Categories
Uncategorized

Siap Nggak Siap! Nikah di Aceh Habiskan Puluhan Juta Rupiah

Nikah di Aceh Habiskan Puluhan Juta Rupiah dan nggak mudah mengucapkan will you marry me di Aceh!
Siapa sih yang nggak mau menikah? Jika usia telah matang dari segi fisik, materi maupun mental, penikahan adalah hal wajar untuk dibicarakan. Namun, menikah dengan gadis Aceh tidak segampang omongan lho. Aturan main yang lebih dikenal dengan sebutan budaya sangat erat kaitannya untuk laki-laki maupun perempuan yang ingin menikah. 
Nikah di Aceh mahal – ilustrasi pernikahan di Aceh.
Barangkali, budaya ini pula yang membuat laki-laki Aceh lebih galau selangkah daripada perempuan. Hanya di Aceh saja urusan menikah mesti membayar mahal cukup mahar.

Mahar dalam Islam dan Adat Mahar di Aceh

Dalam Islam mahar adalah kewajiban seorang laki-laki dalam meminang seorang perempuan. Namun Islam tidak membatasi besar mahar yang wajib ditebus tersebut.

– Rasulullah saw. bersabda: “Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk mas kawinnya?” Laki-laki itu menjawab: “Tidak” Rasulullah saw. bersabda kembali: “Carilah sekalipun sebuah cincin dari besi!” (HR. Muslim) –

Aceh memang unik. Syariat Islam telah diterapkan namun urusan pinangan seorang laki-laki kepada seorang gadis, tidak berlaku “aturan” main dalam Islam tersebut. Gadis Aceh tak akan pernah bisa dipinang hanya dengan cincin “besi” yang diibaratkan dalam hadis ini. Gadis Aceh hanya akan menerima pinangan mahar emas, sekalipun hanya 1 mayam saja, jika ada yang setuju. 
Satuan emas dalam mayam adalah 3,3 gram. Harga 1 mayam emas bisa beragam. Emas murni dengan campuran beda harganya. Paling sedikit 1 mayam harga emas antara 1,5 sampai 2 juta rupiah. Goyangan ekonomi sedikit saja, harga emas akan naik atau turun. Beli hari ini mahal, besok bisa murah.

Segini Jumlah Mahar di Aceh

Apakah gadis Aceh – orang tuanya – akan menerima mahar 1 mayam emas?
Tentu tidak. Inilah kebiasaan – budaya – yang tidak pernah dibuang oleh masyarakat Aceh sampai kapanpun. Keunikan budaya ini hanya ada di Aceh saja. Berlangsung di mana-mana. Dilakoni dengan sepenuh hati. Tanpa paksaan. Tanpa protes. Dielu-elukan apabila maharnya tinggi atau rendah. Dicemooh jika maharnya rendah atau tinggi. 
Semua serba salah. Tetapi yang salah ini tetap dibanggakan oleh masyarakat Aceh. Hari ini dikatakan mahar si gadis tetangga terlalu rendah untuknya yang cantik, besok akan terlupa karena mahar si tetangga lain terlalu tinggi untuk seorang gadis dari keluarga biasa-biasa saja – kurang mampu. 
Untuk kamu, siapkan mahar emas minimal 10 mayam untuk dapat menikahi gadis Aceh “baik-baik” yang kamu cintai! 

Marwah Gadis Aceh, Wanita Baik-baik Dilamar dengan Mahar Emas

Gadis Aceh baik-baik adalah mereka yang menjaga marwah Aceh, berasal dari keluarga baik-baik, bagus agamanya, sopan santun perilakunya, memegang teguh adat-istiadat dan lain-lain. Penilaian ini sebenarnya objektif dan tidak hanya tergantung pada faktor yang saya sebutkan. Walau bagaimanapun gadis Aceh adalah perempuan baik-baik karena hanya mau menikah setelah dipinang dengan mahar emas.
10 mayam angka yang tidak sedikit untuk setiap laki-laki yang ingin menikah. Siap batin belum tentu materi siap. 10 mayam adalah angka yang lumrah namun tahukah kamu jika gadis yang dicintai itu seorang sarjana, cantik rupa, atau berasal dari keluarga kaya! Mahar yang wajib kamu tebus bisa sampai 20 mayam ke atas. 
Baiklah. Coba kita kalkulasikan jumlah biaya yang wajib dikeluarkan untuk menikah dengan gadis Aceh ini. 10 mayam saja jika harga 1 mayam emas 1,5 juta, maka kamu akan mengeluarkan biaya paling sedikit 15 juta. Jika 20 mayam maka 30 juta. Jika lebih dari 20 mayam? Jika 25 mayam? Jika 30 mayam? 

