Categories
Uncategorized

Pesona Seribu Masjid di Lombok, dari Sembalun ke Senggigi

“Kita berhenti salat Jumat di
masjid dekat sini,” ujar pemandu jalan kami di saat matahari seakan enggan
membuka mata, di antara dingin hampir membeku pada lembah Sembalun. Mobil yang
membawa kami masuk ke perkarangan masjid yang megah. Masjid Ittihadul Islam di Sembalun
Timba Gading, salah satu pesona seribu masjid di Pulau Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Bangunannya tampak berbeda tetapi memiliki ciri khas yang
kuat dengan menara tinggi.

Pesona alam Lombok.

Saya khusyuk meminta ‘sesuatu’ dan memohon akan berkah
berlimpah sehingga bisa sampai ke sini. Tentu berbeda dengan apa yang saya
rasa; suara orang mengaji, penuhnya masjid ini, cara khatib menyampaikan
khutbah, cara imam melantunkan ayat-ayat sepanjang salat Jumat 2 rakaat, dan
doa-doa usai salat yang memiliki intonasi berbeda dengan cara imam Aceh
membacanya. Saya menyelami. Saya meresapi perbedaan. Saya juga merinding dalam
dingin yang belum usai meskipun wudhu’
telah kering.
Salah satu masjid di Sembalun.
Syukur pada langkah yang telah sampai ke tanah basah ini.
Semalam, kami baru sampai ke
lembah Sembalun, di mana Gunung Rinjani dengan gagah perkasa menggenapkan
pesona bumi ini. Tak terkira pesona saat di pagi harinya saya melihat aktivitas
warga yang padat, menyoal hidup seperti biasa dan adalah hal yang unik dari
segala pandangan tentang wanita bercakar di mana-mana. Oh, beginilah yang saya rasa
tentang ketentraman. Saya merasa aura keAcehan yang kental meskipun saya tidak
sedang berada di bumi lahir sendiri. Islam yang begitu kental dan kuat di
lingkungan ini, saya rasa sampai ke pori-pori di sepanjang jalan lembah
Sembalun. Pikiran yang sebelumnya mengacu kepada masyarakat yang tidak seperti
itu, telah lenyap seketika.
“Sembalun salah satu wisata
Islami yang wajib kamu kunjungi,” sebut Dian Mulyadi, seorang yang memudahkan
langkah saya ke Lombok. “Saya dengar, masyarakat di Sembalun sangat kuat sekali
memegang teguh ajaran Islam. Wajar sih,
wanita di sini rata-rata pakai cadar karena itu bagian dari pemahaman mereka!”
Puncak Gunung Rinjani.
Sembalun dan lembahnya yang kokoh
telah kami tinggalkan di belakang. Segenap kenangan dengannya mungkin akan
terburai menjadi partikel-partikel rindu di masa mendatang. Salat Jumat yang
khusyuk di negeri terasing membawa kenikmatan tersendiri bagi saya. Saya merasa
nyaman. Saya terlindungi. Saya aman. Karena di setiap langkah adalah muslim
yang saya temui. Tiap sudut yang saya lihat adalah mereka yang tergopoh
menghampiri masjid.
“Eh, di mana-mana ada masjid ya?”
ujar saya saat kami telah menapaki jalan berliku dari Sembalun menuju Mandar.
“Itulah sebabnya Lombok dijuluki Pulau Seribu Masjid!” ujar pemandu
jalan kami yang duduk di sebelah sopir.
“Seribu Masjid? Artinya banyak
masjid ya?” saya bimbang dan bingung dengan pertanyaan itu. Lantas, jawaban
dari pemandu jalan kami terjawab begitu persekian meter kami melewati
bangunan-bangunan indah, yaitu masjid-masjid yang dipenuhi oleh orang-orang
beribadah. Saya terharu, saya takjub, saya ingin merangkul masjid-masjid di
sini karena segalanya tampak pasti bagi saya. Seperti keseharian saya di negeri sendiri nan jauh di ujung Sumatera.
“Sama dengan Aceh ya,” ujar saya
sangau.
“Aceh kan Kota Serambi Mekkah, Bai. Nah, Lombok Kota Seribu Masjid!” ujar
Dian Mulyadi dengan mantap.
“Perpaduan yang pas ya, Mas!”
Tak lupa, kami berhenti di tepi
jalan berliku dengan pemandangan gunung menjulang tinggi, untuk membeli stoberi
seharga Rp. 5000 perbungkus. Saya
menikmati stroberi itu dengan nikmat sembari Zakaria Dimyati, teman sesama
perjalanan kami, memotret pemandangan alam dengan kameranya.
Penjual stroberi pinggir jalan.
Perjalanan yang panjang menuju
Mandar sampai pada sore hari. Di sini juga terdapat masjid di mana-mana. Takjub
saya begitu mengelora saat kami memasuki salah satu masjid untuk salat ashar –
saya tidak sempat memotret masjid di tengah kota Mandar ini. Kami menunaikan
kembali salat di Pulau Seribu Masjid ini. Lepas itu, baru menjejaki Kota Mandar
yang terpesona dengan cidomo di mana-mana. Saya dan Zakaria sempat numpang foto pada salah satu cidomo yang
lewat. Dari sini pula kami melihat pemandangan yang tak bisa dinafikan yaitu Pelabuhan
Kayangan, Lombok. Kapal-kapal nelayan membentuk panorama teramat indah untuk
dilewati.
Cidomo di Lombok.

