Maaf kata kunci kehidupan bahagia – pembelajar.com |
Di awal Syawal momen memaafkan lebih bernyawa karena Idul Fitri satu-satunya hari kembali ke suci setelah berpuasa – dan bisa dikatakan setelah beraktivitas selama satu tahun.
Kamu sibuk dengan kehidupan sendiri maaf itu tak perlu diucap. Kamu nggak pernah membicarakan orang lain di kursi belakang, maaf itu tak perlu tersirat dan tersurat.
Kamu mencemooh usaha teman telah bekerja keras dalam mengais rejeki. Kamu merendahkan nasib hidup teman yang masih di bawah garis kemiskinan. Dan sebagainya.
Sesuatu yang saya maksud adalah yang berkenaan dengan orang lain, kejelekan demi kejelekan.
Walaupun di awal Ramadan dan di Idul Fitri telah saling memaafkan namun lepas dari itu tetap memulai lagi kesalahan yang serupa.
Secuil saja hati orang lain tersakiti, minta maaflah kepadanya!
Budaya orang Korea Selatan yang tercermin dalam drama seri cukup kental sekali dengan sifat maaf-memaafkan.
Sedikit saja salah maka aktor atau artis akan menunduk sambil mengucapkan kata maaf. Drama memang tayangan televisi yang diangkat dari cerita fiktif atau benar nyata.
Namun itu adalah cerminan kehidupan secara universal di suatu tempat. Begitu terus-menerus sampai menjadi kebiasaan secara sengaja ataupun tidak.
Budaya memaafkan memang sangat enteng. Manakala telah banyak berbuat salah, sifat menunggu momen memaafkan dijalankan . “Nanti sajalah,” atau “Lebaran saja,”
Padahal satu masalah adalah satu maaf. Banyak masalah adalah banyak maaf. Maaf itu adalah utang yang harus dilunasi secara tunai.
Utang seribu bayar seribu. Jika salah sudah tak terhitung bagaimana cara meminta maaf dan maaf mana yang perlu dilunasi?
Kepala memang mengangguk tetapi hati belum tentu mengiyakan. Belum lagi jika berbicara perkara yang besar, sampai menyangkut dengan harga diri.
“Ketika dalam diri kita ada luka batin yang disimpan, dan karena kesombongan kita untuk tidak memaafkan, rasa marah itu akan tertanam dalam dan menggerogoti tubuh.” – Psikolog Susetyo dari GMS HRD Consultant –
Orang lain telah berbuat salah tanpa melihat kronologis kejadian. Kita menghujat, mencaci-maki, membiarkan semua amarah menumpuk.
Giliran untuk meminta maaf kita berada di garis batas keegoisan karena pembenaran atas pola pikir yang keliru.
Sama tetangga depan rumah. Sama tetangga kiri dan kanan. Sama teman di kantor. Bahkan, sama orang tua – keluarga – di rumah.
Sama orang lain yang tak mungkin dicatat dengan baik di dalam kepala karena manusia memiliki sifat pelupa.
“Jika Anda tidak memiliki keinginan untuk memaafkan, stres akan memperburuk kesehatan mental Anda secara tidak tanggung-tanggung, yang akhirnya memperburuk kesehatan fisik juga. Sehingga, Anda tidak memiliki penangkal stres.” – Loren Toussaint, Profesor Psikologi Universitas Luther –
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” – Q.S. Al-Baqarah ayat 263 –
Urusan dimaafkan bukan lagi tanggung jawab kita. Urusan sesama manusia telah terselesaikan.