Categories
Uncategorized

Sungguh Malang Guru Honorer Dibayar Cuma 250 Ribu Perbulan

Guru honorer! Di mana posisinya dalam pemerintahan kita? Rasanya,
saya malu mengatakan bahwa
guru tanpa tanda jasa di abad ini.
Mengapa saya malu? Karena; guru itu manusia yang butuh makan, butuh kebutuhan
ini dan itu. Saat para buruh berbondong-bondong melakukan demonstrasi, guru
honor khususnya di daerah-daerah terpencil malah sedang mengajar di dalam
kelas. Adakah media yang meliputnya? Mungkin saja jalan telah terputus ke sana.
Bayaran guru honore sangat rendah.

Menjelang
akhir tahun, saya menulis kembali mengenai nasib guru kita ini. Sebagai salah
satu bagian dari guru honor yang entah berada di langit mana saat disejajarkan
dengan guru pegawai lain, saya sibuk mengurus ini dan itu untuk urusan
fungsional guru honor tersebut.
Segampang membalik telapak tangankah?
Dana yang keluar sampai puluhan juta seperti guru sertifikasi?

Berkas
yang harus disiapkan oleh seorang guru honor untuk menerima fungsional 250 ribu
perbulan itu cukup rumit. Mulai dari SK dari dinas terkait terhitung mulai dari
pertama menghonor sampai sekarang, jadwal mengajar setahun terakhir (2
semester), surat aktif, keaktifan NUPTK dan lain-lain.

Pada NUPTK (Nomor Unik
Pendidikan dan Tenaga Kependidikan) ini termasuk bagian terpenting untuk dapat
menerima fungsional. Pihak dinas terkait harus mengeluarkan bukti aktif NUPTK
dengan surat berkode S08a. Jika surat tersebut tidak bisa diprint lagi
maka jangan harap fungsional guru honor dapat dikeluarkan, walaupun guru
bersangkutan memang benar masih menghonor.

Saya
tidak sedang menyorot soal kelengkapan berkas tersebut. Toh, surat-menyurat
(data) memang penting sekali saat ini. Namun, masih wajarkan guru honor
diganjal 250 ribu perbulan?
Oh, katanya guru honor sudah tidak dibutuhkan lagi! Banyak “orang” yang berkoar-koar demikian. Tampaknya,
hal demikian tidak berlaku. Sebanyak apapun guru yang telah tersertifikasi,
guru honor tetapkan jadi idola.

Banyak sekolah yang kelebihan jam sehingga
mencari guru honor untuk membantu mengajar. Guru sertifikasi hanya “boleh”
mengajar pelajarannya atau serumpun dengannya saja. Guru tersertifikasi jangan
harap mau mengajar lebih dari 24 jam perminggu karena bagi mereka jumlah jam
yang telah diberikan terlalu banyak.

Guru honor yang dibantukan untuk mengajar
bisa mencapai lebih dari 24 jam karena guru sertifikasi enggan mengajar lebih
dari jam mereka. Saat guru sertifikasi menerima gaji dua kali, guru honor hanya
bisa gigit jari karena fungsional “akan” bisa diurus akhir tahun. Jika
fungsional keluar, jika tidak?

250
ribu adalah angka sedikit sekali untuk penghargaan kepada guru honor. Walaupun
pemerintah mengatakan guru honor harus distop sementara waktu namun
tanpa guru honor jangan pernah harap proses belajar mengajar berimbang. Pembagian
jam di tiap sekolah hampir membutuhkan guru honor. Nasib kota besar bisa
berbeda karena sebagian guru terpenuhi.

Namun Indonesia tidak hanya di kota-kota
besar saja. 250 ribu perbulan itu tidak semua didapat oleh guru honor yang
pontang-panting mengajar sama dengan guru yang telah tersertifikasi. 250 ribu
bahkan harus dibagi sama rata jika di sekolah mereka tidak semua keluar dana
fungsional ini.

Mau mengajar seharian, datang lebih pagi atau pulang lebih
lama, mereka tetap akan dibayar segitu. Tak ada yang peduli dengan asap
mengepul di dapur mereka. Tak ada pula yang bertanya apakah bensin kendaraan
masih penuh. Tak ada yang mengubris perkara anak istrinya kelaparan di rumah.

Ada
yang berpendapat bahwa, silakan cari kerja lain saja. Tentu ini
perkara hati atau bahkan umur atau bahkan terlanjur kecewa tidak diterima di
perusahaan manapun. Apalagi di kampung – daerah pedalaman – hanya
sekolah-sekolah saja yang menerima orang-orang rapi bekerja.

