Categories
Uncategorized

Kamu Adalah Mimpi Terindah yang Sulit Kuingat Begitu Terbangun

“harapan membeku di ujung lidah sementara binar matamu terus menatapku di jalan setapak yang kulintasi!”
Nggak perlu mengerjar cinta terlalu jauh apabila hasilnya telah diprediksi. Bertahun-tahun bersama, berbagi suka dan duka, saling melirik satu sama lain, berjalan beriringan, buka jendela terlihat wajahnya, menarik daun pintu wajahnya pula yang pertama dilihat, suaranya menggema sampai ke alam bawah sadar, napasnya menderu lebih besar dari deru kendaraan, bahkan hal-hal yang tidak tercetus di dalam satu kata pun bersamanya tetaplah ada. Entah apapun itu namanya. Cinta membuai segalanya sampai lupa bahwa dia sebetulnya bukan milik kita sebenarnya. 
Ilhan membelah rasa trauma naik pesawat demi mengejar cinta dari seorang sahabat. Hyun Geun dengan begitu mudahnya merengut mimpi-mimpi Ilhan yang terlalu kaku. Rania Timur Samudra memaknai kebahagiaan sesuai definisinya tersendiri sehingga cinta sekian tahun tumbuh diabaikannya demi seorang mualaf bermata sipit. 
Love Sparks in Korea #JilbabTraveler tak lain jelmaan Asma Nadia di dalam sebuah novel. Buku ini diterbitkan oleh Asma Nadia Publishing House (ANPH) di mana Asma sebagai CEO. Tokoh Rania adalah Asma. Barangkali karena saya “mengenal” Asma sehingga intepretasi terhadap tokoh Rania kembali kepada penulis. 
Apabila penulis lain cenderung menulis kisahnya sendiri dengan tokoh dirinya sendiri dalam bentuk novel. Asma mengambil jalan berbeda walaupun sebenarnya cerita yang hadir di dalam buku ini adalah kenyataan hidup seorang Asma Nadia. 
Penyakit yang diderita, sosok Tia yang tak lain Helvy Tiana Rosa, Eron adalah Aeron Tomino, tinggal di pemukiman kumuh sebelum pindah ke perumahan orang kaya, papanya yang dikisahkan sebagai seorang musisi termahsyur negeri ini, serta kesempatan belajar ke Korea Selatan. Poin terakhir ini pula yang kemudian mengantarkan Asma menulis novel ini. 
“beginilah kau kukenang: sunyi dan penuh cinta!”
Asma membuka cerita cinta tak terduga antara Rania dan Hyun Geun di Nepal. Rania yang kecopetan tiba-tiba saja mendapat pertolongan dari sosok pemuda gondrong bermata sipit. Pertemuan selanjutnya menguatkan sebuah kalimat bahwa jodoh tak akan lari ke mana. Di mana ada Rania, di situ ada Hyun Geun. Rania sakit, Hyun Geun bahkan lebih dahulu mengetahui titik lemah wanita ini. 
Love Sparks in Korea mengambil sebagian setting di negeri gingseng. Namun, jangan berharap lebih Asma membuat cerita di novel ini seperti kisah haru-biru drama Korea. Perseteruan antara Rania dengan Jeong Hwa dalam “memperebutkan” Hyun Geun pun tak sealot kisah di drama seri The Heirs – misalnya. 
Kecemburuan Jeong Hwa terhadap Rania hanya sebagai percikan api yang tak pernah membara. Padahal, jika ditanamkan amarah lebih besar, pertikaian lebih panjang, permusuhan lebih alot, kisah cinta antara Rania dnegan Hyun Geun akan lebih terasa “manis” karena Jeong Hwa mengambil kemudi kebahagiaan tersebut. 
Celetukan menjadi muslim Hyun Geun pun terasa cukup hambar karena tidak mengarahkan petaka besar setelah itu. Jeong Hwa yang tahu Hyun Geun telah muslim dan sangat mencintai Rania tak lantas mengambil tindakan “bunuh diri” seperti yang dielu-elukannya selama ini. Aksi nekad demikian hanya kita dapatkan di dalam drama Korea yang dibintangi aktor dan artis papan atas dengan bayaran menggiurkan. 
“buatmu: telah kuarungi tujuh samudra mimpi, telah kujelajah tujuh benua angan-angan.”
