Rahim wanita cantik selalu jadi incaran. Rahim wanita untuk menampung benih pria. Rahim wanita melahirkan bayi. Rahim wanita banyak lahirkan anak bagaimana bentuknya?
Ternyata menikah dan melahirkan tidak semudah yang kupikirkan seperti sebelumnya. Menikah dan punya anak jadi sesuatu yang berbeda, yang kemudian kuketahui sudah mengubah hidupku dari kebiasaan-kebiasaan yang tidak ingin kutinggalkan sebenarnya.
Aku menikah dan meninggalkan kedua orang tua, hal yang sangat ingin aku lakukan sejak dulu. Ada beberapa alasan sehingga aku sangat ingin segera mengakhiri hidup bersama keluarga sendiri. Pertama, karena aku sudah seperti babu di rumah sendiri. Lahir dari keluarga kaya raya tidak serta-merta membuat aku sejahtera.
Ilustrasi – hipwee.com |
Keluargaku tidak mempunyai sikap dan sopan santun seperti yang kuinginkan. Ayah dan Ibu masih sangat berpikiran sempit waktu itu, kurasa memang begitu pola pikir orang kampung. Semua kesalahan ini terjadi karena aku terlahir sebagai perempuan!
“melahirkan sudah tugas seorang perempuan, jika sudah menikah. Perempuan mana pun pasti akan hamil jika Tuhan berkehendak. Perempuan pasti ingin mengandung dan melahirkan.”
Ayah punya dua istri. Istri pertama punya tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Setelah istri pertamanya meninggal Ayah menikah lagi. Dia adalah perempuan malang yang kusebut Ibu.
Saudara kandungku ada tiga juga dan sama dengan keluarga tiri, satu perempuan di dalamnya. Entah karena apa, mungkin karena kakak tiriku terlalu cepat menikah akhirnya aku tinggal sendiri di rumah. Jadilah aku perempuan satu-satunya.
Semua hal yang berhubungan dengan dapur, kasur dan sumur adalah tugas rutinku setiap hari. Keempat saudara laki-lakiku termasuk Ayah tak pernah jemu menyiksaku.
Pagi buta aku harus menyiapkan sarapan, belum lima menit aku istirahat baju kotor sudah menumpuk, belum lagi matahari beranjak terik aku harus membersihkan perkarangan rumah yang sangat luas untuk kubersihkan seorang diri.
Dan perempuan yang kusebut Ibu?
Ibu tiri dua saudara laki-laki itu. Duduk berleha-leha di teras sambil memberi perintah. Ayah pun tak pernah memintaku istirahat, pagi pergi pulang sore menjelang magrib.
Kuakui, Ibuku sangat bosan dengan rutinitas yang dia lakukan sejak kecil. Ibu yang terlahir sebagai keluarga miskin menjadi sangat ego setelah menikah dengan Ayah yang kaya raya.
Aku tidak pernah membantah mau ibu, aturan yang tidak boleh aku bangkang karena aku sebagai anaknya. Ibu pun tidak pernah kulihat berinisiatif mengambil seperempat pekerjaan yang kukerjakan sendiri.
Napasku menjadi lega saat Ayah mengabarkan aku akan dipinang orang ternama. Aku tidak begitu kenal laki-laki yang akan menjadi suamiku.
Karena aku tak pernah berinteraksi dengan seorang manusia pun selain saudaraku dan Ayah Ibu di rumah. Aku bisa menghitung berapa kali aku keluar pagar tembok rumah besar kami. Bahkan aku sampai lupa kapan terakhir keluar melihat keramaian.
Di usia gadis sepertiku, dunia luar adalah sebuah warna pekat, seperti malam. Aku pun tidak mengenal seorang teman dekat pun untuk sekadar bercerita.
Pria Cuma Bisa Menghamilli Wanitanya
Teman sekolah? Tetap sama saja. Aku hanya seorang perempuan yang lulus SMP. Tingkat pendidikan yang sangat rendah untuk seorang anak orang kaya raya.
Aku tidak tahu alasan Ayah dan Ibu tidak menyekolahkanku sampai tinggi, paling tidak sama seperti saudaraku yang lain sampai SMA.
Dan hubunganku dengan teman-teman semasa sekolah pun tidak biasa, aku hanya punya waktu lebih kurang setengah jam untuk bisa bercakap-cakap dengan teman di jam istirahat.
Selebihnya aku selalu buru-buru, agar tidak kena pukul Ibu jika terlambat pulang sekolah.
Menikah menjadi sebuah jalan pintas keluar dari masalah yang kuhadapi. Aku akan bebas dari amukan kata dan fisik Ibu.
Aku pun tidak memikirkan lagi dengan siapa aku menikah dan bagaimana kehidupanku kelak. Yang kutahu, calon suamiku seorang yang gagah rupawan!
Sudahkah Aku Terbebas?
Pernikahanku berlangsung tanpa kusadari sejak awal. Perjodohan yang dilakukan Ayah Ibu secepat kilat menyambar ulu hatiku.
Tanpa meminta jawaban pasti dariku, Ayah sudah menggelar acara lamaran. Bukan aku tidak setuju dengan cara Ayah, namun aku sedikit keberatan jika aku “dijual” begitu saja tanpa konfirmasi terlebih dahulu.
Aku akan mengiyakan maunya, alangkah baiknya jika Ayah mendiskusikan terlebih dahulu masalah ini denganku. Tak perlu berdebat, aku sudah sangat paham ego Ayah.
Dari kecil sampai menjelang lepas masa gadis, Ayah tak pernah ubah terhadapku. Ayah masih menutup mata bahwa aku bukan boneka yang seenak ingin Ayah perlakukan.
Setelah menikah aku sudah terbebas? Ternyata tidak. Suamiku belum mempunyai apa-apa. Setahun terakhir aku masih tinggal di rumah orang tua.
Kesibukan yang selama ini kujalani masih terus kuemban tanpa pernah kutahu akan berakhir. Meminta bantuan suami yang sibuk membangun karirnya.
Suamiku pergi di pagi hari, pulang di malam hari saat mataku sudah sangat lelah menunggu. Aku masih dalam keadaan sendiri, tak pernah merasa bahwa aku sudah dimiliki.
Keluh kesah yang kualami selama ini kudiamkan dalam sepi. Suami yang selama ini kudamba membebaskanku dari derita tak bisa kujadikan teman.
Dalam sendiri aku tak pernah tahu bahwa aku sudah mengandung. Pikiranku sering kosong. Kadang kuhabiskan waktu di belakang rumah menemani kandang ayam yang ramai suara kokok.
Wanita Sedih Hamil Tak Dipeduli Suami
Baru setelah masuk bulan keenam kehamilan aku baru tahu bahwa kandunganku semakin membesar. Hal ini pun kutahu saat suami meminta melayani maunya di malam hari. Rasa yang tak biasa dan perih yang tak bertepi.
Hamil sendiri, ngidam sendiri dan menahan sakit sendiri di saat lelah menerpa. Aku bahkan tidak bisa bertanya kapan ada waktu suami mengurusi kebutuhanku.
Aku bangga dengan suami yang gagah dan dipuja banyak orang. Aku pun bangga dengan aktivitas suami yang sibuk mencari rejeki.
Aku melahirkan putri pertama kami, ditemani Ibu yang saban waktu banyak menghabiskan hari di depan televisi. Kebutuhan bayi dan kebutuhanku kadang terbengkalai.
Bahkan untuk ke kamar kecil saja aku terseot-seot tanpa ada yang pegang. Sesekali Ibu mertua menjenguk, itu pun tak berbeda dengan kebiasaan Ibuku. Ibu mertua bahkan lebih mementingkan kebersihannya sendiri dari pada memandikan cucunya.
Barulah saat pikiran ku tak wajar mereka diam. Menatap bahwa aku sedang bernyanyi dan tertawa sendiri.
Kuabaikan putri merah ku, kubuang malu lantas berjalan-jalan sekeliling rumah dengan baju seadanya dan sehelai kain sarung melilit di pinggang. Darah mengalir pun tak pernah ku sadari memerahkan seluruh kain yang menutup tubuhku.
Aku lupa. Aku tidak ingat apa-apa selain nyanyian dan tertawa. Lagu-lagu yang sering kudengar disetel dengan kencang oleh Ibu kunyanyikan ulang.
Tangis putri mungilku meminta ASI kutertawakan. Begitu seterusnya sampai kutahu semua usai. Saat umur persalinanku lebih empat puluh hari.
Aku tak pernah meminta lagi kemauan yang selama ini terpendam kepada suami. Bahkan aku tidak ingat apa inginku.
Aku hanya ingat bahwa aku sudah sadar dari tidur panjang. Ibuku tak pernah jera. Dalam kondisi normalku yang malu, Ibu mempromosikan ke semua orang yang berkunjung bahwa aku sudah “setengah gila”.
Tak lupa Ibu memintaku menyanyikan kembali lagu-lagu yang sering kubawa saat sadarku menghilang selama empat puluh hari tersebut. Bagaimana Ibu tidak memikirkan perasaanku? Aku sendiri tidak pernah sadar apa yang kuucapkan di masa itu!
Belum Setahun Rehat Hamil Lagi
Keinginanku untuk pindah dari derita rumah tangga orang tuaku tak kunjung datang. Satu persatu abang-abangku menikah dan meninggalkan rumah kami. Tinggal aku sendiri di rumah bersama Ibu yang tak ubah seperti Ibu tiri.
Aku bahkan pernah membayangkan Ibuku sebagai Ibu tiri yang menyiksa anak-anaknya dengan besi panas. Ibuku masih memperlakukanku sebagai seorang gadis yang belum bersuami. Kebutuhan sehari-hari Ibu kulayani dengan benar, jika tidak tak segan Ibu memukulku dengan sapu lidi yang sudah sangat usang.
Padahal aku sudah bersuami dan beranak satu. Ibu lupa bahwa kepatuhanku bukan lagi padanya melainkan pada suami yang juga tak pernah mengerti mauku.
Putri pertamaku belum berusia lebih setahun ketika aku merasa perutku kembali mual dan aku ingin makan aneka rasa. Suamiku memberi isyarat kebahagiaan tiada tara saat masa datang bulan tak menghampiriku.
Kejantanannya menusuk-nusuk ulu hatiku saban waktu aku bersamanya, dia bahagia aku bisa hamil lagi, bagiku tidak. Dia bangga dengan aura laki-laki perkasanya. Dia senang dengan keturunannya.
Sakitku tidak menjadi pertimbangan suami, dia bahkan belum terpikir untuk berpindah rumah ke tempat yang lebih baik. Rumah gubuk saja sudah cukup untuk mengistirahatkan penatku.
Aku ingin duduk tenang di rumah kami, bukan menjalani rutinitas yang sama setiap hari. Aku akan melakukannya, cukup untuk suami dan anak-anakku saja!
Kehamilanku semakin membulat. Suamiku pun semakin senang. Karir yang dia bangun semakin hari semakin menanjak.
Hamil Lagi Hamil Lagi
Kesibukannya pun semakin bertambah. Waktunya lebih banyak di luar rumah dibandingkan menemani sepiku yang terbengkalai.
Aku tidak pernah tahu pekerjaan suami seperti apa dan berapa gajinya. Kehidupanku tetap sama, tidak pernah keluar rumah dan jauh dari keributan.
Satu-satunya teriakan yang sering kudengar adalah perintah Ibu dan satu-satu tangisan yang kudengar adalah tangisan putri kami.
Ketika anak kedua kami lahir, seorang putra gagah, aku belum merasakan ketenangan batin yang semestinya kuraih. Rasa sakit yang kurasa saat melahirkan anak pertama seakan hanya berselang hari.
Begitu dekatnya umur kedua anakku. Dan semua kembali terulang, selama empat puluh hari aku sibuk dengan pikiran alam bawah sadar. Aku tidak pernah merasa menginjakkan kaki di bumi, suaraku yang keluar hanya lirik-lirik lagu yang tak pernah didengar sebelumnya.
Aku bernyanyi dengan kata-kata tak bermakna bagi orang lain, hanya hujatan dan keluhan terhadap kehidupanku yang tidak normal.
Penyakitku tidak biasa, pikiranku seakan kosong dan aku tak sadar dengan apa yang kuucapkan setelah melahirkan. Entah karena beban pikiran yang membuncah, entah karena memang ada penyakit demikian.
Aku hanya mengalami sakit saat proses lahiran usai, dan penyakit aneh ini terus menggerogotiku sampai berumur empat puluh hari.
Kejadian itu terus terulang ketika aku melahirkan anak ketiga, keempat, kelima dan keenam dalam waktu sangat berdekatan!
Beban pikiranku yang hilang, berganti dengan suara-suara yang berloncatan keluar menjadi nyanyian. Seakan ada yang bisik untukku nyanyikan lagu-lagu dengan lirik sekenanya.
Hanya pikiranku yang sakit, sedangkan fisikku tetap sehat-sehat saja sampai empat puluh tahun setelah itu.