Budaya Mahar di Aceh dan Sinkronisasi dengan Islam

Budaya mengajarkan banyak hal kepada kita. Begitu pula budaya Aceh yang satu ini. Satu sisi memang tidak adil untuk laki-laki yang telah siap mental untuk menikah tetapi terkendala mahar. Di sisi lain adalah proses kesabaran yang sebenarnya dalam Islam telah dianjurkan.

– “Wahai para pemuda! Barangsiapa yang sudah memiliki kemampuan (biologis maupun materi), maka menikahlah. Karena hal itu lebih dapat menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah), maka hendaklah dia berpuasa karena hal itu menjadi benteng baginya” HR. Bukhari –

Proses sabar yang cukup panjang, bukan? Siap mahar 10 mayam, belum tentu siap berumah tangga. Budaya Aceh yang unik ini tampaknya sejalan dengan aturan main dalam Islam, jika menelaah lebih lanjut. Kaum laki-laki dianjurkan untuk mapan terlebih dahulu sebelum benar-benar mampu berumah tangga. 
Toh, rumah tangga bukan cuma memberikan 10 atau 20 mayam emas saja sebagai mahar. Janji suci di hari ijab kabul akan berlaku sepanjang masa. Islam dan budaya Aceh setidaknya meminimalkan “perang piring pecah” dalam sebuah rumah tangga karena suami belum mampu membawa pulang sayap ayam tiap hari!

Laki-laki Aceh sanggup kok menikahi gadis Aceh biarpun mahar itu mahal!

Aturan mahar yang berlaku secara tidak tertulis adalah cambuk bagi laki-laki Aceh yang ingin segera meminang gadisnya. Patokan mahar dari calon mertua tidak membuat laki-laki Aceh mundur teratur karena terkendala biaya. Laki-laki Aceh mengumpulkan segenap keberanian untuk meminang karena mahar tersebut tidak lantas dibayar sekaligus. 
Nah, satu lagi sisi menarik dari sebuah pernikahan di Aceh.

Mahar boleh dicicil? Emang pernikahan itu barang kredit?

Permainannya bukanlah demikian. Step by step membuat pernikahan dengan mahar “besar” di Aceh ini justru menjadi sesuatu yang tidak biasa. Seorang laki-laki yang telah meminang gadisnya akan memberikan mayar 10 atau 20 mayam secara berkala. Waktu lamaran dikasih seperempat, menjelang pernikahan dikasih setengahnya, dan di hari ijab kabul dilunasi semuanya! 
Tepat sekali! Walaupun mahar gadis Aceh itu mahal tetapi tidaklah mahal karena proses ini berlangsung sedemikian manisnya. Hukum mahar yang berlaku di Aceh terasa ringan bagi siapa saja karena emas itu bisa diberikan kapan saja. Asalkan, di hari pernikahan mahar tersebut telah tunai! 
Sudah siap bersanding di pelaminan seperti ini? Gadis Aceh siap kok dipinang oleh kamu. Kamu siap nggak melunasi mahar yang dimintanya?
Categories
Uncategorized

Mahar untuk Menikah Gadis Aceh Itu Mahal, Kawan!

Persoalan yang tak gampang di manapun berada; terutama di Indonesia, ditanya kapan kawin? Padahal urusan kawin ini tentu sangat sensitif sekali, terlebih pada mereka yang telah berumur dan belum menemukan pasangan hidupnya. Namun, urusan kawin di Aceh justru memiliki ketertarikan tersendiri, baik bagi kaum perempuan maupun laki-laki. Menikahi gadis Aceh tidak mudah jika pernikahan itu baik-baik; melibatkan dua keluarga, bukan pernikahan karena &sebab-akibat& yang kemudian mendatangkan malu dan resepsi pernikahan tidak megah.

Mahar gadis Aceh mahal – ilustrasi pernikahan di Aceh.
Sebelum menjadi linto baro dan dara baro atau raja dan ratu sehari, perempuan yang menunggu dilamar memang tidak khawatir jika orang tuanya telah setuju menikahinya. Bagi laki-laki dihadang oleh masalah cukup pelik terutama menyiapkan mahar. 

Mahar Gadis Aceh Mahal

Mahar menjadi takaran sebuah pernikahan disetujui oleh kedua keluarga. Mahar untuk mendapatkan gadis Aceh tidak cukup dengan seperangkat alat salat; walaupun Islam membenarkan hal demikian. Mahar gadis Aceh adalah emas. Meminang gadis Aceh siapkan emas paling kurang 10 mayam. Jika tak ada kerja dulu sebelum mengetuk pintu rumah perempuan yang dicintai dengan segenap cinta dan berharap bahagia dalam rumah tangga. 
Gadis Aceh dipinang dengan mahar emas bukan karena emas itu mahal. Kebiasaan yang jatuh bebas dari turun-temurun menjadi ukuran bahwa emas adalah mahar terbaik. Tak ada emas sama dengan tak ada perkawinan dengan gadis Aceh. Ada tata cara sebelum mahar emas itu jatuh pada patokan wajib dipenuhi oleh seorang laki-laki. Salah satu faktor adalah mahar ibu kandung di mana penentuan mahar mengacu pada mahar ibu gadis yang sedang dilamar, boleh sama tapi tak boleh kurang. 


Selain mahar ibu kandung juga dilihat dari penentuan mahar di lingkungan sekitar. Status sosial ini penting karena omongan lebih tajam dari pada pisau. Mahar yang berlaku di lingkungan sekitar adalah sebuah kewajaran. Jika pun dilihat dari besarnya, tak bisa dikatakan mahal atau tidak. Contoh saja, seorang gadis dilamar dengan mahar sebesar mahar ibunya. 
Jika gadis itu berusia 25 tahun, dan katakanlah anak pertama dengan ibunya langsung hamil setelah menikah, mahar yang ditetapkan kadarnya adalah sama jika berada di 10 mayam emas walaupun harga emas berbeda. Masyarakat Aceh tidak melihat harga emas namun besar emas itulah penentu segala.

Peunuwoe dalam Pernikahan di Aceh Mahal

Seorang laki-laki yang sudah siap menikahi gadis Aceh tidak hanya mempunyai kewajiban menuaikan mahar saja. Laki-laki itu wajib memenuhi atau membeli perlengkapan pakaian kepada perempuan yang dinamai peunuwoe. 
Peunuwoe ini biasanya terdiri dari satu set bakal kain (pakaian belum jadi), perlengkapan make up, perlengkapan mandi, sepatu dan sendal, perlengkapan dapur (makan) seperti piring, cangkir, ceret, serta kebutuhan lain yang dianggap perlu. 
Peunuwoe ini biasanya diberikan saat intat linto (antar mempelai laki-laki) ke rumah mempelai perempuan setelah ijab kabul. Estimasi biaya untuk peunuwoe memang tidak ditetapkan oleh pihak mempelai perempuan saat pertemuan dua keluarga. Dana atau perlengkapan penting ini dibeli sesuai dengan kesanggupan mempelai laki-laki dan keluarganya. 
Walaupun tidak ditetapkan, peunuwoe ini wajib. Selain perlengkapan mati tadi, juga dibawa perlengkapan hidup seperti hewan ternak (ayam atau kambing), padi atau beras, buah-buahan dan sayuran. Serah terima dilakukan di rumah mempelai perempuan yang sedang menggelar pesta preh linto (tunggu mempelai laki-laki). 

Uang Hangus dalam Pernikahan di Aceh

Di sebagian daerah Aceh memberlakukan peng angoeh (uang hangus). Uang hangus ini wajib diberikan kepada calon mempelai perempuan atau keluarganya sebelum ijab kabul (resepsi pernikahan). Uang hangus ini biasanya telah ditetapkan saat penentuan mahar atau saat rapat penentuan hari ijab kabul. 
Besar uang hangus biasanya diestimasikan sebesar isi kamar pengantin di rumah mempelai perempuan, ada pula yang mematok langsung nominalnya, misalnya 2 juta rupiah. Jika ada perjanjian uang hangus maka mempelai laki-laki wajib melunasinya, jika belum dilunasi maka tidak dibenarkan masuk (pulang) ke rumah mempelai perempuan walaupun sudah terjadi ijab kabul. 

Daging Meugang Pengantin Baru Wajib di Aceh

Tradisi meugang di Aceh menjelang bulan puasa – Ramadhan – barangkali cukup berat untuk mempelai laki-laki. Pengantin baru ini wajib membawa pulang daging kerbau (sapi) ke rumah mertuanya. Seandainya satu atau dua kilo mudah sekali, namun tidak demikian. Daging yang wajib dibawa pulang berupa kepala kerbau atau pahanya. Tak hanya sampai di situ, mempelai laki-laki juga harus membawa pulang bumbu beserta beras. 
Terkadang, memang rumit sekali menikahi Gadis Aceh. Tapi tradisi ini telah dikerjakan entah dari tahun kapan. Masyarakat Aceh tidak menolak bahkan melawan, karena ini adalah tradisi, hanya ada di Aceh saja. Siapkah menikahi gadis Aceh?
Categories
Uncategorized

