Categories
Uncategorized

Pesona Seribu Masjid di Lombok, dari Sembalun ke Senggigi

“Kita berhenti salat Jumat di
masjid dekat sini,” ujar pemandu jalan kami di saat matahari seakan enggan
membuka mata, di antara dingin hampir membeku pada lembah Sembalun. Mobil yang
membawa kami masuk ke perkarangan masjid yang megah. Masjid Ittihadul Islam di Sembalun
Timba Gading, salah satu pesona seribu masjid di Pulau Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Bangunannya tampak berbeda tetapi memiliki ciri khas yang
kuat dengan menara tinggi.

Pesona alam Lombok.

Saya khusyuk meminta ‘sesuatu’ dan memohon akan berkah
berlimpah sehingga bisa sampai ke sini. Tentu berbeda dengan apa yang saya
rasa; suara orang mengaji, penuhnya masjid ini, cara khatib menyampaikan
khutbah, cara imam melantunkan ayat-ayat sepanjang salat Jumat 2 rakaat, dan
doa-doa usai salat yang memiliki intonasi berbeda dengan cara imam Aceh
membacanya. Saya menyelami. Saya meresapi perbedaan. Saya juga merinding dalam
dingin yang belum usai meskipun wudhu’
telah kering.
Salah satu masjid di Sembalun.
Syukur pada langkah yang telah sampai ke tanah basah ini.
Semalam, kami baru sampai ke
lembah Sembalun, di mana Gunung Rinjani dengan gagah perkasa menggenapkan
pesona bumi ini. Tak terkira pesona saat di pagi harinya saya melihat aktivitas
warga yang padat, menyoal hidup seperti biasa dan adalah hal yang unik dari
segala pandangan tentang wanita bercakar di mana-mana. Oh, beginilah yang saya rasa
tentang ketentraman. Saya merasa aura keAcehan yang kental meskipun saya tidak
sedang berada di bumi lahir sendiri. Islam yang begitu kental dan kuat di
lingkungan ini, saya rasa sampai ke pori-pori di sepanjang jalan lembah
Sembalun. Pikiran yang sebelumnya mengacu kepada masyarakat yang tidak seperti
itu, telah lenyap seketika.
“Sembalun salah satu wisata
Islami yang wajib kamu kunjungi,” sebut Dian Mulyadi, seorang yang memudahkan
langkah saya ke Lombok. “Saya dengar, masyarakat di Sembalun sangat kuat sekali
memegang teguh ajaran Islam. Wajar sih,
wanita di sini rata-rata pakai cadar karena itu bagian dari pemahaman mereka!”
Puncak Gunung Rinjani.
Sembalun dan lembahnya yang kokoh
telah kami tinggalkan di belakang. Segenap kenangan dengannya mungkin akan
terburai menjadi partikel-partikel rindu di masa mendatang. Salat Jumat yang
khusyuk di negeri terasing membawa kenikmatan tersendiri bagi saya. Saya merasa
nyaman. Saya terlindungi. Saya aman. Karena di setiap langkah adalah muslim
yang saya temui. Tiap sudut yang saya lihat adalah mereka yang tergopoh
menghampiri masjid.
“Eh, di mana-mana ada masjid ya?”
ujar saya saat kami telah menapaki jalan berliku dari Sembalun menuju Mandar.
“Itulah sebabnya Lombok dijuluki Pulau Seribu Masjid!” ujar pemandu
jalan kami yang duduk di sebelah sopir.
“Seribu Masjid? Artinya banyak
masjid ya?” saya bimbang dan bingung dengan pertanyaan itu. Lantas, jawaban
dari pemandu jalan kami terjawab begitu persekian meter kami melewati
bangunan-bangunan indah, yaitu masjid-masjid yang dipenuhi oleh orang-orang
beribadah. Saya terharu, saya takjub, saya ingin merangkul masjid-masjid di
sini karena segalanya tampak pasti bagi saya. Seperti keseharian saya di negeri sendiri nan jauh di ujung Sumatera.
“Sama dengan Aceh ya,” ujar saya
sangau.
“Aceh kan Kota Serambi Mekkah, Bai. Nah, Lombok Kota Seribu Masjid!” ujar
Dian Mulyadi dengan mantap.
“Perpaduan yang pas ya, Mas!”
Tak lupa, kami berhenti di tepi
jalan berliku dengan pemandangan gunung menjulang tinggi, untuk membeli stoberi
seharga Rp. 5000 perbungkus. Saya
menikmati stroberi itu dengan nikmat sembari Zakaria Dimyati, teman sesama
perjalanan kami, memotret pemandangan alam dengan kameranya.
Penjual stroberi pinggir jalan.
Perjalanan yang panjang menuju
Mandar sampai pada sore hari. Di sini juga terdapat masjid di mana-mana. Takjub
saya begitu mengelora saat kami memasuki salah satu masjid untuk salat ashar –
saya tidak sempat memotret masjid di tengah kota Mandar ini. Kami menunaikan
kembali salat di Pulau Seribu Masjid ini. Lepas itu, baru menjejaki Kota Mandar
yang terpesona dengan cidomo di mana-mana. Saya dan Zakaria sempat numpang foto pada salah satu cidomo yang
lewat. Dari sini pula kami melihat pemandangan yang tak bisa dinafikan yaitu Pelabuhan
Kayangan, Lombok. Kapal-kapal nelayan membentuk panorama teramat indah untuk
dilewati.
Cidomo di Lombok.