Sarjana yang
terlanjur pulang kampung mau tidak mau mengajar di sekolah walaupun tidak
bayar. Banyak dari mereka yang masih mengantung cita-cita akan “diangkat”
menjadi pegawai suatu saat nanti. Mungkin saja di usia hampir pensiun NIP baru
disandang, atau bahkan tidak sama sekali.

Angka
250 ribu tak cukup untuk menghidupi guru honor di saat ini. Kenapa saya berani
mengatakan demikian? Ayolah, berapa kali rupiah bertekuk lutut terhadap dolar
Amerika. Berapa kali pemerintah menaikkan bahan bakar minyak.

Sudah tak
terhitung bahan pokok naik harga berkali-kali. Oh, dana talangan telah
diberikan oleh dinas tertentu. Beasiswa untuk anak-anak kurang mampu telah
“ditingkatkan”. Bantuan miskin telah diberikan.

Guru honor? Di mana letaknya?
Jika pemerintah masih menganggap guru honor sebagai penopang pendidikan
di masa kini, naikkan saja fungsional untuk mereka sampai batas 500 ribu atau
lebih perbulan.
Berani
melakukan ini?
Katanya
kas negara tidak cukup. Katanya guru honor tidak berkompetensi tinggi. Katanya
guru honor tidak mendapatkan tempat di jajaran terpenting pemerintah ini. Soal
kompetensi tinggi saat ini, guru honor bisa dikatakan lebih maju selangkah
dalam mengajar.

Guru honor bisa mengoperasikan komputer dengan baik, membuat slideshow
untuk dipresentasi di depan siswa dengan menarik, menguasai metode dan model
pembelajaran terbarukan, dan isu-isu lain yang tidak dimiliki oleh guru
bersertifikat sertifikasi sekalipun.

Kenapa
harus dinaikkan fungsional untuk guru honor? Seperti yang telah saya sebutkan
sebelumnya, bisa saja guru honor hanya dapat fungsional saja tetapi tidak
sempat diangkat menjadi pegawai. Jasa apa yang mampu diberikan pemerintah untuk
mereka ini?

Apabila melihat ke lapangan, guru honor tetap sama dengan guru
pegawai. Tugas dan tanggung jawab sama. Lelah yang sama. Gaji tiap bulan yang
tak ada.

Baru
sekarang guru turun ke jalan untuk minta diangkat jadi pegawai. Dahulu, atau
tidak usah mengambil perkara yang lalu. Di daerah pedalaman, guru honor hanya
mengajar saja, mengurus berkas-berkas yang diminta berulang kali, mengais
rejeki di tempat lain.

Semua mereka lakukan untuk menyambung hidup. Namun
pemerintah masih menutup mata perkara ini karena dianggap masih banyak guru
pegawai. Data di dinas terkait boleh-boleh saja penuh, namun fakta di lapangan
masih banyak sekali guru honor yang mengajar tanpa pamrih.

Miris
sekali memang, namun guru honor tidak pernah diPHK atau dipecat. Tanpa bayaran
pun guru honor tetap mengajar di sekolah. Keluar atau tidak fungsional untuk
mereka hanya mampur berujar,  “Belum
rejeki!
” Suara
hati dari ratusan ribu guru honor di negeri ini, siapa yang tahu? 
Categories
Uncategorized

Guru Blogger yang Tak Enggan Selfie Bersama Siswa

Perkara Budi, telah
hilanglah filosofi Guru tanpa tanda jasa
yang selama ini membekas dalam benak kebanyakan orang. Tentu, berbagai alasan
selalu membenarkan sikap guru karena profesi ini yang mengantarkan engkau yang perkasa menjadi siapa; presiden, perdana menteri, dokter muda
berbakat, panglima tentara nan gagah, polisi yang rupawan, dan segala rupa
lainnya
.

Risma mayoret cantik yang sering saya jadikan model 
Budi yang terkapar
begitu saja dianggap tidak melanggar
hukum apa-apa karena guru tersalah dalam mendidik siswa.
Jika demikian persoalannya, didiklah
sendiri generasi muda yang engkau punya dengan semena-mena,
jika engkau
sanggup melakukannya. Budi yang telah tiada tanpa siapa-siapa karena terganjal
hukum perlindungan anak. Tetapi, jika anak yang ditampar karena bolos sekolah
tiap hari, guru tersalah akan hal itu.
Ingatlah engkau yang gagah perkasa; hanya anak-anak rangking 32 dari 32 siswa
yang sering ditampar guru karena tugas sekolah tak pernah jadi miliknya.