Ayah Poligami Anak Perempuan Dipoligami

Jangan salahkan laki-laki jika suami memoligami! Sebagai
perempuan, siapa pun Anda, semestinya mengulang kembali kisah lama dalam
keluarga. Karena poligami itu adalah karma. Percaya atau tidak, poligami tak
ubah seperti penyakit keturunan. Dari orang tua diturunkan kepada anak. Hanya saja,
poligami tidak menyangkut dengan aliran darah langsung seperti ayah menurunkan
kepada anaknya atau kepada cucunya anak kepada anak cucunya.
Poligami
adalah penyakit “ayah” yang akan diturunkan kepada anak perempuannya – khusus pada
anak perempuan saja. Ayah tak lain adalah laki-laki yang menyakiti hati
perempuan yang telah dinikahinya. Tidak gampang mengatakan poligami itu “halal”
karena hati orang tidak semua sama. Sekarang menyetujui suami setuju mendua
namun di lain waktu bisa saja meminta perceraian.
Dan
ketika anak perempuan dipoligami oleh suaminya, Ayah yang memoligami semestinya
harus bersikap bijaksana. Ibu yang menyetujui ayah dari anaknya berpoligami
juga harus bisa menerima. Memang tidak ada dasar yang menguatkan bahwa poligami
adalah penyakit keturunan – penyakit kehidupan.

Namun ini terjadi secara
beraturan. Keluarga yang pernah berpoligami, akan berimbas pada keluarganya
poligami yang sama. Jika anak perempuannya menerima poligami, maka cucu perempuannya
akan dipoligami, jika cucu perempuannya tidak dipoligami, maka anak dari cucu
perempuannya akan dipoligami.

Poligami
sudah semacam silsilah sebuah keluarga. Percaya atau tidak begitulah
kenyataannya. Enteng-enteng saja mengatakan bahwa poligami itu mudah
asalkan sanggup bersikap adil. Adil dari segi fisik (material) belum tentu adil
dari segi batin (termasuk hubungan suami istri). Tetapi, lebih dari itu semua, mana
mau seorang perempuan berbagi badan suaminya dengan perempuan lain?
Kasarnya demikian.
Laki-laki
gampang melakukan poligami. Jika laki-laki yang hanya memiliki anak
laki-laki tentu tak berimbas. Jika laki-laki memiliki anak perempuan, lihatlah
bagaimana anak perempuannya dipoligami.

Tidak gampang saat seorang
perempuan mengurus anak dan rumah tangga sedangkan suami di rumah istri kedua. Tidak
mudah melerai perkelahian kecil anak-anak saat suami sedang berada di
rumah istri pertama.

Tidak bisa meratakan baju mahal untuk semua anak dalam
sekali lebaran. Jika semudah membalik telapak tangan membeli emas 10 mayam
untuk istri pertama dan kedua. Tidak mungkin membeli mobil mewah untuk dua
orang istri dalam waktu bersamaan.

Jika pun mungkin; istri pertama akan
mengatakan mobilnya lebih bagus, kedua akan mengatakan emas miliknya ditempa
lebih ulet
. Dan seterusnya.

Poligami
sudah dihalalkan dalam agama. Namun poligami adalah penyakit sosial yang kadang
tak terlihat. Istri pertama cerita pada temannya, istri kedua cerita pada
temannya juga
. Dari cerita-cerita itu akan tersampaikan pula iri dan dengki
berkepanjangan. Bertemu muka saling sapa, saling berlomba memoles wajah dengan
hiasan mahal. Berpaling muka saling mengisyaratkan hati masam.
Apakah
ini dianggap tak pernah terjadi?
Hati
perempuan tiada yang tahu. Laki-laki mudah saja memoligami. Tinggal melafalkan
akad nikah. Tinggal serumah. Cari nafkah.
Kembali
ke hukum karma di atas, percaya atau tidak percaya. Realitanya kita lihat saja
kata dunia. Agama boleh berkata halal.

Namun dunia berkata lain. Ego
sekali bisa berakibat fatal berkali-kali. Ayah berpoligami dengan bahagia, anak
perempuan belum tentu menerima dipoligami oleh suaminya! 

Categories
Uncategorized

Anak Keempat

Hamil lagi? Mana mungkin? Baru bulan lalu aku menceraikan
ASI untuk si bungsu. Aku harus menghitung ulang tanggal halangan bulan lalu.
Aku berharap perhitungan ini salah. Bulan lalu aku halangan sekitar tanggal dua
atau tiga. Bulan ini sudah hampir sampai di penghujung. Yang benar saja?
Hari terus berlalu, ini tanggal lima belas bulan kedua aku
tidak datang bulan. Aku juga merasa aneh. Tiap melihat ikan asin aku langsung
muntah-muntah, padahal aku paling suka makan ikan asin ditemani sayur daun ubi.
Saat ini, membayangkan saja aku bisa tidak selera makan.
Tadi pagi, aku muntah-muntah tidak karuan. Sampai siang
begini, matahari terik dan aku kepanasan, mual dan muntah juga belum hilang.
Tidak mungkin terus percaya tidak ada masalah apa-apa atau sekadar masuk angin.
***
Sudah bulan ketiga aku tidak halangan. Aku sama sekali tidak
berniat periksa ke puskesmas. Ke bidan di ujung kampung, sama juga, tidak akan
kulakukan. Semenjak mual-mual dan muntah satu bulan lalu, aku juga jarang
berinteraksi dengan tetangga. Semua keperluanku dicukupi suami yang pergi pagi pulang
sore.
Tiap hari aku bersemedi rumah. Menunggu keajaiban datang
bulan. Sejak kelahiran si sulung berumur delapan tahun kini, aku sudah membulat
tekad tidak akan mengandung lagi. Namun dua tahun kemudian adik si sulung
lahir, anak perempuan yang tidak mau kukucirkan rambutnya. Dan dua tahun lalu
aku baru melahirkan bayi tembam yang tiap malam merengek menganggu tidurku.
Bersama bulan ketiga kupastikan hamil lagi. Kenapa harus
aku yang hamil terus? Si Ainun, tetangga rumahku, sudah lima belas tahun kawin
belum hamil-hamil juga. Ainun pernah berobat ke mana-mana, belum ada
tanda-tanda akan mengandung. Aku yang tidak menginginkan punya anak lagi, terus
saja mengandung!
Ainun bertanya padaku, apa resep agar bisa punya anak?
Resep? Ainun pikir aku sedang membuat kue bolu? Ada-ada saja pertanyaan si Ainun
itu.
Kenapa aku tak ikut KB? Si Ima, setelah ikut KB, dua bulan
kemudian langsung melar. Ima malah ngeluh dan menyesal ikut keluarga berencana.
Berencana apa? Katanya hanya merencanakan waktu akan mengandung lagi. Kalau
ingin punya anak, KB bisa dilepas. Tapi, si Ita, dua tahun lepas KB, sampai
sekarang belum beranak juga. Lain lagi dengan Muna yang malah langsung beranak
selepas lepas KB. Aku bingung.
Aku memang tidak ingin punya anak lagi. Tapi aku tidak mau
KB. Ini sudah pilihan tepat. Lain halnya dengan suamiku, dia tidak mau tahu aku
lelah melahirkan anak terus-terusan. Aku juga capai membesarkan tiga anak yang selalu
berulah. Apalagi si sulung. Seluruh kampung sudah memvonis dia. Musim rambutan
dia panjat rambutan orang tanpa meminta. Mangga di rumah tetengga sedang
berbuah, dia malah panjat malam hari. Belum lagi jambu di rumah Ainun yang dia
petik lalu dijual. Ainun marah besar. Untuk dimakan sendiri, Ainun tidak
masalah. Tapi si sulung malah menjualnya. Ainun yang punya pohon jambu belum
pernah menjualnya sendiri. Ainun menegur. Si sulung lari terbirit-birit. Aku
geram. Ainun melapangkan dada. Menerima tapi perang dingin denganku, sindirnya
aku tidak bisa mengajari baik buruk pada si sulung.
Lima bulan sudah. Perutku semakin membesar. Selera makanku
bertambah. Rasanya berat badanku juga naik beberapa kilo.
***
Bulan ketujuh. Tandanya sudah sangat jelas. Selangkah pun
aku tidak keluar rumah. Aku tidak mau orang lain melihat hamilku. Di kampung
ini semua jadi bahan ejekan. Aku merasa mereka mencemoohku karena mengandung
lagi.
Tugasku sekarang, masak, mencuci, tidur, menonton tivi.
Ketiga anakku yang keluyuran di luar rumah, aku tidak peduli. Yang penting
mereka masih ingat pulang. Selain keluarga, tidak ada yang tahu aku hamil. Jika
ada yang datang bertamu, aku memilih sembunyi di kamar. Aku tidak ikut lagi
