Categories
Uncategorized

Guru Blogger yang Tak Enggan Selfie Bersama Siswa

Perkara Budi, telah
hilanglah filosofi Guru tanpa tanda jasa
yang selama ini membekas dalam benak kebanyakan orang. Tentu, berbagai alasan
selalu membenarkan sikap guru karena profesi ini yang mengantarkan engkau yang perkasa menjadi siapa; presiden, perdana menteri, dokter muda
berbakat, panglima tentara nan gagah, polisi yang rupawan, dan segala rupa
lainnya
.

Risma mayoret cantik yang sering saya jadikan model 
Budi yang terkapar
begitu saja dianggap tidak melanggar
hukum apa-apa karena guru tersalah dalam mendidik siswa.
Jika demikian persoalannya, didiklah
sendiri generasi muda yang engkau punya dengan semena-mena,
jika engkau
sanggup melakukannya. Budi yang telah tiada tanpa siapa-siapa karena terganjal
hukum perlindungan anak. Tetapi, jika anak yang ditampar karena bolos sekolah
tiap hari, guru tersalah akan hal itu.
Ingatlah engkau yang gagah perkasa; hanya anak-anak rangking 32 dari 32 siswa
yang sering ditampar guru karena tugas sekolah tak pernah jadi miliknya.

Lantas orang tua menuntut, berkoar-koar penuh duka, namun sudah engkau menguji kemampuan matematika
anakmu? Sudahkah engkau tahu dirinya bisa membaca dengan baik? Sudahkah engkau
melihat terakhir kali mereka mengerjakan tugas di malam hari? Sudahkah engkau
berpikir tentang mereka yang nilainya selalu rendah?
Guru tak pernah salah memberi nilai, Kawan! Kami memberi
si Gagah Rupawan itu nilai 96 untuk matematika karena dalam semenit telah
menyelesaikan soal Logaritma sulit. Kami memberi nilai 100 kepada si Cantik
Jelita karena dalam 3 menit mampu menyelesaikan soal Titik Berat yang rumit.
Dan, kami terpaksa mendongkrak nilai mereka
yang terkadang 5 x 5 saja tak mampu dihapalnya. Tetapi, kami tak pernah
sesumbar kepada dunia si Jahat Penggangu Wanita itu selalu satu jam selesaikan
soal 4 x 4 – 4 : 4!
Saya tak enggan diajak selfie
Budi guru honorer yang
malang. Saya tahu penderitaannya. Saya paham maksudnya. Saya tahu siapa
gerangan sampai dia memulai tindakan keras. Karena
saya juga guru honorer yang selalu terhimpit dengan ratapan anak tiri setiap
masuk ke dalam kelas. Si Congkak Mulutnya butuh perhatian dalam 2 jam
pelajaran; mulutnya tak pernah henti
berkicau bagai burung pipit yang hilang perawan.
Si Gaduh Gemuruh tak mau
mendengar ocehan saya karena mungkin dirinya telah paham seisi
buku, meski ulangan harian selalu bisa jawab benar paling banyak 2 soal. Namun,
berbeda dengan si Diam Menghanyutkan yang benar-benar hanyut dengan dirinya
sendiri dan juga hanyut dibawa ke nilai tertinggi tiap ujian usai.
Tahukah engkau saya akan diam seribu bahasa
ketika kaki melangkah ke luar kelas? Demikianlah tabiat guru, tidak sesumbar
penuh emosi dan selalu baik hati kepada semua siswanya. Dan kini, tentang saya,
guru honorer yang posisinya sama dengan Budi, dengan gaji tak seberapa untuk
ongkos jalan pun tak cukup. Tetapi saya adalah seseorang yang kerapkali menarik lengan siswa untuk swafoto.
Saya dekat dengan
siswa, sudah pasti. Saya ajak mereka swafoto, mereka riang gembira. Mereka ajak
saya swafoto, saya mau saja. Demikian saja, terus mengalir sampai saya lelah
untuk berhenti karena saya ingin, saya mau dan saya tidak bisa menolak
keinginan mereka. Meskipun si Congkok Mulutnya selalu ingin dijewer kupingnya,
saya tetap mau saat dia ajak swafoto. Walaupun si Gaduh Gemuruh tak pernah naik
nilainya karena abai tugas, juga tidak mau saya kecewakan hatinya saat meminta
swafoto.
Jika siswa ‘bunuh’ saya, siapa yang ajak selfie
mereka lagi?
Selfie bersama siswa.
Mungkin ini pertanyaan
klise sekali. Tetapi etika siswa yang
kini mengubah haluan ke langit tingkat tinggi, begitu sulit dijangkau dengan
tamparan kasar sekalipun. Maka saya pamer, saya rangkul, entah benar atau
tidak, tetapi itu membuat mereka merasa ada meskipun kadang pula saya membentak
di dalam kelas. Mereka gaduh saat mendengar pelajaran. Namun mereka akan terdiam
saat saya berbicara tentang masa depan, eloknya
hidup di saat dewasa nanti, dan cerita inspitarif sebagai blogger yang mana mereka tahu sendiri saya sering traveling.
Saat kini, segala rupa
guru disorot oleh mereka yang lebih ‘pintar’ maka saya membuat diri menjadi
‘bodoh’ dalam diam. Niscaya, nanti, suatu saat, mereka juga tersadar hal
penting selama di sekolah bukan hanya meminta guru muda untuk foto selfie saja.
Selfie memang bukan sebuah pembelajaran dalam kurikulum manapun. Namun tahukah engkau bahwa selain mata pelajaran,
terdapat nilai etika yang tersirat maupun tersurat. Saya percaya kepada guru
yang memukul siswa karena siswa wajib mendapatkannya; karena salah. Saya tahu posisi siswa yang gemar ‘bersenang-senang’
maka selfie menjadi ‘kedekatan’ saya
dengan mereka. Tiba suatu saat, mereka akan bertanya tentang cita-cita, masa
depan, maupun bagaimana mewarnai hidup agar selalu ‘tersenyum’ sepanjang waktu.
Pasti terjadi, mereka
tidak akan bertanya kepada guru yang enggan bersuka-cita dengan mereka. Maka,
saya bersenang hati berbagi kisah, pengalaman sebagai orang ‘lebih tua’ dan
juga mengarahkan ke mana tujuan dari hidup mereka; soal kuliah dan jurusan yang tepat.
Saya kerap bertanya,
apakah siswa membutuhkan kedekatan ini? Mungkin sebagian butuh, mungkin juga
tidak. Saya memberi meski tidak diterima sekalipun! 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *