Rahim wanita cantik selalu jadi incaran. Rahim wanita untuk menampung benih pria. Rahim wanita melahirkan bayi. Rahim wanita banyak lahirkan anak bagaimana bentuknya?
![]() |
Ilustrasi – hipwee.com |
![]() |
Ilustrasi – hipwee.com |
![]() |
Ilustrasi – tribunnews.com |
![]() |
Kesedihan wanita. |
![]() |
Ilustrasi – sumber: tempo.co |
![]() |
Keluarga bahagia – tumblr.com |
![]() |
Ilustrasi – loop.co.id |
Kata orang aku tidak
waras. Orang-orang lebih banyak menjauhiku karena pikiran selalu tidak seimbang
dengan badan.
Aku mengerjakan ini tetapi pikiranku berada di tempat lain. Aku sedang
bersama seseorang tetapi kemudian aku lupa pernah mengenalnya.
Jangan kamu
tanya saudara dari sebelah siapa, Ayah atau Ibu, aku sungguh tidak
mengingatnya. Aku tidak hapal saudara dari pihak Ayah dan Ibu dengan baik
sebelum melihatnya langsung.
Aku hanya tahu mereka telah pamit usai magrib dan
tiba-tiba gerimis mulai turun. Saat itu rumah kami belum ada aliran listrik. Aku
duduk di sudut menghadap ke jendela dalam remang.
Aku menunggu Ayah dan Ibu
pulang. Gerimis yang mulai panik turun dengan sangat lebat. Malam yang pekat
tampak putih oleh hujan.
Pohon-pohon bergoyang di depan rumahku. Sebuah bayangan
melintas dan tiba-tiba telah ada di dalam rumah.
Aku cukup senang dengan kedatangan Amir karena kami memang sudah
sering bermain bersama, sejak kecil kami biasa berdua ke mana-mana. Ia seperti
menerima kekuranganku dan membelaku jika ada anak-anak lain menghujat.
Perhatian
Amir kemudian baru kupahami betul sebagai seorang teman setelah ia menikah
dengan Mala. Aku, Fatimah yang malang ditinggal Amir karena pria itu memilih
wanita yang sempurna.
Aku berbicara saja tidak begitu jelas di hadapan banyak
orang.
Aku pikir itu biasa saja dan tidak membawa pengaruh besar dalam
kehidupanku kemudian hari. Baru setelah Amir pulang, saat hujan reda, aku
merasakan sakit yang luar biasa di selangkangan.
Darah bercucuran dan aku mulai
panik. Aku takut kedua orang tuaku tahu apa yang telah terjadi. Aku mulai
membersihkan diri dan menangis menahan gejolak ini.
Sedikitpun Amir tidak melirik ke arahku. Aku tidak tahu sakit
seperti apa yang kuderita. Aku merasa dada sangat sesak.
Aku tak mampu menangis
atau pun berteriak. Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun untuk
menjelaskan apa yang terjadi hingga dua bulan setelah itu aku mual-mual, panas
dingin dan ingin makan banyak.
Ibu hanya mengeluarkan
kata-kata yang sama. Selalu itu saja.
Aku kemudian paham itu kalimat pamungkas karena Ibu malu telah
melahirkanku sebagai seorang anak abnormal.
Aku mendengar orang mencemooh tapi aku
tidak tahu maksudnya bagaimana. Aku mendengar bentakan-bentakan Ibu tetapi aku
tidak mampu mencernanya dengan baik.
Aku menerima tamparan Ayah tetapi aku
tidak mampu membalas, dan untuk apa kubalas. Aku cuma bisa berujar satu kata.
Aku tidak mabuk
alkohol tetapi pikiranku benar-benar tidak bisa kujalankan sebagaimana kamu
jalankan dengan benar.
Amir tidak mengakui bahwa dirinya yang
telah merenggut keperawananku. Aku juga tidak punya bukti untuk menjelaskan
kepada siapapun bahwa Amir yang telah berbuat hina kepadaku.
Aku tahu orang itu
adalah Amir. Aku cukup mengenal Amir. Amir satu-satunya teman pria yang dekat
denganku dan hanya dia yang datang ke rumah malam itu.
Aku laki-laki ku yang malang hanya ada di dalam pelukanku setiap waktu. Perlahan-lahan
Ibu iba. Ibu kemudian menaruh benci kepada Amir walaupun tidak diucapkan secara
terang-terangan.
Ibu mulai menutup pintu, menutup jendela, memalingkan muka
bayi tak bersalah itu, jika Amir melintas di depan rumah kami.
Aku akan lanjut menyusui agar bayi itu sehat dan cukup gizi. Aku
pun tidak tahu berapa lama bayi itu cuma berada di dalam rumah dan tak keluar
sama sekali.
Aku tidak mengadakan pesta aqiqah dan turun mandi
besar-besaran seperti Amir dan Mala. Aku bersabar di balik jendela mengintip
kericuhan tamu undangan di rumah Amir.
Anak laki-laki itu cukup senang dan
bahagia dipangku oleh banyak orang. Anak laki-laki ku, cuma menatap
langit-langit dengan mata berkedip dan bibir menyebutkan sesuatu.