kegiatan ibu-ibu. Tidak ke undangan pesta di kampung. Tidak ke mana-mana.
Ainun pun tidak tahu aku mengandung kalau saja mulut si
sulung bisa diplester. Si sulung dengan enteng pamer ke Ainun akan punya adik
lagi. Pulang dari situ, kumarahi di sulung, tapi dia malah nyengir dan tertawa.
Lain halnya dengan kedua adik si sulung. Di acara arisan
ibu-ibu mereka minta nasi lebih untukku yang sedang hamil. Naas sudah. Seluruh
kampung tahun aku hamil.
Sorenya Ainun bertandang ke rumah. Mau tidak mau aku
membukakan pintu untuknya. Ainun membawa masakan enak. Ada kerang dimasak
dengan santan. Tahu goreng. Tempe goreng.
Senyum Ainun merekah. Siapa yang hamil di sini? Kenapa
malah Ainun yang berona bahagia?
Tidak mungkin. Ainun pasti datang mengejek. Aku tidak bisa
terima ini. Senyum palsu. Makanan jadi suap untuk bisa menjengukku. Tanpa
kupersilahkan, Ainun menerobos masuk dan meletakkan makanan bawaannya di meja
makan. Menyuruhku makan banyak. Bertanya persiapan persalinan. Kandunganku
sehat atau tidak? Sudah periksa ke bidan? Sudah ini? Sudah itu? Ainun banyak
tanya. Dengan alasan ingin istirahat, aku meminta Ainun pulang.
Selepas Ainun pulang, Kusantap makanan pemberiannya dengan
lahap.
***
Sudah sembilan. Mengapa waktu begitu cepat berlalu? Perutku
makin membesar. Tidak lama akan pecah. Penantianku selama ini akan berakhir.
Aku sudah tidak tahan. Senyum Ainun. Semangat dari Ima dan yang lain tidak
lantas membuatku bahagia.
Aku masih malu punya anak lagi!
Kuambil sapu, memerhatikan rumah yang sangat kotor. Seperti
berhari-hari aku tidak menyapu. Ainun yang memerhatikan di teras rumahnya langsung
menghampiri. Aku tidak mendengar celoteh Ainun yang memintaku istirahat.
Mengerti apa dia? Satu pun anak belum dia lahirkan!
Aku terus menyapu. Kusapu debu di dalam rumahku sampai dua
anak tangga dapur. Terasa dunia berputar. Pusing. Aku terpeleset. Jatuh ke
dapur di anak tangga kedua. Ainun berlari menghampiriku. Dia melihat ada
pendarahan. Dia berteriak minta tolong. Aku menepis tangannya yang akan
memapahku ke kamar.
Aku tidak apa-apa. Aku belum mau melahirkan!
Ima datang tergopoh-gopoh. Si sulung sudah dia minta jemput
ayahnya. Ima juga sudah meminta suaminya menjemput bidan. Aku masih membantah,
belum saatnya persalinan!
Kedua perempuan ini tidak peduli. Mereka menarikku ke dalam
kamar dan melepaskan pakaian bawahku. Ima berteriak. Ainun histeris meminta air
dan kain bersih. Kepala bayi sudah keluar!
Bantahanku terhenti dan malah mengedan. Sakit luar biasa.
Luar dalam. Sekali lagi teriakan napasku. Tangisan bayi pecah. Kata Ainun,
diraut wajah lelahnya, dan Ima yang pias, bayiku laki-laki.
Lima menit kemudian, bidan kampungku baru datang bersama
suami dan si sulung. Bidan langsung memeriksaku dan bayi baru lahir. Ocehan
bidan tidak lagi kudengar. Rasanya sakit sekali. Aku juga malu. Namun senyum
bahagia suamiku, membuat emosiku sedikit mereda.
Bidan memintaku tidak berpikir yang negatif. Katanya, bayi
kami sehat dan baik-baik saja. Mendengar itu, hatiku kembali galau. Belum lama
berhenti menyusui, hari ini sampai dua tahun ke depan aku kembali harus
menyusui.
Apa yang harus kulakukan untuk ini? Kulihat Ainun, Ima dan
bidan kampungku. Tidak ada ejekan dari raut wajah mereka. Senyum mereka
merekah. Aku yang tidak bahagia, mengapa mereka begitu bahagia?
Aku menatap kosong. Beban pikiranku akan bertambah banyak.
Empat anak. Suami yang selalu minta dilayani. Masak. Menyusui. Cuci baju.
Mendengar tetangga yang selalu merendahkan si sulung yang bandel. Menegur kedua
adik si sulung yang selalu telat mandi.
Memikirkannya saja membuatku letih sekali. Kelahiran
keempat ini semakin membuatku kacau. Aku tak paham, adakah yang salah denganku.
Mengapa aku tak dapat merasakan bahagia sebagaimana perempuan lainnya.
Bagaimana harus kujalani hari-hari ini? Adakah yang dapat mengerti aku?