Lantas orang tua menuntut, berkoar-koar penuh duka, namun sudah engkau menguji kemampuan matematika
anakmu? Sudahkah engkau tahu dirinya bisa membaca dengan baik? Sudahkah engkau
melihat terakhir kali mereka mengerjakan tugas di malam hari? Sudahkah engkau
berpikir tentang mereka yang nilainya selalu rendah?
Guru tak pernah salah memberi nilai, Kawan! Kami memberi
si Gagah Rupawan itu nilai 96 untuk matematika karena dalam semenit telah
menyelesaikan soal Logaritma sulit. Kami memberi nilai 100 kepada si Cantik
Jelita karena dalam 3 menit mampu menyelesaikan soal Titik Berat yang rumit.
Dan, kami terpaksa mendongkrak nilai mereka
yang terkadang 5 x 5 saja tak mampu dihapalnya. Tetapi, kami tak pernah
sesumbar kepada dunia si Jahat Penggangu Wanita itu selalu satu jam selesaikan
soal 4 x 4 – 4 : 4!
Saya tak enggan diajak selfie
Budi guru honorer yang
malang. Saya tahu penderitaannya. Saya paham maksudnya. Saya tahu siapa
gerangan sampai dia memulai tindakan keras. Karena
saya juga guru honorer yang selalu terhimpit dengan ratapan anak tiri setiap
masuk ke dalam kelas. Si Congkak Mulutnya butuh perhatian dalam 2 jam
pelajaran; mulutnya tak pernah henti
berkicau bagai burung pipit yang hilang perawan.
Si Gaduh Gemuruh tak mau
mendengar ocehan saya karena mungkin dirinya telah paham seisi
buku, meski ulangan harian selalu bisa jawab benar paling banyak 2 soal. Namun,
berbeda dengan si Diam Menghanyutkan yang benar-benar hanyut dengan dirinya
sendiri dan juga hanyut dibawa ke nilai tertinggi tiap ujian usai.
Tahukah engkau saya akan diam seribu bahasa
ketika kaki melangkah ke luar kelas? Demikianlah tabiat guru, tidak sesumbar
penuh emosi dan selalu baik hati kepada semua siswanya. Dan kini, tentang saya,
guru honorer yang posisinya sama dengan Budi, dengan gaji tak seberapa untuk
ongkos jalan pun tak cukup. Tetapi saya adalah seseorang yang kerapkali menarik lengan siswa untuk swafoto.
Saya dekat dengan
siswa, sudah pasti. Saya ajak mereka swafoto, mereka riang gembira. Mereka ajak
saya swafoto, saya mau saja. Demikian saja, terus mengalir sampai saya lelah
untuk berhenti karena saya ingin, saya mau dan saya tidak bisa menolak
keinginan mereka. Meskipun si Congkok Mulutnya selalu ingin dijewer kupingnya,
saya tetap mau saat dia ajak swafoto. Walaupun si Gaduh Gemuruh tak pernah naik
nilainya karena abai tugas, juga tidak mau saya kecewakan hatinya saat meminta
swafoto.
Jika siswa ‘bunuh’ saya, siapa yang ajak selfie
mereka lagi?
Selfie bersama siswa.
Mungkin ini pertanyaan
klise sekali. Tetapi etika siswa yang
kini mengubah haluan ke langit tingkat tinggi, begitu sulit dijangkau dengan
tamparan kasar sekalipun. Maka saya pamer, saya rangkul, entah benar atau
tidak, tetapi itu membuat mereka merasa ada meskipun kadang pula saya membentak
di dalam kelas. Mereka gaduh saat mendengar pelajaran. Namun mereka akan terdiam
saat saya berbicara tentang masa depan, eloknya
hidup di saat dewasa nanti, dan cerita inspitarif sebagai blogger yang mana mereka tahu sendiri saya sering traveling.
Saat kini, segala rupa
guru disorot oleh mereka yang lebih ‘pintar’ maka saya membuat diri menjadi
‘bodoh’ dalam diam. Niscaya, nanti, suatu saat, mereka juga tersadar hal
penting selama di sekolah bukan hanya meminta guru muda untuk foto selfie saja.
Selfie memang bukan sebuah pembelajaran dalam kurikulum manapun. Namun tahukah engkau bahwa selain mata pelajaran,
terdapat nilai etika yang tersirat maupun tersurat. Saya percaya kepada guru
yang memukul siswa karena siswa wajib mendapatkannya; karena salah. Saya tahu posisi siswa yang gemar ‘bersenang-senang’
maka selfie menjadi ‘kedekatan’ saya
dengan mereka. Tiba suatu saat, mereka akan bertanya tentang cita-cita, masa
depan, maupun bagaimana mewarnai hidup agar selalu ‘tersenyum’ sepanjang waktu.
Pasti terjadi, mereka
tidak akan bertanya kepada guru yang enggan bersuka-cita dengan mereka. Maka,
saya bersenang hati berbagi kisah, pengalaman sebagai orang ‘lebih tua’ dan
juga mengarahkan ke mana tujuan dari hidup mereka; soal kuliah dan jurusan yang tepat.
Saya kerap bertanya,
apakah siswa membutuhkan kedekatan ini? Mungkin sebagian butuh, mungkin juga
tidak. Saya memberi meski tidak diterima sekalipun! 
Categories
Uncategorized

