Categories
Uncategorized

SimPATI ‘Anak’ Tsunami yang Makin Cantik Jelang Usia Remaja

orang-orang telah memiliki telepon genggam! – keluh dalam hati saya usai
tsunami Aceh.
“Berapa
nomor handphone kamu, Bai?”
Awal
tsunami Aceh, tahun 2005, pertanyaan ini kerap sekali muncul. Teman-teman saya
sebagian besar telah memiliki handphone dan mudah saja mengirim pesan
singkat apabila dosen tidak masuk. Saya sering terbirit-birit ke kampus lalu
pulang lagi karena tidak mendapatkan informasi. Di tahun yang sama pula, saya
mulai aktif di organisasi kepenulisan, Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh. Masa itu,
Cut Intan Meutia yang menjabat ketua wilayah Aceh meminta nomor handphone
yang bisa dihubungi. Saya terpaksa memberikan nomor handphone teman
dekat, Fifi, untuk komunikasi rutin apabila ada pertemuan mingguan atau
lain-lain. Pesan singkat yang kadang dikirim sehari sebelum kegiatan, baru
disampaikan Fifi di hari setelahnya saat bertemu di kampus.

“Maaf
ya, Bai, aku nggak bisa ngasih tahu ke kamu ke kosan,” Fifi merasa
bersalah karena pesan penting itu tidak tersampaikan.
Memang,
pengguna handphone masa saat itu adalah mereka saja yang mampu. Kami
mahasiswa yang masih dalam keadaan hemat pangkal kaya, sama sekali belum bisa
membagikan nomor ‘cantik’ kepada siapapun yang bertanya. Keinginan membuncah
saat orang-orang di jalan memegang handphone berbagai merek. Entah
mereka benar tersibuk dengan pesan berantai atau cuma main game ular yang
populer itu. Salah satu merek ternama asal Finlandia menjadi primadona. Seorang
teman saya malah telah menggunakan seri termahal dengan kamera dan akses
internet berbasis JAVA. Mungkin kamu tahu tipe ponsel ini, berbentuk seperti
kodok.
Nomor
handphone semakin menjadi salah satu sarana komunikasi wajib di mana pun
bertemu orang. Entah siapapun di kampus, di organisasi yang saya ikuti,
teman-teman nongkrong warung kopi, telah memiliki handphone yang
masa itu cukup elit walaupun cuma mengandalkan pesan singkat dan telepon satu
menit karena lebih dari itu akan mahal biayanya.
Proses
yang cukup lama sehingga saya mendapatkan handphone dengan merek yang
sama seperti disebutkan di atas. Tahun 2006 saya mempunyai handphone
dengan layar berwarna, ringtone polyphonic yang masa itu cukup baik
terdengar saat ada panggilan, saya beli seharga Rp.700.000. Cukup mahal untuk
ukuran dompet mahasiswa pada masa itu.
Saya
telah memiliki ponsel dan saya kemudian mengirimkan pesan kepada teman-teman
yang nomornya tersimpan di buku saku. Belum banyak nomor ponsel yang saya
simpan. Orang-orang terdekat saja. Bahkan, keluarga di kampung pun belum saya
kantongi nomor handphone yang bisa dihubungi.
“Bai,
nomor kamu kok beda ya. Kayaknya itu area Medan. Kamu beli nomor lain
aja
, minta area Aceh gitu!” Fardelyn Hacky membalas pesan singkat
saya dengan cepat. Saya yang masih awam soal ini tidak memedulikan apakah itu
penting atau tidak. Di kemudian hari saya tahu bahwa beda area, beda pula biayanya,
walaupun di masa sekarang telah tidak berlaku lagi untuk sesama operator.
“Ganti
aja sebelum banyak dikasih ke orang. Lagian nomor kamu jelek banget,
nggak mudah dihapal!” Hacky membalas lagi pesan saya dengan pendapatnya yang
lain. Tidak mau menunggu lama, saya bergegas ke toko handphone terdekat
untuk mendapatkan nomor lain.
“Nomor
cantik ada ni, Bang,” ujar pemilik toko begitu saya tanya nomor untuk
area Aceh. Saya memilih-milih nomor yang disodorkan oleh pria yang saya taksir
lebih tua dari saya lima tahun itu.