Kapal nelayan.
Tiba di malam yang sepi, tidak
sedingin di Sembalun, kami mencicipi hindangan yang tak kalah lezatnya. Saya
lupa sebutan untuk menu makanan yang kami santap. Ada ikan yang dimasak dengan
rempah khas Lombok. Sayur juga demikian. Dan tahu tempe dengan kecap pedas. Lidah
saya yang semula mati rasa karena belum menyantap makanan, menguatkan diri
untuk segera mengisi perut dengan lahap. Saya sudah tidak bisa menjabarkan
bagaimana rasanya menu makanan yang kami santap di Juni 2014 itu. Rasanya pas
di lidah saya tetapi tidak untuk perut yang terlalu benci dengan rasa pedas.
Menu yang lezat cocok untuk buka puasa.
Pagi dari itu, kami tergopoh ke
Pelabuhan Mandar untuk menyaksikan aktivitas nelayan dan wanita-wanita menunggu
ikan. Sekali lagi, dalam radius beberapa meter adalah masjid. Di mana-mana
adalah masjid. Bagaimana orang beribadah dengan banyaknya masjid. Saya lalu
membayangkan seperti di Aceh, tiap kampung ada masjid tersendiri, lalu di sini
demikian juga. Sepanjang pandangan sebelum sampai ke bau amis dan matahari
terbit, saya tak jera memanjatkan puji kepada masjid-masjid yang berdiri kokoh
dengan ciri khas yang sama. Bentuknya mirip-mirip hanya berbeda ukuran pada
lebar dan tinggi.
Pelabuhan Mandar yang padat. Nelayan
mendorong baki ikan ke pinggir. Wanita-wanita dengan riuh menanti ikan kecil. Sembari
menunggu para nelayan memilah ikan, wanita-wanita ini bercakap-cakap sambil
memandang ke lautan lepas. Dan gunung yang menjadi paku dalam menyeimbangkan
daratan dan lautan.
Nelayan pulang melaut.
Di situ, saya tidak menemui
wanita-wanita dengan kepala terbuka. Di mana-mana adalah wanita dengan kerudung
meskipun tidak memakai cadar seperti wanita di Sembalun. Saya tersenyum getir,
memadu rindu kepada kampung halaman yang baru saya tinggal beberapa hari. Seakan
tidak ada yang membedakan antara wanita Lombok dan Aceh yang selalu terbalut
kerudung dengan rapi. Ternyata, hati saya menyebut, Lombok bukan saja Pulau
Seribu Masjid, tetapi Pulau Seribu Jilbab!
Wanita berjilbab menunggu ikan.
Dan, begitu saja kisah itu
mengalir tanpa henti. Keterasingan yang saya rasa telah sirna dengan apa yang
saya alami. Pesona Pulau Seribu Masjid ini memang tidak lekang dari waktu ke
waktu. Kenangan yang hinggap begitu saja menjadi ukiran kebahagiaan dari masa
ke masa. Di akhir persinggahan, kami menepi ke kota metropolitan, Mataram, lalu
menikmati senja di Senggigi. Lagi-lagi, sepanjang jalan adalah masjid dengan
keelokan dan keindahan tersendiri. Sayang sekali, rencana kami tidak sempat
menepi ke salah satu masjid di tengah kota ini.
Keindahan sunset di Senggigi.
Jika, pada saat ini saya kembali ke kota dengan Pesona Seribu
Masjid ini, saya akan menghabiskan masa dalam bulan Ramadhan untuk mengunjungi
masjid-masjid terindah di sini. Meski, hanya sekejap mata saya ke Lombok tetapi
dari sana saya menyelami apa yang semestinya ada dalam diri saya sebagai
seorang muslim. Ketenangan yang tak terkira karena di mana-mana ada masjid. Toh, pada segala kondisi setiap muslim