Guru Honor, Mereka yang Bodoh Tidak Beruntung

Begitu sebut pria setengah baya yang tidak kuketahui namanya. Aku diam dalam alunan lagu-lagu dangdut Aceh di perjalanan pulang dari Banda Aceh. Ingin sekali aku hantam mulut pria itu dengan pedang tertajam abad ini. Namun, aku tidak mampu berkata banyak. Aku juga tidak menaikkan ke permukaan bahwa diriku juga seorang guru honorer. Nanti, aku akan semakin terhina di matanya, aku akan disebut ‘mereka’ yang bodoh dan tidak beruntung, tidak seberuntung dirinya yang telah mengabdi puluhan tahun sebagai pegawai negeri sipil. Dan aku, tidak meratapi nasib karena ocehan rendahan dari dirinya yang menua dan berpendidikan tinggi. Bagiku, dia hanya bergurau atas dasar kebodohan dirinya sendiri yang belum kesampaian.
Pembagian hadiah lomba blog yang diselenggarakan untuk siswa kelas XII, lomba diadakan seadanya dan hadiah berupa buku-buku koleksi pribadi.
Tak sengaja, obrolan pria
setengah baya itu dengan temannya yang lama tak bertemu. Asap rokok mengepul ke
seluruh mobil yang kami kendarai. Santai sekali pria setengah baya
berpendidikan tinggi dengan status pegawai negeri ini membuat batuk kepada
balita di depan kami. Balita itu berkali-kali mengeluh hidungnya perih namun
tak peka juga pria setengah baya itu untuk iba di ego dalam dirinya. Aku menarik
masker putih dari dalam ransel di depan, kututup mulut dan hidung untuk tidak
terinfeksi penyakit dari pria setengah baya itu. Sakit hatinya boleh saja
kudengar kepada ‘mereka’ yang bodoh dalam status guru honorer.
Bermula dari sebuah tanya dari
temannya yang lebih muda, pria setengah baya itu mulai menggebu-gebu dalam
kenaifan hatinya. Tanya temannya, “Bang, tahun ini apakah tidak dibuka tes
CPNS?” tanya yang lumrah dan biasa saja – mungkin – karena temannya itu bekerja
di swasta dan pria setengah baya itu sebagai pegawai negeri sipil, dianggap
lebih paham isu ini.
Emosi meledak, asap rokok mengepul
ke seluruh mobil, pria setengah baya itu menjawab, “Kuota CPNS sudah diisi oleh
guru-guru honorer yang bodoh itu!”
“Bagaimana maksudnya itu, Bang?”
“Guru-guru bodoh itu minta
diangkat jadi CPNS, maka tak ada alokasi bagi mereka yang pintar baru lulus
kuliah ikus tes!”
“Mana bisa, Bang, mereka disebut
bodoh?”
“Jika tak bodoh mereka sudah
lulus CPNS waktu itu tes!”
Kan tes CPNS sudah tak dibuka tiap tahun, Bang!”
“Ya mereka bodoh kenapa tak lulus
waktu itu?”
Semburat emosi yang mendalam, oh,
bukan, semburat itu adalah sifat merendahkan dari nada, mata dan semua yang
kubaca dari pria setengah baya itu. Dadaku berdetak tak keruan. Aku mendekam
dalam amarah yang meledak ke mana-mana. Aku tak berhak disebut bodoh olehnya. Aku
tidak mau disebut tidak beruntung oleh dirinya yang sama sekali tidak
mengetahui apa yang kurasa dan kualami bahkan prestasi apa saja yang pernah
kuraih, di luar batas aku sebagai guru honorer yang bodoh menurutnya.
Perjalanan kami masih panjang untuk
sampai ke Meulaboh, Aceh Barat. Lima jam dalam dekapan kata-kata pria setengah
baya itu akan menjadi candu yang memabukkan. Sejujurnya, aku sudah tidak tahan,
aku ingin menghempaskan sepi ke dalam tidur, aku ingin membunuh sedih dalam
mimpi-mimpi, namun suara terbahaknya membuatku terbengkalai dalam mata
terbelalak. Aku sangat ingin melepaskan diri dari cengkraman emosi yang dia
bangun sendiri untuk menjatuhkan guru honorer yang bodoh dalam pandangannya. Aku
sengaja diam karena tidak ada pembelaan yang mesti aku curahkan ke dalam semua
amarah yang barangkali tak sengaja dilontarkannya.
Aku guru honorer, lalu aku harus
berbuat apa sampai diakui oleh ‘mereka’ yang mengatasnamakan ‘pria setengah
baya’ dengan pengalaman hidup lebih banyak dari kami. Keberuntungan hidup tak
selalu berada di sisi keajaiban menjadi pegawai negeri sipil dengan kebingungan
tiap bulan. Guru honorer malah tidak ambil pusing saat gaji tidak ada karena
sudah segitu hasil jerih payahnya. Tak ada urusan dengan bank, tak ada ketukan
pintu dari penagih utang, tak ada keelokan tubuh dengan pakaian mewah dengan
bayaran bulanan agar lunas. Namun hidup seadanya, pasrah kepada keberuntungan
tidak berada dalam garis hidupku.
Aku guru honor, lalu aku menulis
dan melanglang buana ke tanah basah milik mereka yang bahagia tanpa
mengeluarkan uang dari hasil mengemis sebagai guru honorer. Aku tidak tahu
bagian mana dari keberuntungan yang belum kuraih. Aku menari di atas tanah
basah karena segitulah lingkaran yang mampu kutarikan. Aku melangkah di jejak
langkah setapak seukuran tubuh, karena begitulah kesanggupan yang kudapatkan.
Aku bodoh? Aku tidak tahu. Aku tidak
memahami dengan baik ucapan pria setengah baya itu. Akan diriku yang kini
berada di titik nadir, sebentar ditendang akan jatuh ke jurang malapetaka, maka
sebenarnya ucapan pria setengah baya itu benar adanya. Kenapa aku mengatakan
demikian, karena tanpa kusebut pun  di
mana-mana posisi guru honorer adalah ‘hina’ dalam berbagai kacamata. Anggapan
yang bertele-tele, keberuntungan yang tak ada, menjadi sebuah petaka untuk guru
honorer di mata ‘mereka’ yang sempurna cara hidupnya. Namun, begitu guru
honorer berprestasi di luar pagar sekolah, adalah sebuah ‘ejekan’ bahkan
dianggap angin lalu karena guru honorer itu ‘tidak bisa apa-apa’ melainkan
mengajar banyak jam di sekolah – bahkan melebihi guru pegawai negeri itu
sendiri, dan juga mengajar tidak sesuai dengan ijazah strata satu yang
dimilikinya.
Kebodohan yang kubuat sebagai
guru honorer karena tidak seberuntung mereka yang telah menjadi pegawai negeri.
Aku tidak mau membela diri karena benar saja kami adalah ‘mereka’ yang
dilingkari oleh kebodohan bertubi-tubi. Meski, apa yang telah kuperbuat
bersarang di ingatan dalam waktu lama tetapi kondisi di mana ‘kamu belum
beruntung’ karena tidak memiliki slip gaji adalah petaka bagi mereka yang tiap
bulan menandatanganinya.
Pria setangah baya itu mungkin
sedang tertidur nyenyak saat ini, tetapi bagiku, perkataannya adalah jawaban
atas sendu berkali-kali. Aku bodoh, kami bodoh, lantas bodohkah anak didik yang
diajarkan mata pelajaran oleh guru honorer? 
Categories
Uncategorized

Simalakama Seorang Guru Honor

Saya seorang guru. Menyebutnya
saja bisa membuat bangga apalagi benar-benar melakoninya. Saya benar seorang
guru, guru honor, guru yang dianggap sebagai pelengkap saja di sebuah sekolah. Bagaimana
tidak, saya hanya mengajar jika tersedia jam kosong atau lebih dari guru
pegawai negeri. Tidak hanya saya, guru honor lainnya juga mendapatkan perlakuan
yang sama. Di saat isu sertifikasi semakin santer mengarak guru pegawai negeri
untuk memenuhi 24 jam pelajaran dalam seminggu, tergerus pula jam pelajaran
bagi kami guru honor. Guru-guru tersertifikasi wajib mengajar supaya
dianugerahi gaji dua kali lipat di awal bulannya, atau di rapel percatur wulan.
Sebagian guru honor lain, teman saya sendiri, malah datang ke sekolah sekadar
menampakkan diri supaya terdata sebagai honorer walaupun tidak ada jam
mengajar. Harapan diangkat menjadi pegawai negeri semakin menjadi asa yang tak
terbendung, belum lagi informasi yang beredar bahwa honorer tidak akan diangkat
lagi jadi pegawai negeri. Secara sadar atau tidak, mungkin hanya untuk
menyenangkan hati lara, kami berkata pada diri sendiri akan sebuah kesabaran
pasti ada hasil.
“Nanti, saat pemimpin
kita diganti, kebijakan juga akan berganti!”
Saya berada di
lingkungan yang sama dengan guru tersertifikasi. Keberuntungan masih memihak
kepada saya walaupun hanya sedikit saja. Saya masih mendapat jatah jam mengajar
pelajaran Teknologi Informasi (TIK). Padahal ijazah saya jelas-jelas tertera
Sarjana Pendidikan Fisika. Saya mengajar TIK karena tidak ada guru yang
bersertifikat TIK dan guru-guru lain di sekolah ini belum mahir mengoperasikan
komputer.
Saya mengajar di dua
sekolah, MTsN Blang Bale dan MAN Suak Timah, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh
Barat. Dan hanya dua sekolah ini pula yang sudah menerapkan bayaran perjam bagi
guru honor. Saya masih berada di ujung keberuntungan, selain dibayar perjam,
gabungan jam mengajar saya dari dua sekolah itu melewati batas 30 jam
perminggu. Saya tidak bisa menyebutkan besar nominal yang diberikan dua sekolah
tersebut, paling tidak cukup untuk saya beli bensin tiap hari ke sekolah. Jam
mengajar saya lebih banyak dari guru bersertifikat sebagai guru profesional,
bukan?
Saya membiarkan waktu
berjalan sebagaimana mestinya. Di saat guru pegawai negeri bersertifikasi lupa
mengajar karena harus mengurus kelengkapan pembelajaran (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran,
Silabus, Program Semester, Program Tahunan, Minggu Efektif, Kriteria Ketuntasan
Minimum), juga berkas-berkas kenaikan pangkat. Saya diwajibkan berkonsentrasi
pada pelaksanaan pembelajaran itu sendiri. Saya masuk kelas lebih awal bersama
guru honor lain. Mengajar sesuai jam yang telah diberi tanggung jawab kepada
kami. Lalu pulang di jam yang sama dengan guru pegawai negeri.
Mengajar 30 jam di dua
sekolah, saya menyiasatinya dengan sangat jeli. Berbagi hari antara dua sekolah
terkadang tidak cukup memenuhi jumlah jam. Ada kalanya dalam satu atau dua hari
saya harus memangkas pertemuan mengajar. Bila pagi sampai dengan jam istirahat
di MAN, seusai istirahat saya akan ke MTsN. Untungnya lagi, jarak yang saya
tempuh lumayan dekat dan waktu istirahat pun sama-sama mengambil pukul 10.30
WIB.
Karena masih dianggap
anak bawang, sebutan kepada guru honor, saya mengerahkan segenap kekuatan untuk
berbagai bidang ilmu di luar ijazah yang saya emban. Mengajar di MAN lebih
leluasa saya lakukan karena sudah tersedia Laboratorium Komputer, sedangkan di