“Kalau
yang ini berapa, Bang?”
“Itu
mahal sikit, Bang,” saya menimbang-nimbang. Nomor ponsel di dalam
kemasan merah itu terlihat sangat menggoda. Isi dompet yang begitu mencekak
membuat saya berpikir dua kali. Namun saya harus mendapatkan nomor yang mudah
dihapal dan diingat itu. Pilihan yang tepat setelah saya mengeluarkan lembaran
Rp.100.000. Saya lupa berapa kembalian yang diberikan oleh penjual itu. Saya
cuma ingat bahwa nomor itu cantik dan cukup mahal untuk kantong mahasiswa.
Kemudian,
saya mulai mengirim kembali pesan dengan isi bahwa saya telah ganti nomor handphone.
Saya mengirim ke beberapa teman dari nomor 081360970xxx dan langsung mendapat
respon beragam. Ada yang bilang nomor saya sangat cantik, ada yang tanya beli
di mana, ada yang tanya berapa harganya dan lain-lain. Nomor handphone
cantik rupanya masih berlaku sampai saat ini. Ke mana-mana orang akan cari
nomor cantik jika akan dipakai dalam waktu lama. Bedanya, saat ini nomor cantik
tidak semahal dulu.
SimPATI
dengan nomor cantik di atas memang ‘anak’ tsunami yang lahir akibat ganti
kartu. Namun setelah itu saya tidak pernah mengganti nomor ponsel pribadi. Saat
banyak teman mengganti nomor dengan alasan mahal saat berkirim pesan, mahal di
telepon, banyak yang ganggu, dan beragam alasan lain, saya masih bertahan di
nomor yang sama. Ke mana-mana saya sangat bangga memamerkan nomor cantik ini. Ibarat
seorang gadis yang beranjak remaja, nomor SimPATI saya ini telah menjadi
permaisuri yang abadi.

Beranjak
ke tahun yang digeluti oleh internet. Saat orang-orang beralih ke pesan instan
dari smartphone negeri Kanada, saya masih bertahan di nomor cantik ini. Saya
masih belum move on dari pesan ‘tradisional’ ke perpesanan populer
tersebut. Kemunculan smartphone Android yang lebih murah, layar sentuh, dan
interface yang menarik, barulah saya ganti dengan smartphone dari
negeri ginseng. Tahun 2011 adalah masa yang sangat keemasan untuk saya karena nomor
SimPATI ini masih memiliki paket internet terjangkau. Saya cukup isi pulsa
Rp.50.000 sampai Rp.100.000 untuk dapat membeli Paket DATA. Interaksi melalui
pesan instan terus dimulai, media sosial semakin marak di versi mobile. Smartphone
saya pun tidak lagi dapat menampung banyak aplikasi. Saya mesti upgrade smartphone
generasi terbaru sehingga dapat menjalin komunikasi dengan cepat. Awal 2013
saya memboyong tipe smartphone dual sim, juga dari produsen Korea
Selatan. SimPATI dengan nomor cantik saya sering tidak mendapatkan promosi
Paket DATA terjangkau. Saya pun bolak-balik beli kartu baru untuk akses
internet. Tiap bulan saya pasang kartu baru untuk internet. Namun si cantik
yang tidak pernah saya copot dari selimutnya tetap saya pakai untuk komunikasi
konvensional. Kartu Telkomsel yang saya gonta-ganti hanya untuk internet saja.
Habis dibuang. Beli baru lagi untuk bisa berselancar di dunia maya. Begitu
seterusnya sampai saya merasa lelah dan kasihan dengan smartphone yang
sering lecet dibuka tutup belakangnya.
Si
cantik ‘anak’ tsunami juga selalu terisi pulsa. Kurang dari Rp.5000 saja di
dalamnya saya bisa kelabakan. Teman saya ada yang kagum dengan kesetiaan
terhadap satu nomor. Ada pula yang bercanda bahwa saya kebal terhadap nomor
asing yang sering menganggu. Ada pula yang nyinyir saat masuk pesan
singkat mama minta pulsa atau Anda menang undian mobil dari Telkomsel
yang diundi melalui blog gratisan
.