Namun, cinta itu memilih bukan dipaksa. Tuhan menggerakkan rasa, manusia kemudian memainkan rasa tersebut untuk mengambil sebuah keputusan. Cinta boleh saja lama terpendam, dikejar sampai ke ujung dunia. 
Cinta tak bisa dibeli walaupun rasa ingin mati mendadak tiba. Novel ini berbicara tentang hati; perasaan yang muncul tiba-tiba walaupun tak mengenal sebelumnya. Novel ini menguatkan perkataan bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada. 
Novel ini menegaskan bahwa biarpun saling sapa apabila jodoh berpaling ke muara lain, hati itu tetap tak bisa dimiliki. Ilhan begitu dekat dengan Rania, bukan? Namun mereka tetap saja tidak berjodoh.
Bukan Asma namanya apabila pesan moral dan keislaman tidak kentara di dalam novel-novelnya. Walaupun novel ini tak ubah dengan novel romantis lainnya – kisah percintaan – namun Asma mengukir cinta dengan cara berbeda. 
Sosok Rania menyelipkan dengungan-dengungan aturan Islam yang tak boleh dilanggar oleh siapapun. Penjabaran hubungan lawan jenis menurut aturan Islam memegang peranan penting di dalam novel ini sehingga pembaca muda bisa mengambil kesimpulan yang penuh makna. 
Bahwa cinta itu adalah rasa nyaman!
Sebagaimana Asma mengisahkan Rania nyaman bersama Hyun Geun – bukan karena berdarah Korea – yang memberikan kehangatan di setiap langkah. Hyun Geun melakukan apapun setelah meminta pendapat Rania. 
Keputusan Hyun Geun adalah keputusan bersama dengan Rania. Padahal, waktu saling mengenal antara Rania dengan Ilhan cukup lama tetapi rasa nyaman tidak tumbuh di antara keduanya. Ilhan cenderung memberi – menyediakan – semua kebutuhan Rania. Rania adalah ratu bagi Ilhan yang sempurna dari segi fisik dan materi. 
Sifat kaku Ilhan juga membuat rasa bosan pada Rania yang membutuhkan kesegaran lebih banyak dalam hari-harinya. Satu sisi, Ilhan memang salah karena telah membangun benteng di antara mereka. Ilhan yang paham kultur ketimuran – Islam – tidak lantas mendekati Rania sejak awal karena paham betul bahwa gadis berjilbab ini tidak mau didekati lawan jenis di luar konteks pekerjaan dan hal-hal positif lain. 
Hyun Geun yang keislamannya masih seumur jagung bersikap seperti pria metropolitan dalam mendekati dan merengkuh hati Rania. Batasan-batasan yang kemudian dihadirkan oleh Rania diterima oleh Hyun Geun karena keduanya saling membutuhkan dan merasa nyaman satu sama lain. 
“jika Dia berkenan, biarkan ajal tak menyapa hingga kutahu cinta ini sampai padanya!”
Sejak awal memang sudah yakin bahwa Ilhan hanya tokoh pinggiran dalam novel ini. Ilhan bermimpi tentang sebuah kebahagiaan yang kemudian sirna begitu mengetahui isi hati Rania. 
Rania lebih memilih Hyun Geun yang baru memeluk Islam dibandingkan Ilhan yang dikenalnya sejak lama. Hati memilih. Mimpi hanya mengindahkan malam. Mimpi indah bisa mudah diingat begitu terbangun. Mimpi buruk bisa jadi tak bisa diingat sama sekali. 
Asma Nadia
Love Sparks in Korea hadir di tengah gempuran novel-novel bertema luar negeri. Novel ini adalah pencitraan Asma terhadap Islam. Dunia yang diinjak tak membuatnya lupa akan Islam. Ke manapun langkah terayun, Islam adalah keyakinan yang tak bisa diganti. 
Pertanyaan Asma dalam novel ini. Manakah yang lebih penting bagi seorang gadis, mencintai atau dicintai? 
Jika saya diperkenankan menjawab, pilihlah pilihan kedua
Asma Nadia yang turut menemani aktor dan artis selama proses syuting film Love Sparks in Korea di Korea Selatan – Photo by Asma Nadia
Categories
Uncategorized

Kejenuhan dan Rasa Bergelora Ingin Terbang Jauh

“negara tanpa orang jelek!” Kutipan manis yang dijadikan judul sebuah artikel di dalam buku Trinity, The Naked Traveler (1 Year Round The World Trip Part 1) #TNTrtw terbitan B First – Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Apa sih yang menarik dari buku ini? Padahal, jika dilihat dari cover, judul dan ramah-tamah lain, buku Trinity hanyalah curahan hati traveler galau yang tak tahu dilarikan ke mana. 
Benarkah demikian? Ternyata, ada hal lain yang lebih menarik dari sekadar kehabisan uang di negeri orang, bahkan sampai bersiteru dengan petugas imigrasi di bandara berbagai negara, sampai nangis-nangis darah nggak bisa masuk ke salah satu negara karena alasan VISA tidak diterima, atau salah mengambil antrean waktu berbelanja di supermarket yang memisahkan lansia dengan anak muda, atau keluguan si Yasmin yang menggunakan sabun mandi sebagai lotion, atau….
Trinity termasuk penulis – travel blogger – yang paling populer di Indonesia. Sekilas, tulisannya di buku Part 1 ini memang sangat ringan sekali. Gaya anak muda yang sedang menceritakan kisah haru, suka dan duka kepada sahabatnya sepulang dari negeri asing. 
Namun, banyak kisah yang mengharukan bahkan lebih bermanfaat dibandingkan tutorial dari buku travel yang diterbitkan lebih detail. Trinity mengemas setiap kisah – pengalamannya – dengan kocak sehingga saya terbuai akan romantisme bahkan deg-degan saat penulis ini mengutarakan pengemudi mengendarai bus secara ugal-ugalan. 
Negara tanpa orang jelek – saya ulangi lagi padahal nggak penting sih – merupakan salah satu artikel favorit saya. Artikel ini juga merupakan daya tarik pembaca selain kisah orang-orang berunderware ria di bibir pantai Brazil. 
Saya bisa membayangkan bagaimana wanita gemuk ini – maaf mbak ya – sampai megap-megap melihat cowok-cowok ganteng di Amerika Latin, terutama Brazil. Pemanis buku ini hadir apa adanya karena memang begitulah kenyataan di negara yang menjadikan sepakbola sebagai Tuhan itu. 
Kemasan kata yang diremas sekonyong-konyong menggambarkan bokong wanita di bibir pantai bersama keluarga mereka bahkan mertuanya. Perbedaan budaya dan strata sosial digambarkan dengan jenaka oleh Trinity sehingga saya tidak “membaca” sedang didikte bahwa kehidupan kita sangat jauh berbeda dengan mereka di sana. 
Kebudayaan Brasil – misalnya – yang tanpa malu bertelanjang dada bagi cowok ke mana-mana suka dan hanya mengenakan pakaian dalam saja bagi cewek di area terbuka, tak lain sebuah peradaban yang terjadi di sana. 
Seandainya Trinity memiliki postur tubuh seksi dan tinggi semampai seperti model di acara Miss Universe atau Miss World sekalipun, wanita ini tentu akan berpikir panjang untuk berjalan-jalan dengan “underware” saja di depan umum. Catatan penting adalah budaya ketimuran yang kita pegang sangat jauh berbeda dengan mereka di Amerika. 
Kisah-kisah lain yang coba dihadirkan Trinity di dalam bukunya adalah “panduan” bagi seorang traveler. Banyak “catatan kaki” yang ditemukan di dalam buku ini mengajarkan saya untuk tidak lalai saat berpergian, tidak lupa menyiapkan segala sesuatu walaupun hal itu sangat kecil sekali, memahami kultur daerah tujuan sehingga tidak ditipu banyak orang sampai pemilihan penginapan dan penghematan biaya lainnya, termasuk berburu promo tiket pesawat. 
Walaupun di kemudian hari nahas juga seperti harus membeli tiket lagi karena ketinggalan pesawat dan lain-lain, itulah suka dan duka yang tak pernah bisa dilupa. 
Salah satu kutipan yang menarik. 
Trinity memulai kisah karena “jenuh” terhadap pekerjaan yang mengekangnya selama ini. Duduk manis sebagai mbak-mbak kantoran membuat wanita ini ingin segera terbang jauh ke negeri terasing. Wajar saja sebuah ambisi dicetuskan sampai meninggalkan pekerjaan yang telah menjanjikan gaji tetap. 
Saya pun merasakan ambang batas kejenuhan tersebut apabila rasa nyaman tak lagi dirasa. Keliling dunia adalah pilihan – walupun saya belum memikirkannya untuk saat ini. 
Dunia yang terbentang luas menghadirkan beragam kisah seperti orang membeli minyak wangi dalam jumlah besar, merek dagang yang berbeda, penghematan biaya dengan memasak sarapan pagi, sampai hal-hal kecil yang tak terduga dirangkai begitu “mewah” oleh Trinity. 
Kepakan sayap Trinity dalam buku #TNTrtw Part 1 ini tidaklah gampang. Keliling dunia satu tahun penuh merupakan tantangan tak biasa. Tangis, tawa, bahagia berbaur menjadi satu kesatuan yang sulit dipisahkan. 
Buku ini tidak hanya sebagai panduan perjalanan semata namun sebuah kesegaran dalam industri perbukuan Indonesia yang dihiasi oleh novel-novel romantis. Setelah membaca buku ini, saya ingin segera mengepakkan sayap ke dunia terasing. Entah untuk apa di sana. Tetapi saya ingin. 
Ibarat burung yang terbang jauh, suatu saat pasti akan kembali pulang ke sangkar. Trinity telah pulang kembali ke negeri di mana carut-marut terus terjadi. Bukankah menarik untuk mengikuti jejaknya?
Categories
Uncategorized

Bahwa Aku; Takut Jika Tertidur



Bahwa aku; takut jika tertidur! Seperti
biasa, segelas sanger hangat menemani saya. Sanger itu campuran kopi dengan susu, salah satu minuman khas di Aceh. Warung kopi
adalah kenikmatan tersendiri, lepas dari pandangan orang yang menilai, saya
tidak memedulikannya. 



Di antara denting gelas dan piring, saya membuka buku
dengan kaver hitam. Tidak seperti biasanya, saya membuka laptop dan menulis sebuah
artikel. Saya harus menuntaskan cerita di buku yang ditulis oleh penulis perempuan Indonesia, sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Gelombang – Dee Lestari

Buku
tentang mimpi. Tentang dongeng sebelum tidur yang membuat saya ketakutan
setengah mati. Saya merasa, Alfa Sagala adalah saya sendiri. Lelucon yang tak
pernah mau saya akui pada siapapun.
Bahwa, mimpi itu hanya bunga tidur karena
tidak bermakna
, walaupun setelah bermimpi saya berkeringat seperti habis olahraga dan detak jantung
lumayan cepat.

***
Dee
Lestari
memulai kisah yang “tak penting” di bagian awal. Kisah Gio yang kehilangan perempuan tercinta di belahan bumi Amerika. Saya membaca cepat bagian ini
karena Gelombang baru mulai mengaduk-aduk emosi saya saat masuk ke bagian
Sianjur Mula-Mula.

Sebuah daerah yang cukup rumit di dekat Danau Toba, Sumatera
Utara, daerah permulaan bagi kaum Batak. Dee Lestari menggambarkan Sianjur
Mula-Mula – begitulah adanya – suasana kampung yang biasa-biasa saja, karena
saya juga tinggal di kampung dengan pemandangan gunung maupun sungai.

Daya tarik
dari Sianjur Mula-Mula itu karena adanya Si Jaga Portibi yang selalu mengikuti jejak langkah Thomas Alfa Edison, si Alfa
Sagala
, seorang anak yang dipercaya memiliki kemampuan melihat mahluk gaib
tidak hanya di alam mimpi namun juga di dunia nyata.