***
Cerpen ini dimuat di Majalah Ummi Edisi Mei 2014. 
Categories
Uncategorized

Prahara Perkawinan di Aceh

Di Aceh, bicara
mengenai perkawinan menjadi perkara yang sensitif. Sebelum meminang wanita
idaman, pria Aceh harus menyiapkan mahar yang lumanyan besar untuk takaran
masyakarat berkehidupan seadanya. Tetapi karena untuk dapat hidup bahagia
bersama wanita idaman tak apalah mengeluarkan emas sebanyak 10 sampai 20 mayam
bahkan lebih.
Ternyata, selain mahar
yang besar itu, pria Aceh juga harus menyiapkan “uang hangus” untuk segala
keperluan mempelai wanita. Uang hangus ini biasanya sudah ditentukan oleh pihak
keluarga wanita dengan jumlah menurut kesepakatan. Dengan uang hangus ini pula
mempelai wanita bisa membeli perlengkapan kamar dan sejenisnya supaya menunjang
keindahan pernikahan kelak.
Selain masalah rumit
di atas, ternyata masalah perwakinan di Aceh lumanyan panjang dan butuh
kesabaran. Kita lupakan masalah mahar karena saya sudah menulisnya di salah
satu cerpen yang dimuat di Majalah Femina. Mari kita lihat beberapa prosesi pernikahan
di Aceh yang menurut adat-istiadat merupakan hal yang sangat istimewa.
Malam Pacar
Kita mengenal malam
pengantin atau malam pertama, di Aceh ada yang namanya malam membubuhkan pacar
(inai) di jari tangan dan kaki, telapak tangan dan kaki. Pengantin wanita akan dirias
bagaikan penari India yang penuh warna merah tua di tangan dan telapak kaki.
Malam pertama
membubuhkan pacar tersebut punya tradisi tersendiri, di mana orang tua, sanak
famili dan kerabat dekat lainnya beramai-ramai ke rumah mempelai. Di malam itu
akan dilakukan peusijuk gaca, di mana
akan dilakukan tradisi khusus semacam meminta berkat melalui tradisi yang konon
diakui sebagai ajaran Hindu. Karena ini di Aceh, peusijuk udah dianggap sebagai budaya sendiri dan dilakukan sesuai
kaidah Islam yang berlaku. Biarpun masih banyak yang menyangsikan dan enggan
melakukan peusijuk tetapi ulama di
Aceh seakan diam saja dan ikut melakukan tradisi ini, karena itu pula masyarkat
yang melakukan peusijuk tidak
serta-merta disalahkan sepenuhnya.
Peusijuk gaca dimulai dengan melakukan ritual mempeusijuk
wadah menghaluskan pacar tersebut. Setelah itu, mempelai wanita juga dipeusijuk oleh minimal tiga orang yang
dianggap layak melakukannya. Peusijuk ini
pertama sekali dilakukan oleh orang yang dituakan seperti imam masjid atau
ulama terdekat.
Setelah prosesi peusijuk ini kemudian mempelai wanita
bersiap-siap untuk dihiasi telapak tangan dan kaki dengan pacar. Dalam membubuhkan
pacar pada mempelai wanita biasanya dilakukan oleh orang yang lumanyan telaten
dalam melukis sehingga hasilnya akan lebih bagus pula.
Pacar ini akan
dibubuhkan pada pengantin wanita minimal tiga malam berturut-turut. Bisa ktia
bayangkan bagaimana kreatifnya pelukis pacar ini, sanggup melukis bekas goresan
malam sebelumnya sehingga tetap terlukis model yang sama.
Pacar/inai ini menjadi
suatu keharusan dan ciri khas penting dalam perkawinan di Aceh. Dengan telapak
tangan dan telapak kaki berwarna merah menjadi pertanda bahwa seorang wanita
baru saja dipinang pria idamannya, dan akan melangsungkan akad nikah sampai
peresmian pernikahan mereka. Pacar ini pun merupakan suatu penghargaan kepada
wanita Aceh dalam mempercantik dirinya sendiri secara alami. Terlepas dari
simpang-siur boleh atau tidak, toh agama tidak mengharamkan pacar yang pohonnya
bisa kita temukan di belakang rumah.
Akad Nikah
Janji suci sehidup
semati yang diucapkan oleh pria di depan penghulu saya rasa tidak jauh berbeda
dengan daerah lain. Dan di Aceh pelaksanaannya bisa menjelang peresmian
pernikahan atau pun bisa sebulan sebelumnya.
Intat Linto dan Tueng Dara Baro
Ini merupakan dua hal
berbeda, Intat Linto merupakan prosesi di mana rombongan mempelai pria
mengantai pengantin pria ke rumah wanita. Intat Linto dilakukan pada hari
pelaksanaan pesta di rumah pengantin wanita. Sedangkan Tueng Dara Baro
merupakan prosesi kebalikan dari Intat Linto, di mana pengantin wanita diantar
secara berombongan ke rumah mempelai pria.
Pada intinya, kedua
prosesi ini memiliki kesamaan, sama-sama melakukan peresmian pernikahan. Perbedaannya
hanya pelaksanaan di tempat berbeda dan beberapa adat yang tidak sama. Pada saat
Intat Linto, para rombongan banyak membawa seserahan yang akan diberikan kepada
pengantin wanita, atau keluarga wanita. Seserahan ini dikenal sebagai peunuwo bisa dalam beragam bentuknya,
hal ini tentu tidak jauh beda dengan daerah lain, barangkali hanya disesuaikan
dengan kebutuhan dan penamaan.
Nah, pada saat Tueng
Dara Baro, pihak pengantin wanita juga melakukan prosesi yang sama disebut peunulang. Di mana memberikan seserahan
kepada pihak mempelai pria, seserahan ini pun saya pikir merupakan hal yang
wajar dan sesuai kemampuan ekonomi dalam membelinya.
Biasanya, saat Intat
Linto maupun Tueng Dara Baro, rombongan akan disambut oleh kemeriahan
penari-penari cilik yang menarikan tarian khas Aceh, seperti Ranup Lampuan. Hal ini tentu saja
membahagiakan raja dan ratu sehari yang baru tiba di rumah kediaman mereka
dengan penuh senyum tawa. Penari-penari cilik ini sudah dipersiapkan secara
khusus dan memang memiliki tempat tersendiri dalam menghibur dibandingkan
hiburan lain. Gaya-gaya kecil mereka mampu menghipnotis rombongan untuk melepas
lelah sejenak selama perjalanan.

Duek Dara
Kedua memperla
dipertemukan maka prosesi selanjutkan adalah duduk di pelaminan, namanya Duek Dara. Kedua mempelai duduk di atas
pelaminan mewah dalam suasana panas dan ribut tamu-tamu diundang.
Saat Duek Dara (baik di rumah pengantin pria
dan wanita) mereka sama-sama menjalani prosesi yang lumanyan lama. Dimulai dengan
peusijuk dari orang yang dituakan hingga
saling menyulam makanan maupun sesi foto bersama. Selama Duek Dara ini pula pengantin pria dan wanita harus benar-benar
sabar melawan panas dahaga dan sanak-saudara yang minta foto bersama.
Peusijuk
Seperti yang sudah
saya sebutkan di atas, peusijuk
merupakan prosesi yang merngandung kontroversi di Aceh. Sebagian berpendapat
bahwa peusijuk merupakan prosesi yang
sama dilakukan oleh umat Hindu. Namun dilihat dari pelaksanaannya, peusijuk di Aceh sudah mengalami
perubahan sesuai kebutuhan aturan dalam Islam.
Memang, peusijuk dianggap membuang-buang rejeki
dengan menaburkan padi maupun beras dari ujung rambut hingga ujung kaki
pengantin. Atau pun karena peusijuk
dianggap sebagai kepercayaan menolak bala. Pada dasarnya, bahan untuk melakukan
peusijuk ini terdiri dari beras, biji
padi, tepung tawar, air, ketan, dan dedaunan khas Aceh.


Peusijuk dilakukan dengan “melempar” beras dan padi yang sudah
dicampur antar kepala dan kaki pengantin yang duduk bersila, kemudian tepung
tawar yang sudah dicampur dengan air akan diteteskan pada kedua telapak tangan
dan kaki melalui setangkai daun khas Aceh tersebut,lalu orang yang mempeusijuk akan menyuapi ketan ke mulut
kedua mempelai dan diakhiri dengan salaman.
Proses ini dianggap
tidak sama dengan proses yang dimaui Islam. Saya sendiri tidak menemukan aturan
baku yang melarang peusijuk, bahkan
sampai menanyakan kepada ulama di daerah masih membolehkan peusijuk ini. Karena, budaya tidak bisa dihilangkan hanya saja
dikombinasikan dengan Islam. Pada peusijuk
sendiri – selain masih dianggap pemberkatan – selama prosesnya dibacakan basmalah dan doa-doa keselamatan dunia
akhirat.
Peusijuk tidak hanya dilakukan pada pasangan pengantin saja, pada kegiatan lain
pun kerap dilakukan prosesi ini.

Akhirnya, sebuah
pernikahan tetap akan bahagia sesuai kemauan
suami istri bukan dari faktor luar. Bagus tidaknya watak suami dan istri akan
menentukan kokohnya pernikahan. Bagus atau tidaknya proses menuju rumah tangga
bahagia, semua karena budaya adalah kebiasaan yang tidak bisa dibuang selama
kita hidup bermasyarakat!