Perkembangan
dunia telekomunikasi yang semakin ketat dan fenomenal, berlaku juga untuk
penggunaan kartu telepon dan internet. Dunia blogger yang ‘cetar’ seperti ungkapan
cantik Kak Syahrini membuat saya juga membahana. Saya yang ribet selalu ganti
kartu tiap bulan untuk internet kemudian diuntungkan dengan hadirnya smartphone
dengan SimCard micro dan nano. Saya bertekad untuk tidak
membongkar-pasang kartu lagi di smartphone high end dari berkah ngeblog.
Akhir 2015 saya memang telah berganti smartphone dari produsen Korea Selatan
ke Taiwan. Ponsel pintar ini menyediakan slot kartu berbentuk mikro yang sayang
jika terus dibongkar pasang.
Maret
2016 saya bergegas ke GraPari Telkomsel untuk mendapatkan nomor Kartu Halo.
Siang yang terik di luar tidak menyudutkan keinginan saya ke Customer Service
Telkomsel. Nomor antrian untuk bercakap-cakap dengan wanita cantik yang terus
berbicara dengan konsumen itu telah saya pegang. Suara panggilan terdengar.
Saya bergegas ke depan wanita cantik yang ramah itu.
“Selamat
siang, Bapak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
Saya
mulai bercerocos tentang keinginan mengaktifkan Kartu Halo. Wanita cantik
berkerudung merah itu pula cepat menanggapi keinginan saya. Syarat-syarat untuk
aktivasi Kartu Halo saya berikan kepadanya. Tiba saat yang ditunggu, request
nomor Kartu Halo. Apakah akan bisa secantik si SimPATI?
Saya
mulai mencoret. Wanita yang tak lepas dari senyum itu mulai memberikan
alternatif. Beberapa pilihan yang saya berikan tidak bisa dipenuhi karena telah
terdaftar.
“Nomor
ini ada, Pak,” ujarnya. “081168970xx, sama dengan nomor SimPATI yang Bapak
punya,”
Benar-benar
cantik. Artinya, saya tidak akan kesulitan untuk menghapal nomor baru ini. Wanita
dengan jari cekatan itu mulai mengetik dengan cepat di keyboard. Layar
komputer yang membelakangi saya entah berisi apa. Tak lama, ia mengetuk-ketuk layar
tablet dari produsen berlogo buah apel. Lalu saya diminta untuk membubuhkan
tanda tangan. Kartu yang masih tersegel kemudian ia buka, dimasukkan ke dalam
mesin di dekatnya, semenit kemudian telah berada di tangan saya.
Saya
telah mengaktifkan nomor Kartu Halo. Katanya, pengguna Kartu Halo lebih banyak dari
orang kaya namun tidak semua demikian. Kemudahannya tentu berbeda dengan
SimPATI. Hari yang terus digerus dengan kebutuhan internet dan telepon membuat
saya butuh pulsa tiap waktu. Selama pakai SimPATI sering khawatir tengah malam
kehabisan pulsa, setelah berada di Kartu Halo saya merasa lebih nyaman. Karena
apa? Tentu saja, jika paket internet habis, paket telepon habis, paket SMS
habis, saya masih bisa menggunakannya dan pembayaran akan masuk ke tagihan
bulan berikutnya.
Apakah
Kartu Halo hanya untuk orang kaya saja? Dulu mungkin saja demikian. Artinya, mereka
yang punya pekerjaan tetap, gaji tetap dan alasan lain. Kini Kartu Halo bisa
dinikmati oleh semua orang dengan syarat rutin membayar tagihan sehingga
benar-benar menjadi konsumen prioritas.
Semula
saya mengaktifkan paket Rp.50.000 dengan 2GB internet, 60 menit telepon dan 100
SMS. Paket internet yang cepat habis membuat saya mengaktifkan kembali Paket
Turbo. Saya pikir aman-aman saja namun tagihan mahal bengkak. Daripada saya
membeli kartu lain lebih baik memberdayakan apa yang ada, begitu instingnya.
