Aku menunggu lebih lama, tiga puluh menit. 
Aku pulang dengan langkah lunglai. Sesampai di rumah, Nenek memintaku segera makan siang. Namun aku sedang tidak berselera sama sekali. Tak lama Nenek memberikan selembar kertas kepadaku. Kuperhatikan lekat-lekat sebelum kubaca perlahan-lahan. 
Sinyak yang baik…
Maafkan saya telah menganggu kamu. Saya mengaku khilaf. Selama ini saya selalu dibayang-bayang sosok putri kami yang telah lama meninggal. Saya belum bisa menerima kepergian putri kami. Tapi sebenarnya, putri kami telah tiada. Sesampai di rumah hari itu, istri saya menjelaskan sendiri bahwa putri kami meninggal di dalam pangkuan saya. Saya tidak percaya, tapi istri saya menyakinkan sekali lagi sehingga saya benar-benar bisa menerima kebenaran pahit tersebut. 
Melalui surat ini, saya memohon pada Sinyak untuk menjaga Nenek dengan baik. Nenek tetap nenek Sinyak. Jangan lukai hati beliau. Saya percaya, suatu saat nanti Sinyak pasti akan bertemu dengan Ayah dan Ibu. 
Salam, 
Amri. 
Luluh sudah harapanku. Hati yang sudah sangat gembira berubah kembali menjadi duka. Pantas saja orang itu tidak menjumpaiku di sekolah. Ternyata dia menemui Nenek dan menyampaikan kebenaran. Sungguh pahit kuterima ini. 
“Sinyak, makanlah, sudah hampir sore,” kata Nenek sambil mengelus rambutku. Airmata tak kuasa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku sudah menjadi anak durhaka telah menyakiti hati Nenek. 
“Maafkan Sinyak, Nek…,” 
“Sudah dari dulu Nenek maafkan.” 
Lalu kami saling berpelukan. 
***
Cerita Anak Tsunami Aceh
Categories
Uncategorized

Penyemir Sepatu dan Sepiring Nasi Goreng

Malam itu,
seperti biasa
, bersama tiga
sahabat saya duduk di sebuah warung kopi berfasilitas internet gratis. Cuaca
Banda Aceh yang panas membuat kami memesan minuman dingin.
Hiruk-pikuk di sekitar semakin terasa. 


Kebanyakan sibuk dengan smartphone mereka. Pengemis
yang meminta-minta
, datang dan
pergi
begitu saja. Soal
pengemis, kami telah sepakat untuk tidak memberi
walau mereka memelas. Jika harus memberi, semua
harus dikasih. Sudah tidak terhitung pengemis yang datang silih berganti.

Ilustrasi.

Tiba pada
seorang anak usia
sekitar sepuluh
tahun.
Tangannya
menenteng kotak persegi panjang. Badannya sedikit membungkuk karena beban yang
dipikul. Matanya celingak-celinguk ke bawah meja. Kepalanya tunduk hormat pada
siapa saja yang disapa. Tampaknya, anak itu sedang menawarkan sesuatu.

Langkah kaki
anak itu
terhenti
di samping saya
. Wajah yang kusut, pakaian yang lusuh, dan sandal jepit usang, menyapa dengan suara yang terdengar
lebih berat dari usianya.
“Mau semir
sepatu, Bang?”  
“Maaf,
saya tidak memakai sepatu kulit, Dek,” jawab saya sambil memperlihatkan
sepatu sport warna putih kepadanya. Dua sahabat saya adalah wanita dan
seorang
pria juga tidak mengenakan sepatu kulit.
“Oh,
tidak apa-apa, Bang,” anak itu tersenyum.
“Kamu
sudah makan, Dek?”
tenya Erni.
“Belum,
Kak,” jawab anak itu polos.
“Kamu mau
makan apa?” lanjut Erni.
Anak itu
tampak bingung.
“Duduk
saja,” saya menarik kursi
untuknya lalu memanggil pelayan.
“Kamu
boleh pesan apa saja,” kata Lia yang duduk
berhadapan dengan anak itu.
“Makan
sampai kamu kenyang ya,” ujar Topan tak mau ketinggalan.
Anak itu tidak
berani memesan sesuatu. Kami sepakat untuk
memesan sepiring nasi goreng dan segelas juice alpokat.
Kami mulai
mengobrol sambil menunggu pesanan dat
ang. Anak itu menceritakan kesehariannya. Tinggal di panti asuhan
membuatnya berpikir keras untuk tidak manja. 



Sekolah memang gratis tetapi untuk
hidup mandiri – Ahmad, sebut saja namanya demikian karena saya lupa nama
aslinya – harus bekerja. Ia mengatakan tidak mempunyai keahlian khusus. Seorang
yang tidak ia kenal memberikan sekotak peralatan semir sepatu kepadanya dua
tahun lalu. Orang itu berpesan untuk menjauhi sifat meminta-minta.
Ahmad cukup senang diajak bicara. Katanya, baru malam itu ia
mendapat tawaran makan enak. Biasanya Ahmad hanya menyemir dengan imbalan tak
lebih dari sepuluh ribu untuk sepasang sepatu. 



Selesai menyemir dan menerima
upah, ia akan berkeliling lagi ke tempat yang lain. Tak pernah sekalipun ia
berpikir untuk membeli makanan enak. Ia ingin menabung untuk masa depan. Ia
berpikir bahwa tidak selamanya berada di panti asuhan. 



Ketika dewasa ia harus
berjuang seorang diri dalam mencari nafkah. Tabungan yang telah dikumpulkannya
akan dijadikan bekal untuk masuk perguruan tinggi nanti.
Pesanan untuk Ahmad datang lima belas menit kemudian. Ahmad
menyantap nasi goreng dan juice alpokat dengan lahap. Matanya
seakan-akan bercerita tentang sesuatu. Saya, Erni, Lia dan Topan menikmati saja
pemandangan asing di depan kami. 



Kenapa saya katakan asing? Karena Ahmad
berbeda dengan kami. Kami tidak mengusik kehidupan pribadi Ahmad. Tinggal di
panti asuhan dan bekerja di malam hari di usianya yang masih belia, lebih dari cukup
mendefinisikan segala sesuatu dari kehidupan keras anak ini.
Ahmad bekerja. Itulah porsi lebih dari anak kecil ini. Alasan
ini pula yang mendasari kami memberinya makan dan minum. Walau tidak ada
seorang pun dari kami berempat yang menyemir sepatu. Usaha Ahmad patut
diapresiasi dibandingkan usaha orang lain yang masih meminta-minta.
Setengah jam lebih Ahmad duduk bersama kami, dalam waktu itu
pula mata-mata di sekitar mengamatinya. Ketika Ahmad beranjak pergi, seorang pria
memanggilnya. Pria itu tidak memberi makanan enak melainkan memintanya menyemir
sepatu. Lepas dari pria itu, beberapa pria lain turut meminta Ahmad menyemir
sepatu mereka.
Tatapan Ahmad begitu dalam kepada kami berempat sebelum ia
meninggalkan tempat itu. Saya mencerna tatapannya sebagai ucapan terima kasih kepada
kami. Saya tidak tahu berapa upahnya malam itu. 



Kemuliaan hatinya tanpa meminta-minta
mendatangkan rejeki tidak sedikit. Saya melihat pria pertama yang meminta
sepatunya disemir, memberi Ahmad upah sebesar lima puluh ribu rupiah.
Siapapun anak kecil itu, jika membaca tulisan ini, saya berterima
kasihnya. Hidup ini tidak perlu meminta-minta, bukan?
Categories
Uncategorized

