Categories
Uncategorized

Siap Nggak Siap! Nikah di Aceh Habiskan Puluhan Juta Rupiah

Nikah di Aceh Habiskan Puluhan Juta Rupiah dan nggak mudah mengucapkan will you marry me di Aceh!
Siapa sih yang nggak mau menikah? Jika usia telah matang dari segi fisik, materi maupun mental, penikahan adalah hal wajar untuk dibicarakan. Namun, menikah dengan gadis Aceh tidak segampang omongan lho. Aturan main yang lebih dikenal dengan sebutan budaya sangat erat kaitannya untuk laki-laki maupun perempuan yang ingin menikah. 
Nikah di Aceh mahal – ilustrasi pernikahan di Aceh.
Barangkali, budaya ini pula yang membuat laki-laki Aceh lebih galau selangkah daripada perempuan. Hanya di Aceh saja urusan menikah mesti membayar mahal cukup mahar.

Mahar dalam Islam dan Adat Mahar di Aceh

Dalam Islam mahar adalah kewajiban seorang laki-laki dalam meminang seorang perempuan. Namun Islam tidak membatasi besar mahar yang wajib ditebus tersebut.

– Rasulullah saw. bersabda: “Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk mas kawinnya?” Laki-laki itu menjawab: “Tidak” Rasulullah saw. bersabda kembali: “Carilah sekalipun sebuah cincin dari besi!” (HR. Muslim) –

Aceh memang unik. Syariat Islam telah diterapkan namun urusan pinangan seorang laki-laki kepada seorang gadis, tidak berlaku “aturan” main dalam Islam tersebut. Gadis Aceh tak akan pernah bisa dipinang hanya dengan cincin “besi” yang diibaratkan dalam hadis ini. Gadis Aceh hanya akan menerima pinangan mahar emas, sekalipun hanya 1 mayam saja, jika ada yang setuju. 
Satuan emas dalam mayam adalah 3,3 gram. Harga 1 mayam emas bisa beragam. Emas murni dengan campuran beda harganya. Paling sedikit 1 mayam harga emas antara 1,5 sampai 2 juta rupiah. Goyangan ekonomi sedikit saja, harga emas akan naik atau turun. Beli hari ini mahal, besok bisa murah.

Segini Jumlah Mahar di Aceh

Apakah gadis Aceh – orang tuanya – akan menerima mahar 1 mayam emas?
Tentu tidak. Inilah kebiasaan – budaya – yang tidak pernah dibuang oleh masyarakat Aceh sampai kapanpun. Keunikan budaya ini hanya ada di Aceh saja. Berlangsung di mana-mana. Dilakoni dengan sepenuh hati. Tanpa paksaan. Tanpa protes. Dielu-elukan apabila maharnya tinggi atau rendah. Dicemooh jika maharnya rendah atau tinggi. 
Semua serba salah. Tetapi yang salah ini tetap dibanggakan oleh masyarakat Aceh. Hari ini dikatakan mahar si gadis tetangga terlalu rendah untuknya yang cantik, besok akan terlupa karena mahar si tetangga lain terlalu tinggi untuk seorang gadis dari keluarga biasa-biasa saja – kurang mampu. 
Untuk kamu, siapkan mahar emas minimal 10 mayam untuk dapat menikahi gadis Aceh “baik-baik” yang kamu cintai! 

Marwah Gadis Aceh, Wanita Baik-baik Dilamar dengan Mahar Emas

Gadis Aceh baik-baik adalah mereka yang menjaga marwah Aceh, berasal dari keluarga baik-baik, bagus agamanya, sopan santun perilakunya, memegang teguh adat-istiadat dan lain-lain. Penilaian ini sebenarnya objektif dan tidak hanya tergantung pada faktor yang saya sebutkan. Walau bagaimanapun gadis Aceh adalah perempuan baik-baik karena hanya mau menikah setelah dipinang dengan mahar emas.
10 mayam angka yang tidak sedikit untuk setiap laki-laki yang ingin menikah. Siap batin belum tentu materi siap. 10 mayam adalah angka yang lumrah namun tahukah kamu jika gadis yang dicintai itu seorang sarjana, cantik rupa, atau berasal dari keluarga kaya! Mahar yang wajib kamu tebus bisa sampai 20 mayam ke atas. 
Baiklah. Coba kita kalkulasikan jumlah biaya yang wajib dikeluarkan untuk menikah dengan gadis Aceh ini. 10 mayam saja jika harga 1 mayam emas 1,5 juta, maka kamu akan mengeluarkan biaya paling sedikit 15 juta. Jika 20 mayam maka 30 juta. Jika lebih dari 20 mayam? Jika 25 mayam? Jika 30 mayam? 