MTsN saya lebih mengandalkan pengetahuan dan buku-buku sebagai penunjang. Menghadapi
lebih kurang 300 siswa dalam seminggu membuat batin saya lelah sekali. Antara siswa
MAN yang beranjak dewasa tentu saja berbeda dengan siswa MTsN yang masih
berangkat dari anak-anak menuju masa remaja. Belum lagi mengajarkan ilmu
praktik tanpa disertai sarana pendukung membuat saya kelimpungan. Terlebih, saat
siswa-siswi sudah mengenal internet, berinteraksi di facebook maupun twitter,
saya dituntut kerja ekstra menjawab pertanyaan dari mereka. Saya menjelma
menjadi seorang guru ahli komputer, mereka bertanya semua hal, termasuk
guru-guru di dua sekolah yang menggantungkan harapan bisa mengetik soal-soal
ujian dengan benar di keyboard kepada
saya.
Saat saya tidak bisa
mengandalkan komputer karena mati lampu atau alasan lain, saya memastikan siswa-siswi
bisa belajar dengan metode lain. Mengenalkan kepada mereka istilah-istilah
dasar dalam pengoperasian komputer atau mengadakan diskusi kelompok. Di MTsN yang
belum memiliki laboratorium komputer, saya mengajak siswa-siswi bermain games karena mereka lebih suka bermain di
luar kelas.
 Siswa MAN sedang berdiskusi di halaman sekolah 
Siswa MTsN bermain games
Siswa MTsN bermain games 
Konsentrasi saya
sering terpecah antara tuntutan 30 jam pelajaran. Saya butuh, seperti yang
sudah saya sebutkan di awal, hanya dua sekolah ini yang memberikan kemakmuran
bagi kami guru honor walaupun sering kali terlambat satu bulan bahkan sampai
satu semester. Saya meninggalkan satu sekolah saja, calon guru honor yang lain
akan mengantri datang melamar. Seakan, kami tidak mengindahkan teguran
pemerintah yang mengatakan tidak ada lagi kemungkinan guru honor diangkat jadi
pegawai negeri. Tapi kami tetap mengajar, karena itulah aktivitas kami di
daerah sempit lapangan pekerjaan. Paling tidak, sudah rapi setiap pagi membawa
kebanggaan tersendiri karena kami seorang sarjana.
Sebagai guru honor, selain
diabaikan oleh sekolah kami pun dianak-tirikan oleh pemerintah. Saya termasuk
salah satu guru honor dari sekian ribu guru honor yang sudah mengabdi puluhan
tahun. Satu dua di antara kami menerima tunjangan fungsional sebesar Rp. 250
ribu sebulan dan dibayar persemester. Dan jika dalam satu sekolah tidak semua
guru honor mendapatkannya, kami berhak membagi sama rata. Saya mendapatkan
sedekah dari pemerintah itu dari MTsN, dan kami membagikannya kepada guru honor
lain yang datanya belum tersimpan di Kementerian Agama Kabupaten Aceh Barat. Besaran
angka tersebut sangatlah minim untuk motivasi seorang guru yang mengajar saban
waktu mencerdaskan anak bangsa. Saya bisa memahami pengeluaran pemerintah dalam
hal ini, tetapi mereka, guru honor yang lebih tua, lebih lama mengabdi, nominal
itu sungguh sangat berarti.
Terakhir, selain isu
sertifikasi, datanglah Kurikulum 2013 yang memangkas beberapa mata pelajaran
termasuk TIK. Sebagai guru yang hanya mengajar TIK saja maka saya akan
kehilangan jam pelajaran tersebut di masa mendatang. Di saat-saat seperti ini,
saya mengharapkan suatu keajaiban datang dari mana saja. Satu sisi, kurikulum
baru tersebut bagus untuk dilaksanakan di daerah urban. Di sisi lain, kurikulum
tersebut menciptakan kebingungan kepada guru mata pelajaran dan menghilangkan
banyak harapan guru-guru honor di seluruh negeri ini. Tapi pemerintah tahu yang
terbaik untuk dunia pendidikan Indonesia yang semakin tertinggal. Mungkin kami
yang semestinya berbenah, mengepakkan sayap mencari harapan di dunia baru
lainnya.