Anak Keempat

Hamil lagi? Mana mungkin? Baru bulan lalu aku menceraikan
ASI untuk si bungsu. Aku harus menghitung ulang tanggal halangan bulan lalu.
Aku berharap perhitungan ini salah. Bulan lalu aku halangan sekitar tanggal dua
atau tiga. Bulan ini sudah hampir sampai di penghujung. Yang benar saja?
Hari terus berlalu, ini tanggal lima belas bulan kedua aku
tidak datang bulan. Aku juga merasa aneh. Tiap melihat ikan asin aku langsung
muntah-muntah, padahal aku paling suka makan ikan asin ditemani sayur daun ubi.
Saat ini, membayangkan saja aku bisa tidak selera makan.
Tadi pagi, aku muntah-muntah tidak karuan. Sampai siang
begini, matahari terik dan aku kepanasan, mual dan muntah juga belum hilang.
Tidak mungkin terus percaya tidak ada masalah apa-apa atau sekadar masuk angin.
***
Sudah bulan ketiga aku tidak halangan. Aku sama sekali tidak
berniat periksa ke puskesmas. Ke bidan di ujung kampung, sama juga, tidak akan
kulakukan. Semenjak mual-mual dan muntah satu bulan lalu, aku juga jarang
berinteraksi dengan tetangga. Semua keperluanku dicukupi suami yang pergi pagi pulang
sore.
Tiap hari aku bersemedi rumah. Menunggu keajaiban datang
bulan. Sejak kelahiran si sulung berumur delapan tahun kini, aku sudah membulat
tekad tidak akan mengandung lagi. Namun dua tahun kemudian adik si sulung
lahir, anak perempuan yang tidak mau kukucirkan rambutnya. Dan dua tahun lalu
aku baru melahirkan bayi tembam yang tiap malam merengek menganggu tidurku.
Bersama bulan ketiga kupastikan hamil lagi. Kenapa harus
aku yang hamil terus? Si Ainun, tetangga rumahku, sudah lima belas tahun kawin
belum hamil-hamil juga. Ainun pernah berobat ke mana-mana, belum ada
tanda-tanda akan mengandung. Aku yang tidak menginginkan punya anak lagi, terus
saja mengandung!
Ainun bertanya padaku, apa resep agar bisa punya anak?
Resep? Ainun pikir aku sedang membuat kue bolu? Ada-ada saja pertanyaan si Ainun
itu.
Kenapa aku tak ikut KB? Si Ima, setelah ikut KB, dua bulan
kemudian langsung melar. Ima malah ngeluh dan menyesal ikut keluarga berencana.
Berencana apa? Katanya hanya merencanakan waktu akan mengandung lagi. Kalau
ingin punya anak, KB bisa dilepas. Tapi, si Ita, dua tahun lepas KB, sampai
sekarang belum beranak juga. Lain lagi dengan Muna yang malah langsung beranak
selepas lepas KB. Aku bingung.
Aku memang tidak ingin punya anak lagi. Tapi aku tidak mau
KB. Ini sudah pilihan tepat. Lain halnya dengan suamiku, dia tidak mau tahu aku
lelah melahirkan anak terus-terusan. Aku juga capai membesarkan tiga anak yang selalu
berulah. Apalagi si sulung. Seluruh kampung sudah memvonis dia. Musim rambutan
dia panjat rambutan orang tanpa meminta. Mangga di rumah tetengga sedang
berbuah, dia malah panjat malam hari. Belum lagi jambu di rumah Ainun yang dia
petik lalu dijual. Ainun marah besar. Untuk dimakan sendiri, Ainun tidak
masalah. Tapi si sulung malah menjualnya. Ainun yang punya pohon jambu belum
pernah menjualnya sendiri. Ainun menegur. Si sulung lari terbirit-birit. Aku
geram. Ainun melapangkan dada. Menerima tapi perang dingin denganku, sindirnya
aku tidak bisa mengajari baik buruk pada si sulung.
Lima bulan sudah. Perutku semakin membesar. Selera makanku
bertambah. Rasanya berat badanku juga naik beberapa kilo.
***
Bulan ketujuh. Tandanya sudah sangat jelas. Selangkah pun
aku tidak keluar rumah. Aku tidak mau orang lain melihat hamilku. Di kampung
ini semua jadi bahan ejekan. Aku merasa mereka mencemoohku karena mengandung
lagi.
Tugasku sekarang, masak, mencuci, tidur, menonton tivi.
Ketiga anakku yang keluyuran di luar rumah, aku tidak peduli. Yang penting
mereka masih ingat pulang. Selain keluarga, tidak ada yang tahu aku hamil. Jika
ada yang datang bertamu, aku memilih sembunyi di kamar. Aku tidak ikut lagi
kegiatan ibu-ibu. Tidak ke undangan pesta di kampung. Tidak ke mana-mana.