Bayi itu menangis aku diamkan saja sampai Ibu yang menenangkannya. Semua kebutuhan
anak itu hanya Ibu yang tahu.
Aku tidak tahu
harus berbuat apa. Aku tidak bersawah seperti orang lain. Aku tidak punya kebun
di belakang rumah.
Aku tidak punya keahlian tangan seperti Mala yang pintar
menjahit. Aku tidak punya apa-apa selain Ayah. Ayah juga mulai sakit-sakitan. Tanggung
jawabku terbagi dua antara anak kecil dan orang tua. Anakku, Imam, tidak rewel
dan lebih banyak diam.
Imam seperti menyimpan rahasia cukup besar dan
menanggung beban teramat berat. Ayah lebih banyak maunya dan butuh dalam waktu
cepat.
Aku sangat kelelahan menghadapi tabiat Ayah dan sedih melihat Imam yang
tak banyak bicara. Hati kecilku merasa Imam akan sama denganku. Keturunan tak
akan jauh berbeda.
Aku memiliki IQ jongkok – begitu kudengar dari orang-orang –
dan Imam mungkin saja menerima harta karun itu dariku. Tanda-tandanya sudah ada
sehingga aku merasa sangat bingung untuk membuat Imam berharga.
Aku tidak bisa berdiam diri saja. Tidak ada
yang bisa kuharapkan selain bekerja lebih giat karena Imam telah masuk sekolah
dasar.
Aku bekerja apa saja. Aku mencuci dan menyetrikan baju orang lain yang
membutuhkan bantuanku. Dari satu rumah berpindah ke rumah lain. Tiap hari aku
mencuci dan menyetrika, kadang juga memasak.
Anakku itu sangat
jauh berbeda denganku. Semua di luar kekhawatiranku. Sejak kelas satu sudah peringkat
pertama. Imam unggul dalam berbagai bidang studi dan olahraga, khususnya
sepakbola.
Anak-anak yang sering mengejek Imam kebanyakan perempuan. Hatiku terasa
begitu sesak begitu mengetahui Imam berteman baik dengan Aris, anak Amir dan
Mala.
Aku tidak tahu bagaimana cara melarang karena tiap kali ingin
kusampaikan, Imam dan Aris telah bermain di depan rumah. Mereka main hujan
bersama.
Mereka main mobil-mobilan berdua. Mereka saling menendang bola di
depan rumah jika tidak bermain di lapangan kampung yang jaraknya dua ratus
meter.
Imam akan bersabar menunggu jawaban dariku bahkan sampai
berhari-hari aku belum memberi penjelasan.
Imam yang pintar dalam banyak hal
sangat dewasa dan mudah mencerna apa yang disampaikan orang kepadanya.
Imam tentu
percaya omongan di luar sana dan melayangkan pertanyaan kepadaku untuk
memastikan saja. Tak lebih dari itu. Sebuah kepastian.
Mau tidak mau aku harus
menjawab walaupun di kemudian hari, sampai kapanpun, Amir tidak akan pernah
menjadi wali untuk Imam.
Amir tidak pernah mengakui Imam anaknya walau ia tahu
itu darah dagingnya. Amir tidak menikahiku sampai kini sehingga tidak ada
pertalian antara aku dengannya.
Dan terakhir, Imam lahir di luar pernikahan yang
sah.
Saat Imam menanggung beban seorang diri mengenai perwalian. Saat Imam
seharusnya dengan bangga mengenalkan kedua orang tua kepada calon istrinya
nanti.
Bukan
dariku atau dari Amir. Imam lebih banyak berdiam diri saat harus melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan seorang ayah. Imam bahkan berani tegas kepada
siapapun yang bertanya mengenai ayahnya.
Sorot mata Imam sulit kuartikan jika
melihat Amir. Imam tanpa memberikan isyarat benci atau suka kepada Amir. Imam
juga tidak pernah mau bertegur sapa lagi dengan Amir begitu ia mengetahui fakta
sebenarnya.
Tatapan mata Amir yang sungguh berbeda. Amir tampak menyesal dan
aku tidak butuh lagi karena Imam telah besar, kubesarkan seorang diri!
Hubungan Imam
dengan Aris biasa-biasa saja. Mereka berdua tahu satu ayah. Mereka berdua
berbeda. Aris hidup dalam kemewahan. Imam sebaliknya.
Aris memenuhi segala
kasih sayang. Imam hanya memilikku seorang. Di sisi lain, mereka saling
melengkapi.
Mungkin pengaruh pertalian darah, mungkin pengaruh psikologis
karena sejak kecil sering berdua. Entahlah. Aku tidak tahu.
Apapun yang
aku lakukan selalu diketahuinya tanpa kuketahui bagaimana cara dia mengetahui
hal itu. Bisa kukatakan, aku adalah wanita terbahagia saat ini.
Walaupun kami
belum dikaruniai seorang anak tetapi kami sangat menikmati masa-masa indah
selama delapan pernikahan.
![]() |
Ilustrasi. |
Kami
bahkan pulang pergi ke Kuala Lumpur untuk mengobati penyakitnya. Bukan tanpa
alasan aku dan dia ke luar negeri untuk berobat.
Desas-desus yang kudengar di
sini, banyak orang yang sembuh setelah terbang ke negeri jiran. Aku tak mau
membuang kesempatan ini.
Dia adalah sesuatu yang tak mungkin kuabaikan. Pucat wajahnya
sama dengan pucat wajahku juga. Kurus badannya akan menular ke kurus badanku
juga.
Dia tidak tidur menahan sakit, aku pun melakukan hal yang sama.
Sifat posesifnya semakin hari semakin menanjak naik. Tak hanya itu, uang
jajan yang kukasih tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Dia bahkan
memegang kendali kartu ATM milikku. Aku nggak ambil pusing karena sangat
percaya kepadanya. Kepercayaan yang kemudian kusesali karena tabiat dia yang
ternyata tak pernah puas.
Dia mencari kesenangan di luar rumah dengan memamerkan semua milikku.
Dia
mengendarai mobil dengan angkuhnya di belakangku bersama wanita yang belum
kuketahui jelasnya.
Dia tertawa-tawa di pusat perbelanjaan maupun rumah makan
mahal dengan tabungan di rekeningku.
Aku curiga kenapa mobil kami selalu membekaskan aroma
berbeda dari parfum yang kusemprotkan pada diriku atau dirinya.
Begitu sebuah
tanya kulontarkan, dia memetik emosi sampai ke langit ketujuh. Dia marah-marah
tanpa sebab padahal aku cuma mengeluarkan sebuah pertanyaan saja.
Padahal jelas-jelas rekanku
sebentar lagi akan menikah dengan kekasih wanitanya. Namun aku tak
membesar-besarkan masalah itu.
Dia selalu
curiga aku selingkuh. Dan kemudian dia sering menerima telepon lalu membual
tawa membahana sampai larut malam.
Tanpa kutanya, dia mengatakan seorang teman
menelepon karena ingin curhat. Curhat yang akhirnya selalu terjadwal.
Aku masih
percaya – setengah percaya – dalam waktu yang lama sampai sebuah pesan kubaca
tak sengaja. – Abang kapan pulang ke mari? Adek kangen banget lho! – Begitu
kira-kira pesan yang kubaca saat dia tertidur pagi hari.
Aku teriak sekuat
tenaga. Tak kupedulikan tetangga mengangga. Tak kuhiraukan apapun selain sebuah
kepastian.
Seorang wanita
tinggi semampai. Seorang wanita cantik jelita menurutnya. Seorang wanita yang
lembut kasih sayangnya, baginya. Seorang wanita yang telah memberikan semua
hasrat kepadanya. Sedangkan aku?
Itu
juga rumahku, aku yang membeli rumah itu dengan simpanan yang tak kukasih tahu
kepadanya waktu itu.
Ayah menduakan
ibuku sewaktu aku masih di dalam kandungan. Menikah dengan ibu tiri yang kini merajuk
kepadaku jika tak ada pemasukan dari usahanya membuka kios kelontong.
Kucabik-cabik raga untuk melupakan semua yang kurasa. Aku tak
lagi senang. Aku tak terbungkus lagi dalam bahagia. Semua telah usai. Dan gemuk
badanku turun drastis.
Dia ngotot untuk
tidak membagi padahal jelas-jelas rumah, mobil dan bahkan seluruh tubuhnya
berisi uang dari kerja kerasku. Dia membantai aku dengan kalimat demi kalimat
yang tak bisa diterima akal sehat.
Naif sekali pria berpendidikan pascasarjana
mengeluarkan kata-kata tak berbobot. Aku terima umpatan-umpatan itu. Aku terima
saat dia mengatakan aku mandul.
Dia seakan-akan lupa perkataan dokter kandungan
yang mengatakan dirinya tak kuat untuk bertarung dalam perang sesungguhnya untuk
mencapai mulut rahim.
Aku survive untuk melanjutkan hidup
tanpa dia. Kulihat kiri dan kanan yang terus mengabdi pada hidup, aku pun
demikian.
Tekadku kemudian adalah mempercantik diri. Terserah orang mau bilang
aku balas dendam karena dikata tak cantik dan gemuk oleh pria yang pernah menjadi
suami itu. Aku benar-benar butuh sesuatu yang baru.
Aku memulai hidup yang baru. Aku telah move on walau belum penuh
seutuhnya. Dan dia?
Aku tak mau berhadapan lagi dengannya setelah sekian aroma
perih yang ditebarkan sampai aku tak mampu beranjak.
Salah dia sendiri memulai
apa yang sebelumnya dia yakini aku yang berbuat. Deritanya jika tak punya uang
setelah mencampakkan aku.
Pulang saja ke istri kedua itu jika butuh pelukan
hangat. Tak usah tebar pesona pada kehangatanku yang dianggap angin lalu tak
berbekas.
![]() |
Ilustrasi. |
![]() |
Perempan dan HIV |