Budaya Mahar di Aceh dan Sinkronisasi dengan Islam

Budaya mengajarkan banyak hal kepada kita. Begitu pula budaya Aceh yang satu ini. Satu sisi memang tidak adil untuk laki-laki yang telah siap mental untuk menikah tetapi terkendala mahar. Di sisi lain adalah proses kesabaran yang sebenarnya dalam Islam telah dianjurkan.

– “Wahai para pemuda! Barangsiapa yang sudah memiliki kemampuan (biologis maupun materi), maka menikahlah. Karena hal itu lebih dapat menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah), maka hendaklah dia berpuasa karena hal itu menjadi benteng baginya” HR. Bukhari –

Proses sabar yang cukup panjang, bukan? Siap mahar 10 mayam, belum tentu siap berumah tangga. Budaya Aceh yang unik ini tampaknya sejalan dengan aturan main dalam Islam, jika menelaah lebih lanjut. Kaum laki-laki dianjurkan untuk mapan terlebih dahulu sebelum benar-benar mampu berumah tangga. 
Toh, rumah tangga bukan cuma memberikan 10 atau 20 mayam emas saja sebagai mahar. Janji suci di hari ijab kabul akan berlaku sepanjang masa. Islam dan budaya Aceh setidaknya meminimalkan “perang piring pecah” dalam sebuah rumah tangga karena suami belum mampu membawa pulang sayap ayam tiap hari!

Laki-laki Aceh sanggup kok menikahi gadis Aceh biarpun mahar itu mahal!

Aturan mahar yang berlaku secara tidak tertulis adalah cambuk bagi laki-laki Aceh yang ingin segera meminang gadisnya. Patokan mahar dari calon mertua tidak membuat laki-laki Aceh mundur teratur karena terkendala biaya. Laki-laki Aceh mengumpulkan segenap keberanian untuk meminang karena mahar tersebut tidak lantas dibayar sekaligus. 
Nah, satu lagi sisi menarik dari sebuah pernikahan di Aceh.

Mahar boleh dicicil? Emang pernikahan itu barang kredit?

Permainannya bukanlah demikian. Step by step membuat pernikahan dengan mahar “besar” di Aceh ini justru menjadi sesuatu yang tidak biasa. Seorang laki-laki yang telah meminang gadisnya akan memberikan mayar 10 atau 20 mayam secara berkala. Waktu lamaran dikasih seperempat, menjelang pernikahan dikasih setengahnya, dan di hari ijab kabul dilunasi semuanya! 
Tepat sekali! Walaupun mahar gadis Aceh itu mahal tetapi tidaklah mahal karena proses ini berlangsung sedemikian manisnya. Hukum mahar yang berlaku di Aceh terasa ringan bagi siapa saja karena emas itu bisa diberikan kapan saja. Asalkan, di hari pernikahan mahar tersebut telah tunai! 
Sudah siap bersanding di pelaminan seperti ini? Gadis Aceh siap kok dipinang oleh kamu. Kamu siap nggak melunasi mahar yang dimintanya?
Categories
Uncategorized

Prahara Perkawinan di Aceh

Di Aceh, bicara
mengenai perkawinan menjadi perkara yang sensitif. Sebelum meminang wanita
idaman, pria Aceh harus menyiapkan mahar yang lumanyan besar untuk takaran
masyakarat berkehidupan seadanya. Tetapi karena untuk dapat hidup bahagia
bersama wanita idaman tak apalah mengeluarkan emas sebanyak 10 sampai 20 mayam
bahkan lebih.
Ternyata, selain mahar
yang besar itu, pria Aceh juga harus menyiapkan “uang hangus” untuk segala
keperluan mempelai wanita. Uang hangus ini biasanya sudah ditentukan oleh pihak
keluarga wanita dengan jumlah menurut kesepakatan. Dengan uang hangus ini pula
mempelai wanita bisa membeli perlengkapan kamar dan sejenisnya supaya menunjang
keindahan pernikahan kelak.
Selain masalah rumit
di atas, ternyata masalah perwakinan di Aceh lumanyan panjang dan butuh
kesabaran. Kita lupakan masalah mahar karena saya sudah menulisnya di salah
satu cerpen yang dimuat di Majalah Femina. Mari kita lihat beberapa prosesi pernikahan
di Aceh yang menurut adat-istiadat merupakan hal yang sangat istimewa.
Malam Pacar
Kita mengenal malam
pengantin atau malam pertama, di Aceh ada yang namanya malam membubuhkan pacar
(inai) di jari tangan dan kaki, telapak tangan dan kaki. Pengantin wanita akan dirias
bagaikan penari India yang penuh warna merah tua di tangan dan telapak kaki.
Malam pertama
membubuhkan pacar tersebut punya tradisi tersendiri, di mana orang tua, sanak
famili dan kerabat dekat lainnya beramai-ramai ke rumah mempelai. Di malam itu
akan dilakukan peusijuk gaca, di mana
akan dilakukan tradisi khusus semacam meminta berkat melalui tradisi yang konon
diakui sebagai ajaran Hindu. Karena ini di Aceh, peusijuk udah dianggap sebagai budaya sendiri dan dilakukan sesuai
kaidah Islam yang berlaku. Biarpun masih banyak yang menyangsikan dan enggan
melakukan peusijuk tetapi ulama di
Aceh seakan diam saja dan ikut melakukan tradisi ini, karena itu pula masyarkat
yang melakukan peusijuk tidak
serta-merta disalahkan sepenuhnya.
Peusijuk gaca dimulai dengan melakukan ritual mempeusijuk
wadah menghaluskan pacar tersebut. Setelah itu, mempelai wanita juga dipeusijuk oleh minimal tiga orang yang
dianggap layak melakukannya. Peusijuk ini
pertama sekali dilakukan oleh orang yang dituakan seperti imam masjid atau
ulama terdekat.
Setelah prosesi peusijuk ini kemudian mempelai wanita
bersiap-siap untuk dihiasi telapak tangan dan kaki dengan pacar. Dalam membubuhkan
pacar pada mempelai wanita biasanya dilakukan oleh orang yang lumanyan telaten
dalam melukis sehingga hasilnya akan lebih bagus pula.
Pacar ini akan
dibubuhkan pada pengantin wanita minimal tiga malam berturut-turut. Bisa ktia
bayangkan bagaimana kreatifnya pelukis pacar ini, sanggup melukis bekas goresan
malam sebelumnya sehingga tetap terlukis model yang sama.
Pacar/inai ini menjadi
suatu keharusan dan ciri khas penting dalam perkawinan di Aceh. Dengan telapak
tangan dan telapak kaki berwarna merah menjadi pertanda bahwa seorang wanita
baru saja dipinang pria idamannya, dan akan melangsungkan akad nikah sampai
peresmian pernikahan mereka. Pacar ini pun merupakan suatu penghargaan kepada
wanita Aceh dalam mempercantik dirinya sendiri secara alami. Terlepas dari
simpang-siur boleh atau tidak, toh agama tidak mengharamkan pacar yang pohonnya
bisa kita temukan di belakang rumah.
Akad Nikah
Janji suci sehidup
semati yang diucapkan oleh pria di depan penghulu saya rasa tidak jauh berbeda
dengan daerah lain. Dan di Aceh pelaksanaannya bisa menjelang peresmian
pernikahan atau pun bisa sebulan sebelumnya.
Intat Linto dan Tueng Dara Baro
Ini merupakan dua hal
berbeda, Intat Linto merupakan prosesi di mana rombongan mempelai pria
mengantai pengantin pria ke rumah wanita. Intat Linto dilakukan pada hari
pelaksanaan pesta di rumah pengantin wanita. Sedangkan Tueng Dara Baro
merupakan prosesi kebalikan dari Intat Linto, di mana pengantin wanita diantar
secara berombongan ke rumah mempelai pria.
Pada intinya, kedua
prosesi ini memiliki kesamaan, sama-sama melakukan peresmian pernikahan. Perbedaannya
hanya pelaksanaan di tempat berbeda dan beberapa adat yang tidak sama. Pada saat
Intat Linto, para rombongan banyak membawa seserahan yang akan diberikan kepada
pengantin wanita, atau keluarga wanita. Seserahan ini dikenal sebagai peunuwo bisa dalam beragam bentuknya,
hal ini tentu tidak jauh beda dengan daerah lain, barangkali hanya disesuaikan
dengan kebutuhan dan penamaan.
Nah, pada saat Tueng
Dara Baro, pihak pengantin wanita juga melakukan prosesi yang sama disebut peunulang. Di mana memberikan seserahan
kepada pihak mempelai pria, seserahan ini pun saya pikir merupakan hal yang
wajar dan sesuai kemampuan ekonomi dalam membelinya.
Biasanya, saat Intat
Linto maupun Tueng Dara Baro, rombongan akan disambut oleh kemeriahan
penari-penari cilik yang menarikan tarian khas Aceh, seperti Ranup Lampuan. Hal ini tentu saja
membahagiakan raja dan ratu sehari yang baru tiba di rumah kediaman mereka
dengan penuh senyum tawa. Penari-penari cilik ini sudah dipersiapkan secara
khusus dan memang memiliki tempat tersendiri dalam menghibur dibandingkan
hiburan lain. Gaya-gaya kecil mereka mampu menghipnotis rombongan untuk melepas
lelah sejenak selama perjalanan.

Duek Dara
Kedua memperla
dipertemukan maka prosesi selanjutkan adalah duduk di pelaminan, namanya Duek Dara. Kedua mempelai duduk di atas
pelaminan mewah dalam suasana panas dan ribut tamu-tamu diundang.
Saat Duek Dara (baik di rumah pengantin pria
dan wanita) mereka sama-sama menjalani prosesi yang lumanyan lama. Dimulai dengan
peusijuk dari orang yang dituakan hingga
saling menyulam makanan maupun sesi foto bersama. Selama Duek Dara ini pula pengantin pria dan wanita harus benar-benar
sabar melawan panas dahaga dan sanak-saudara yang minta foto bersama.
Peusijuk
Seperti yang sudah
saya sebutkan di atas, peusijuk
merupakan prosesi yang merngandung kontroversi di Aceh. Sebagian berpendapat
bahwa peusijuk merupakan prosesi yang
sama dilakukan oleh umat Hindu. Namun dilihat dari pelaksanaannya, peusijuk di Aceh sudah mengalami
perubahan sesuai kebutuhan aturan dalam Islam.
Memang, peusijuk dianggap membuang-buang rejeki
dengan menaburkan padi maupun beras dari ujung rambut hingga ujung kaki
pengantin. Atau pun karena peusijuk
dianggap sebagai kepercayaan menolak bala. Pada dasarnya, bahan untuk melakukan
peusijuk ini terdiri dari beras, biji
padi, tepung tawar, air, ketan, dan dedaunan khas Aceh.


Peusijuk dilakukan dengan “melempar” beras dan padi yang sudah
dicampur antar kepala dan kaki pengantin yang duduk bersila, kemudian tepung
tawar yang sudah dicampur dengan air akan diteteskan pada kedua telapak tangan
dan kaki melalui setangkai daun khas Aceh tersebut,lalu orang yang mempeusijuk akan menyuapi ketan ke mulut
kedua mempelai dan diakhiri dengan salaman.
Proses ini dianggap
tidak sama dengan proses yang dimaui Islam. Saya sendiri tidak menemukan aturan
baku yang melarang peusijuk, bahkan
sampai menanyakan kepada ulama di daerah masih membolehkan peusijuk ini. Karena, budaya tidak bisa dihilangkan hanya saja
dikombinasikan dengan Islam. Pada peusijuk
sendiri – selain masih dianggap pemberkatan – selama prosesnya dibacakan basmalah dan doa-doa keselamatan dunia
akhirat.
Peusijuk tidak hanya dilakukan pada pasangan pengantin saja, pada kegiatan lain
pun kerap dilakukan prosesi ini.

Akhirnya, sebuah
pernikahan tetap akan bahagia sesuai kemauan
suami istri bukan dari faktor luar. Bagus tidaknya watak suami dan istri akan
menentukan kokohnya pernikahan. Bagus atau tidaknya proses menuju rumah tangga
bahagia, semua karena budaya adalah kebiasaan yang tidak bisa dibuang selama
kita hidup bermasyarakat! 
Categories
Uncategorized

Romansa Segala Rasa

Hanya ada kau dan aku dalam sebuah rasa yang
sama…
Perjalanan
panjang ini akan segera berakhir dengan kecupan mesra darimu. Antara Aceh dan
Bali jadi terasa sangat dekat saat membayangkan fisikku akan menyentuh fisikmu.
Hampir dua tahun pula kita hanya bersuara mesra melalui udara dan maya, bahkan
rasa cemburu yang kupendam sudah tidak terdefinisi.

Belum pula
ragaku menyentuh dinginnya tanah di antara deru ombak pulau Dewata, aku sudah
sangat tidak sabar menunggu burung besi putih dengan logo biru segera menghentikan
kipasan sayapnya dan senyummu menghilangkan penatku. Dari atas perairan biru
ini dapat kulihat dataran yang akan mempertemukan kita. Walau aku sudah sangat
sering melihat dan mendengar gelombang laut, tetapi rasanya pasti akan sangat
jauh berbeda. Laut Aceh sudah pernah pilu dengan musibah besar di akhir 2004,
laut Bali barangkali masih indah dihiasi pohon hijau dan pengunjung berlimpah
setiap saat.
Dan kita, akan segera mengulang manisnya rasa…

***
Kutapaki
langkah di atas jalan setapak menuju pertemuan kita. Tak sabar rasanya aku
ingin segera memelukmu yang entah masih kurus atau sudah lebih berisi. Terakhir
kali kau katakan padaku bahwa dirimu sedikit kelelahan menghadapi pekerjaan
yang menumpuk, mungkin ini akan berpengaruh pada pola makan dan kondisi berat
badanmu. Tapi sekali lagi, aku tidak pernah memandangmu sebagai bentuk terindah
dari pahatan Tuhan. Aku menerima jiwa yang kau punya karena aku tidak memiliki
pribadi dan bentuk fisik seperti dirimu.
Kau tahu?
Terakhir kali kita bertemu di salah satu sudut Ibu Kota, waktu itu hanya sehari
saja. Di bawah gerimis, di jalan setapak menuju penginapan, seperti jalan yang
kulalui kini. Perbedaannya, Ibu Kota sangat keruh dengan keadaan dan kita tidak
bisa saling memahami mau masing-masing. Kita juga tidak sempat menghabiskan
waktu bersama karena kau terlalu sibuk dengan tugas kantormu. Bahkan, untuk
minum secangkir kopi saja tidak bisa kau luangkan waktumu, aku memahami, karena
aku tidak mau kehilanganmu.
Di bawah
matahari Bali yang terasa lebih teduh dibandingkan negeriku, kita akan bisa
menghabiskan lebih banyak waktu di sini. Tempat ini pula sengaja kau pilih
sebagai pertemuan kita; rumput hijau, bunga entah bernama apa, pohon rindang,
patung khas pulau ini yang tidak akan pernah kulihat berdiri di kampung
halamanku, serta tempat persinggahan yang dibuat seakan khusus untuk kita
berdua. Seperti yang sudah kau katakan padaku, kita akan bertemu di sebuah
gubuk di depan kolam ikan yang ada patung berwarna putih.
Aku sudah menunggumu di sini…
***
Kau tersenyum melihatku!
Ah, betapa
tidak terbayangkan perasaanku melihat tubuhmu yang semakin mungil. Kau terlihat
lelah sekali. Bahkan, tubuhmu seperti tinggal tulang saat kupeluk erat.
Aku merindukanmu…
Sudah pasti.
Tanpa kau jawab, aku sudah tahu bahwa bahasa nonverbal darimu mengatakan hal
yang serupa. Kupeluk tubuhmu semakin erat, hal ini pun lumrah di pulau ini.
Banyak mata yang melihat tetapi tidak mempersoalkan, tentu beda dengan negeriku,
 tidak bisa sebebas ini memeluk tubuhmu
yang lembut seperti kapas.
Kutatap
matamu lebih lama, ada bintik merah dibalik kacamata biru itu.
Kau terlalu lelah, sayang!
Dan lagi, kau
selalu mengelak begitu kuutarakan protes terhadap apa yang sedang kau lakukan. Padahal
ini untuk kebaikanmu, kebaikanku, dan kebaikan kita semua. Delapan tahun bukan
waktu yang sebentar menjalin hubungan dalam jarak tak bertemu fisik. Ibu Kota
telah mengubah dirimu menjadi lebih garang dari yang kubayangkan. Ajakan
hubungan lebih serius pun tidak pernah kau balas dengan manja seperti saat
kubelai aura dalam dirimu. Kau seperti lupa bahwa aku harus mengakhiri masa
lajang di usia lewat 35 tahun. Kita sama-sama paham, pernikahan membutuhkan
kedekatan jiwa dan raga.
Dulu kau belum bisa memenuhinya. Sekarangkah
waktumu?
***
Kami duduk
berhadapan. Sisa makanan di atas meja lesehan itu masih sangat banyak. Kau
hanya memakan sedikit saja. Aku pun tidak berniat melanjutkan makanku karena
iba melihatmu.
Kita sama-sama tertekan dalam hal ini. Tidak ada
salahnya kita segera saling membuang ego masing-masing.
***
Kutahu, kau akan menerimanya!
Di bibir
pantai, kau duduk menyilakan kaki di bawah atap putih dari kain payung, di
kursi biru dengan bantal putih, di antara gelombang, kusarung cincin di jari
manismu.

Pinangan ini
memang berat untukmu, aku juga rela berbagi waktu denganmu sampai tua. Pulau
ini akan mengabadikan segala rasa yang kupendam untukmu dan untuk bahagia kita.
Sudah tak terhitung lagi berapa kali aku menyakinkanmu untuk bersedia
menemaniku selama nafas masih terhembus. Sabarku sampai pada batasnya saat kau
mengatakan hidup kita tidak mesti ada ikatan.
Aku berbeda, sayang. Nyawaku dititipkan oleh-Nya
tidak sekadar main-main, Dia sudah menentukan aturan khusus sebelum kita
memulai pergumulan lebih jauh. Ini bukan pula karena aku berdarah Aceh, ini
karena kita menyambah Tuhan yang sama. Kehidupan kita memang berbeda, kau di
Ibu Kota sedangkan pria yang mencintaimu ini di pelosok desa. Kau bahkan tidak
pernah menghirup udara segar di antara padi menguning pagi hari.
Kau telah
menerima. Aku harap-harap cemas. Dalam aturan kehidupan kota yang tidak
tertulis, tentu kau akan sulit menghadapi pria sepertiku. Pertemuan yang kau
ajak ke pulau romantis ini membuatku serba salah. Aku tidak pernah duduk manis
di dalam pesawat sejauh ini, hanya Ibu Kota tempatmu yang paling jauh
kusinggahi. Aku masih belum percaya sebentar lagi akan meninggalkan segala
urusan di pedalaman Aceh kemudian menetap di Ibu Kota.
***
Tempat ini
akan jadi saksi manisnya hidup yang kulalui bersamamu. Kau tahu apa yang
kurasa? Entahlah. Jauh-jauh kita ke mari menimbulkan rasa yang tak bisa
kusampaikan padamu. Malam ini pula kau sebut namaku berkali-kali sehingga aku
sulit berpaling dari dirimu. Di bawah temaram lampu kawasan Pirates Bay, Café &
Restaurant, Bali, kau suapi sepotong Apel yang lidahku merasakan lebih manis
dari biasanya. Di dalam kafe yang khusus diciptakan untuk pasangan seperti kita
ini kau peluk pinggangku dengan erat sekali. Kau sandarkan kepalamu di pundakku
sampai aku tidak bisa melihat rona matamu.
Di depan
kita, di tempat yang hampir sama dengan kita bermesraan, banyak pasangan lain
yang sedang melakukan sesuatu yang kita tidak tahu. Kau memang lebih agresif
dibandingkan saat bercakap-cakap sampai larut malam melalui udara. Karena
kuyakin, jiwamu sangat merindu kokohnya fisikku merangkul seluruh badanmu untuk
segera melepas keinginanmu.
Belum saatnya untuk itu
Kau telah
kupinang, tunggulah waktu setelah itu. Bahagia ini akan berbeda saat kita sudah
dalam ikatan resmi agama dan pandangan sosial. Tidak ada yang akan memisahkan
kita selama ikatan suci telah kuucapkan.
Mari kita nikmati saja malam ini!

***