Ainun pun tidak tahu aku mengandung kalau saja mulut si
sulung bisa diplester. Si sulung dengan enteng pamer ke Ainun akan punya adik
lagi. Pulang dari situ, kumarahi di sulung, tapi dia malah nyengir dan tertawa.
Lain halnya dengan kedua adik si sulung. Di acara arisan
ibu-ibu mereka minta nasi lebih untukku yang sedang hamil. Naas sudah. Seluruh
kampung tahun aku hamil.
Sorenya Ainun bertandang ke rumah. Mau tidak mau aku
membukakan pintu untuknya. Ainun membawa masakan enak. Ada kerang dimasak
dengan santan. Tahu goreng. Tempe goreng.
Senyum Ainun merekah. Siapa yang hamil di sini? Kenapa
malah Ainun yang berona bahagia?
Tidak mungkin. Ainun pasti datang mengejek. Aku tidak bisa
terima ini. Senyum palsu. Makanan jadi suap untuk bisa menjengukku. Tanpa
kupersilahkan, Ainun menerobos masuk dan meletakkan makanan bawaannya di meja
makan. Menyuruhku makan banyak. Bertanya persiapan persalinan. Kandunganku
sehat atau tidak? Sudah periksa ke bidan? Sudah ini? Sudah itu? Ainun banyak
tanya. Dengan alasan ingin istirahat, aku meminta Ainun pulang.
Selepas Ainun pulang, Kusantap makanan pemberiannya dengan
lahap.
***
Sudah sembilan. Mengapa waktu begitu cepat berlalu? Perutku
makin membesar. Tidak lama akan pecah. Penantianku selama ini akan berakhir.
Aku sudah tidak tahan. Senyum Ainun. Semangat dari Ima dan yang lain tidak
lantas membuatku bahagia.
Aku masih malu punya anak lagi!
Kuambil sapu, memerhatikan rumah yang sangat kotor. Seperti
berhari-hari aku tidak menyapu. Ainun yang memerhatikan di teras rumahnya langsung
menghampiri. Aku tidak mendengar celoteh Ainun yang memintaku istirahat.
Mengerti apa dia? Satu pun anak belum dia lahirkan!
Aku terus menyapu. Kusapu debu di dalam rumahku sampai dua
anak tangga dapur. Terasa dunia berputar. Pusing. Aku terpeleset. Jatuh ke
dapur di anak tangga kedua. Ainun berlari menghampiriku. Dia melihat ada
pendarahan. Dia berteriak minta tolong. Aku menepis tangannya yang akan
memapahku ke kamar.
Aku tidak apa-apa. Aku belum mau melahirkan!
Ima datang tergopoh-gopoh. Si sulung sudah dia minta jemput
ayahnya. Ima juga sudah meminta suaminya menjemput bidan. Aku masih membantah,
belum saatnya persalinan!
Kedua perempuan ini tidak peduli. Mereka menarikku ke dalam
kamar dan melepaskan pakaian bawahku. Ima berteriak. Ainun histeris meminta air
dan kain bersih. Kepala bayi sudah keluar!
Bantahanku terhenti dan malah mengedan. Sakit luar biasa.
Luar dalam. Sekali lagi teriakan napasku. Tangisan bayi pecah. Kata Ainun,
diraut wajah lelahnya, dan Ima yang pias, bayiku laki-laki.
Lima menit kemudian, bidan kampungku baru datang bersama
suami dan si sulung. Bidan langsung memeriksaku dan bayi baru lahir. Ocehan
bidan tidak lagi kudengar. Rasanya sakit sekali. Aku juga malu. Namun senyum
bahagia suamiku, membuat emosiku sedikit mereda.
Bidan memintaku tidak berpikir yang negatif. Katanya, bayi
kami sehat dan baik-baik saja. Mendengar itu, hatiku kembali galau. Belum lama
berhenti menyusui, hari ini sampai dua tahun ke depan aku kembali harus
menyusui.
Apa yang harus kulakukan untuk ini? Kulihat Ainun, Ima dan
bidan kampungku. Tidak ada ejekan dari raut wajah mereka. Senyum mereka
merekah. Aku yang tidak bahagia, mengapa mereka begitu bahagia?
Aku menatap kosong. Beban pikiranku akan bertambah banyak.
Empat anak. Suami yang selalu minta dilayani. Masak. Menyusui. Cuci baju.
Mendengar tetangga yang selalu merendahkan si sulung yang bandel. Menegur kedua
adik si sulung yang selalu telat mandi.
Memikirkannya saja membuatku letih sekali. Kelahiran
keempat ini semakin membuatku kacau. Aku tak paham, adakah yang salah denganku.
Mengapa aku tak dapat merasakan bahagia sebagaimana perempuan lainnya.
Bagaimana harus kujalani hari-hari ini? Adakah yang dapat mengerti aku?

***
Cerpen ini dimuat di Majalah Ummi Edisi Mei 2014.