Nama
juga prioritas, semua pasti akan diutamakan. Dua bulan yang lalu, saya menerima
panggilan telepon dari nomor empat digit, nama yang tertera adalah TELKOMSEL. Ngarapnya
saya menang mobil atau hadiah umrah. Tetapi suara pria di ujung sana tak henti
menyebutkan bahwa saya telah ‘rugi’ dengan mengaktifkan Paket Turbo sehingga
tagihan membengkak. Pria yang tidak saya tahu namanya itu – akibat lupa – menyarankan
saya untuk pindah siklus sehingga tidak lagi mengaktifkan paket yang lain. Lebih
dari 30 menit kami berdiskusi sampai akhirnya saya mengalihkan paket dari
Rp.50.000 menjadi Rp.150.000 dengan 5GB internet, 75 menit telepon dan 250 SMS.
“Apakah
semua pengguna Kartu Halo akan disarankan pindah siklus, Mas?” tanya saya
kemudian.
“Tidak,
Mas. Kami memiliki prioritas tersendiri, salah satunya rutin membayar tagihan,
tidak kena denda, dan masa aktif selama 6 bulan tidak putus-putus,” penjelasan
yang menarik karena saya dihubungi langsung oleh Customer Service dan
tak perlu ke GraPari untuk mengganti siklus.
Sampai
di sini, saya merasa bahwa pengguna Kartu Halo memang memiliki tempat khusus di
hati Telkomsel. Setelah pindah siklus pula saya merasa lebih nyaman karena
perbandingan setelah itu adalah bisa dua kali saya beli paket internet seharga
Rp.70.000 dalam sebulan. Persis seminggu yang lalu, empat digit nomor TELKOMSEL
kembali menghubungi saya. Seorang wanita menyapa dengan halus. Berbeda dengan
sebelumnya, kali ini wanita tersebut menyebutkan bahwa pengguna Kartu Halo
Prioritas akan dihubungi secara acak untuk ditawarkan paket tertentu. Paket
dari Kartu Halo yang ditawarkan oleh CS Pusat ini tidak bisa didapatkan di CS
GraPari terdekat. Perhatian Telkomsel terhadap pengguna Kartu Halo memang
menarik. Walapun kemudian saya menolak untuk mengaktifkan paket yang dimaksud
dan meminta untuk ditelepon sebulan kemudian, saya merasa kemudahan yang
diberikan cukup bernyali.
Kartu
Halo yang telah saya genggam, kini tertanam rapi di smartphone high end
asal Taiwan yang baru saya pakai dua bulan. Smartphone dengan bezel kaca
ini merupakan salah satu ponsel pintar yang telah mendukung SimCard micro dan
nano. Si cantik SimPATI yang memiliki masa aktif sampai akhir 2017
bertahan dalam bentuk micro. Si Halo yang juga cantik saya ubah ke dalam
bentuk nano. Saya tak perlu repot-repot untuk memasukkan pentul ke
lubang sebelah kiri ponsel pintar ini untuk mengeluarkan SimCard. Saya juga
tidak mesti ganti-ganti kartu lagi, ganti smartphone tentu saja boleh. Tiap
tanggal 11, paket dari Kartu Halo akan masuk dengan sendirinya. Dua saudara
yang memiliki nama belakang sama menemani saya dari waktu ke waktu. Kamu yang
menghubungi saya ke 081360 akan saya balas. Saya akan menghubungi kamu dengan
nomor 081168 karena di sana telah terdapat paket telepon yang sayang dibuang
begitu saja.
970
yang cantik, keduanya adalah adik kakak yang tidak sering buat tingkah. Sesekali
ngadat karena cuaca atau perbaikan sistem, saya keluhkan ke @telkomsel
di Twitter. Saya tidak memerlukan waktu lama, Admin yang bertugas akan menjawab
bahkan membantu dengan cepat baik melalui mention maupun direct
message
.
Panjang
perjalanan saya dengan Telkomsel sampai berbuih pun tak bisa menjabarkan bagian
yang terlupa. True story ini ada di bagian terhangat dalam hidup saya
karena komunikasi itu penting. Sarana yang cepat adalah melalui jaringan
Telkomsel di seluruh negeri. Jika pun kamu bertanya, saya tidak pernah
menggunakan nomor dari provider lain. Dulu satu si cantik SimPATI. Sekarang
telah bertambah si cantik Kartu Halo. Call me jika kamu tidak percaya
bahwa keduanya aktif sampai saat ini!

Dua
si cantik ini membuat saya termasuk ke dalam bagian yang menyemarakkan Indonesia Makin Digital.
Kamu kapan masuk ke dalam bagian ini?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *