Categories
Uncategorized

Jejak yang Tersisa Setelah 11 Tahun Tsunami

Apabila ada yang bertanya, apakah masih memendam duka setelah 11 tahun berlalu? Tetap ada. Musibah sebesar gempa dan tsunami bukanlah hal yang mudah dilupakan. Butuh waktu yang cukup lama untuk membuang perih hari itu. Generasi setelah 2004 memang bisa melupakan dengan mudah karena mereka hanya mendengar kisah pilu ini dari mulut ke mulut dan pemberitaan yang luar biasa begitu tiba tanggal 26 Desember di seluruh Aceh. 
Puing-puing tsunami dalam bentuk benda mati memang telah tiada. Puing-puing itu telah menjelma menjadi warisan lain yang tak bisa digantikan dengan apapun. Tsunami mengubah paradigma masyarakat Aceh untuk terus berbenah menjadi masyarakat yang Islami dan madani. Siapapun mengingat namun tidak mau terlarut dalam luka ini sepanjang waktu. 
Apa yang tersisa setelah 11 tahun ini? Semangat hidup tak pernah pudar 
Aceh adalah keras. Penjajah terusir dari negeri ini. Konflik lambat-laun terlerai. Akar dari semua itu adalah manusianya yang keras kepala. Keras kepala bukan berarti selalu jelek, di satu sisi sifat ini justru sangat membantu dalam membuang lara. 
Dari sifat keras kepala ini pula semangat untuk terus hidup dinyalakan sampai ke ubun tertinggi. Aceh bukanlah Jepang. Aceh bukanlah Korea. Masyarakat Aceh adalah mereka yang memegang teguh pendirian dan aturan agama dengan patuh. Kita sering mendengar warga Jepang atau Korea yang bunuh diri karena semangat hidup telah redup. Apabila ini berlaku pada masyarakat Aceh tentu saja nyawa-nyawa telah melayang setelah tsunami. 
Karena apa? Anak istri tiada. Harta benda luluh-lantak. Bau amis di mana-mana. Ke mana arah tujuan? Nyatanya, masyarakat Aceh terus berbenah mencapai titik tertinggi sehingga semangat hidup tak bisa digantikan dengan kegalauan. 
Mereka yang kehilangan istri atau suami, menikah lagi dengan pasangan baru. Mereka yang kehilangan harta benda, sebagian besar telah dibangun rumah bantuan. Lepas dari bantuan dari kiri dan kanan, emosional masyakarat Aceh adalah bantuan tertinggi sebelum mencapai puncak kesuksesan di masa kini. Kita melihat sendiri bahwa pembangunan di Aceh semakin hari semakin meningkat. 

Pembangunan psikis dan fisik 

Bagaimana cara membangun psikis? Rasa percaya dan keyakinan kepada Tuhan bahwa hidup bukan hari ini saja. Masyarakat Aceh telah membangun benteng terlalu besar dalam membina hati yang retak. Hasilnya bisa Anda lihat sendiri dengan pembangunan dalam bentuk fisik. 
Contoh kecil saja, warung kopi di mana-mana dan sebagian bahkan buka 24 jam. Tidak hanya itu, warung kopi di Aceh adalah warung kopi terbaik untuk seluruh rakyat Indonesia karena di sinilah Anda bisa pesan segelas kopi dan menggunakan fasilitas internet dan listrik gratis dari pagi sampai paginya lagi. 
Warung kopi tidak hanya menjadi ajang menyeruput kopi dan membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat saja. Warung kopi adalah bisnis. Warung kopi adalah uang. Warung kopi adalah “nyawa” Aceh setelah luka yang lama. 
Pembangunan fisik lain ditandai dengan bangunan-bangunan gedung yang semakin megah dan mewah, khususnya di Banda Aceh. Untuk pembangunan fisik ini, tengok kami jika Anda punya kesempatan ke Aceh. 
Pantai yang dulu keruh sekarang membiru dan bening. Laut yang dulu pekat, kini deru ombaknya bagaikan nyanyian alam yang nadanya tak mampu ditandingi oleh manusia manapun. Efeknya, Aceh telah termasuk destinasi wisata terbaik di Indonesia karena keberagaman suku, bahasa dan teristimewa hukum Islam yang belum ada duanya di Indonesia. 