Kapal nelayan.
Tiba di malam yang sepi, tidak
sedingin di Sembalun, kami mencicipi hindangan yang tak kalah lezatnya. Saya
lupa sebutan untuk menu makanan yang kami santap. Ada ikan yang dimasak dengan
rempah khas Lombok. Sayur juga demikian. Dan tahu tempe dengan kecap pedas. Lidah
saya yang semula mati rasa karena belum menyantap makanan, menguatkan diri
untuk segera mengisi perut dengan lahap. Saya sudah tidak bisa menjabarkan
bagaimana rasanya menu makanan yang kami santap di Juni 2014 itu. Rasanya pas
di lidah saya tetapi tidak untuk perut yang terlalu benci dengan rasa pedas.
Menu yang lezat cocok untuk buka puasa.
Pagi dari itu, kami tergopoh ke
Pelabuhan Mandar untuk menyaksikan aktivitas nelayan dan wanita-wanita menunggu
ikan. Sekali lagi, dalam radius beberapa meter adalah masjid. Di mana-mana
adalah masjid. Bagaimana orang beribadah dengan banyaknya masjid. Saya lalu
membayangkan seperti di Aceh, tiap kampung ada masjid tersendiri, lalu di sini
demikian juga. Sepanjang pandangan sebelum sampai ke bau amis dan matahari
terbit, saya tak jera memanjatkan puji kepada masjid-masjid yang berdiri kokoh
dengan ciri khas yang sama. Bentuknya mirip-mirip hanya berbeda ukuran pada
lebar dan tinggi.
Pelabuhan Mandar yang padat. Nelayan
mendorong baki ikan ke pinggir. Wanita-wanita dengan riuh menanti ikan kecil. Sembari
menunggu para nelayan memilah ikan, wanita-wanita ini bercakap-cakap sambil
memandang ke lautan lepas. Dan gunung yang menjadi paku dalam menyeimbangkan
daratan dan lautan.
Nelayan pulang melaut.
Di situ, saya tidak menemui
wanita-wanita dengan kepala terbuka. Di mana-mana adalah wanita dengan kerudung
meskipun tidak memakai cadar seperti wanita di Sembalun. Saya tersenyum getir,
memadu rindu kepada kampung halaman yang baru saya tinggal beberapa hari. Seakan
tidak ada yang membedakan antara wanita Lombok dan Aceh yang selalu terbalut
kerudung dengan rapi. Ternyata, hati saya menyebut, Lombok bukan saja Pulau
Seribu Masjid, tetapi Pulau Seribu Jilbab!
Wanita berjilbab menunggu ikan.
Dan, begitu saja kisah itu
mengalir tanpa henti. Keterasingan yang saya rasa telah sirna dengan apa yang
saya alami. Pesona Pulau Seribu Masjid ini memang tidak lekang dari waktu ke
waktu. Kenangan yang hinggap begitu saja menjadi ukiran kebahagiaan dari masa
ke masa. Di akhir persinggahan, kami menepi ke kota metropolitan, Mataram, lalu
menikmati senja di Senggigi. Lagi-lagi, sepanjang jalan adalah masjid dengan
keelokan dan keindahan tersendiri. Sayang sekali, rencana kami tidak sempat
menepi ke salah satu masjid di tengah kota ini.
Keindahan sunset di Senggigi.
Jika, pada saat ini saya kembali ke kota dengan Pesona Seribu
Masjid ini, saya akan menghabiskan masa dalam bulan Ramadhan untuk mengunjungi
masjid-masjid terindah di sini. Meski, hanya sekejap mata saya ke Lombok tetapi
dari sana saya menyelami apa yang semestinya ada dalam diri saya sebagai
seorang muslim. Ketenangan yang tak terkira karena di mana-mana ada masjid. Toh, pada segala kondisi setiap muslim
akan mencari tempat perlindungan yaitu masjid. Pesona masjid di Lombok menjadi
panorama yang sulit saya lupakan. Di sana pula doa-doa yang entah bagaimana
wujudnya selalu terbentuk dari hati yang tulus, tak lupa bahkan selalu terujar
doa-doa keselamatan dan kebahagiaan kedua orang tua!
Ramadhan di Pulau Seribu Masjid,
apa kabarnya? Saya merasakan satu hal yang pasti, bulan puasa di Lombok tak
akan berbeda dengan bulan puasa di Aceh. Kota Seribu Masjid dengan Kota Serambi
Mekkah. Dua persamaan yang pasti karena tiap malam masjid-masjid akan
‘memanggil’ umat Islam untuk bergegas ke sana. Bahkan, suara azan tak ubahnya
nyanyian rindu yang bertalu-talu, dipaku pada dasar bumi, dari mana-mana,
didendangkan dengan lantang dan membahana. Saya dapat menebak bagaimana suasana
tarawih di Lombok, di masjid-masjid yang persekian meter bertemu satu dengan
yang lain dapat saling tatap. Seandainya masjid itu bisa bercakap-cakap dan
bersalaman, mungkin mereka akan bersilaturahmi pada Idul Fitri nanti, saking
saling melihat dari satu menara ke menara lain!
Dan kini, waktu yang tepat untuk
melepas rindu di masjid-masjid terindah di Pulau Seribu Masjid ini. Ramadhan
yang damai, pesona yang tak bisa diubah adalah meletakkan lelah di dalam masjid
sambil berzikir dan bermunajat kepada Ilahi.
Kembali kepada jika, seandainya raga
saya ditepikan kembali ke Lombok, maka saya akan menjadi tamu pada
masjid-masjid ini.
Masjid Hubbul Wathan Islamic Center, Mataram
Masjid ini tidak sempat saya
kunjungi karena keterbatasan waktu. Namun saat bulan Ramadhan kali ini Masjid Hubbul
Wathan Islamic Center tidak hanya indah dengan
relif bangunan saja tetapi ramai oleh mereka yang bermunajat kepada Ilahi. Bisa dipastikan bagaimana
padatnya masjid ini dalam bulan puasa dengan hampir semua sektor terletak di
kompleks masjid. Sebut saja saranan pendidikan, museum, wisata religi,
perekonomian bahkan tempat olahraga juga terdapat pada masjid yang pernah
menjadi tuan rumah MTQ Nasional tahun 2016.
Terbayang kan bagaimana megahnya Masjid Hubbul Wathan Islamic
Center di tengah-tengah kota Mataram ini? Semarak Ramadhan di masjid ini tak
hanya berupa ramainya umat yang datang tetapi terdapat keistimewaan lain. Lantunan
ayat-ayat al-Quran terasa begitu syahdu saat imam-imam dari Timur Tengah yang
menjadi imam salat tarawih bulan puasa ini. Berdasarkan data dari tempo.co
(27/05/2017), imam-imam Timur Tengah yang menjadi imam tarawih antara lain Syekh
Ezzat El Sayyed Rashid dari Mesir, Prof Dr Syeikh Khalid Barakat dari Lebanon, Syeikh
Mouad Douaik dari Maroko, dan Syeikh Ahmad Jalal Abdullah Yahya dari Yordania.
Islamic Center, Mataram – Photo by Harry Hermanan.
Kembali ke jika, maka saya akan berbaur dengan alunan syahdu para ulama besar
tersebut. Lantunan ayat-ayat al-Quran dari para imam ini tidak hanya
menggetarkan hati, tetapi memberikan kesejukan selaman Ramadhan di tanah
Mataram. Dengan apa yang didengar, menjadi keharusan tersendiri bahwa keindahan
tiada tara akan dimulai dari masjid ini. Doa-doa yang dipanjatkan tentu berbeda
saat berada di negeri sendiri. Doa terindah dari sini berlaku tidak hanya untuk
keselamatan diri tetapi juga sebagai rasa syukur pada keindahan demi keindahan
dalam hidup.
Pusat kota yang teduh dengan
masjid indah, pula diterangi oleh 1.000 lampion yang disumbangkan oleh Persatuaan
Islam Tionghoa Indonesia NTB dan Paguyuban Marga Tionghoa Indonesia NTB. Saya bisa
merasakan bagaimana meriahnya Kota Mataram selama Ramadhan tahun ini!
Masjid Agung
Al-Mujahidin Selong, Lombok Timur
Sebelum, Masjid Hubbul Wathan Islamic Center berdiri, Masjid Agung Al-Mujahidin
Selong di Lombok Timur merupakan masjid terindah di Lombok. Masjid ini berjarak
lebih kurang satu setengah jam perjalanan darat dari Kota Mataram. Coba lihat
bentuk bangunan dan warna cat yang cerah. Dapat dipastikan bahwa masjid ini
menjadi salah satu bagian penting dari keislaman di Nusa Tenggara Barat. Kubah-kubah
masjid ini tampak begitu indah ketika terkena sinar matahari senja hari. Hal ini
tentu saja sangat menarik di bulan Ramadhan, di mana segenap keindahan bisa
melepas rindu kepada Sang Pencipta.
Masjid Agung Selong – Photo by diditpharm.blogspot.com
Saya akan berkunjung ke sana, jika, bulan Ramadhan ini ada di pulau
ini. Masjid ini tidak hanya menarik dan tidak pula terlupa karena Islamic
Center telah berdiri. Pusat kegiatan keislaman selama Ramadhan juga masih
dilakukan di masjid ini dalam rangka menyemarakkan bulan puasa. Duduk di dalam
masjid indah ini sambil memohon tentang apa saja kepada-Nya tentu saja sebuah
rasa syukur teramat dalam. Tidak bisa saya bayangkan bagaimana
keindahan-keindahan terpancar dari segenap sisi di dalam masjid ini.
Masjid Bayan Beleq, Desa Bayan, Lombok Utara
Eksotik, begitu kalimat yang
tepat ketika saya, jika, menginjakkan
kaki ke halaman Masjid Bayan Beleq, Desa Bayan di Lombok Utara. Bagaimana tidak,
pesona yang hadir adalah kisah beradab-adab silam dengan kitab kuning sebagai
catatan. Masjid ini adalah masjid tertua di Lombok dengan jarak tempuh sekitar
dua jam perjalanan dari Kota Mataram. Masjid ini juga menjadi saksi bisu
masuknya Islam ke Pulau Lombok. Bentuk masjid berupa bangunan Suku Sasak dan
tampak sangat sederhana tanpa polesan arsitektur modern. Di dalam masjid ini
juga terdapat makam penyebar agama Islam pertama di Lombok, Gaus Adbul Rozak.
Masjid Bayan Lombok – Photo by sasexplorer.blogspot.com
Lantas, jika, ke sini dalam suasana Ramadhan adalah hal termenarik dan
tersyahdu di antara pohon-pohon dan masyarakat yang masih alami. Tentu saja
bermunajat di masjid tertua dengan segala kelemahan yang dimilikinya termasuk
salah satu bentuk syukur yang tak terperi. Berada di dalam masjid ini saat
bulan Ramadhan seakan menarik kembali memori bagaimana penyebaran Islam di
pulau ini. Ciri khas yang terkuat tentang lingkungan yang tak mengubah diri dari waktu ke waktu meskipun zaman telah begitu modern.
Barangkali, tiga masjid ini cukup
menggenapkan keindahan Ramadhan selama di Lombok. Tiga masjid, tiga cerita dan
tiga sejarah dalam membentuk Pulau
Seribu Masjid
, sampai membahana ke mana-mana!
***
Categories
Uncategorized

Perahu Terdampar, Bule dan Sebuah Senja di Senggigi

Lelah
mendaki Rinjani di Sembalun terbayar sudah ketika menatap pantai Senggigi yang
ramai dan panas. Saya berdiri di antara banyak langkah dan pandangan lain. Proses
matahari terbenam di mana-mana tetaplah sama. Namun sebuah senja selalu menghadirkan
rindu terparah. Jika ditanya rindu untuk siapa? Saya tidak tahu. Rindu saja.

perahu nelayan terdampar di pantai
Perahu terdampar – Photo by Bai Ruindra
Matahari
sedang mengayuh dayungnya lebih kencang. Sebentar lagi hari akan gelap. Keramaian
semakin terasa di pantai terdekat dengan kota Mataram ini. Saya mengarahkan
kamera smartphone ke segala sisi. 

Ada perahu terdampar dan bule
berjemur dengan kancut!

Sesuatu
yang tidak wajar karena saya orang Aceh. Kok Aceh dijadikan
kambinghitam? Kenyataannya memang demikian. Di umur yang tak lagi muda, baru
kali ini saya melihat orang-orang begitu bebas hanya mengenakan underware
di bibir pantai.

Berbaur dengan orang-orang seperti kami yang bersegaram
lengkap. Mereka – bule itu – santai dan nyaman saja membaca buku di tengah hari
yang panas. Mereka juga bercengkrama dengan pasangannya, dengan anak-anaknya,
dengan kamera yang membidik ke sana-kemari.

Alangkah indahnya hidup di sini
untuk saya yang perawan. Mata saya melotot namun tak terarah lagi ke
pemandangan bule berjemur karena orang-orang di sekitar menganggapnya hal yang
wajar. Tentu saya mempunyai malu untuk itu.

Apabila bule-bule itu berjemur
dengan cara yang sama di pantai Aceh, tak lama kemudian mereka akan ditegur dan
paling parah akan diboyong polisi syariat Islam menuju tempat khusus
untuk diberikan arahan.  


Di pantai ini,
para bule dan wisatawan lokal bergerilya dengan glamornya. Padahal di lembah
Sembalun, di kaki Gunung Rinjani, Islam sangat kental sekali.

Saya berani
menjamin keislaman mereka di sana bisa melebihi kadar Islam orang Aceh. Contohnya
saja, di desa Sembalun kebanyakan wanitanya menggunakan penutup wajah (cadar)
dan itu sangat tumpang tindih begitu saya merayap ke Mataram yang telah
moderat.

Lombok dan Aceh sangat jauh berbeda walaupun sama-sama memiliki pemahaman Islam yang kuat!

Apa
yang menarik bagi saya? Aceh dikenal dengan kekentalan Islam. Lombok juga
demikian. Namun di Aceh semua wanita mengenakan jilbab karena hukum Islam telah
menuntut demikian.

Di Lombok kehidupan mereka masih sama dengan kehidupan di
kota lain, belum ada aturan untuk menjalankan Islam secara keseluruhan. Jika
Aceh digelari Serambi Mekkah, Lombok diberi gelar Negeri Seribu Masjid. Di
mana-mana masjid. Jalan beberapa langkah ada masjid lagi.

Saya
melepas pandangan ke perahu-perahu terdampar. Saya ambil gambar perahu-perahu
tanpa nelayan yang diparkir sembarangan. Perahu-perahu di Senggigi tak lain
adalah milik pelaut yang terparkir tanpa nahkoda.

Perahu-perahu ini juga
menjadi tempat para wisatawan mengabadikan foto. Perahu-perahu ini menyimpan
banyak harapan, banyak kenangan, dan banyak rejeki bagi pemiliknya.

Senja
selalu menepati janji tepat pada waktunya. Orang-orang mulai berkerumun ke
bibir pantai. Momen paling indah adalah saat matahari terbenam. Bidikan kamera
terlihat di mana-mana. Saya ikut ambil bagian dari fenomena alam tersebut.

Kamera
smartphone saya menangkap langkah gagah seorang lelaki di bawah matahari
yang mulai terbenam ke langit Bali. Langkahnya penuh harapan, itu sudah pasti. Langkah
saya pun semestinya lebih lebar dari orang itu.

Di mana kesempatan tak pernah
datang kedua kali. Begitu pun langkah saya di Senggigi. Tidak ada yang menjamin
bahwa kehidupan saya akan terulang kembali di sini!

Categories
Uncategorized

Stroberi 5000 Rupiah

Pertengahan
tahun 2014, saya berkesempatan berkunjung ke Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Sebuah rasa syukur dari menulis.
Sebuah
perjalanan melelahkan bagi saya. Apalagi baru pertama kali melakukan perjalanan
jauh dengan pesawat terbang. Saya berangkat dari Bandara Sultan Iskandar Muda
pukul enam pagi, transit di Kualanamu sekitar setengah jam, lalu kembali
terbang menuju Bandara Soekarno-Hatta lebih kurang 2,5 jam perjalanan. Saya
menghirup udara pengap Jakarta pukul 10 pagi. Kemudian menunggu keberangkatan
selanjutnya pada pukul tiga sore bersama Mas Dian Mulyadi dan Zakaria Dimyati. Kami
sampai di Bandara Praya sekitar pukul delapan malam. Sungguh perjalanan yang
menarik minat saya untuk kembali melakukannya.
Kami
dijemput oleh Mas Hindra, salah satu rekan kerja Mas Dian dan Mas Jan sebagai guide.
Dari Bandara Praya yang malam itu dipenuhi kedatangan TKI dari Malaysia, kami
menuju Sembalun. Saya belum tahu di mana daerah tersebut, katanya dekat gunung
Rinjani. Baiklah. Gunung dengan anak sungai di atasnya itu.
Malam
yang panjang. Saya begitu kurang percaya diri dalam kendaraan roda empat. Alasannya;
saya mabuk perjalanan!
Sesampai
di Sambalun tengah malam, saya dan Zakaria langsung tidur di daerah yang dingin
sekali itu. Paginya kami menjumpai beberapa orang untuk keperluan liputan
selama di sana.
Nah,
pulang dari sana barulah saya merasa sangat tidak nyaman. Perut saya kembali
diaduk tak karuan. Jika sebelumnya, karena terlalu lelah dan malam hari mudah
saja saya tertidur. Pagi ini malah sebaliknya. Saya duduk diapit Mas Dian dan
Zakaria. Pikiran sudah berkunang-kunang. Mau minta berhenti, tidak ada alasan
yang jelas. Mau muntah juga tidak jadi-jadi. Mau bilang pusing pada keempat
orang di dalam mobil itu, mereka malah adem-ayem saja.
Jalanan
semakin menikung. Kepala saya berputar. Jalanan berputar. Kepala saya ikut
berputar-putar. Sesekali Zakaria membuka jendela, hawa dingin menusuk di antara
pengununan dan rumah penduduk dataran Rinjani. Zakaria memotret beberapa
pemandangan indah yang tidak bisa saya lihat dengan jelas.
Bahkan,
di dalam mobil kami tidak ada makanan apa pun. Padahal perut saya sangat tidak
bersahabat lagi. Saya ingin perjalanan ini cepat berakhir. Namun, jalan setapak
menuju puncak Rinjani saja belum terlihat. Kami masih meraba-raba di jalan
berlubang daerah Sembalun dan sekitarnya.
Hei!
Tunggu dulu. Di pinggir jalan berlubang itu, pemandangan maha dahsyat terhampar
luas. Udara semakin dingin saat jendela mobil terbuka. Dan gubuk-gubuk kecil
menawarkan buah segar. Salah satu stroberi.
Photo by Zakaria Dimyati
Saya
melupakan rasa muntah sesaat. Stroberi yang dijual di tepi jalan itu tampak
segar sekali. Mas Jan memarkirkan mobil. Mas Hindra membuka jendala lalu
bertanya berapa sebungkus stroberi yang dijual oleh perempuan berjilbab itu.
Pemandangan yang menyejukkan; Sembalun tak ubah sama dengan Aceh di mana semua
perempuan berjilbab, berbeda dengan Mataram pada hari berikutnya kami sampai di
sana.
“Lima
ribu?” mata saya membulat. Mas Hindra dan Mas Jan malah ngakak. Zakaria diam
saja.
“Nama
juga kita beli di kebunnya, Bai,” ujar Mas Dian kemudian. Sayang sekali kami
tidak sempat mampir ke kebun stroberi.
Satu
bungkus stroberi seberat setengah kilo itu cuma Rp. 5000,- saja. Seriuslah.
Saya takut dikibuli oleh Mas Hindra. Pendengaran saya jadi ikut-ikutan mabuk
perjalanan. Pertanyaan saya terjawab saat Mas Dian mengeluarkan lembaran dua
puluh ribu untuk empat bungkus buah berbentuk hati itu. Seandainya langsung
pulang hari itu juga, saya akan memboyong banyak bungkus stroberi segar untuk
dibawa pulang ke Aceh.
Rasa
stroberi yang asam manis melegakan sedikit kerongkongan saya. Di antara kami
berempat, hanya saya yang makan lebih sebungkus.
Rupanya,
jalanan semakin tak karuan. Menanjak dan berliku. Perut saya kembali diaduk. Saya
mencoba tidur. Susahnya minta ampun. Rasanya waktu berjalan sangat lamban
sekali. Saya tidak tenang. Mau muntah ditahan. Malu yang ada.
Dalam
keadaan tersiksa, saya tertidur juga. Syukurlah.
Sampai
di daerah yang saya tidak tahu benar di mana. Sudah di perkotaan. Kami berhenti
di salah satu rumah makan. Perut saya sangat tidak bersahabat lagi. Saya berlari
ke kamar mandi. Dan muntah!
Oh,
Stroberi lima ribu keluar semua!
Saat
saya kembali ke dalam rumah makan kecil itu, keempat yang lain sudah menyantap
makanan masing-masing.
“Muntah,
Bai?” tanya Mas Dian.
“Iya,
Mas. Sayang sekali stroberi lima ribu terbuang semua!” jawab saya malu-malu.
Mereka
berempat tertawa.
“Di
Aceh berapa sebungkus itu kira-kira,”
“Dua
puluh ribu, Mas!”
Mata
mereka terbelalak. “Mahal sekali, Bai!”
Perut
saya yang baik sekali itu sudah menumpahkan semua. Kami tidak mungkin kembali,
membeli banyak stroberi murah. Tepatnya, kami tidak mungkin membawa pulang stroberi
karena mesti mengejar sunrise di Mandar dan sunset di Senggigi. Setelah
hari menyesakkan hati itu.

Selamat
tinggal, stroberi lima ribu rupiah! 
Photo by Zakaria Dimyati
Categories
Uncategorized

Cidomo Dua Ribu Rupiah

Takengon di Aceh Tengah
terkenal dengan pacuan kuda yang digelar setiap Agustus. Pacuan kuda di daerah
bercuaca dingin tersebut untuk memainkan peran sebagai sebuah hobi dan hiburan
semata. Jauh melangkah ke Nusa Tenggara Barat, barangkali juga di beberapa daerah
lainnya, saya menemukan kereta kuda sebagai alternatif kendaraan umum. Pemandangan
ini dapat kita lihat di kota Mataram, banyak kereta kuda yang terparkir di
depan pasar rakyat menunggu konsumen yang sedang belanja di sana. Ternyata,
tidak hanya di ibu kota provinsi saja kereta kuda berkeliaran mencari
pelanggan. Di hampir seluruh Lombok, kereta kuda
yang dikenal dengan sebutan cidomo menghiasi
sepanjang mata menikmatinya.
Saya terdampar ke
Mandar, Lombok Timur yang dahulu sempat saya baca sebagai daerah yang memegang
teguh keislaman mereka. Sampai sekarang ini Mandar masih menjadi salah satu
daerah yang taat menjalankan ajaran Islam. Hal ini ditandai dengan teraturnya
masyarakat setempat menunaikan ibadah, termasuk perempuan Mandar yang
mengenakan kerudung.
Waktu yang tidak
mengizinkan saya beserta rekan satu tim untuk meminjam sebentar cidomo di Mataram membuahkan hasil bahagia. Ternyata,
keinginan saya untuk sekadar mengabadikan kenangan berada di atas cidomo yang
terhias rapi terealisasikan di Mandar.
Di Mandar, ketika
sedang menikmati panorama pagi, saat matahari sedang mengintip naik
sepenggalah, dalam dekapan angin Pelabuhan Balohan, di tengah hiruk-pikuk
nelayan pulang melaut, saya menemukan sisa mimpi itu. Sebuah cidomo masuk ke
jalan sempit di mana kami berada. Sebelum cidomo dan pemiliknya kabur menjadi
pelanggan saya mencegatnya dengan penuh semangat.
Seorang bapak tua yang
tidak saya ketahui namanya tersenyum senang saat kami duduk manis di cidomo
miliknya. Saya patut berterima kasih kepada bapak itu dan merasa kerdil sekali
karena sesuatu yang tidak pernah saya lakukan. Terima kasih saya karena mungkin
di tempat lain saya tidak pernah bisa duduk di atas cidomo dengan gratis. Penyesalan
saya, walaupun sebentar meletakkan lelah di atas kursi keras cidomo saya tidak
membayar uang tunggu kepada bapak itu. Naif memang, setidaknya aku bisa
mengganti kerugian waktu yang sudah kami pakai.
Bapak yang tidak
dikenal itu mengizinkan saya duduk di atas cidomo, bergantian dengan teman baru
saya, Zakaria Dimyati. Kami bergantian mengambil kenangan manis bersama bapak
tua. Senyum kami terkembang tak terkata. Sedikit diskusi dengan pemilik cidomo
tersebut. Terasa pahit bagi saya secara pribadi.
“Rute perjalanan kita
ke mana saja, Pak?” ujar saya setelah memperkenalkan diri seorang pelancong
dari Aceh dan Zakaria dari Bogor. Bapak itu menyebutkan seputaran Mandar,
perkampungan penduduk, sekolah maupun pasar yang sudah bisa ditebak saya tidak
mengetahui letaknya. Penumpang cidomo bisa beragam; anak-anak ke sekolah, para
ibu ke pasar, atau penumpang lain dalam jarak yang sudah disebutkan di atas.
Saya beranikan diri
bertanya tentang kelumrahan seorang penumpang sebelum menggunakan jasa cidomo, “Berapa
ongkos sekali jalan cidomo kita ini, Pak?”
“Dua ribu saja,” jawab
Bapak itu dengan senyum penuh makna. Saya terkejut. Benar-benar shock. Saya menetap di salah satu daerah
dengan kebutuhan hidup tidak akan terpenuhi dengan angka 2 dengan tiga nol di
belakangnya tersebut. Di Aceh, Rp. 2000,00. hanya
 bisa ditukar dengan sebungkus
kerupuk saja.
“Ke mana saja itu,
Pak?” rasa penasaran saya tidak bisa dibendung.
“Seputara Mandar ini,”
artinya? Mau ke mana saja di Mandar tetap dua ribu? Serius? Kasihan sekali si
kuda ngos-ngosan diajak bertarung melawan panas dan dingin di udara tak tentu. Kuda
tidak butuh bensin seperti kendaraan bermotor namun makhuk itu perlu
mengonsumsi makanan bergizi sebelum kembali berlabuh di atas aspal beriringan
dengan kendaraan canggih.
“Dalam sehari
kira-kira berapa penghasilan kita, Pak?”
“Bisa 20 bisa 50,”
Cuma segitu? Belakangan
saya baru mengetahui nominal yang disebutkan Bapak cidomo tersebut masuk dalam
takaran memenuhi kebutuhan sehari-hari di sana. Segala kebutuhan rumah tangga
tergolong murah dan mampu ditutupi
oleh penghasilan seorang pemilik cidomo sebagai mata pencaharian mereka.
Mencari penumpang juga
tak jauh beda dengan mencari jarum dalam beras. Banyaknya cidomo makin
mengecilnya kemungkinan mendapatkan penumpang. Rasa lelah seharian menarik
cidomo terobati dengan tercukupi kehidupan keluarga. Si Kuda yang tidak mengetahui
apapun hanya bisa berlari membawa penumpang menuju tempat tujuan.