Lantas, hadirnya seorang
pemuka Batak yang tak lain adalah dukun yang memuja-muji seluruh bagian makhluk
halus untuk memperhalus langkahnya untuk dipercaya semua orang, Ompu Togu Urat.

Selangkah
lebih maju, kedua orang tua Alfa Sagala memboyong ketiga putra mereka untuk merantau
ke Jakarta, setelah banyak kejadian nyeleneh yang tak bisa dicerna akal sehat. Si
Alfa Sagala, si Ichon itu, mau dijadikan murid oleh Ompu Togu Urat, namun di kemudian hari murid yang dimaksud adalah musuh yang harus dilenyapkan oleh si orang
sakti itu karena si Ichon dianggap dapat menganggu kedigdayaannya.

Si Ichon
adalah bungsu yang terpandai dibandingkan kedua abangnya, Eten (Albert
Einstein) dan Uton (Sir Isaac Newton). Imajinasi Dee Lestari mulai terbaca saat
mendeskripsikan panggilan ketiga abang beradik ini.

Imajinasi selanjutnya
adalah bermain dengan ketakutan si Ichon dipadu dengan batu keramat pemberian
Ompu Togu Urat, yang akan meredam mimpi-mimpi si Ichon yang tak lain adalah
petunjuk penting di kemudian hari.

Dee Lestari menceritakan babak demi babak
sebuah mimpi sehingga bersambung menjadi cerita yang padat, penuh skenario,
jika digabungkan dengan dunia nyata, tentu saja tak mungkin karena mimpi malam
ini belum tentu bertemu dengan mimpi di malam berikutnya, bahkan mimpi pertama,
kemudian terbangun, akan berbeda dengan mimpi setelah tidur kembali.

Namun si
Ichon, memegang kendali atas mimpi-mimpinya sehingga mengarahkan tokoh ini
untuk memecahkan teka-teki di masa depan.

Dee
Lestari cukup singkat menceritakan kisah si Ichon di Jakarta. Singkatnya, si
Ichon dilempar ke New Jersey, Hoboken, Amerika Serikat, jadi pendatang ilegal
yang susah payah beradaptasi dengan lingkungan keras di antara para gangster di
apartemen kecilnya.

Si Ichon berubah menjadi Alfa Sagala yang dipandang sebagai
pelajar terpandai di sekolah, peraih tiga beasiswa di tiga kampus berbeda New
York, perawakan ganteng, dan cukup fasih berbahasa inggris dengan logat Amerika.

Cukup mengerut kening saya karena seorang anak yang baru lulus SMA – baru melanjutkan SMA di Amerika – bisa mengubah logat bahasa dengan cepat. Barangkali,
karena saya yang kurang tahu, atau memang si Alfa Sagala ini diberikan
kelincahan dalam melipat lidahnya menjadi lenting sempurna. Alfa Sagala akhirnya melanjutkan pendidikan di Kampus Cornell, New York.

Perjalanan
mimpi itu berlangsung semakin nyata, sehingga Carlos dan Troy, sahabat Alfa
Sagala menganggap si Batak ini abnormal. Alfa Sagala hanya tidur jika ingin dan
tak lebih dari satu jam. Alfa Sagala takut tertidur karena takut bermimpi. Dalam
mimpi panjangnya Alfa Sagala akan bertemu dengan Si Jaga Portibi, yang tak lain,
dicetuskan sebagai penjaga pemimpi.

Imajinasi
Dee Lestari semakin menyeruak saat menghadirkan bangunan Asko, sebuah bangunan
yang nyata, seseorang yang menunggu, mimpi saling terhubung, mimpi yang
mengaitkan satu sama lain, mimpi yang menarik kenyataan dari dunia nyata.

Sampai
akhirnya, Alfa Sagala dipertemukan dengan Nicky, dokter imut yang kemudian
menemani Alfa Sagala menjumpai dr. Colin, seorang terapi mimpi yang telah
bekerja hampir sepuluh tahun. Dr. Colin bersama Nicky memberi terapi
kepada Alfa Sagala.