akan mencari tempat perlindungan yaitu masjid. Pesona masjid di Lombok menjadi
panorama yang sulit saya lupakan. Di sana pula doa-doa yang entah bagaimana
wujudnya selalu terbentuk dari hati yang tulus, tak lupa bahkan selalu terujar
doa-doa keselamatan dan kebahagiaan kedua orang tua!
Ramadhan di Pulau Seribu Masjid,
apa kabarnya? Saya merasakan satu hal yang pasti, bulan puasa di Lombok tak
akan berbeda dengan bulan puasa di Aceh. Kota Seribu Masjid dengan Kota Serambi
Mekkah. Dua persamaan yang pasti karena tiap malam masjid-masjid akan
‘memanggil’ umat Islam untuk bergegas ke sana. Bahkan, suara azan tak ubahnya
nyanyian rindu yang bertalu-talu, dipaku pada dasar bumi, dari mana-mana,
didendangkan dengan lantang dan membahana. Saya dapat menebak bagaimana suasana
tarawih di Lombok, di masjid-masjid yang persekian meter bertemu satu dengan
yang lain dapat saling tatap. Seandainya masjid itu bisa bercakap-cakap dan
bersalaman, mungkin mereka akan bersilaturahmi pada Idul Fitri nanti, saking
saling melihat dari satu menara ke menara lain!
Dan kini, waktu yang tepat untuk
melepas rindu di masjid-masjid terindah di Pulau Seribu Masjid ini. Ramadhan
yang damai, pesona yang tak bisa diubah adalah meletakkan lelah di dalam masjid
sambil berzikir dan bermunajat kepada Ilahi.
Kembali kepada jika, seandainya raga
saya ditepikan kembali ke Lombok, maka saya akan menjadi tamu pada
masjid-masjid ini.
Masjid Hubbul Wathan Islamic Center, Mataram
Masjid ini tidak sempat saya
kunjungi karena keterbatasan waktu. Namun saat bulan Ramadhan kali ini Masjid Hubbul
Wathan Islamic Center tidak hanya indah dengan
relif bangunan saja tetapi ramai oleh mereka yang bermunajat kepada Ilahi. Bisa dipastikan bagaimana
padatnya masjid ini dalam bulan puasa dengan hampir semua sektor terletak di
kompleks masjid. Sebut saja saranan pendidikan, museum, wisata religi,
perekonomian bahkan tempat olahraga juga terdapat pada masjid yang pernah
menjadi tuan rumah MTQ Nasional tahun 2016.
Terbayang kan bagaimana megahnya Masjid Hubbul Wathan Islamic
Center di tengah-tengah kota Mataram ini? Semarak Ramadhan di masjid ini tak
hanya berupa ramainya umat yang datang tetapi terdapat keistimewaan lain. Lantunan
ayat-ayat al-Quran terasa begitu syahdu saat imam-imam dari Timur Tengah yang
menjadi imam salat tarawih bulan puasa ini. Berdasarkan data dari tempo.co
(27/05/2017), imam-imam Timur Tengah yang menjadi imam tarawih antara lain Syekh
Ezzat El Sayyed Rashid dari Mesir, Prof Dr Syeikh Khalid Barakat dari Lebanon, Syeikh
Mouad Douaik dari Maroko, dan Syeikh Ahmad Jalal Abdullah Yahya dari Yordania.
Islamic Center, Mataram – Photo by Harry Hermanan.
Kembali ke jika, maka saya akan berbaur dengan alunan syahdu para ulama besar
tersebut. Lantunan ayat-ayat al-Quran dari para imam ini tidak hanya
menggetarkan hati, tetapi memberikan kesejukan selaman Ramadhan di tanah
Mataram. Dengan apa yang didengar, menjadi keharusan tersendiri bahwa keindahan
tiada tara akan dimulai dari masjid ini. Doa-doa yang dipanjatkan tentu berbeda
saat berada di negeri sendiri. Doa terindah dari sini berlaku tidak hanya untuk
keselamatan diri tetapi juga sebagai rasa syukur pada keindahan demi keindahan
dalam hidup.
Pusat kota yang teduh dengan
masjid indah, pula diterangi oleh 1.000 lampion yang disumbangkan oleh Persatuaan
Islam Tionghoa Indonesia NTB dan Paguyuban Marga Tionghoa Indonesia NTB. Saya bisa
merasakan bagaimana meriahnya Kota Mataram selama Ramadhan tahun ini!
Masjid Agung
Al-Mujahidin Selong, Lombok Timur
Sebelum, Masjid Hubbul Wathan Islamic Center berdiri, Masjid Agung Al-Mujahidin
Selong di Lombok Timur merupakan masjid terindah di Lombok. Masjid ini berjarak
lebih kurang satu setengah jam perjalanan darat dari Kota Mataram. Coba lihat
bentuk bangunan dan warna cat yang cerah. Dapat dipastikan bahwa masjid ini
menjadi salah satu bagian penting dari keislaman di Nusa Tenggara Barat. Kubah-kubah
masjid ini tampak begitu indah ketika terkena sinar matahari senja hari. Hal ini
tentu saja sangat menarik di bulan Ramadhan, di mana segenap keindahan bisa
melepas rindu kepada Sang Pencipta.
Masjid Agung Selong – Photo by diditpharm.blogspot.com
Saya akan berkunjung ke sana, jika, bulan Ramadhan ini ada di pulau
ini. Masjid ini tidak hanya menarik dan tidak pula terlupa karena Islamic
Center telah berdiri. Pusat kegiatan keislaman selama Ramadhan juga masih
dilakukan di masjid ini dalam rangka menyemarakkan bulan puasa. Duduk di dalam
masjid indah ini sambil memohon tentang apa saja kepada-Nya tentu saja sebuah
rasa syukur teramat dalam. Tidak bisa saya bayangkan bagaimana
keindahan-keindahan terpancar dari segenap sisi di dalam masjid ini.
Masjid Bayan Beleq, Desa Bayan, Lombok Utara
Eksotik, begitu kalimat yang
tepat ketika saya, jika, menginjakkan
kaki ke halaman Masjid Bayan Beleq, Desa Bayan di Lombok Utara. Bagaimana tidak,
pesona yang hadir adalah kisah beradab-adab silam dengan kitab kuning sebagai
catatan. Masjid ini adalah masjid tertua di Lombok dengan jarak tempuh sekitar
dua jam perjalanan dari Kota Mataram. Masjid ini juga menjadi saksi bisu
masuknya Islam ke Pulau Lombok. Bentuk masjid berupa bangunan Suku Sasak dan
tampak sangat sederhana tanpa polesan arsitektur modern. Di dalam masjid ini
juga terdapat makam penyebar agama Islam pertama di Lombok, Gaus Adbul Rozak.
Masjid Bayan Lombok – Photo by sasexplorer.blogspot.com
Lantas, jika, ke sini dalam suasana Ramadhan adalah hal termenarik dan
tersyahdu di antara pohon-pohon dan masyarakat yang masih alami. Tentu saja
bermunajat di masjid tertua dengan segala kelemahan yang dimilikinya termasuk
salah satu bentuk syukur yang tak terperi. Berada di dalam masjid ini saat
bulan Ramadhan seakan menarik kembali memori bagaimana penyebaran Islam di
pulau ini. Ciri khas yang terkuat tentang lingkungan yang tak mengubah diri dari waktu ke waktu meskipun zaman telah begitu modern.
Barangkali, tiga masjid ini cukup
menggenapkan keindahan Ramadhan selama di Lombok. Tiga masjid, tiga cerita dan
tiga sejarah dalam membentuk Pulau
Seribu Masjid
, sampai membahana ke mana-mana!
***
Categories
Uncategorized

Masjid Besar Al-Hidayah di Tepian Pura Ulun Danu Bratan Bali

masjid di bali
Masjid Besar Al-Hidayah di Bedugul, Bali – Photo by Bai Ruindra
Masjid di Bali? Barangkali,
ini tanda tanya yang besar sekali dalam diri saya. Bali dikenal sebagai
negerinya wisata, mayoritas beragama Hindu dan tentu saja ‘kebebasan’ menurut
definisi masing-masing. Apa yang saya pikirkan kemudian berubah total saat
menemukan masjid-masjid
di Bali
. Masjid Sudirman di Denpasar, Bali, menjadi masjid pertama yang
membuat saya kagum. Belum pernah saya merinding melihat masjid yang ramai dan
sesak di waktu salat Jumat, 09 September 2016. Alasannya tentu saja karena ini
Bali, Kawan. Kamu tahu sendiri apa, mengapa dan bagaimana rupanya Bali; dari
literasi bahkan dari kunjungan kamu sendiri.

Kagum
dan bulu kuduk kembali berdiri di keesokan harinya, di tepian Danau Bratan,
Bedugul, udara yang sejuk, angin menyalak-nyalak, jalanan padat menanjak, dan
wisatawan yang ramai, saya berdiri di depan salah satu masjid yang bangunannya
sungguh indah. Bersama Sandi dan Pandu, kami menaiki anak-anak tangga untuk
mencapai masjid ini. Masjid ini berada lebih tinggi dari bangunan lain, saat
memasukinya seperti meninggalkan bekas pada bangunan di samping kiri dan kanan.
Hempasan badan dan hentakan kaki yang melankolis begitu sampai di atas sana. Bangunan
bercita rasa Timur Tengah berdiri kokoh dengan menara khas dan menghadap ke
danau kebanggaan masyarakat Bedugul.
Masjid
Besar Al-Hidayah di tepian Danau Bratan, di antara ramainya wisatawan yang
melihat pura dan candi di Pura
Ulun Danu Bratan, di ikon uang Rp.50.000
dengan segenap keelokan dan
keangkuhannya. Masjid ini begitu gagah dan kokohnya. Keindahannya berasa negeri
padang pasir. Warna keemasan yang menawan. Kaligrafi yang indah. Kesejukan yang
terasa menusuk sampai ke tulang rusuk yang enggan saya jabarkan kembali.
Ke
mana-mana, adalah masjid tempat untuk kembali bagi kami seorang muslim. Kebetulan,
kami sampai di Danau Bratan pada 10 September 2016 di siang hari. Namun, jika
pun bukan pada siang hari – waktu salat – kami pun akan menyambangi rumah Ilahi
ini untuk memanjatkan syukur telah sampai ke Pulau Dewata. Hawa yang terasa
begitu syahdu, saya seperti terasing di negeri yang menjelaskan keislaman
secara abstrak. Terasing ini karena sepi di dalam masjid padahal azan baru saja
dikumandang. Sepi yang lain karena inilah ‘rumah’ untuk kami bersenang-senang,
beristirahat, mengadu dan meminta pertolongan jika kaki salah melangkah.

Saya
dan Sandi mendapat kesempatan untuk salat berjamaah, sementara Pandu menjaga
barang-barang bawaan kami. Salat berjamaah yang diisi satu saf saja ini pun
terasa khidmat dan khusyuk. Pikiran saya mengangkasa dan seakan-akan telah
kosong untuk kembali ke bumi. Wudhu yang telah dilakukan dengan air
sedingin es menambah kesejukan hati. Makna yang tersirat dari setiap doa yang
saya panjatkan seperti benar telah dikabulkan pada saat itu juga.

Bersantai
sejenak di saung yang menghadap ke Danau Bratan menimbulkan kesan lebih
mendalam. Sambil menunggu Pandu salat, kami mengitari masjid dan melihat-lihat
sana-sini. Di saung kecil tersebut, rombongan dari Makassar bercerita sambil
tertawa. Di pagar menghadap ke Danau Bratan, dua perempuan yang memakai cadar
saling bertukar foto dan selfie. Saya dan Sandi juga tak henti-henti
memotret keindahan dari atas sini. Boat yang melaju kencang di Danau
Bratan, memecah air danau seperti Tongkat Musa.
Perpaduan
yang nyata sekali di depan saya. Di bawah sana, orang-orang bersenang-senang
dengan keindahan alam Bali. Di atas ini, siapa saja yang terpanggil, dengan
segenap imannya datang menunaikan kewajiban dan berdoa untuk keselamatan.

Masjid
Besar Al-Hidayah terletak persis di tepian Danau Bratan. Kamu yang baru pertama
sekali ke sini dan tidak menggunakan guide pasti akan kebingunan. Namun,
masjid ini gampang sekali untuk ditemukan. Dengan jarak kira-kira
setengah kilometer dari pintu masuk ke Pura Ulun Danu Bratan, kamu bisa melihat
menara masjid di atas ketinggian sebelah kanan. Hal yang paling mudah kamu
lakukan adalah bertanya kepada orang-orang di sekitar agar dapat menemukan
pintu masuk ke dalam masjid.
Kamu
bisa bersantai sejenak di Masjid Besar Al-Hidayah sebelum memulai penjajakan
wisata di Pura Ulun Danu Bratan. Di lokasi masjid juga terdapat kamar mandi dan
toilet. Saung yang menghadap ke danau juga dapat digunakan sebagai tempat
berleha-leha.

Bali
dan semua yang dimilikinya telah mengantarkan saya kepada rasa takjub dan
kagum. Bicara Bali, tidak selamanya tentang sisi negatif. Satu saja kata kunci,
di manapun dan kapanpun, hanya kita sendiri yang memberi nilai negatif dan
positif!