Categories
Uncategorized

Sebelum 40, Guru Blogger Inspiratif Telah Saya Genggam

Inspirasi datang dari mana saja. Saya pikir, memulai sesuatu yang digemari adalah hal yang wajar selama masih berada di batas kemampuan. Saat melihat anak-anak antusias mendengar cerita di kelas yang sesekali ribut, saat itu pula cerita saya menjadi lebih bernyawa. Begitu mereka bertanya tentang makna tersembunyi dari perkataan tersurat, saya dengan bangga menjelaskannya.

Maka, di sinilah kedudukan saya sebagai seorang guru dan blogger. Dua profesi yang menghadirkan kesejukan dan rasa lelah tak terperi. Namun, saya merasa nyaman dengan kondisi yang memungkinkan cerita-cerita lain hadir dengan sendirinya. Meskipun saya tidak selalu bercerita tentang siswa yang ribut di dalam kelas, siswa yang suka menganggu teman belajar, siswa yang sulit menerima pelajaran maupun siswa yang disebut bandel, saya tetap bercerita karena itulah jiwa yang membuat saya ada dalam dunia blogging.
Langkah
maju ke depan dan bicara tentang angan-angan dan pencapaian, saya telah
menghunuskan pedang ke jantung seperti Ji Eun Tak menusuk Kim Tan si Goblin
tampan. Tidak mati dan juga tidak sakit. Tetapi, malah kekuatan yang saya
dapatkan untuk ‘memamerkan’ yang terbaik dalam bentuk usaha yang nyata.
Saya
berdiri di depan kelas sebagai seorang guru, teriak sekuat tenaga dalam
mengajar, memberikan tugas sampai siswa bosan, dan juga bercerita tentang masa
depan yang akan segera mereka lewati. Di sisi lain, saya bercerita dari
kacamata seorang blogger yang jiwanya
terbang bebas, lalu menghentakkan peluru ke ulu hati mereka yang mendengar. Pun
demikian, cerita dari satu perjalanan ke perjalanan lain menjadi lebih
menggugah daripada pelajaran itu sendiri di hari yang sama.
Saya
bercerita tentang Bali, mereka terpana dengan segenap keseksian yang ada di
sana. Cerita saya beralih ke Bangkok, mereka memasang aba-aba pada sebuah tanya
tentang negeri tetangga yang terkenal dengan film hantu dan kehidupan glamor
transgender. Padatnya Jakarta kemudian menjadi cerita lain tentang perjalanan
‘gratis’ seorang guru blogger.