Semua terbaca nyata dalam novel terbitan Bentang Pustaka
ini. Seakan-akan, mimpi Alfa Sagala adalah benar adanya. Mimpi-mimpi yang
menjadi penghubung satu sama lain, pertemuan dengan mereka yang memegang
batu-batu khusus.

Tak sedikit pula, Alfa Sagala membekap wajah dengan bantal
sehingga sulit bernapas, maupun mencekik lehernya sendiri dalam mimpi, untuk
menghadirkan rasa sakit, agar segera lepas dari mimpi-mimpi.

Alfa
Sagala yang semula menghindari mimpi, semakin terobsesi untuk bermimpi. Setiap mimpi
adalah petunjuk. Setiap petunjuk mengantarkannya pada pencarian panjang,
termasuk seorang perempuan bernama Ishtar.

Alfa Sagala percaya perempuan itu –
ia yakini telah dicintai itu – benar-benar nyata di kehidupan sebenarnya. Alfa
Sagala meminta bantuan pada Carlos dan Troy untuk mencari tahu keberadaan
perempuan misterius itu, tampaknya Dee Lestari sengaja menyembunyikan Ishtar
sehingga muncul di buku berikutnya, jika ada.

Kedahsyatan
mimpi Alfa Sagala mengantarnya ke dataran Tibet. Menemui seorang penulis buku
yang membuatnya bingung, seorang dokter, seorang penafsir mimpi, dr. Kalden.
Di
sini, saya kembali bingung dengan sebutan Peretas, Infiltrant dan Savara. Tiga
kata ini kemudian mengantarkan pada penjaga dan pembunuh. Alfa Sagala merupakan
Peretas yang tak lain menjaga mimpi-mimpi (rahasia) agar tidak mencapai
pendengaran dan penciuman Savara, pembunuh yang tak pernah mati jika dibunuh.

Infiltrant
adalah seseorang yang memiliki kepentingan untuk membantu Peretas mencari jalan
keluar dari masalahnya tanpa mendikte bagaimana cara sebenarnya.
Gampang-gampang susah mencerna masalah ini, namun dongeng mimpi Dee Lestari
cukup menghibur untuk dilupakan.

Kitab
mimpi yang ditulis Dee Lestari tak lain adalah untuk membuat saya berhenti
bermimpi. Saya jadi takut seperti Alfa Sagala. Dee Lestari mengerahkan semua
pengetahuan dan imajinasinya untuk menulis Gelombang menjadi sesuatu yang bukan
main.

Sebagai pembaca, saya diajak untuk merenung sebuah makna dibalik mimpi,
bukan perjalanan Alfa Sagala dalam mencari identitas dirinya sebagai seorang
pemimpi. Penulis cukup bijaksana bermain dengan adat-istiadat yang tak pernah
padam di Indonesia.

Biar masa telah berubah dan menjadikan teknologi semakin
terdepan, Ompu Tugo Urat yang mencari si Ichon untuk dijadikan murid atau
dibunuh masih berseliweran. Para dukun itu terus “beranak-pinak” sehingga
ilmunya tidak pudar.

Perpaduan
tradisional dengan modern adalah pilihan tepat dalam novel ini. Ompu Tugo
Urat. Dr. Colin, Nicky dan Dr. Kalden. Semua memiliki padu-padan yang sesuai. Ompu
Togu Urat mewakili sisi “primitif” yang masih mempercayai hubungan dengan
makhluk gaib adalah nyata dan diamalkan dengan benar sehingga kuat tak terkira.

Dr. Colin dan Nicky mewakili peradaban modern yang mencoba menelaah mimpi
melalui alat-alat canggih tanpa mengubah konteks – keinginan – seseorang untuk
bermimpi. Sedangkan Dr. Kalden, mewakili keduanya dalam memadukan paham “radikal”
dengan paham kekinian.

Pemilihan
kata yang tepat, cerita yang mengalir, menjadi bagian terpenting dalam buku
yang diterbitkan akhir tahun 2014 ini. Saya termasuk salah seorang yang terlena
dengan diksi yang dihadirkan Dee Lestari. Buku ini lebih dari cukup masuk ke
dalam lemari kaca rumah pembaca!