Susahnya saya, terasa
tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan susahnya Bapak itu, dan pemilik cidomo
lainnya. Saya patut bersyukur bisa berkelana sampai keliling Lombok yang
jaraknya entah berapa kilometer dari Aceh. Keindahan provinsi kepulauan negeri
ini penuh segudang harapan bahagia dari jiwa yang menari dari puncak Gunung
Rinjani sampai Pantai Senggigi. Siapa tahu di lain waktu saya bisa kembali ke
sini! 
Pelabuhan Balohan, Mandar @bairuindra 
Bapak dengan cidomo, Mandar @bairuindra 

 Saya dan Bapak pemilik cidomo, Mandar @bairuindra
Zakaria Dimyati bersama Bapak pemilik cidomo, Mandar @bairuindra 

 Kami bersama Bapak dan cidomonya, Mandar @bairuindra

Mari kita mencari nafkah, Mandar @bairuindra
Categories
Uncategorized

Mengejar Sunrise, Menanti Sunset di Kepulauan Lombok

Sebuah keberuntungan
bisa datang dari mana saja. Belum lama ini saya berkunjung ke salah satu pulau
yang sedang dipamerkan menjadi salah satu alternatif wisata bahari di bagian
timur Indonesia. Kepulauan Lombok memang belum sefenomenal Bali yang sudah dikenal
secara global, namun para wisatawan domestik maupun mancanegara sudah berpaling
ke Nusa Tenggara Barat ini, terutama pada puncak Rinjani, tepi pantai Senggigi
maupun anak pulau Gili Terawangan. Sayangnya, saya hanya sampai ke Rinjani dan
Senggigi.
Perjalanan dalam jarak
sangat jauh bagi saya secara pribadi. Jarak Banda Aceh menuju Jakarta saja
ditempuh dalam waktu 2 jam. Jarak dari Jakarta ke Lombok juga ditempuh dalam
waktu 2 jam perjalanan udara. Karena saya “dibawa” orang dan tidak ada
keterangan secara gamblang berapa biaya perjalanan ini, saya memutuskan mencari
tahu harga tiket pulang pergi seandainya saya berangkat dengan biaya sendiri
dari Bandara Sultan Iskandar Muda menuju Bandara Praya setelah transit dua kali
di Bandara Kualanamu dan Bandara Soekarno-Hatta. Secara kasar, biaya perjalanan
ini mencapai lebih kurang 5 juta dengan menggunakan pesawat kelas ekonomi yang
sering dikomplain keprofesionalannya ini. Saya membenarkan anggapan tersebut, selain
transit juga mengalami delay yang
memakan waktu lama.
Puncak Rinjani
merupakan salah satu gunung yang diidam-idamkan para pendaki. Karena dalam
agenda kami tidak mendaki gunung tersebut, saya cukup berpuas diri dengan
menikmati lembah Rinjani saja di dataran dingin Sembalun. Daerah Sembalun ini
merupakan salah satu daerah di kepulauan yang dikenal dengan ribuan masjid ini
sebagai daerah basis kekuatan Islam. Benar saja, di mana-mana saya mendapatkan
perempuan mengenakan penutup kepala, sama halnya dengan di Aceh.
Berangkat dari lembah
Rinjani yang dingin, kami menuju ke daerah Mandar, masih di daerah Lombok
Timur. Menikmati Mandar yang berada di pesisir membuat saya terasa sedang
berada di daerah sendiri. Mandar menyisakan perpaduan antara kehidupan modern
dan tradisional. Di satu sisi masyarakat masih mengamalkan Islam dengan
sebenarnya, dalam arti hanya penampilan luarnya saja, di sisi lain mereka
bahkan mengabaikan panggilan ibadah lima waktu padahal rumahnya sangat dekat
sekali dengan masjid.
Pagi hari di Mandar
tidak sedingin di Sembalun. Mungkin saja, karena cuaca sedang memihak, kami
bergegas menuju Pelabuhan Balohan untuk mengejar matahari terbit. Pelabuhan di
Mandar ini merupakan salah satu pelabuhan besar bagi nelayan setempat. Matahari
yang merangkak cepat di antara peluh pekerja keras yang baru pulang melaut
dengan hasil tanggapan harga jutaan rupiah. Pemandangan yang biasa barangkali
bagi saya yang hidup dilingkungan seperti ini. Namun perbedaan yang mencolok,
para perempuan ikut menanti nelayan pulang melaut untuk mendapatkan ikan-ikan
kecil yang kemudian akan dijadikan ikan asin. Para nelayan memang menjaring
ikan-ikan kecil untuk dijual kepada perempuan Mandar ini.
Sunrise di Mandar tetap sama ya? Saya pikir beda tempat akan berbeda penampilan
matahari terbit ini. Matahari bulat naik perlahan menuju puncak tertinggi. Hiruk-pikuk
aktivitas di Mandar tetap meriah. Mereka sudah terbiasa dengan matahari yang
mengintip kegiatan melaut ini. Sendainya bisa saya gambarkan, barangkali saya
akan membuat bulatan besar lantas menggaris senyum pada bulatan tersebut. Begitulah.
Matahari yang sama dengan matahari yang membuat kulit saya gelap di Aceh.

Dari Mandar,
meninggalkan sunrise yang terlebih
dahulu meninggalkan jejaknya, kami berangkat ke daerah Lombok Barat, menuju
Mataram, lalu ke Senggigi yang megah. Perjalanan ini memakan waktu lebih kurang
2 jam lebih.
Senggigi, salah satu
tujuan wisata di kepulauan ini. Senggigi terletak dalam jarak yang cukup dekat
dengan ibu kota provinsi NTB. Sepanjang jalan menuju Senggigi sudah berdiri
penginapan, diskotik maupun café-café dengan tata hias yang menarik. Pemandangan
ini akan kita temui sampai ke bibir pantai Senggigi. Kelihatannya, pemerintah
daerah setempat sudah mensiasati daerah ini sebagai tujuan wisata. Karena saya
berangkat dalam rombongan yang sudah dibiayai, biaya penginapan pun tidak saya
ketahui dengan jelas. Paling tidak akan terjangkau dengan kantong pelancong.
Menanti sunset di Senggigi menjadi topik yang
menarik. Sebenarnya, matahari terbenam di mana-mana tetap sama. Kami sampai di
Senggigi sekitar pukul 5 lebih beberapa menit. Perbedaan waktu yang cukup
signifikan bagi saya sendiri. Saya masih tetap ngotot menggunakan waktu Aceh
padahal selang waktu dengan Lombok kurang lebih 2 jam. Menanti matahari
terbenam selalu menyisakan kenangan tak terhingga bagi saya.
Senggigi yang
menghadap ke laut lepas tidak hanya menampilkan lukisan alam lautan lepas saja.
Di depan mata memandang, Pulau Bali membentuk segitiga. Inilah yang membuat
menarik pandangan mata. Matahari menukik di atas pulau yang digandrungi banyak
wisatawan. Perlahan-lahan matahari membawa harapan bahagia dan duka pada sebuah
harapan. Di atas pulau Bali – entah apa yang sedang terjadi di sana – matahari membawa
serta bongkahan keemasan. Walaupun di hari saya ke sana sedikit mendung, tetapi
tidak tertutup keinginan kami untuk menikmati terbenamnya matahari di Pulau
Lombok ini. Para wisatawan mancanegara dengan gagahnya berjemur hanya dengan
mengenakan underwear saja, sambil
membaca sebuah buku. Tentu saja, pemandangan seperti itu tidak akan pernah saya
dapatkan di Aceh yang memberlakukan Syariat Islam.

Lombok, pulau yang
sedang menanjak masa remaja ini akan berbenah dalam rangka menciptakan harmoni
terstruktur akan ranah pariwisata yang mendatangkan devisa tidak sedikit. Anda
tertarik? Silahkan berkunjung dan dinikmati suguhan menarik selama sana!