Canda dan tawa terus bergelora

Tak ada waktu untuk bersedih karena hidup bukan hari ini saja. 11 tahun telah lewat namun canda dan tawa terbahak di mana-mana. Tidak mudah mengeluarkan tawa sekeras-kerasnya apabila mengingat luka lama. 
Namun masyarakat Aceh telah melakukan hal ini sekian lama. Canda telah menjadi kebiasaan hidup di Aceh. Tawa adalah nada terindah karena hidup terus mengalir mencapai dataran tertinggi. 
Anak-anak di Aceh terus merangkak mencapai gelar terbaik. Orang tua terus menyemangati putra-putri mereka untuk memiliki jiwa tangguh. Lingkungan terus mengajarkan bahwa hidup ini keras dan perjuangan baru dimulai sejak dewasa. Hukum Islam terus diperbaiki dan memunculkan rasa nyaman dan aman bagi warga Aceh. 
Tidak mudah mencapai puncak seperti yang dirasakan oleh masyarakat Aceh setelah kehilangan banyak hal. Lihatlah kami di sini, hal yang tak mudah justru menjadi mudah. Aceh selalu aman selama kami menjaganya sepenuh hati!
Categories
Uncategorized

Inilah Meulaboh, 10 Tahun Tsunami

Masjid Agung, Meulaboh

Tanpa terasa, satu dekade sudah. Anda tidak salah. Saya pun sangat
tersadar. 10 tahun tsunami membuat pilu tidak hanya pada kami yang terkena
musibah, tetapi pada semua makhluk yang bernyawa di muka bumi. Gempa yang belum
pernah kami rasa. Tsunami yang tak pernah terdefinisi.
Tiada yang melupakan gaduh burung, ayam, dan binatang melata lain di
pagi itu. Suara cicit berganti gemuruh yang sama sekali tidak kami ketahui
bahwa itu adalah tsunami. Orang Aceh menyebutnya ie beuna atau air bah. Dalam
seketika bumi Aceh luluh-lantak. Luka di mana-mana. Duka menjerit. Bahagia
terampas. Anak-anak terlepas dari dekapan orang tua. Orang tua terpisah dari
genggaman anaknya. Lapar. Haus. Kami berlari. Mencari jalan setapak yang masih
kering, mendaki ke arah lebih tinggi dan rumput berembun. Tatapan kosong tak
bisa menjelaskan makna apapun; selain langkah mencari nyawa yang masih tersisa
di bangkai bangunan berserak.
Dan kini, 10 tahun lalu. Waktu yang sangat cepat sekali. Musibah telah
membawa pergi senyum pada sanak-keluarga. Harta benda lenyap di bawa arus
deras. Tetapi kami telah melupa. Kami bangkit sesuai takaran kemampuan manusia
di bumi Aceh. Kami sudah muak dengan derita sepanjang konflik berdarah. Kami
sangat ingin damai.
Di antara daerah lain, wilayah barat Aceh termasuk dataran rendah yang
menjadi sorotan kala itu. Berita di mana-mana; Meulaboh telah hancur.
Biarlah hancur itu menjadi kenangan. Meulaboh kini telah berbenah
menjadi kota tersibuk di Aceh selain Banda Aceh. Kota yang dekat sekali dengan
lautan ini pernah tak mampu bernapas lega saat tsunami menerjang. Seluruh
penjuru kota telah hancur. Masyarakat berlari ke Masjid Agung (Masjid Baitul
Makmur). Masjid kubah emas yang dulu tak seindah sekarang. Tetapi lihatlah
kini, masjid yang menampung ribuan manusia di pagi sendu telah menjadi dekapan
terindah. Masjid ini menjadi salah satu bangunan bersejarah bagi kami. Tidak
hanya itu, masjid ini termasuk ke dalam bangunan terindah di Aceh bahkan di
Indonesia di tahun 2008.
Sekilas tentang masjid kubah orange di pusat kota Meulaboh.
Masjid ini dibangun sekitar tahun 2000, tetapi peletakan batu pertama pada
tahun 1987. Masjid ini berdiri di tanah seluas 5,2 hektar, luas bangunan 3500
persegi, dan bisa memampung 7000 jamaah. Masjid ini memiliki gerbang utama yang
berbentuk Arch de Triomphe di pusat Kota Paris, Perancis.
Gerbang Utama Masjid Agung, Meulaboh
Masjid ini menjadi satu-satunya tempat berkumpul, selain menunaikan
kewajiban lima waktu dan sekali di hari Jumat. Jika di awal tsunami, beragam
aktivitas kemanusiaan dimulai dari sini. Kini masjid dengan berbagai kaligrafi
di setiap dindingnya sudah menjadi pusat kegiatan keagamaan Kebupaten Aceh
Barat.
Lalu, lihatlah seluruh kota Meulaboh!
Kota Meulaboh dari Menara Telkom
Pemandangan ini diambil dari atas Menara Telkom. Daerah ini merupakan
salah satu kawasan yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata pada 26 Desember
2004. Namun memori pahit telah usang dan terganti dengan deretan bangunan di
sebelah kiri dan kanan. Bangunan tersebut merupakan pusat perbelanjaan terkenal
di ibu kota kabupaten Aceh Barat. Saya katakan terkenal karena jika seorang
laki-laki ingin menikah, dia akan melintasi deretan toko-toko di sini. Di deretan
sebelah kanan kebutuhan laki-laki tersebut akan tersedia. Toko emas. Di mana
emas masih menjadi mahar tak terganti di Aceh. Saya akan menulisnya di lain
kesempatan. Selain toko emas terdapat toko ponsel dan toko kebutuhan rumah
tangga. Deretan sebelah kiri lebih kurang hampir sama dengan sebelah kanan
terkecuali toko emas.
Turun dari Menara Telkom, pemandangan berikutnya adalah deretan toko
tingkat dua. Toko-toko ini menjual beragam kebutuhan rumah tangga serta
makanan. Di belakang toko-toko ini langsung terdengar deru ombak yang
menghentak telinga. Karena kami sudah terbiasa, deru ombak seakan tak terdengar
lagi. Terlebih suara kendaraan bermotor yang melintas di jalanan teramat padat
untuk kota kecil ini.
Ujung Karang, Meulaboh
Berkeliling kota Meulaboh paling tidak memakan waktu lebih kurang 10
atau 15 menit saja. Kota ini kecil sekali. Hebatnya, semua kebutuhan begitu
mudah didapatkan, kecuali bioskop. Banyak yang berubah setelah 10 tahun
terakhir. Perubahan itu memang perlu untuk membuang luka. Meulaboh tidak
berjibaku dengan kehilangan sehingga tidak mampu berbenah. Saya bisa merasakan
sendiri perubahan sebelum dan sesudah tsunami. Sebelum tsunami, Meulaboh hanya
berdiri sebagai kota barat terpinggirkan. Setelah tsunami, Meulaboh menjelma
menjadi kota kecil yang metropolitan. Sedikit berlebihan saat saya menggunakan
kata terakhir tersebut. Namun, seperti yang sudah saya katakan; semua kebutuhan
ada di Meulaboh
.
Simpang Kisaran, Meulaboh
10 tahun yang benar-benar telah terlupa. Kesibukan membuat lara menjadi
bahagia. Hari berlalu dengan cepat tanpa dilihat ke belakang. Usaha memperbaiki
kerusakan dilakukan penuh semangat. Walaupun tidak semua mampu dilakukan dan
mendapatkan efek menguntungkan, setidaknya Meulaboh telah mengubah paradigma
kehancuran akibat tsunami. Anda bisa memasukkan Meulaboh sebagai salah satu
kota tujuan wisata religi. Oh, tidak hanya religi saja. Pemandangan pantai
dengan sunset sungguh menawan untuk dilewatkan. Anda bisa buktikan
keindahan Meulaboh setelah menikmati secangkir sanger (minuman khas Aceh;
campuran kopi dengan susu) di warung kopi berfasilitas internet gratis di
seluruh penjuru kota.
Simpang Rumah Sakit Cut Nyak Dien, Meulaboh
Inilah salah satu perubahan lain di kota kecil ini. Warung kopi. Hampir
di setiap penjuru kota terdapat warung kopi. Anda cukup memesan secangkir kopi
saja, lalu mainkan smartphone, tablet maupun laptop. Informasi
apa yang bisa terlewat saat terkoneksi internet?
Sebagai penutup, singgahlah ke warung kopi. Sekadar memposting hasil
jepretan kamera Anda selama di kota “jajahan” musibah besar gempa dan tsunami.
Sanger (terbuat dari campuran kopi dengan susu)

Terakhir; mari kita tinggalkan luka pada jejak 10 tahun lalu!
***
Tulisan ini pernah dimuat di Detik Travel.