Tiba masa
saya mengeluarkan smartphone keluaran
terbaru dari dalam saku celana, mereka kerap bertanya tipe apa, berapa besar
Random Access Memory (RAM), bagaimana hasil foto maupun ketahanan dalam bermain
game. Di akhir cerita nanti, mereka
akan bertanya dengan lugas, “Bagaimana Bapak mendapatkan smartphone gratis itu?”
“Dari
menulis!” tegas dan penuh semangat saya menjawab pertanyaan itu. Tiap kali ada
yang tanya, tiap kali ada yang ingin tahu, tiap kali ada yang ingin belajar
bagaimana mendapatkan ‘sesuatu’ dari menulis, tak enggan saya membagikannya. Saya
bangga menyebut diri sebagai seorang yang menyukai menulis, terharu mengajarkan
menulis, dan terkenang dalam memberikan catatan penting, serta bercerita soal
pengalaman mendapatkan hadiah dalam jumlah besar dari menulis.
Bagi
mereka, itu adalah inspirasi tiada henti. Di usia yang masih belia, mereka
tentu memiliki angan-angan, khayalan tingkat tinggi maupun keinginan pada
segenap harapan yang belum pasti. Saya ingin membuka jalan – untuk mereka yang
berdedikasi tinggi – bahwa dengan menulis saya telah menjadi ‘sesuatu’ yang
menarik, terutama bagi diri saya sendiri. Saya kerap berujar, “Tidak mungkin
seorang guru honorer naik pesawat terbang!”
Benar tidak
mungkin jika ingin mengalkulasikan penghasilan bulanan yang hanya mampu
menutupi sabun mandi. Saya juga tidak mau lagi mengeluh nasib sebagai guru
honorer karena posisi ini telah membuat saya tegar, posisi di mana juga saya
melahirkan karya-karya yang dibaca banyak orang dan posisi di mana saya dengan
bangga menyebut, “Saya guru blogger!”
Saya telah
membuktikan bahwa guru honorer yang selama ini dipandang sebelah mata bisa
berprestasi dalam hal yang digemari. Inspirasi yang saya hadirkan hanya secuil
dari pengalaman panjang penulis hebat lain, atau konten kreator lain yang terus
berkarya dalam ragam bentuk keahlian. Saya ingin dikenal sebagai seorang guru
yang menginspirasi, membawa perubahan, mengubah pola pikir dan memberikan
tantangan kepada siswa-siswa di sekolah agar berbenah.
“Ayo gali
keahlian!” saya terus memotivasi mereka dengan sebutan serupa. Saya kerap
membandingkan beberapa atlet profesional yang fokus sehingga mendapatkan hasil
dari jerih payah. Saya juga memberikan arahan kepada siswa yang gemar melakukan
ini itu agar meluruskan hobi tersebut menjadi sebuah ‘pekerjaan’nya kelak. Tiada
yang tidak mungkin asalkan usaha mereka sampai ke puncak tertinggi.
Dalam
‘paksaan’ di sela-sela pembelajaran berlangsung, saya mengajarkan mereka
menulis blog. Kisah ini tentu bermula
dari pertanyaan mereka sendiri, “Bagaimana menulis di blog, Pak?” atau “Bagaimana bisa jalan-jalan gratis, Pak?” atau
“Bagaimana mendapatkan smartphone
gratis, Pak?” dan seterusnya sampai saya membuka jalan kepada mereka.
Tidak ada
alasan khusus mengapa saya mengajarkan hal ini. Namun, kembali kepada apa yang
saya bisa, maka itu yang saya ajarkan. Tidak mungkin saya mengajarkan sepakbola
sedangkan bola tak pernah saya sentuh. Tidak mudah saya mengajarkan bela diri,
sedangkan sabuk terendah sekalipun tidak terikat di pinggang saya. Saya hanya
memiliki senjata paling ampuh, yaitu menulis!
Jalan yang
tidak mudah, berliku dan berlumpur tetapi harus saya lewati. Maka, ini pula
yang saya ‘kabari’ kepada mereka
sebagai kabar burung yang tidak sedap didengar. Saya terus memamerkan prestasi
dari menulis blog, baik itu berupa
hadiah lomba dalam bentuk smartphone
maupun notebook, serta perjalanan ke
negeri yang jauh dari pelosok Aceh.
Saya ingin
mereka percaya satu hal; usaha tidak
pernah menipu hasil
!
Sebelum 40
nanti, saya ingin menjadi seorang guru blogger
yang menginspirasi. Inspirasi ini setidaknya dirasakan oleh siswa-siswa di
sekolah. Bukan karena dikenal dengan jabatan sebagai guru honorer. Saya ingin
dikenang dan diingat sebagai guru yang berbeda, sebagai guru blogger!
Categories
Uncategorized

Guru Blogger yang Tak Enggan Selfie Bersama Siswa

Perkara Budi, telah
hilanglah filosofi Guru tanpa tanda jasa
yang selama ini membekas dalam benak kebanyakan orang. Tentu, berbagai alasan
selalu membenarkan sikap guru karena profesi ini yang mengantarkan engkau yang perkasa menjadi siapa; presiden, perdana menteri, dokter muda
berbakat, panglima tentara nan gagah, polisi yang rupawan, dan segala rupa
lainnya
.

Risma mayoret cantik yang sering saya jadikan model 
Budi yang terkapar
begitu saja dianggap tidak melanggar
hukum apa-apa karena guru tersalah dalam mendidik siswa.
Jika demikian persoalannya, didiklah
sendiri generasi muda yang engkau punya dengan semena-mena,
jika engkau
sanggup melakukannya. Budi yang telah tiada tanpa siapa-siapa karena terganjal
hukum perlindungan anak. Tetapi, jika anak yang ditampar karena bolos sekolah
tiap hari, guru tersalah akan hal itu.
Ingatlah engkau yang gagah perkasa; hanya anak-anak rangking 32 dari 32 siswa
yang sering ditampar guru karena tugas sekolah tak pernah jadi miliknya.

Lantas orang tua menuntut, berkoar-koar penuh duka, namun sudah engkau menguji kemampuan matematika
anakmu? Sudahkah engkau tahu dirinya bisa membaca dengan baik? Sudahkah engkau
melihat terakhir kali mereka mengerjakan tugas di malam hari? Sudahkah engkau
berpikir tentang mereka yang nilainya selalu rendah?
Guru tak pernah salah memberi nilai, Kawan! Kami memberi
si Gagah Rupawan itu nilai 96 untuk matematika karena dalam semenit telah
menyelesaikan soal Logaritma sulit. Kami memberi nilai 100 kepada si Cantik
Jelita karena dalam 3 menit mampu menyelesaikan soal Titik Berat yang rumit.
Dan, kami terpaksa mendongkrak nilai mereka
yang terkadang 5 x 5 saja tak mampu dihapalnya. Tetapi, kami tak pernah
sesumbar kepada dunia si Jahat Penggangu Wanita itu selalu satu jam selesaikan
soal 4 x 4 – 4 : 4!
Saya tak enggan diajak selfie
Budi guru honorer yang
malang. Saya tahu penderitaannya. Saya paham maksudnya. Saya tahu siapa
gerangan sampai dia memulai tindakan keras. Karena
saya juga guru honorer yang selalu terhimpit dengan ratapan anak tiri setiap
masuk ke dalam kelas. Si Congkak Mulutnya butuh perhatian dalam 2 jam
pelajaran; mulutnya tak pernah henti
berkicau bagai burung pipit yang hilang perawan.
Si Gaduh Gemuruh tak mau
mendengar ocehan saya karena mungkin dirinya telah paham seisi
buku, meski ulangan harian selalu bisa jawab benar paling banyak 2 soal. Namun,
berbeda dengan si Diam Menghanyutkan yang benar-benar hanyut dengan dirinya
sendiri dan juga hanyut dibawa ke nilai tertinggi tiap ujian usai.
Tahukah engkau saya akan diam seribu bahasa
ketika kaki melangkah ke luar kelas? Demikianlah tabiat guru, tidak sesumbar
penuh emosi dan selalu baik hati kepada semua siswanya. Dan kini, tentang saya,
guru honorer yang posisinya sama dengan Budi, dengan gaji tak seberapa untuk
ongkos jalan pun tak cukup. Tetapi saya adalah seseorang yang kerapkali menarik lengan siswa untuk swafoto.
Saya dekat dengan
siswa, sudah pasti. Saya ajak mereka swafoto, mereka riang gembira. Mereka ajak
saya swafoto, saya mau saja. Demikian saja, terus mengalir sampai saya lelah
untuk berhenti karena saya ingin, saya mau dan saya tidak bisa menolak
keinginan mereka. Meskipun si Congkok Mulutnya selalu ingin dijewer kupingnya,
saya tetap mau saat dia ajak swafoto. Walaupun si Gaduh Gemuruh tak pernah naik
nilainya karena abai tugas, juga tidak mau saya kecewakan hatinya saat meminta
swafoto.
Jika siswa ‘bunuh’ saya, siapa yang ajak selfie
mereka lagi?
Selfie bersama siswa.
Mungkin ini pertanyaan
klise sekali. Tetapi etika siswa yang
kini mengubah haluan ke langit tingkat tinggi, begitu sulit dijangkau dengan
tamparan kasar sekalipun. Maka saya pamer, saya rangkul, entah benar atau
tidak, tetapi itu membuat mereka merasa ada meskipun kadang pula saya membentak
di dalam kelas. Mereka gaduh saat mendengar pelajaran. Namun mereka akan terdiam
saat saya berbicara tentang masa depan, eloknya
hidup di saat dewasa nanti, dan cerita inspitarif sebagai blogger yang mana mereka tahu sendiri saya sering traveling.
Saat kini, segala rupa
guru disorot oleh mereka yang lebih ‘pintar’ maka saya membuat diri menjadi
‘bodoh’ dalam diam. Niscaya, nanti, suatu saat, mereka juga tersadar hal
penting selama di sekolah bukan hanya meminta guru muda untuk foto selfie saja.
Selfie memang bukan sebuah pembelajaran dalam kurikulum manapun. Namun tahukah engkau bahwa selain mata pelajaran,
terdapat nilai etika yang tersirat maupun tersurat. Saya percaya kepada guru
yang memukul siswa karena siswa wajib mendapatkannya; karena salah. Saya tahu posisi siswa yang gemar ‘bersenang-senang’
maka selfie menjadi ‘kedekatan’ saya
dengan mereka. Tiba suatu saat, mereka akan bertanya tentang cita-cita, masa
depan, maupun bagaimana mewarnai hidup agar selalu ‘tersenyum’ sepanjang waktu.
Pasti terjadi, mereka
tidak akan bertanya kepada guru yang enggan bersuka-cita dengan mereka. Maka,
saya bersenang hati berbagi kisah, pengalaman sebagai orang ‘lebih tua’ dan
juga mengarahkan ke mana tujuan dari hidup mereka; soal kuliah dan jurusan yang tepat.
Saya kerap bertanya,
apakah siswa membutuhkan kedekatan ini? Mungkin sebagian butuh, mungkin juga
tidak. Saya memberi meski tidak diterima sekalipun! 
Categories
Uncategorized

Guru Honor, Mereka yang Bodoh Tidak Beruntung

Begitu sebut pria setengah baya yang tidak kuketahui namanya. Aku diam dalam alunan lagu-lagu dangdut Aceh di perjalanan pulang dari Banda Aceh. Ingin sekali aku hantam mulut pria itu dengan pedang tertajam abad ini. Namun, aku tidak mampu berkata banyak. Aku juga tidak menaikkan ke permukaan bahwa diriku juga seorang guru honorer. Nanti, aku akan semakin terhina di matanya, aku akan disebut ‘mereka’ yang bodoh dan tidak beruntung, tidak seberuntung dirinya yang telah mengabdi puluhan tahun sebagai pegawai negeri sipil. Dan aku, tidak meratapi nasib karena ocehan rendahan dari dirinya yang menua dan berpendidikan tinggi. Bagiku, dia hanya bergurau atas dasar kebodohan dirinya sendiri yang belum kesampaian.
Pembagian hadiah lomba blog yang diselenggarakan untuk siswa kelas XII, lomba diadakan seadanya dan hadiah berupa buku-buku koleksi pribadi.
Tak sengaja, obrolan pria
setengah baya itu dengan temannya yang lama tak bertemu. Asap rokok mengepul ke
seluruh mobil yang kami kendarai. Santai sekali pria setengah baya
berpendidikan tinggi dengan status pegawai negeri ini membuat batuk kepada
balita di depan kami. Balita itu berkali-kali mengeluh hidungnya perih namun
tak peka juga pria setengah baya itu untuk iba di ego dalam dirinya. Aku menarik
masker putih dari dalam ransel di depan, kututup mulut dan hidung untuk tidak
terinfeksi penyakit dari pria setengah baya itu. Sakit hatinya boleh saja
kudengar kepada ‘mereka’ yang bodoh dalam status guru honorer.
Bermula dari sebuah tanya dari
temannya yang lebih muda, pria setengah baya itu mulai menggebu-gebu dalam
kenaifan hatinya. Tanya temannya, “Bang, tahun ini apakah tidak dibuka tes
CPNS?” tanya yang lumrah dan biasa saja – mungkin – karena temannya itu bekerja
di swasta dan pria setengah baya itu sebagai pegawai negeri sipil, dianggap
lebih paham isu ini.
Emosi meledak, asap rokok mengepul
ke seluruh mobil, pria setengah baya itu menjawab, “Kuota CPNS sudah diisi oleh
guru-guru honorer yang bodoh itu!”
“Bagaimana maksudnya itu, Bang?”
“Guru-guru bodoh itu minta
diangkat jadi CPNS, maka tak ada alokasi bagi mereka yang pintar baru lulus
kuliah ikus tes!”
“Mana bisa, Bang, mereka disebut
bodoh?”
“Jika tak bodoh mereka sudah
lulus CPNS waktu itu tes!”
Kan tes CPNS sudah tak dibuka tiap tahun, Bang!”
“Ya mereka bodoh kenapa tak lulus
waktu itu?”
Semburat emosi yang mendalam, oh,
bukan, semburat itu adalah sifat merendahkan dari nada, mata dan semua yang
kubaca dari pria setengah baya itu. Dadaku berdetak tak keruan. Aku mendekam
dalam amarah yang meledak ke mana-mana. Aku tak berhak disebut bodoh olehnya. Aku
tidak mau disebut tidak beruntung oleh dirinya yang sama sekali tidak
mengetahui apa yang kurasa dan kualami bahkan prestasi apa saja yang pernah
kuraih, di luar batas aku sebagai guru honorer yang bodoh menurutnya.
Perjalanan kami masih panjang untuk
sampai ke Meulaboh, Aceh Barat. Lima jam dalam dekapan kata-kata pria setengah
baya itu akan menjadi candu yang memabukkan. Sejujurnya, aku sudah tidak tahan,
aku ingin menghempaskan sepi ke dalam tidur, aku ingin membunuh sedih dalam
mimpi-mimpi, namun suara terbahaknya membuatku terbengkalai dalam mata
terbelalak. Aku sangat ingin melepaskan diri dari cengkraman emosi yang dia
bangun sendiri untuk menjatuhkan guru honorer yang bodoh dalam pandangannya. Aku
sengaja diam karena tidak ada pembelaan yang mesti aku curahkan ke dalam semua
amarah yang barangkali tak sengaja dilontarkannya.
Aku guru honorer, lalu aku harus
berbuat apa sampai diakui oleh ‘mereka’ yang mengatasnamakan ‘pria setengah
baya’ dengan pengalaman hidup lebih banyak dari kami. Keberuntungan hidup tak
selalu berada di sisi keajaiban menjadi pegawai negeri sipil dengan kebingungan
tiap bulan. Guru honorer malah tidak ambil pusing saat gaji tidak ada karena
sudah segitu hasil jerih payahnya. Tak ada urusan dengan bank, tak ada ketukan
pintu dari penagih utang, tak ada keelokan tubuh dengan pakaian mewah dengan
bayaran bulanan agar lunas. Namun hidup seadanya, pasrah kepada keberuntungan
tidak berada dalam garis hidupku.
Aku guru honor, lalu aku menulis
dan melanglang buana ke tanah basah milik mereka yang bahagia tanpa
mengeluarkan uang dari hasil mengemis sebagai guru honorer. Aku tidak tahu
bagian mana dari keberuntungan yang belum kuraih. Aku menari di atas tanah
basah karena segitulah lingkaran yang mampu kutarikan. Aku melangkah di jejak
langkah setapak seukuran tubuh, karena begitulah kesanggupan yang kudapatkan.
Aku bodoh? Aku tidak tahu. Aku tidak
memahami dengan baik ucapan pria setengah baya itu. Akan diriku yang kini
berada di titik nadir, sebentar ditendang akan jatuh ke jurang malapetaka, maka
sebenarnya ucapan pria setengah baya itu benar adanya. Kenapa aku mengatakan
demikian, karena tanpa kusebut pun  di
mana-mana posisi guru honorer adalah ‘hina’ dalam berbagai kacamata. Anggapan
yang bertele-tele, keberuntungan yang tak ada, menjadi sebuah petaka untuk guru
honorer di mata ‘mereka’ yang sempurna cara hidupnya. Namun, begitu guru
honorer berprestasi di luar pagar sekolah, adalah sebuah ‘ejekan’ bahkan
dianggap angin lalu karena guru honorer itu ‘tidak bisa apa-apa’ melainkan
mengajar banyak jam di sekolah – bahkan melebihi guru pegawai negeri itu
sendiri, dan juga mengajar tidak sesuai dengan ijazah strata satu yang
dimilikinya.
Kebodohan yang kubuat sebagai
guru honorer karena tidak seberuntung mereka yang telah menjadi pegawai negeri.
Aku tidak mau membela diri karena benar saja kami adalah ‘mereka’ yang
dilingkari oleh kebodohan bertubi-tubi. Meski, apa yang telah kuperbuat
bersarang di ingatan dalam waktu lama tetapi kondisi di mana ‘kamu belum
beruntung’ karena tidak memiliki slip gaji adalah petaka bagi mereka yang tiap
bulan menandatanganinya.
Pria setangah baya itu mungkin
sedang tertidur nyenyak saat ini, tetapi bagiku, perkataannya adalah jawaban
atas sendu berkali-kali. Aku bodoh, kami bodoh, lantas bodohkah anak didik yang
diajarkan mata pelajaran oleh guru honorer?