Saya, di antara ribuan
guru honor lain. Beginilah nasib kami. Curahan hati saya barangkali lebih
bahagia dibandingkan guru honor lain. Saya masih mendapatkan imbalan dari dua
sekolah dengan dihitung perjam masuk. Guru honor lain, akan dibayar persemester
sealakadarnya saja. Seandainya mereka bisa menulis, bisa mengakses internet,
kegetiran mereka akan lebih menyayat hati! 

Tujuan pendidikan kita adalah mencerdaskan anak bangsa, dan saya akan merealisasikan semboyan itu!

*Gambar koleksi pribadi.
Categories
Uncategorized

Guru Kami, Pahlawan Semesta

Photo by Bai Ruindra
Saya mengenalnya lebih
kurang 13 tahun lalu, suatu masa yang panjang ketika dia masih tegap dalam langkahnya.
Sekarang, setelah lebih 37 tahun mengabdi, langkahnya tidak lagi setegak kala
muda. Tubuhnya sudah ringkih dan harus dibantu kruk untuk dapat menapaki
hari-hari bersama kami.
Dia, Dra. Rosmalawati
Idris, seorang guru saya dan guru kebanyakan orang sukses di kampung kami. Bu
Ros, begitu panggilannya merupakan guru tertua di sekolah kami dan hanya
mengabdi pada satu sekolah semenjak pengangkatan menjadi guru pegawai.

Bu Ros
selalu memberi senyum pada kami, walaupun langkahnya tidak pernah rata antara
kiri dan kanan. Dalam keseharian, tubuhnya boleh saja lemah tetapi suara dan
cara mengajarnya bahkan mampu menyaingi guru lain yang lebih muda. Semangatnya dalam
mengajar tidak pernah pudar dari semenjak saya kenal fisiknya hingga kini sudah
pensiun.

Bu Ros, satu-satunya
guru “titipan” dari Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Barat yang ditugaskan
kepada MAN Suak Timah (Kementerian Agama). Sebagai guru yang diperbantukan, Bu
Ros tetap mengajar anak-anak madrasah sesuai kemampuan beliau.

Walaupun banyak
sekali surat-menyurat yang harus diurus ke Dinas Pendidikan bukan berarti
membuatnya ingin cepat-cepat ditarik kembali oleh ibu kandung. Saat guru-guru
lain di bawah naungan bapak sendiri – semua administrasi lancar di bawah
kementerian agama – Bu Ros kadang tersandung karena harus melalui proses di
Dinas Pendidikan kemudian pindah tangan ke Kementerian Agama (dulu Departemen Agama).
Bu Ros tidak pernah mengeluh, dengan langkah tertatih beliau bertahan di
madrasah.

Bu Ros adalah seorang
guru kelahiran tahun 1959, perempuan kuat dan perkasa di mata saya sebagai
siswa dan sebagai rekan kerja kini. Sejak kecil Bu Ros sudah mengalami masalah
dengan kesehatannya.

Kaki sebelah kiri Bu Ros terkena penyakit folio, entah
karena dulu tidak cepat disembuhkan atau memang tidak tahu-menahu masalah ini,
Bu Ros pun tidak ingat apa yang dilakukan kedua orang tuanya waktu itu,
akhirnya kaki kiri Bu Ros lebih kecil dari ukuran normal.

Semasa muda dan masih
kuat, Bu Ros masih sanggup berjalan mengelilingi perkarangan sekolah kami,
tetapi menjelang masa pensiun, seiring usia yang lanjut, Bu Ros sudah
menggunakan kruk membawa langkahnya ke kelas.

Semula satu kruk, sampai akhirnya
dua kruk dan Bu Ros tetap mengajar sebagaimana kewajibannya. Jadwal mengajar
yang sudah diembannya sebagai guru profesional dengan 24 Jam Pelajaran,
dilaksanakan Bu Ros tanpa mengeluh maupun meminta bantuan guru lain apalagi
kepada guru honorer.

Bu Ros sanggup mengajar 4 sampai 6 jam dalam sehari,
walaupun kemudian atas kesadaran kami semua, jam Bu Ros disesuaikan dan diatur
supaya beliau tidak terbebani di usia senja dan kondisi fisiknya. Bu Ros malah
meminta tugas dan tanggung jawabnya diberikan penuh, karena baginya, gaji yang
diberikan pemerintah pada sisa umurnya merupakan amanah yang tidak bisa
dimanipulasi.

Benar kiranya, guru pahlawan tanpa tanda jasa, jika
melihat banyak sekali yang dilakukan Bu Ros. Dengan keterbatasan yang dimiliki,
Bu Ros berdiri di antara kegagahan dan kegarangan guru-guru muda di antara para
siswa. Terlepas dari semua itu, Bu Ros tetap menjadi salah seorang guru yang
disegani oleh siswa-siswinya.

Bukan karena kaki Bu Ros tidak normal, karena Bu
Ros mengajar dengan cara yang tidak sama dengan guru lain. Suara lantang, sikap
tegas dan berwibawa. Pelajaran Qur’an Hadist yang diajarkan beliau menjadi
pelajaran yang sempat ditakuti siswa-siswi.

Ketegasan Bu Ros terletak pada
siswa yang tidak bisa menghafal ayat al-Quran maupun sepotong hadits. Siswa yang
tidak bisa, tidak segan pula Bu Ros meminta hafal kembali maupun berdiri di
depan kelas sampai mampu menghafal.

Guru menjadi
satu-satunya penentu baik buruk seorang manusia. Sampai kapan pun pendidikan yang diberikan guru akan
selalu dikenang dan tidak pernah diletakkan di suatu tempat terendah. Bu Ros,
barangkali salah satu guru dengan keterbatasan yang telah mencerdaskan bangsa.

Pemerintah
hanya sanggup memberikan materi dengan jumlah tertentu selama pengabdiannya,
tetapi ilmu yang diajarkannya tidak akan pernah habis maupun menghilang dari
ingatan siswa-siswi. Bahkan untuk saya pribadi, tidak akan ada tulisan
inspiratif ini sebelum saya mengenal Bu Ros dengan segenap hasratnya
mengajarkan baik buruk dalam agama.

Mungkin, Tuhan punya
cara tersendiri memberikan penghargaan pada seorang guru seusia Bu Ros yang sudah
melahirkan generasi beragam prestasi. Suatu saat nanti! 
Dalam hal ini, Indonesia Move On dari kebodohan karena seorang guru. Guru punya andil dalam mencerdaskan
bangsa dan generasi sampai akhir masa. Gerakan Indonesia Move On yang dilakukan
Dompet Dhuafa merupakan salah satu cikal bakal melestarikan kepintaran yang
dimiliki negeri ini.

Barangkali, Dompet Dhuafa juga memperhatikan guru-guru di
seluruh negeri, banyak potret yang melahirkan nyata bahwa tidak semua guru
berada dalam bahagia. Melalui Indonesia Move On, Dompet Dhuafa bisa
memperhatikan guru-guru yang dianaktirikan oleh pemerintah kita. Bu Ros salah
seorang guru, hanya satu dari sekian guru lain yang bisa saja merasakan derita
berbeda. Dan guru tanpa tanda jasa ini akan menerima imbalan sesuai keikhlasan
hati mereka menerima. Semoga tulisan di blog ini bermanfaat.